Kamis, 07 Mei 2015

BERTAWASUL KEPADA MAYIT, BOLEHKAH?



BERTAWASUL KEPADA MAYIT, BOLEHKAH?
Oleh LPPI Jakarta

 Di Indonesia ada sebuah penomena, “IKUTILAH ZIARAH MAKAM WALI FULAN" atau “ZIARAH MAKAM SYAIKH FULAN,” dll.
Sayangnya, sebagian orang yang berziarah, justru selain mendoakan mayit yang dia ziarahi, ternyata ada juga yang justru meminta-minta kepada ahli kubur. Misalnya minta didoakan agar sukses, agar dagangnya lancar, agar enteng jodoh dll. Di dalam tulisan ini akan dibahas tentang bertawasul (berdoa memakai perantara) kepada orang yang sudah meninggal dunia
Pembahasan ke-1 :
  1. Hukum meminta didoakan (bertawasul) kepada orang yang sudah meninggal.
Apakah ada dalil dari Al-Qur`an maupun dari As-Sunnah agar kita (orang-orang yang masih hidup) meminta didoakan (bertawasul) kepada orang-orang yang sudah mati? Yang ada perintahnya justru kita umat manusia diperintahkan untuk berdoa kepada Rabb manusia semuanya yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman,
        ﭡﭢ                     
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina,” (QS Ghafir/Al-Mu`min [40]: 60).
Bertawasul syar’ie : (1) dengan al-asma al-husna/QS Al-A’raf [07]: 180 dan (2) dengan amal shaleh/QS Fathir [35]; 10.

Tidak ada dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang membolehkan kita meminta didoakan kepada orang yang sudah meninggal dunia. Justru sikap kita kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah sebagai berikut :
a.      Memandikannya.
b.     Menyolatinya.      (berisi doa-doa permohonan ampunan untuk si mayit).
c.      Menguburkannya. (setelah dikuburkan, disunnahkan untuk mendoakan simayit. “Adalah Rasulullah SAW apabila beliau telah selesai menguburkan mayit, beliau berdiri dan bersabda, “mintakanlah ampunan oleh kalian kepada Allah dan mintakanlah ketetapan hatinya, sebab dia sekarang akan ditanya,” (HR Abu Dawud 3/315 dan Al-Hakim 1/370 dari Utsman bin Affan).
Doanya,
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اَللَّهُمَّ ثَبِّتْهُ.
“Wahai Allah, ampunilah (dosa-dosa) dia dan wahai Allah teguhkanlah (iman) dia.”
                     ﭷﭸ      ﭻﭼ       ﭿ   

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki,” (QS Ibrahim [14]: 27).

d.     Mendoakannya.    (baik ketika ziarah ke kuburannya atau di tempat mana saja).


Karena orang yang sudah meninggal dunia tidak bisa mendengar doa-doa yang dipanjatkan kepada dirinya. Allah SWT berfirman,
                        ﮘﮙ         ﮝﮞ               
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu, dan sekiranya mereka mendengar, mereka juga tidak memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh (Allah) Yang Mahateliti,” (QS Fathir [35]: 14).

            ﭤﭥ             ﭪﭫ                 
”dan tidak (pula) sama orang yang hidup dengan orang yang mati. Sungguh, Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang Dia kehendaki dan engkau (Muhammad) tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar,” (QS Fathir [35]: 22).
                           
”Sungguh, engkau tidak dapat menjadikan orang yang mati dapat mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling ke belakang,”  (QS An-Naml [27]: 80).
                         
“Maka sungguh, engkau tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka berpaling ke belakang,” (QS Ar-Rum [30]: 52).
Juga perilaku bertawasul kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah meniru perbuatan orang-orang musyrik. Allah SWT berfirman,
       ﮉﮊ                                                 ﮟﮠ                           
”Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar,” (QS Az-Zumar [39]: 3)[1]
Juga alasan orang yang sudah wafat maqomnya (kedudukannya) adalah dekat dengan Allah SWT adalah alasan tanpa dasar. Demikian pula halnya mereka yang membuat perumpamaan bahwa jika ada seseorang yang ingin bertemu dengan seorang tokoh seperti gubernur atau presiden, maka tokoh-tokoh tersebut tidak bisa langsung ditemui, tetapi harus melalui wakil-wakilnya (para perantara). Maka mereka mengatakan jika akan berdoa kepada Allah SWT, kita juga harus membuat perantara-perantara yang salah satunya adalah kepada orang-orang shaleh yang sudah wafat.
Bantahan : Allah SWT berfirman :
      ﭤﭥ                    
”Maka janganlah kamu membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah. Sungguh, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS An-Nahl [16]: 74)

Pembahasan ke-2 :
Kasus sebagian jemaah peziarah yang shalat di areal kuburan wali atau syaikh yang dikeramatkan.
  1. Hukum shalat di areal pekuburan atau shalat di dalam masjid yang ada kuburannya
Ada orang berkata, “yang mau sembahyang di makam haji Abdullah di masjid, sembahyang dulu deh…”
Ada juga yang berkata, “Ada orang yang mengatakan kepada kita sebagai orang ahli bid’ah dan musyrik karena kita shalat di masjid yang ada kuburannya. Apakah mereka belum pernah pergi ke Madinah kali, coba lihat di Masjid Nabawi, di manakah letak kuburan Nabi Muhammad s.a.w.? Di dalam Masjid Nabawi kan?”
Dia mengatakan bahwa shalat di dalam masjid yang ada kuburannya atau shalat di kuburan yang dibangun di atasnya masjid adalah boleh dan bukan haram. Mereka beralasan karena Masjid Nabawi juga di dalamnya ada kuburan, yaitu kuburan Rasulullah SAW, kuburan Abu Bakar dan kuburan Umar bin Khaththab.
Padahal shalat menghadap ke kuburan atau di masjid yang sengaja di buatkan kuburan seseorang (entah itu ustadz atau di pewaqif) adalah tidak boleh dan terlarang[2] di dalam Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan dan jangan pula kalian duduk-duduk di atasnya,” (HR Muslim dari Martsad al-Ghanawiy).

Syaikh Utsaimin pernah ditanya,
إذا قال قائل: نحن الآن واقعون في مشكلة بالنسبة لقبر الرسول صلى الله عليه وسلم الآن، فإنه في وسط المسجد، فما هو الجواب؟ قلنا : الجواب على ذلك من وجوه: 
Pernyataan :
Sekarang ini, umat Islam berada di dalam masalah besar, yaitu mengenai kuburan Rasulullah SAW yang berada di tengah-tengah Masjid Nabawi. Bagaimanakah solusinya?
Jawaban :
1.     الوجه الأول: أن المسجد لم يبن على القبر، بل بني المسجد في حياة النبي صلى الله عليه وسلم.
2.     الوجه الثاني: أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يدفن في المسجد حتى يقال: إن هذا من دفن الصالحين في المسجد، بل دفن في بيته.
3.     الوجه الثالث: أن إدخال بيوت الرسول صلى الله عليه وسلم و منها بيت عائشة مع المسجد ليس بالتفاق من الصحابة، بل بعد أن انقرض أكثرهم و لم يبق منهم إلا قليل، و ذلك عام 94 هـ تقريبا، فليس مما أجازه الصحابة أو أجمعوا عليه، مع أن بعضهم خالف في ذلك، و ممن خالف أيضا سعيد بن المسيب من التابعين، فلم يرض بهذا العمل.
4.     الوجه الرابع: أن القبر ليس في المسجد، حتى بعد إدخاله، لأنه في حجرة مستقلة عن المسجد، فليس المسجد مبنيا عليه، و لهذا جعل هذا المكان محفوظا و محوطا بثلاث جدران، و جعل الجدار في زاوية منحرفة عن القبلة، أي مثلث، و الركن في الزاوية الشمالية، بحيث لا يستقبله الإنسان إذا صلى لأنه منحرف.
فبهذا كله يزول الإشكال الذي يحتج به أهل القبور، و يقولون هذا منذ عهد التابعين إلى اليوم، و المسلمون قد أقروه و لم ينكروه، فنقول: إن الإنكار قد وجد في زمن التابعين، و ليس محل إجماع، و على فرض أنه إجماع، فقد تبين الفرق من الوجوه الأريعة التي ذكرناها.
 Pernyataan ini akan dijawab dengan empat jawaban:
  1. Masjid Nabawi tidak dibangun di atas kuburan. Justru Masjid Nabawi sudah dibangun sejak Rasulullah SAW masih hidup.
  2. Sesungguhnya ketika Rasulullah SAW wafat, beliau tidak dikuburkan di dalam masjid. Yang benar adalah Rasulullah SAW wafat dan dikuburkan di rumahnya.
  3. Dimasukkannya rumah Rasulullah SAW, yaitu kamar Aisyah RA ke dalam areal Masjid Nabawi adalah bukan atas kesepakatan para sahabat. Justru hal ini terjadi setelah para sahabat banyak yang wafat dan hanya tersisa sedikit saja dari mereka, tepatnya pada tahun 94 H. Masalah ini bukan merupakan permasalahan yang diperbolehkan oleh para sahabat atau bukan merupakan ijma para sahabat. Justru sebagian dari para sahabat tidak menyetujuinya. Bahkan ada yang menentangnya dari kalangan tabi’in, yaitu Said bin Al-Musayyib.
  4. Harus diketahui bahwa kuburan Rasulullah SAW itu tidak berada di dalam masjid, walaupun setelah rumah beliau dimasukkan ke dalam areal masjid. Karena kuburan Rasulullah SAW itu dipagari dengan tiga dinding tembok dan salah satu dinding tembok tersebut arahnya bersebrangan dengan arah kiblat/tidak mengarah ke arah kiblat. Demikian juga dinding di sisi bagian utara diserongkan dengan tujuan supaya orang yang sedang shalat tidak seolah-olah sedang menghadap ke kuburan beliau.
Dengan keempat jawaban ini, hilanglah seluruh argumentasi para ahli kubur yang mengatakan bahwa hal ini telah terjadi sejak zaman tabi’in sampai zaman sekarang ini dan kaum muslimin menyetujuinya dan tidak ada seorang pun yang menolaknya.
Maka kita pun menjawabnya : Justru penolakan atas hal ini telah terjadi sejak zaman tabi’in dan hal ini terjadi bukan atas ijma para sahabat. Kalau pun hal ini merupakan ijma para sahabat, maka keempat jawaban di atas sudah bisa menjawabnya. (Al-Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid, Syaikh Utsaimin, jilid 1 hal. 398-399).


[1] Akan tetapi terkadang Allah memperdengarkan suara orang yang masih hidup kepada mayit :
1.      Allah SWT memperdengarkan suara Rasulullah SAW kepada orang-orang kafir yang terbunuh di perang Badar, sebagai bentuk penghinaan dan penistaan untuk mereka.
إنهم الآن ليعلمون أن ما كنت أقول لهم حق.
”Sesungguhnya mereka sekarang ini mengetahui jika apa yang aku katakan (sampaikan; dakwahkan) kepada mereka adalah benar.”
Para sahabat berkata,
يا رسول الله ما تخاطب من قوم قد جيفوا.
”Wahai Rasulullah, untuk apa Anda berbicara kepada orang-orang yang sudah menjadi mayat-mayat?” Beliau SAW menjawab,
و الذي نفسي بيده ما أنتم بأسمع لما أقول منهم، و لكن لا يجيبون.
“Demi jiwaku yang ada di dalam genggaman tangan-Nya, mereka lebih jelas mendengar apa yang aku katakan daripada kalian, akan tetapi mereka tidak mampu menjawabnya.”[Hadits Riwayat Ahmad dan ini lafalnya- (I/27 : III/104, 182, 263 dan 287), Bukhari II/101 dan Nasa-i IV/110]. Lihat pembahasan ini di kitab An-Nubuwat, kitab At-Tawassul Wal Wasilah dan kitab Al-Furqan, seluruhnya karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Maka kitab-kitab tersebut cukup memadai dalam mengupas pembahasan ini. Juga lihat Tafsir Ibnu Katsir juz ke-3 hal. 409, tafsir surah Ar-Rum [30]: 52).
2.      Mayat hanya bisa mendengar suara langkah orang-orang yang mengantarnya (ketika berjalan meninggalkan kuburnya) setelah dia dikuburkan. (hanya ini saja; karena ada dalilnya).
[2] Padahal Rasulullah SAW telah bersabda ketika Ummu Salamah RA mengisahkan kisahnya ketika dia pergi ke Etiopia dimana Ummu Salamah melihat sebuah gereja yang di dalamnya dibuatkan patung-patung. Maka beliau pun bersabda,
 أُولَئِكَ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الرجل الصالح أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا و صوروا فيه تلك الصور، أولئك شرار الخلق عند الله. رواه البخاري.
"Mereka itu, jika ada orang saleh di kalangan mereka yang wafat, maka mereka membangunkan masjid di atas kuburannya dan mereka juga menggambarkan gambar-gambar di masjid tersebut, mereka itu makhluk paling jahat di sisi Allah SWT." HR Al-Bukhari

Di dalam hadits lain:
و في حديث آخر: لعنة الله على اليهود و النصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. 
"Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mana mereka suka membangun masjid di atas kuburan para nabi mereka."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar