BAHAI HIDUP KEMBALI DI KURDISTAN IRAK
Oleh DR. Fursat
Mar’ie
(diterjemahkan oleh Dudung Ramdani, Lc dari Majalah Al-Mujtama edisi nomer 2058, 22-28 Juni 2013 Tahun ke-44, hal. 34-38, semoga Alloh SWT merahmatinya dan kedua orangtuanya, alloohumma aamiin)
Bahai adalah sebuah gerakan kebatinan yang muncul di Iran, yang berasal dari Syiah sekte Dua Belas Imam, yang merupakan penerus dari gerakan kebatinan yang muncul di Iran sebelumnya: Seperti sekte Syaikhiyyah, Kasyafiyyah dan Babiyyah, dengan dukungan dari Rusia pada awal kemunculannya, kolonial Inggris, dan Yahudi di kemudian harinya dengan tujuan untuk merusak agama Islam, memecah belah persatuan umat Islam dan mengalihkan mereka dari prinsip-prinsip dasar (aqidah) Islam.
Bahai ini berhubungan erat dengan wilayah Kurdistan di Iraq, seperti yang akan kami terangkan di dalam penjelasan sejarah ini, yaitu ketika Bahai berusaha untuk kembali ke wilayah Kurdistan untuk yang kedua kalinya dengan memanfaatkan dari kondisi perpolitikan yang tidak menguntungkan (tidak kondusif/kacau balau).
Bahai didirikan oleh Mirza Husain
Ali Al-Mazindrani yang bergelar Bahaullah yang lahir pada tahun 1817 M.
Orangtuanya merupakan tuan tanah. Mirza Husain ini sering membaca buku-buku
Tasawuf dan buku-buku sekte Syaikhiyyah dan juga ajaran Ibnu Arabi, Abdulkarim
Al-Jiliy dan juga para penyair senior Persia . Mirza Husain percaya kepada
ajaran kesatuan agama dan wihdatul wujud (ajaran yang menyatakan
bahwasanya Allah SWT bisa bersatu dengan makhluk-Nya, penerj) yang akhirnya
pencetus ajaran wihdatul wujud ini berkata bahwa semua kewajiban ibadah
bisa runtuh karenanya (setelah terjadi wihdatul wujud maka tidak wajib
menjalan syariat agama, penerj) dan juga bisa menghilangkan syiar-syiar agama. Kemudian
Al-Baha mulai mengumumkan dakwahnya di sebuah kebun yang bernama As-Saray
(Kebun Keridhaan) di Baghdad pada tahun 1863.
Adapun Mirza
Yahya Ali, adik
dari Al-Baha yang bergelar Subhul
Azal, maka Al-Bab Ali Muhammad Ridha yang terbunuh pada tahun 1850 telah
mewasiatkan kepemimpinan kepada Subhul Azal (agar menjadi penggantinya,
penerj). Maka para pengikut Subhul Azal ini disebut dengan Al-Azaliyyin. Akan
tetapi, saudaranya yang bernama Mirza Husain mencopotnya dari kepemimpinan.
Kemudian dicopot pula dari risalah agama Bahai dan ketuhanannya, dikarenakan di
antara keduanya terjadi perpecahan yang sangat parah dan juga perpecahan dengan
sebagian penganut sekte Syiah Dua Belas Imam di Iran dan Iraq . Akhirnya keduanya berhasil
diasingkan oleh Daulah Utsmaniyah pada 1863 M atas permintaan dari Pemerintah
Qajar Iran ke kota Edirne
sebelah Barat Istanbul.
Akar Sejarah Bahaiyyah
Konspirasi yang dilakukan oleh
gerakan kebatinan terhadap aqidah dan pemikiran Islam tidak pernah berhenti sepanjang
sejarah. Pada awal abad ke-19 M, gerakan ini diperbarui di tangan seorang yang
aqidahnya rusak, tidak jelas pemikiran dan gagasannya yang mana dia di
kelilingi oleh ajaran kultus palsu, dan dia itu adalah Syaikh Ahmad Al-Ihsa’i
(1753 – 1826) yang telah mendirikan sebuah sekte di dalam ajaran Syiah Dua
Belas Imam yang di kemudian hari dikenal dengan nama sekte Syaikhiyyah.
Sekte Syaikhiyyah mengatakan,
“Sesungguhnya hakikat ajaran Muhammad telah nampak pada para nabi sebelum
Muhammad SAW, tapi dalam bentuk yang lemah. Kemudian berubah dalam bentuk yang
kuat pada periode Muhammad SAW dan para imam yang dua belas. Kemudian
bersembunyi selama seribu tahun (260 – 1260 H) yang akan nampak kembali pada
diri Syaikh Ahmad Al-Ihsai yang merupakan Tiang Keempat dan yang selanjutnya
akan nampak pada diri Syaikh Kazhim Al-Risyti (wafat 1843 M), kemudian nampak
pada diri Muhammad Karim Khan al-Karmani (wafat 1870 M).” Penampakan ini
merupakan bentuk penampakan dari Allah yang sangat besar dan dari para Imam Dua
Belas, seperti yang mereka yakini.
Adapun Tiang Keempat mulai dari
Syaikh Al-Ihsai sampai orang setelahnya, mereka itu adalah sama. Hanya
berbeda-beda dalam bentuk saja, tetapi hakikatnya adalah sama, yaitu Allah,
yaitu yang menampakkan diri di tengah-tengah mereka atau bersatu ke dalam tubuh
mereka. Mahasuci Allah SWT dari semua yang mereka katakan!
Mereka juga berkeyakinan jika
Muhammad adalah utusan Allah dan bahwasanya para Imam yang Dua Belas adalah
para imam yang mendapat petunjuk. Adapun makna risalah (kerasulan) dan imamah
(keimamam) menurut mereka yaitu bahwasanya Allah telah menampakkan diri dalam
bentuk ini; sebagian mereka adalah utusan dan sebagian mereka adalah imam.
Mereka juga berkeyakinan bahwasanya generasi terakhir lebih baik dari generasi
pertama. Berdasarkan atas keyakinan ini, maka Syaikh Ahmad Al-Ihsai di mata
para pendukungnya, beliau adalah lebih agung dari seluruh para nabi dan para
rasul. Mereka juga berkeyakinan adanya faham Raj’ah. Mereka menafsirkannya bahwasanya
Allah setelah Dia menghilang dari wajah para imam, maka Dia akan kembali
menampakkan diri yang sangat kuat di dalam bentuk Tiang Keempat, yaitu dalam
diri Syaikh Ahmad dan orang yang akan datang setelahnya.
Syaikh Ahmad Al-Ihsai adalah dari
sekte Syiah Hululiyyah (panteisme; menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan
dan hukum-hukum alam semesta; atau penyembahan (pemujaan) kepada semua tuhan
dari berbagai kepercayaan. Pantheisme berarti paham yang mengajarkan bahwa
segala realitas adalah Tuhan, penerj) yang mana mereka menafsirkan perubahan
wujud Imam Ali RA kepada ucapan Syiah Nushairiyyah (Alawiyyah), dan adapun
dalil filsafatnya diambil dari seorang ahli filsafat kebatinan Iran yang
terkenal, yaitu Mulla Shadra Al-Syairazi (wafat 1640 M).
Buku-buku mereka menerangkan
bahwasanya mereka memiliki keyakinan tentang Ali bin Abu Thalib seperti
keyakinan para ahli filsafat pengikut Plato yang terbaru di periode Pemikiran
Pertama, bahkan lebih buruk lagi.
Dua Surga dan Dua Neraka
Adapun mengenai keyakinan mereka
tentang hari Kiamat, maka keyakinan mereka ini sangat batil, bertentangan
dengan nash Al-Qur`an, Al-Sunnah dan Ijma umat Islam. Mereka berkeyakinan
bahwasanya di akhirat itu ada dua surga dan dua neraka Jahannam. Salah satunya berada di dunia ini dan yang satu lagi
di akhirat. Adapun yang disebut dengan surga adalah al-Wilayah dan mengakui
adanya al-Qoim. Adapun yang disebut hari berkumpul (di Mahsyar), maka seluruh
makhluk tidak akan kembali kepada Allah sesuai dengan ajaran Islam. Akan
tetapi, kembali kepada kehendak yang pertama. Dan sesungguhnya hari berbangkit
itu tidak akan terjadi dalam bentuk tubuh yang bisa dilihat, tetapi dalam
bentuk tubuh yang halus (tidak terlihat), yaitu tubuh yang berada di antara
alam yang mempunyai massa (berat, volume dll) dan alam Surga yang berbentuk
rohani. Dengan kata lain bahwasanya pemikiran Al-Ihsai seputar dua masalah ini
yaitu kembalinya makhluk (al-ma’ad) dan naiknya tubuh (al-mi’raj
al-jasmani) dianggap sebagai bid’ah di dalam aqidah Islam. Dia telah
berulang kali mengatakan bahwasanya jasad manusia itu tersusun dari zat yang
berbeda-beda, yang tersusun dari empat unsur (air, tanah, udara dan api) dan
jasad sembilan unsur samawi. Adapun jasad yang bangkit pada hari Kiamat terdiri
dari unsur samawi saja, dan unsur yang empat tadi akan kembali ke bumi pada
saat (tiba) kematian. Oleh karena itu, mi’rajnya Nabi Muhammad SAW ke langit
adalah hanya ruhnya saja dan bukan dengan jasadnya.
Tarekat Kasyafiyyah
Ada sesuatu yang layak ditunjukkan, yaitu ketiadaan dua orang yang bersepakat
dalam pemikiran kebatinan ini, dilihat dari sesuatu yang mengelilinginya
semisal kesamaran (misteri) dan keragu-raguan dan juga dalam cara pengajarannya
banyak rumus-rumus dan isyarat-isyarat. Karena hal ini lah yang membuat Kazhim
Risyti berbeda dengan gurunya, yaitu Al-Ihsai pada sebagian besar ajaran
pokoknya. Maka dia pun membuatkan sebuah tarekat baru yang dikenal dengan nama
Tarekat Kasyafiyyah. Dan ini juga yang mendorong Sayyid Ali Muhammad, selang
beberapa lama untuk mendirikan agama baru (agama Al-Babiy), walaupun dia sangat
dekat hubungannya dengan gurunya, yaitu Al-Risyti. Al-Ihsai telah menggunakan
seluruh sarana kebatinan, semisal takwil, faham menitis, reinkarnasi,
mengagungkan para nabi dan para imam, seperti imam tercipta dari cahaya Allah
dan imam adalah pemilik kehendak di alam ini, karena imam adalah nafasnya
Allah. Dan Al-Ihsai tidak ragu-ragu untuk menyandarkan hal ini kepada
riwayat-riwayat palsu dan hadits-hadits lemah yang dikaitkan kepada para imam
untuk melanggengkan karangan palsunya di hadapan para pengikutnya.
Adapun gerakan Al-Kasyafiyyah merupakan perkembangan yang alami bagi
Syaikhiyyah di tangan Kazhim al-Risyti yang telah menulis satu bundel
tulisan-tulisan yang dia membela aqidah Al-Ihsai di dalam tulisan-tulisannya
tersebut. Dan dia juga telah berupaya untuk menjelaskan kesamarannya. Akan
tetapi, para ulama Syiah Imamiyah menolaknya dan mereka menganggapnya sebagai
bagian dari kalangan ekstrim.
Dan yang lebih dikenal bahwasanya Mirza Ali Muhammad Al-Syairazi, pemimpin
Al-Babiyyah adalah murid Al-Risyti. Adapun sekte Al-Karmaniyyah di bawah
kepemimpinan Muhammad Karim Khan Al-Karmani, sekte tersebut muncul secara
langsung dari ajaran Al-Risyti dan kemudian pemikiran-pemikirannya mengalami
penyimpangan dan berlebih-lebihan.
Di antara yang tidak bisa diragukan lagi bahwasanya Al-Babiyyah mengambil
manfaat dari warisan kebatinan sampai harus diperhatikan yang mana warisan
kebatinan ini telah diwariskan sekte-sekte lain semisal sekte sufi ekstrimis,
khususnya lagi peninggalan Al-Hallaj dan Muhyiddin bin Arabiy, Ihsaiyyah dan
Kasyafiyyah.
Bangsa Kurdi dan Bahaiyyah, Dampak dan Kerentanan
Setelah Al-Bab Ali Muhammad Al-Syairazi dieksekusi mati oleh Kesultanan
Qajar Iran pada tahun 1850 M, maka Subhul Azal pun melarikan diri. Adapun
Al-Baha Mirza Husain masuk penjara selama empat bulan. Kedubes Rusia pun ikut
campur untuk kepentingan terakhirnya, sehingga dia pun dideportasi ke Baghdad.
Dia mendapatkan suntikan dana dari Kedubes Rusia. Setelah Mirza Husain tiba di
Baghdad yang mana saudaranya (Subhul Azal) telah tiba lebih awal. Di sana
terjadi perselisihan hebat di antara keduanya yang menyebabkan Mirza Husain
pergi meninggalkan Baghdad, menuju kota Sulaimaniyyah. Di sana dia tinggal di
sebuh gua di lereng gunung Surdasy yang membentang di atas dua desa; Sarkalo
dan Barkalo sejak tahun 1854 – 1856 M. Dia pun akhirnya pergi meninggalkan
tempat pengasingannya menuju ke majlis-majlis sufi Naqsyabandiyah di
Sulaimaniyyah, mengunjungi kebun buah-buahan dan ke Thawilah (desa Hawarman di
perbatasan Iran) untuk berkumpul dengan para pemimpin tarekat.
Terpengaruhnya Al-Baha oleh Kitab Fashlul Khitab
Adalah seorang ulama sufi dari Utsmani bermadzhab Hanafi, yaitu Al-Hafizh
bin Muhammad Khawajah Farsa (wafat tahun 1419 M) telah menulis sebuah kitab
yang diberi judul, Fashlul Khitab. Dia bercerita di dalam kitab tersebut
tentang akan munculnya Al-Mahdi dengan semua kebaikannya dengan ucapannya, “Semua
berita telah menceritakan akan kemunculannya dan cahayanya telah terbit yang
akan memperbarui syariat Muhammad. Dia akan berjihad di jalan Allah SWT dengan
sebaik-baik jihad. Dia akan membersihkan semua kotoran di seluruh kota
negerinya, zaman dia adalah zamannya orang-orang yang bertakwa. Para
pengikutnya bersih dari keraguan dan selamat dari keghaiban. Mereka semua akan
mengambil semua petunjuk dan jalannya. Mereka juga akan mendapatkan hidayah
dari kebenaran sampai bisa mempraktekkannya. Dia lah penutup kekhalifahan dan
keimaman. Dia adalah imam sejak ayahnya wafat sampai hari Kiamat....”
Muhammad bin Abu Jumhur Al-Ihsai (wafat tahun 1495 M) telah menjelaskan
kitab Fashlul Khitab tersebut dan menambahkan beberapa catatan pada
kitab tersebut. Kemudian kitab tersebut dijelaskan pula oleh seorang ahli sufi
Syiah yang bernama Al-Mirdamadi (wafat tahun 1631 M). Dia diikuti oleh Mulla
Shadra Al-Syairazi (wafat tahun 1640 M) di kota Isfahan.
Dia menyimpan seluruh ajarannya di dalam kitabnya Jamiul Asrar dan Manba’ul
Anwar. Kitab ini menjadi salah satu kitab pegangan sekte kebatinan. Maka Syaikh
Ahmad Al-Ihsai atas dasar ini dia membentuk sekte Asy-Syaikhiyyah.
Kemudian tatkala Bahaullah melakukan perjalanan ke Kurdistan Al-Utsmaniyyah
di Iraq pada tahun 1856 M, dia pun menelaah kitab Fashlul Khitab ini di
depan para pengikut Maulana Khalid al-Jaf Naqsyabandi (wafat tahun 1827 M) di Takyah
Bayarah. Sekte Syaikhiyyah ini mempunyai ajaran yang sangat berbeda
dengan cara berfikir dan dakwahnya Bahaullah.
Nampaknya, menetapnya Bahaullah di daerah tersebut menimbulkan efek yang
buruk terhadap aqidah sebagian orang-orang Kurdi. Maka pada tahun 1919 – 1920
M, di sana muncullah sebuah pergerakan yang bernama Haqqah, salah satu
gerakan ekstrimis dari tarekat sufi Naqsyabandi yang memiliki pemikiran yang
asing dan aneh-aneh.
Secara umumnya, seharusnya Bahaullah yang terpengaruh dari
penyimpangan-penyimpangan kaum sufi di daerah tersebut yang berdekatan dengan
desa yang bernama Syahdahlah yang menyebabkan munculnya gerakan Haqqah. Dan
bukan hal yang mustahil bagi sebagian para peneliti suku Kurdi bahwasanya hal
ini telah sesuai dengan strategi yang digariskan untuk mencapai tujuannya yaitu
merusak aqidah penduduk daerah tersebut. Seperti yang telah dikerjakan oleh
Al-Baha untuk merusak aqidah orang-orang yang telah memeluk ajaran Bahaiyyah di
Iran. Kalau bukan, tujuan apa yang mendorong orang ini menetap di daerah
tersebut selama dua tahun sejak tahun 1854 sampai tahun 1856 dan berdekatan
dengan markas pimpinan tarekat Naqsyabandi di desa Syahdahlah yaitu Syaikh
Sardar An-Naqsyabandi, salah seorang penerus Maulana Khalid Al-Jaf? Di antara
buktinya yaitu sebagian orang-orang yang bergabung di dalam kelompok ini mereka
meyakini jika guru mereka itu yaitu Abdulkarim Syadlah sebagai Al-Mahdi dan
sebagian yang lainnya menyebutnya sebagai Nabi Isa AS, seperti orang-orang
Bahaiyyah yang menyebut pemimpin mereka dengan sebutan-sebutan seperti ini. Dan
dinukil dari seseorang modern mengenai kejadian tersebut, yaitu oleh Sayyid
Haji Abdu Jasim yang merupakan anggota Kepolisian Iraq pada saat dia
mendatanginya secara tiba-tiba untuk mendebatnya yaitu Takyah Mamah Ridha,
salah seorang pemimpin dari Tarekah Haqqah di desa Kalkah Samaq yang berdekatan
dengan Dukan Resort (resort adalah tempat peristirahatan, penerj) di sebelah
Barat Sulaimaniyyah dan dilakukan penelitian terhadap harta kekayaannya pada
tahun 1944 M, tapi tidak ditemukan sebuah kitab pun kecuali kitab Al-Bahaiyyah.
Di sisi lain, sesungguhnya sebagian sumber menyebutkan bahwa sebab
bersembunyinya Bahaullah di gunung Kurdistan dan di desa Syahdahlah di gunung
Surdasy sebelah Barat Sulaimaniyyah adalah sebagai bentuk pengamalan atas
nasehat dari seorang pendeta Yahudi yang bernama Yusuf Hayim untuk mendapatkan
pengalaman spiritual dari mengkaji ajaran sufi Yahudi dan semua rahasianya
dengan alasan bahwasanya pengalaman ini bisa membuatnya mengetahui hakikat
segala sesuatu dan hukum-hukumnya yang sangat mendalam, sebagaimana telah
dilakukan oleh Nabi Musa AS ketika beliau bersembunyi di gunung Thur di gurun
Sinai.
Hubungan antara Al-Baha dengan Rusia dan Yahudi
Bahaullah sangat menampakkan hubungannya dengan Rusia. Akan tetapi,
hubungannya dengan Yahudi Baghdad dan Yahudi Kurdistan tidak diketahui. Maka
tatkala dia tiba di kota Baghdad pada tahun 1852 M, di sana terdapat sekitar
lima puluh ribu Yahudi, dan di Kurdistan sekitar delapan belas ribu Yahudi.
Maka tatkala Al-Baha berhubungan dengan rahib Yahudi bernama Syam’un Ajasi
(wafat 1914 M), maka dia mengutus seorang rahib Yahudi dan juga seorang
ilmuwan, yaitu Harun Al-Bazarni (wafat 1900 M). Rahib ini menganut faham sufi,
dia meyakini akan munculnya Al-Masih yang Ditunggu-tunggu dan masanya yang
sangat menyenangkan. Dia sangat mahir berbahasa Arab dan Persia dan sangat
keranjingan dengan madzhab Al-Qabbalat (Kabbalah). Sang rahib Yahudi ini telah
menerima kedatangan Al-Baha dengan sangat baik dan memberinya kehidupan yang
baik di gunung Sarkalu sehingga dia (Al-Baha) bisa berjalan ke Sulaimaniyyah
dan desa-desa di sekitarnya.
Al-Bahaiyyah di Mesir : Syaikh Farajullah Zaki Al-Kurdi Al-Mariwani
Al-Kasyankani yang dinisbahkan kepada kota Mariwan di Kurdistan, Iran Sekarang,
lahir pada tahun 1882 M setelah dia mendapatkan kesempatan belajar di
negaranya, kemudian dia pergi ke Mesir pada akhir abad ke-19 M untuk kuliah di
Al-Azhar. Karena dia dari suku Kurdi, maka dia dinisbahkan ke Paguyuban Suku Kurdi.
Akan tetapi, pada salah satu kepergiannya ke negeri Syam, dia pernah bertemu
dengan pemimpin Bahaiyyah yaitu Abdul Baha. Dia sangat kagum dengan cara
dakwahnya Abdul Baha sampai akhirnya dia Zaki Al-Kurdi memeluk sekte Bahaiyyah
dan dia menjadi orang yang sangat membela (fanatik) ajaran Bahaiyyah di Mesir. Tapi,
tatkala masalah ini terungkap (dia memeluk Bahaiyyah), akhirnya dia dikeluarkan
dari Al-Azhar dan juga dipecat dari Paguyuban Suku Kurdi, karena dicap murtad
dan telah keluar dari agama Islam.
Nampaknya, Farajullah Al-Kurdi ini sangat siap menerima pemecatannya ini,
sehingga akhirnya dia sibuk berdagang kitab-kitab. Maka sejak tahun 1900 M, dia
menjabat jabatan Wakil di Lembaga Sosial Penyebaran Kitab-kitab Islam, sehingga
dia pun mempunyai banyak uang. Akhirnya, dia membeli sebuah rumah di sekitar
Al-Azhar dan dia tidak pulang ke kampungnya Kurdistan di Iran, tapi dia memilih
menetap di Mesir. Dia menjadikan Mesir sebagai kampung halamannya. Di Mesir
ini, dia terus mempraktekkan kemahirannya di dalam perdagangan kitab-kitab dan
manuskrip-manuskrip yang sangat langka di negeri Mesir.
Pemimpin Bahaiyyah yaitu Abdul
Baha, putera dari Bahaullah telah menulis sebuah kitab dengan judul Ar-Risalah
Al-Madaniyyah dalam bahasa Persia yang dipasarkan di kota Bombay di India
pada tahun 1882 M. Kemudian Syaikh Farajullah Zaki Al-Kurdi mencetaknya kembali
untuk kedua kalinya pada tahun 1909 M. Kemudian terbitlah terjemahannya dalam
bahasa Inggris di London pada tahun 1910 M. Kemudian dicetak ulang di Chicago
di Amerika Serikat pada tahun 1918 M dengan judul Mysterious Forces of
Civilization. Kemudian terbitlah terjemahan terakhir dalam bahasa Inggris
pada tahun 1956 M oleh Mardhiyah Gill dan dicetak di Amerika Serikat. Tulisan
ini telah berpindah-pindah di antara para pembaca bahasa Persia dan Inggris sejak
diterbitkannya. Akhirnya Bahiyah, yaitu puteri dari Farajullah Zaki Al-Kurdi
menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.
Farajullah Al-Kurdi tetap pada
kondisi itu, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1940 M. Dia tidak melahirkan anak,
kecuali hanya satu anak perempuan yaitu Bahiyah. Bahiyah ini menganut ajaran Bahai,
keyakinan seperti dia (ayahnya). Bahiyah bekerja sebagai guru di Lembaga
Keguruan bagi Wanita di Baghdad pada masa kerajaan. Dia juga saat itu mempunyai
Salon Sastra, yang mana di tempatnya ini sering berkumpul para penulis dan para
intelektual. Kemudian ada seorang penyair Kurdi bernama Dildar yang
mencintainya (Dildar adalah penulis lagu kebangsaan suku Kurdi). Akan tetapi,
dia (Bahiyah) memilih menikah dengan seorang Bahai Amerika, dan melahirkan
seorang anak laki-laki yang bernama Hussein.
Baru-baru ini, setelah jatuhnya
Selain itu, perwakilan dari Bahai
yaitu Carmel Aqil menekankan bahwa ada banyak kesamaan di antara agama-agama,
terutama di hari rayanya, karena hari raya adalah hari penuh sukacita dan
kebahagiaan bagi semua orang. Aqil menunjukkan bahwa salah satu kesamaan yang
sangat penting di antara hari raya agama Bahai, Kristen dan Yazidi adalah sama
waktu pelaksanaannya, dia menjelaskan bahwa para pengikut agama Bahai suka merayakan
dua hari raya tahun Baru Bahaiyyah dan hari raya Ar-Ridhwan Al-Majid pada 21
Maret dan 21 April, di mana kita menemukan bahwa waktu ini bertepatan dengan hari
raya orang-orang Kristen dan Yazidi ketika merayakan hari raya mereka.
Dia (Carmel )
meneruskan, bahwasanya keamanan sangat berpengaruh terhadap semua agama di Iraq . Dia
mengungkapkan harapannya bahwa keamanan tetap terjaga dan seluruh para penganut
agama-agama untuk mengkonsolidasikan kesamaan di antara mereka.
Yayasan Bahai telah mencoba untuk menerjemahkan buku-buku Bahai yang berasal dari pusat penerbitan di Brazil dan yang lainnya ke dalam bahasa Kurdi, dengan harapan bisa memasukkan sebagian dari suku Kurdi ke dalam keyakinan mereka (Bahaiyyah) dan untuk memperkuat pengaruh mereka di Kurdistan dengan mengambil keuntungan dari suasana politik dan budaya yang berlaku sekarang di Iraq tak lama setelah pendudukan Amerika Serikat atas Iraq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar