Kamis, 09 April 2015

Angka Aneh Impor Minyak Mentah


ANGKA ANEH IMPORT CRUDE OIL
oleh HK 

Indonesia biasa mengimport crude oil dan turunannya dari 109 Negara. Alasan Indonesia mengimport minyak mentah dari banyak negara dikarenakan bisa mengakomudir banyak kepentingan. Oleh karena itu, jangan heran jika harganya lebih tinggi. 

Tercatat pada tahun 2003, nilai import Indonesia adalah sebesar USD 7.610.987.000 dan kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2008 menjadi USD 39.552.989.000. Kemudian naik lagi pada tahun 2013 menjadi USD 45.299.391.000. Akan tetapi pada tahun 2009 terjadi penurunan import yang cukup signifikan dikarenakan dampak krisis moneter pada tahun 2008-2009.  

Kenaikan bukan hanya pada nilai import saja, akan tetapi juga terjadi pada volume import. Akan tetapi, pada negara asal import crude oil, saya lihat ada banyak kejanggalan-kejanggalan. Misalnya import terbesar crude oil adalah dari Singapura. Padahal kita tahu Singapura bukan penghasil minyak. Malaysia juga masih mengimport minyak dari luar negeri untuk kebutuhan dalam negerinya.

PERTAMINA, Perusahaan Minyak Negara mempunyai perusahaan pembeli crude oil, solar, pertamax dan minyak untuk pesawat terbang yang berpusat di Singapura yang bernama PETRAL (Pertamina Energy Trading Limited). Pada saat ini, CEO PETRAL adalah Muhammad Reza Chalid Abdad. Semua minyak dan gas yang dibeli PETRAL, tercatat sebagai import dari Singapura dan Malaysia. Al-hasil, import crude oil dari Iran selalu tercatat kecil, karena tercatat sebagai IMPORT dari Singapura – Malaysia.

Saya melihat bahwa PETRAL menjadi penghalang untuk Indonesia membuat KILANG BARU. Karena andai saja kerjasama Saudi Aramco dan Pertamina untuk mendirikan REFENERY (KILANG MINYAK) di Lamongan terlaksana, maka akan dihasilkan sekitar 300.000 (tiga ratus ribu barel/hari) dan PETRAL akan berkurang peranannya. Juga jika kapasitas Refenery lebih besar, maka PETRAL akan tidak diperlukan sama sekali.
Banyak pihak yang MEMPUNYAI KEPENTINGAN UNTUK MEMPERTAHANKAN PETRAL. Tentunya kepentingan yang tidak sehat.

MASALAH PENGHILANGAN MINYAK (REFENERY)

Pada tahun 1990, Presiden Soeharto berpendapat bahwa kenaikan harga minyak dunia (crude oil) itu laksana buah si malakama. Kita akan mendapatkan uang dari penjualan crude oil, sekaligus merupakan tekanan terhadap neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Presiden Soeharto punya gagasan untuk mengundang negara-negara Timur Tengah penghasil minyak bumi terbesar (Arab Saudi ) untuk membuat Refeneri secara bertahap, sampai 1 juta barel per hari. Pihak Refeneri diijinkan untuk menjual minyak di pompa bensin dengan bekerja sama dengan PERTAMINA, dan diijinkan pula untuk menjual minyak ke luar Indonesia. Dengan cara seperti ini, Indonesia tidak perlu menyediakan anggaran belanja untuk minyak. Akan tetapi, gagasan ini tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada UU yang memperbolehkan pihak asing untuk menjual minyak di pompa bensin. Baru saat ini, UU itu ada.

Rintisan Pembuatan Refeneri dengan Arab Saudi
1.    Di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan).
Informasi ini didapatkan dari Dr. Riswari, seorang konsultan pembangunan Refeneri di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan). Pihak Indonesia diwakili oleh Bupati Pulau Selayar dan pihak Saudi diwakili oleh Kepala Kamar Dagang Saudi. Proyek ini memerlukan dana sebesar Rp 100 trilyun. Pemegang saham, 85% pihak Saudi dan 15% pihak Indonesia. Pihak Saudi menghendaki bukan hanya Refeneri, tapi juga dengan Petro Chemical Industry. Akan tetapi, pihak Indonesia tidak bisa menyediakan dana sebesar 15 trilyun. Menurut Riswari, perundingan ini akan mudah mencapai persetujuan jika perundingan ini berlangsung dengan Saudi Aramco dan bukan dengan orang yang mengaku mewakili Saudi Aramco. Kejadian ini terjadi antara tahun 2002 s.d. 2005.
2.    Di Lamongan Jawa Timur.
Pada tahun 2012 s.d. 2014 telah terjadi persetujuan MOU dengan pihak SABIC Singapura yang mewakili ASEAN SAUDI ARAMCO. Besarnya Refeneri sebesar 300.000 barel/hari. Minyak atau crude oil didatangkan dari Saudi Arabia. Akan tetapi, gagasan ini tidak terlaksana karena tidak ada persetujuan dari Presiden. PETRAL, Reza Chalid Abdad dengan lobinya dan jaringan penguasaan import minyak yang telah menggagalkan proyek besar ini. Padahal, pihak PERTAMINA telah bersedia untuk menyediakan lahan seluas 600 hektar, kebutuhan air untuk Refeneri dan tempat untuk bersandar kapal tanker Saudi Arabia. Informasi yang lebih mendalam tentang hal ini sedang diusahakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar