LDII Mengamuk...
Ratusan
massa yang diakui sebagai massa LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang
diketuai Nur Salim di Ciracas Jakarta Timur mengamuk dalam acara bedah buku Aliran
dan Paham Sesat di Indonesia karya saya (Hartono Ahmad Jaiz) di Masjid
Nurul Ikhlas, Jl Tanah Merdeka, Kampung Rambutan, Ciracas Jakarta Timur, Ahad
18 Desember 2005M/ 16 Dzulqo’dah 1426H.
Mereka melempari saya dengan gelas hingga
pecah berantakan, alhamdulillah meleset lalu membentur pintu kaca dan mengenai
kaki panitia, Ust Syarif Lubis, hingga berdarah. Massa di luar telah
mengepalkan tangan mau menghantam saya ketika saya mau keluar dari pintu mihrab
sebelah mimbar, maka saya urung keluar, dan pintu segera dikunci. Mereka
berteriak-teriak dan menggedor-gedor pintu. Penjaga pintu, Rizki, mengaku
dipiting (disikep) lehernya oleh perusuh lalu dipukuli kepalanya, dibanting
kemudian diinjak-injak. Panitia yang berbadan kecil kurus ini, kepalanya
benjol-benjol dan badannya sakit.
Perusuh yang
di dalam masjid pun berteriak-teriak, maju ke depan mimbar lalu memukuli
panitia, di antaranya Irfan, Riki, dan Didi sampai pecah hidungnya. Tas beserta
buku-buku, makalah dan berkas-berkas di meja tempat saya berbicara dicuri
perusuh, dan dibawa lari. Terdengar teriakan-teriakan, “tas…tas… tas…”. Mereka
pun mencuri bahan-bahan milik panitia, di antaranya dua rekaman.
Rupanya sudah ada pembagian masing-masing
untuk membuat kerusuhan dalam masjid ini.. Hingga ada yang bertindak sebagai
orang yang mengajukan pertanyaan, yaitu Sulardi yang duduk di bagian depan,
samping utara. Dia sengaja ngeyel-ngeyel terus (membantah-bantah dengan
ngotot terus) sambil berdiri ketika pertanyaannya saya jawab, diatur moderator
tetap saja ngeyel. Saya tahu, sebagaiamana kebiasaan kasus ngamuknya
LDII di beberapa tempat ketika saya membedah buku, ada yang sengaja berbicara
sambil berdiri dan ngeyel-ngeyel (membantah-bantah) itu hanya trik untuk
mengomando teman-temannya untuk segera berdiri dan membuat kerusuhan. Itu
seperti yang terjadi di Masjid Al-Hurriyyah Kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) Dermaga Bogor, Ahad 29/ 9
2002M/ 22 Rajab 1423H. Juga seperti yang terjadi di Masjid Darussalam
Kompleks Pertamina Prabumulih Sumatera Selatan, Ahad 08 Juni 2003, walau
penyelenggaranya Walikota Prabumulih dan
Dewan Dakwah Islam (DDI) Prabumulih.
LDII sangat
gencar untuk menghalangi acara bedah buku Aliran dan Paham Sesat di
Indonesia, sampai-sampai mereka berupaya keras untuk menggagalkan ketika
akan diadakan di Purwakarta Jawa Barat waktu Megawati masih jadi presiden, kata
panitia setempat waktu itu. Pertama diundur, setelah diundur lalu digagalkan
pula tengah malam sebelum acara besuknya. Maka panitia tidak sempat mengumumkan
di tengah malam itu, akibatnya jama’ah berdatangan siang harinya, lalu
dibubarkan.
Itu peristiwa
di Purwakarta beberapa waktu lalu. LDII tampak masih menghadang saya, karena
buku itu kini di tambah lagi dengan adanya VCD berjudul Meluruskan
Penyimpangan Islam Jama’ah (LDII).
Kembali
kasus di Ciracas, dengan adanya “aba-aba” dengan cara ngeyel-ngeyel
sambil berdiri lalu diikuti ratusan orang yang berdiri dan berteriak tak keruan
seperti itu maka saya langsung meninggalkan tempat bicara dan menuju keluar
lewat pintu mihrab. Namun di luar pintu sudah ada ratusan orang yang bermuka
sangar dan tampak mengepalkan tangan dan mau menghantam saya. Maka saya mundur
lagi dan pintu mihrab dikunci. Mereka memukul-mukul pintu kaca sambil
berteriak-teriak tak keruan. Penjaga pintu, Rizki, dipukuli. Kaum ibu yang
semuanya berada di lantai dua (atas) kedengaran menangis. Ustadz Syarif tampak
meringis-ringis karena kakinya terkena pecahan gelas yang dilemprakan ke arah
saya namun membentur pintu kaca itu. Suara teriakan tak reda-reda.
Alhamdulillah, Alloh menyelamatkan saya dari segala amukan mereka.
Konsentrasi
mereka tampaknya pada tugas masing-masing untuk kekacauan itu. Hingga yang
“bertugas” memukuli panitia pun mengakibatkan beberapa orang panitia luka,
yaitu Irfan, Riki, Rizki, dan Didi. Didi ini menurut panitia, cukup parah, karena
yang dipukul hidungnya.
Kronologi
kejadian
Pukul 09.25 saya datang di Masjid Nurul Ikhlas,
jama’ah sudah penuh sampai membludak di halaman. Saya sholat tahiyyatal masjid
dua roka’at di imaman. Lalu dipersilakan membedah buku yang saya tulis, Aliran
dan Paham Sesat di Indonesia terbitan Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2002.
Saya lihat jama’ah tenang. Wajah-wajah sangar tidak terlihat di depan saya.
Sound system cukup bagus. Di samping saya seorang moderator, dan sekitar saya
ada panitia. Ustadz Syarif Lubis selaku panitia telah berbicara sejak sebelum
saya datang.
Uraian
saya mulai dengan menyoroti cara pemahaman model liberal yang mengikuti Barat,
dalam memahami Islam tidak merujuk kepada dalil tetapi kepada fenomena sosial
atau gejala masyarakat atau pemikiran-pemikiran yang ada. Karena model barat
itu memandang bahwa agama itu hanyalah fenomena social. Hingga modelnya hanya
mengklasifikasikan atau memilah-milah apa yang terjadi di masyarakat, misalnya
penelitian Clifford Geertz orang Belanda terhadap masyarakat di Mojokuto Jawa
Timur, hanya memilah-milah: Orang Islam Abangan partainya PKI (Partai Komunis
Indonesia), Orang Islam Priyayi partainya PNI (Partai Nasional Indonesia) dan
Orang Islam santri partainya Masyumi atau NU. Hanya sampai di situ. Tidak ada
urusan dengan mendekatkan kepada dalil di Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Hadits
Nabi saw. Dari ketiga kelompok itu mana yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, tidak dibicarakan. Karena menurut sosiologi agama model Barat, bahwa
agama itu hanya gejala social.
Metode
itu kini dipakai dalam pengajaran di perguruan tinggi Islam di Indonesia, yaitu
IAIN, UIN, STAIN, STAIS, bahkan Fakultas Agama Islam di perguruan tinggi umum
se-Indonesia. Dalam mata kuliah MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) berupa SPI
(Sejarah Pemikiran Islam) dan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam). Ketika membahas
sekte-sekte atau aliran-aliran dalam mata kuliah SPI, maka hanya disebut ini
aliran Ahlus Sunnah cirinya begini, Mu’tazilah, Syi’ah, sampai Ahmadiyah yang
mengangkat nabi baru, Mirza Ghulam Ahmad, sesudah Nabi Muhammad saw pun
dianggap sah-sah saja, boleh-boleh saja. Semuanya dianggap sama saja, hanya
dipilah-pilah, dan tidak dirujukkan kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Akibatnya, semuanya dianggap sah-saha saja, sampai yang jelas-jelas mengangkat
nabi palsu pun dianggap tidak sesat. Maka tidak mengherankan, Azzumardi Azra
rector UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta dalam kasus fatwa MUI (Majelis
Ulama Indonesia) 1980 dan 2005 bahwa Ahmadiyah itu di luar Islam, sesat menyesatkan,
dan pengikutnya murtad alias keluar dari Islam; ternyata Azra menghadapi fatwa
MUI dan bahkan membela Ahmadiyah. Itulah bukti pendidikan dan pemahaman Islam
yang salah. Mestinya makin terdidik makin tahu mana yang benar dan mana yang
salah serta perbedaan-perbedaannya, namun pendidikan Islam di Indonesia justru
sebaliknya, makin tidak tahu mana yang benar.
Orang-orang
LDII tampak tidak ada yang tegang, lebih-lebih ketika saya kemukakan ungkapan
Abdullah bin Mubarak, Al-isnadu minad dien, laulal isnaad laqoola man syaa-a
ma syaa-a. Pertalian riwayat itu termasuk bagian dari agama, seandainya
tidak ada pertalian riwayat maka pasti orang akan berkata semaunya. (dalil ini
sering dijadikan hujjah dalam ajaran Nurhasan Ubaidah, hingga dia anggap Islam
yang sah hanya yang mengikuti dia, karena dia anggap hanya dia lah yang punya
sanad, pertalian riwayat. Padahal, secara ilmu, kalau hadits sudah ditulis
perowi, maka tidak perlu sanad lagi untuk generasi setelah perowi. Karena sanad
itu hanya dari Nabi saw sampai kepada perowi itu ). Ungkapan saya tentang sanad
itu untuk menyoroti pengajaran SKI di IAIN, STAIN, ATAIS dll yang tanpa sanad,
hingga yang terjadi, mereka biasa mengecam para sahabat Nabi saw, misalnya Abu
Bakar ra dikatakan tidak demokratis, Utsman ra itu nepotisme dan sebagainya.
Ini bukannya pengajaran Islam yang Islami. Dan lewat MKDU itulah pembentukan
pemikiran yang mengarah kepada pluralisme agama (menyamakan semua agama), maka
saya tulis buku Ada Pemurtadan di IAIN yaitu dari aqidah Tauhid
dialihkan kepada keyakinan pluralisme agama, menyamakan semua agama. Hingga Pak
Dr Roem Rawi dosen tafsir Pasca Sarjana IAIN Surabaya mengeluh ketika membedah
buku saya, Ada Pemurtadan di IAIN, bahwa dia memang mengajar tafsir di
IAIN, tapi pemikiran mahasiswa itu sudah dirusak oleh pikiran-pikiran model
Barat yang dimasukkan ke kurikulum IAIN
oleh Dr Harun Nasiution.
Perbandingan kesesatan Ahmadiyah dan LDII
Jama’ah
tampak tenang mendengarkan. Lalu saya uraikan tentang kesesatan Ahmadiyah dan
faham yang dibawa Nur Hasan Ubaidah. Saya tidak menyebut-nyebut LDII, hanya
menunjukkan buku terbitan LPPI berjudul Akar Kesesatan LDII dan Tipuannya
Triliunan Rupiah. Saya kemukakan, duit 11 triliun itu kalau ratusan ribu
yang merah itu ditumpuk, kata Pak Amin Djamaluddin ketua LPPI, maka tingginya
setinggi Tugu Monas di Jakarta.
Sebelum
membandingkan Ahmadiyah dengan ajaran Nur Hasan Ubaidah, saya kemukakan,
kesesatan itu sudah diperingatkan oleh Nabi saw dengan hadistnya:
إِيَّاكُمْ
وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ.
(أخرجه أحمد والنسائي وابن ماجه وغيرهم إسناده صحيح ورجاله ثقات)
“ Jauhilah olehmu sekalian sikap melampaui batas (di dalam agama). Karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum
kamu sekalian hanyalah karena ghuluw/ melampaui batas dalam agama. (HR Ahmad,
An-Nasai, Ibnu Majah dan lainnya, sanadnya shahih, dan rijalnya kuat).
Contoh
melampaui batas, dalam Islam ini kalau seseorang sudah mengikuti Al-Qur’an dan
As-Sunnah, maka Islamnya sah. Tetapi ada golongan-golongan tertentu yang
melampaui batas, mereka mensyaratkan; Islamnya baru sah kalau mengangkat nabi
baru lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Yaitu Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908M) di
India. Itulah faham Ahmadiyah. Padahal Islam tidak mensyaratkan itu. Bahkan
dalam Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw itu nabi terakhir, khataman nabiyyin.
مَا
كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ
وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا(40)
Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (QS Al-Ahzaab: 40).
Dalam Hadits ditegaskan, tidak
ada nabi setelah Nabi Muhammad saw:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الرسالة والنبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي ولا
نبي.(رواه أحمد)
Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada rasul
sesudahku, dan tidak ada nabi. (HR Ahmad).
Dengan mengangkat nabi baru lagi dan
mensyaratkan Islamnya baru sah kalau ikut nabi baru sesudah nabi Muhammad saw
itu maka berarti melampaui batas, sesat, dan rusak agamanya. Sampai-sampai
mereka tidak mau makmum kepada selain golongannya dan tidak boleh nikah dengan
selain golongannya.
Begitu
juga ajaran Nur hasan Ubaidah (kini namanya LDII) mereka mensyaratkan, Islamnya
baru sah kalau ikut golongan mereka, beramir kepada amir mereka, manqul kepada
amir mereka (Al-Qur’an dan Hadits yang sah diamalkan hanya yang keluar dari
mulut amir mereka dan guru-guru yang ditugaskannya, akibatnya, selain golongan
mereka tidak sah keislamannya), taat kepada amir mereka, dan berbai’at kepada
amir mereka. Maka orang selain golongan mereka dianggap Islamnya tidak sah,
calon-calon ahli neraka selama-lamanya, dan seburuk-buruk manusia. Ini namanya
melampaui batas, ghuluw, mengadakan syarat baru yang tidak disyaratkan dalam
Islam. Hingga akibatnya, mereka tidak boleh shalat makmum kepada selain
golongan mereka, dan juga dalam hal nikah.
Itulah
contoh-contoh aliran sesat yang ghuluw, melampaui batas, ekstrim sangat ketat,
menganggap yang Islamnya sah hanya golongan mereka. Sebaliknya, ada ekstrim
jenis lain, yaitu kebalikan dari ekstrim sangat ketat yaitu ekstrim sangat
longgar. Fahamnya berupa, mau beragama Islam ataupun Kristen, Hindu, Budha,
Sinto dan lainnya; maka sama saja, masuk surga semua, menuju keselamatan semua,
dan hanya beda teknis. Itulah faham pluralisme Agama yang disandang oleh JIL
(Jaringan Islam Liberal), Paramadina, sebagian orang IAIN dan sebagainya.
Secara
faham, yang ekstrim sangat ketat itu bertentangan secara diameteral dengan eksrim yang sangat longgar. Ahmadiyah
bertentangan dengan liberal pluralis. Juga LDII ajaran Nurhasan Ubaidah sengat
bertentangan dengan liberal plurails. Tetapi ketika mereka berhadapan dengan
Islam, maka Ahmadiyah dibela oleh orang-orang liberal pluralis. Contohnya dalam
kasus fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah, maka orang-orang liberal pluralis
seperti Azzumardi Azra rector UIN Jakarta, Gus Dur tokoh NU, Masdar F Mas’udi
dari NU, Ulil Abshar Abdalla dari JIL, mereka membela Ahmadiyah dan menghadapi
fatwa MUI. Bahkan mereka berkonferensi pers bersama orang-orang kafir untuk
membela Ahmadiyah dan menentang fatwa MUI.
Demikian
pula LDII yang bertentangan dengan liberal plurasil sebenarnya sangat
bertentangan. Tetapi justru kerjasama, contohnya LDII kerjasama dengan fakultas
di IAIN Jakarta yang dekannya orang pluralis, Dr Yunan Yusuf, dalam bidang apa
yang mereka sebut dakwah beberapa waktu lalu. Memang sesama yang sesat, walau
hakekatnya bertentangan, namun justru kerjasama.
Dalam
kenyataan lain, dapat digambarkan segitiga: Islam berada di atas, liberal
pluralis ada di segi bawah kiri, agama-agama ada di segi bawah kanan, misalnya.
Liberal pluralis adalah bertentangan dengan Islam, dan juga bertentangan dengan
agama-agama (selain Islam). Tetapi ketika menghadapi atau bahkan melawan Islam,
maka orang liberal pluralis ini bekerjasama dengan agama-agama selain Islam,
bahkan didanai orang kafir. Itulah.
Mencoba interupsi
Ketika
saya kembali mau membandingkan antara kesesatan Ahmadiyah dengan kesesatan
ajaran Nur Hasan Ubaidah, Sulardi yang kemudian diketahui sebagai orang dari
LDII dan ngeyel-ngeyel yang diikuti massanya dengan berdiri dan
berteriak-teriak lalu ribut dan mengamuk itu pada tahap awal baru mencoba
menginterupsi. Dia di barisan depan, menyelak uraian saya, agar tidak diulangi
lagi (ke pembicaraan kesesatan Ahmadiyah dan kesesatan ajaran Nur Hasan
Ubaidah). Saya katakan, ada rangkaian lanjutan yang perlu dikemukakan. Suasana
masih tenang.
Saya
kemukakan bukti dengan mengangkat kitab suci Ahmadiyah Tadzkirah setebal 840
halaman lebih (kitab ini kemudian dicuri pula bersama buku-buku dan bahan-bahan
lain oleh perusuh ketika saya menyelamatkan diri dari amukan mereka), Mirza
Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan wahyu untuk menikahi wanita. Wahyu itu untuk
mengancam orang tua wanita, namun tetap tidak mempan.
Berbeda
dengan Nur hasan Ubaidah, walau sama-sama untuk mendapatkan wanita—Nurhasan
tidak usah mengaku mendapatkan wahyu, tetapi cukup bermodal menekankan taat
amir. Dalam teks CAI (Cinta Alam
Indonesia, untuk muda-mudi LDII) semacam jamboree nasional pramuka, teksnya
LPPI punya juga, dikemukakan, ada 3 pemuda membawa satu wanita cantik kepada
Amir. Lalu Amir bertanya:
Ini jama’ah
semua kan?
Nggih (Ya).
Tunduk?
Nggih.
Taat?
Nggih?
Ridho?
Nggih.
Nah, perempuan
cantik ini kalau saya kasihkan A, maka B dan C tentu marah. Kalau saya kasihkah
B, maka A dan C marah. Dan kalau saya kasihkan C maka A dan B marah. Maka
perempuan cantik ini untuk saya (Amir) saja.
Kemudian saya
kemukakan bahwa Nur Hasan Ubaidah itu. kata Pak Hasyim Rifa’I, seorang yang
telah mengikuti pengajian Nur Hasan selama 17 tahun, telah menceraikan
perempuan yang jumlahnya tidak dapat dihitung lagi. Ini di dalam hadits
termasuk dzawwaqiin (tukang cicip-cicip) yang dilaknat oleh Allah. Yaitu
menikahi kemudian dicerai, ganti nikahi yang lain lagi, dicerai lagi dan
seterusnya. Lha Amir kok yang lakonnya dilaknat Allah seperti itu. Bahkan
mengaku bahwa yang Islamnya sah itu hanya yang ikut dia. Coba dipikir!
Di samping
itu, saya berwawancara dengan orang-orang yang dulu ikut Nur Hasan Ubaidah.
Mereka ditarik saham, katanya untuk buat pabrik tenun- tahun 1960-an, sebesar
masing-masing orang Rp10.000 seharga satu sapi atau kerbau. Ternyata
ditunggu-tunggu pabrik tenunnya tak ada, sedang duit saham pun tak boleh
ditanyakan. Kalau ditanyakan berarti tidak taat Amir, maka akan masuk neraka
selama-lamanya. Agar tidak masuk neraka selama-lamanya maka harus membuat
pernyataan taubat dan membayar lagi. Ini bagaimana, menanyakan duitnya sendiri
malah akan masuk neraka dan harus menebus dengan duit lagi. Ya memang di antara
tujuannya, aliran-aliran sesat itu adalah duit dan seks, sampai ada yang
mengaku mendapatkan wahyu, dan ada yang dengan menekankan taat Amir. Padahal di
akherat, kalau seseorang menipu berupa unta maka unta itu akan dikalungkan
padanya, juga sapi, dan kalau tanah… betapa beratnya ketika dikalungkan.
Bedah buku ini
berlangsung tenang dan khidmat. Dari jam 9.30 sampai jam 11.05. lalu dibuka
sesi Tanya jawab. Tiga orang mengajukan pertanyaan, dua lelaki dan satu
perempuan. Pertama, Pak Zainuddin: menanyakan, bagaimana cara menghdapi aliran
sesat. Dan apakah benar Jama’ah Tabligh itu sempalan dari Ahmadiyah. Penanya
kedua, Sulardi mengatakan, ini semua hanya pendapat, jadi boleh diiukuti boleh
tidak. Dan apakah boleh menjelekkan orang. Pertanyaan ketiga dari ibu-ibu di
lanbtai atas, IAIN kenapa sudah kemasukan liberal, dan kenapa Ulil Abshar
Abdalla jadi liberal padahal dari kalangan organisasi ulama.
Pertanyaan
pertama, saya jawab, untuk menghadapi aliran sesat maka sesuai dengan hadits
shohih, siapa di antara kalian melihat kemunkaran/ keburukan maka hendaknya
diubah dengan tangannya, kalau tak dapat maka dengan lisannya, dan kalau tak
dapat maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah lemah iman.
Adapun Jama’ah Tabligh maka bukan sempalan Ahmadiyah, tetapi kelompok tasawuf
yang biasanya mengedepankan fadhoilul ‘amal, yang dakwahnya sering pakai
tamsil-tamsil, ibarat-ibarat, yang hal itu tidak jadi landasan agama.
Lalu saya jawab
perkataan Sulardi penanya kedua, bahwa memang yang saya kemukakan itu pendapat,
tetapi berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau divonis bahwa ini hanya
pendapat, boleh diikuti boleh tidak, ini … (langsung Sulardi bersuara
menolak-nolak jawaban saya, dengan suara keras. Saya jawab, saya sudah tahu apa
yang Anda tanyakan, jadi akan saya jawab. –Saya tahu, ungkapan dia “ini hanya
pendapat, jadi boleh diikuti boleh tidak”, itu maksudnya adalah mementahkan
semua yang telah saya kemukakan. Jadi harus saya jelaskan. tetapi Sulardi tetap
ngotot membantah-bantah dengan ngeyel sambil berdiri. Saya tahu dia
sebenarnya mengerti bahwa jawaban saya belum tuntas dan mestinya biar saja saya
melanjutkan, tetapi dia sebagaimana di mana-mana ulah LDII membuat kerusuhan kalau
ada bedah buku saya memang caranya seperti itu. Ada yang bersuara keras-keras
sambil berdiri seperti itu lalu diikuti rombongannya yang berada di dalam
masjid dan di luar). Mereka mulai berdiri berteriak-teriak dan merangsek ke
depan. Saya langsung mundur, menuju ke luar lewat mihrab, namun di luar tampak
ratusan orang bermuka sangar, dan di depan pintu mereka sudah menghadang dengan
tangan mengepal siap menghantam saya. Maka saya mundur dan berada di mihrab,
lantas pintu dikunci. Pyar… gelas dilemparkan ke saya, alhamdulillah tidak
kena, membentur pintu kaca, pecah dan mengenai kaki Ustadz Syarif Lubis hingga
berdarah.
Suara riuh
rendah amat gaduh di dalam dan luar masjid. Ibu-ibu di lantai atas kedengaran
menangis. Suara-suara teriakan di sana-sini tak keruan. Ketegangan dari jam
11.25 sampai waktu dzuhur, adzan dan sholat berjama’ah. Para perusuh yang
memang tidak doyan sholat berjama’ah bersama Muslimin Ahlus Sunnah, masih
berada di luar. Jumlahnya sekitar 200
orang lebih, menurut adik saya yang kirim sms dari luar masjid.
Ketegangan
masih berlangsung setengah jam lagi setelah shalat dzuhur. Baru kemudian datang
satuan polisi dengan dua mobil sedan, menjemput saya dan dua panitia, serta dua
penjual buku beserta dagangannya. Kami diselamatkan dari amukan massa itu,
dibawa ke Polsek Pasar rebo/ Ciracas Jakarta Timur, berjarak sekitar dua
kilometer.
Sampai di
Polsek, kami menunggu giliran untuk dimintai keterangan. Ada telefon dari Radio
Elshinta di Jakarta ke saya, menanyakan kronologis kejadian. Saya jelaskan, dan
disiarkan langsung mulai pukul 13.05, radio berita yang punya cabang di
berbagai kota. Jarak beberapa menit, teman dari Majalah Gatra menelepon pula,
mendengarkan radio itu, katanya. Juga Ustadz dari Bekasi. Bahkan tahu-tahu ada
sms dari Jeddah menanyakan kejadian itu. Sebentar lagi ada sms dari teman bahwa
dia ditanya saudaranya di Riyadh tentang kasus ini.
Saya dan
panitia serta beberapa polisi sholat di masjid sebelah kantor Polsi.
Orang-orang LDII sedang bergerombol di depan kami berada tadi. Kami melewati
depan mereka. Sehabis sholat, kami dipersilahkan naik ke lantai dua, untuk
dimintai keterangan kronologis peristiwa. Saya, Ustadz Syarif, dan Pak Slamet
selaku panitia dimintai keterangan. Kami jawab satu persatu. Lalu diminta ke
bawah, ke Kapolsek AKP Iskandar. Masuklah seorang tua berkulit hitam bermata
agak sipit, berperawakan kecil tidak tinggi. Dia mengaku bernama Nur Salim,
ketua LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), didampingi seorang berbadan tinggi
besar, ke mana-mana pakai HT, mengaku Setkom, saya tak tahu apa itu arti
Setkom. Nur salim yang mengaku ketua LDII tanpa menjelaskan ketua dari mana ini
meminta saya agar minta maaf dari menyatakan kesesatan-kesesatan seperti tadi.
“Masa Kalau LDII itu sesat kok saya masuki,” katanya. Kalau saya meminta maaf
di depan jama’ahnya yang berada di halaman Polsek ini, maka dia berjanji akan
bubar dari kerumunan itu. Lalu Pak Kapolsek meminta agar Nur Salim memanggil
kelompoknya yang bergerombol di depan untuk masuk ke ruang Kapolsek. Sekitar 20
orang di bawah pimpinan ketua LDII Nur Salim ini masuk ruangan, pas waktu mau
adzan maghrib. Lalu Pak Slamet, panitia yang di samping saya, berdiri dan
berkata: Kami selaku panitia telah berusaha mengamankan jalannya acara bedah
buku tadi, namun ternyata terjadi kerusuhan dan tidak dapat kami tanggulangi,
maka kami minta maaf…
Mendengar
ungkapan Pak Slamet itu lantas mereka menyalami Pak Slamet dan saya, lalu
mereka keluar dari ruangan satu-persatu. Kemudian wartawan berdatangan
mengerubuti saya dalam ruangan kapolsek itu, mereka menanyakan kronologis
kejadian.
Demikianlah,
pertolongan Allah swt. Kehadiran mereka di Polsek itu justru menunjukkan jati
diri mereka bahwa mereka adalah orang-orang LDII. Tanpa pengakuan Nur Salim,
bahwa dia ketua LDII, maka sulit dikatakan bahwa perusuh itu dari LDII. Di
samping itu, justru menjadi bukti bahwa LDII itu benar-benar aliran sesat
kelanjutan atau ganti nama dari Islam Jama’ah yang didirikan oleh Nur Hasan
Ubaidah. Mereka kadang mengelak, tetapi dengan bukti-bukti ini malah justru
jelas LDII adalah nama lain dari Islam Jama’ah yang telah dilarang Kejaksaan
Agung tahun 1971. Mereka dapat dibaca,
bahwa hanya mengikuti perintah atasannya. Sehingga siapa yang meminta maaf tadi, dan isinya apa, tidak diperhatikan.
Atas peristiwa
itu, Ridwan Saidi seorang terkemuka di Betawi Jakarta berkomentar, kalau LDII
mau menuntut ke pangadilan, maka cukup kita pegangi, bahwa buku yang dibedah
bukan buku terlarang, dan pegangi saja buku LPPI yang menjelaskan sesatnya
LDII. Malahan umat akan terbuka jelas apabila pengadilan digelar.
Lain lagi
komentar KH Syukur Ya’qub ketika berada di Bimantara Kebon Sirih. Dia bilang ke
saya, kalau mereka macam-macam lagi, kami punya organisasi Betawi yang mampu
menghadapinya, insya Allah.
Adapun
barang-barang saya yang mereka curi, berupa tas besar warna coklat, KTP, flash disk, buku-buku dan lainnya, kalau
justru mereka maksudkan untuk mencelakakan saya, maka saya sebagai orang yang
didholimi, berdo’a kepada Allah swt, semoga kecelakaan tidak menimpa saya,
keluarga saya, panitia, dan umat Islam pada umumnya. Tetapi kalau kecelakaan
akan Allah timpakan semoga kepada mereka sesuai dengan kadar perbuatan mereka
masing-masing. Allah lah Maha Adil dalam segala urusan.
Sehari
sebelumnya, 17/ 12 2005, saya diminta bicara pula tentang aliran sesat dan LDII
di Masjid Perumahan Kunciran Emas di Tangerang Banten pimpinan Pak Daud Afifi.
Di sana dekat dengan lokasi LDII, namun dalam acara ini disiapkan 100 tenaga
laskar Banten berseragam hitam. Maka pembahasan berlangsung aman. Bahkan ada
jama’ah yang terus terang dalam dialog interaktif, bahwa apa yang Pak Hartono
Ahmad Jaiz sampaikan itu benar. “Karena saya mengalami langsung,” kata seorang
jama’ah ini. Dia mengaku, dulu sekolah di lingkungan Pesantren Burengan Kediri
pusat LDII. Dia hafal betul bahwa santri-santri LDII di sana biasa jajan di
warung seberang pesantren milik orang bukan LDII. Santri-santri itu biasa makan
tempe 10 biji tapi hanya ngaku tujuh. “Makan tempe sepuluh ngaku tujuh itu sudah
biasa, dan mereka anggap halal saja, karena pemiliknya bukan orang LDII,”
ujarnya.
Jakarta, Rabu
21 Desember 2005M/ 19 Dzulqo’dah 1426H
(Hartono
Ahmad Jaiz).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar