KUTIPAN BUKU
LUBANG HITAM AGAMA
Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam
Tunggal
Karangan : SUMANTO AL-QURTUBI.
Penerbit: Rumah Kata dengan Ilham Institute - Tahun
2005
(Menghina Islam serta Kitab Suci Al Qur’an)
Oleh: M. Amin Djamluddin
1. Muktamar NU ke-13 menolak keras gagasan Islam Liberal
Asrama Haji Donohudan Boyolali,
tempat berlangsungnya muktamar NU ke-31 menjadi saksi bisu atas bangkitnya arus
konservatisme ormas islam yang berbasis masa tradisional ini. Di setiap sudut
di arena muktamar terpampang poster, spanduk, brosur dan selebaran-selebaran
yang isinya mengecam gagasan islam liberal yang dianggap membahayakan otoritas
dan otentisitas islam sebagai “agama langit”. Selama berlangsungnya muktamar,
terutama di forum masa’il diniyah (persoalan keagamaan) telah terjadi
pengadilan pemikiran terhadap islam liberal yang mereka anggap sebagai ide
sesat dan menyesatkan.
Akhirnya para kiyai NU menolak keras
gagasan islam liberal yang kebanyakan diusung kaum muda NU cultural serta
menyerukan agar struktur NU bersih dari “orang-orang NU liberal” (Sumanto
al-Qurtubi, Lubang Hitam Agama, hal.
29).
2. Kebebasan adalah Kebenaran itu Sendiri
Mereka
yang menghindari kebebasan (berpikir) karena kebebasan dianggap sebagai musuh
kebenaran dan tempat persemaian yang cocok untuk ide-ide salah dan sesat tidak
menyadari bahwa kebebasan adalah kebenaran itu sendiri. (Idem hal. 29 ).
3. Agama terseok-seok tidak bisa dijadikan pedoman hidup Manusia
Modern
Apakah doktrin-doktrin agama yang hadir ratusan Tahun silam masih up to
date dengan semangat perkembangan
zaman dan kemajuan manusia modern? Atau justru sebaliknya, terseok-seok dan
tidak layak lagi dijadikan sebagai “pedoman Hidup” manusia modern ? bagi
kalangan fanatikus agama yang mempercayai 100 % agamanya sebagai “produk Tuhan”
tentu akan membela mati-matian doktrin keagamaanya dari segala macam serbuan
diluar agama. (idem hal. 31).
4. Kaum
liberal Agama bukan Produk Tuhan 100 %
Sementara itu bagi kalangan liberal,
praktik agama tidak harus melalui huruf per huruf dari sebuah “Firman Tuhan”
kaum liberal berpendapat agama bukanlah produk tuhan 100 % tetapi ada
intervensi sejarah. (idem hal. 31).
5. Keadilan Sosial Mengalahkan Hukum Tuhan.
Bahkan, jika ada “ayat-ayat Tuhan”
yang bertabrakan dengan kemaslahatan masyarakat, harus diunggulkan kemaslahatan
dan keadilan social. (idem Hal. 31)
6. Kebebasan Harga Mati.
Oleh karena itu dalam Islam,
kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kebebasan adalah “harga mati”. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu
menyebabkan manusia memberontak pada agama dan wahyu. Ada juga yang mengira
dengan membatasi kebebasan pemikiran dan kemerdekaan akal, mereka telah
“melindungi” wahyu, menjaga firman tuhan dari corporeal duniawi yang menyesatkan. Pandangan demikian jelas
keliru dan mengada-ngada. Sebab, begitu kebebasan manusia di batasi,
dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh
manusia. (idem hal. 33).
7. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai
Orang-orang yang mengatakan bahwa
dengan memberikan kebebasan berarti menjerumuskan manusia kejurang kesesatan,
dari detik pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai
selalu takut pada kebebasan, karena itu, “kuda cebol” ini selalu mencari
majikan yang dapat menuntunya. Sesungguhnya islam tidak membutuhkan orang-orang
bebal semacam keledai. Oleh karena itu al-Qur’an berkali-kali menyentil orang
yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab“ (matsalulladziina
hummilat tauraata kamatsalil himaari yahmilul asfaara). Keledai takkan pernah mendapatkan manfaat apapun dari
barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai,
dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu pada keledai.
Ingat dan yakinlah bahwa kecemerlangan islam justru akan dimungkinkan karena
adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan otonom sehingga mampu menyingkap
(disclosing) rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. ( idem hal : 34 ).
8. Membanggakan al-Qur’an sebagai wahyu otentik hanya meremehkan
manusia ciptaan Tuhan dan merendahklan martabat Tuhan.
Uniknya (tepatnya, lucunya) meskipun
menyadari “keudikan” dan kemerosotan dunia islam, kalangan fanatikus agama
justru membangga-banggakan al-Qur’an sebagai “wahyu otentik” yang masih steril
dari intervensi manusia. Mereka berusaha sekuat tenaga membentengi huruf per
huruf dari al-Qur’an dari upaya penafsiran non-literal karena dianggap bisa
mengurangi derajat ‘keotentikan” al-Qur’an sebagai “kabar Tuhan dari langit”. Subhanallah! pandangan ini jelas tidak hanya meremehkan manusia
yang diciptakan Tuhan sebagai mahluk
berakal tetapi juga merendahkan martabat Tuhan! sebab bagaimanapun Tuhan lebih
agung ketimbang sebuah teks mati : “ Allahu akbaru minal teks”. Dan ‘keinginan’ tuhan tidak bisa ditangkap secara utuh
melalui sebuah untaian kata-kata “firman tuhan“ (kalam Allah) sekalipun.
“kalimat Tuhan” ibarat lautan luas yang tak berujung, bukan 6666 ayat dari
al-Qur’an itupun kalau jumlahnya memang sekian. Kalaupun ayat-ayat al-Qur’an
dianggap sebagai “kalam Allah’ maka itu hanya nol koma sekian persen dari
“kalimat tuhan” bukan “kalam tuhan” itu sendiri. (idem hal. 34-35)
9. Seperempat Saja Wahyu Al Qur’an yang Sesungguhnya
Situasi
yang terjadi sekarang ini justru sebaliknya : umat islam kembali pada teks,
scripture, bukan pada visi etis yang melandasi teks-teks itu karena teks
menjadi sandaran utama dalam visi keagamaan yang dominan, maka
pembaruan-pembaruan pemikiran dalam islam selalu berhadapan dengan pertanyaan wajib
yang selalu berulang-ulang dari waktu-kewaktu : pandangan anda sesuai tidak
dengan al-Qur’an dan sunnah ? mana dalilnya ? wahyu tekstual mungkin hanya
‘seperempat’ saja dari wahyu al-Qur’an yang sesungguhnya ( yang lain adalah
“wahyu implicit“ – ini setelah Ulil Abshar-Abdalla-dalam bentuk konteks
social)…
…“al-Qur’an
sebagai teks “ (al-Qur’an kan nash ) dan “ al-Qur’an sebagai wacana “
(al-Qur’an kal khithab ). Al-Qur’an adalah fenomena yang dinamis sementara
Mushaf adalah fenomena teks. (idem hal. 35-36).
10. Realitas Al Qur’an yang begitu Dinamis dan Demokratis di Bonsai dalam Bentuk Mushaf Al Imam
Al-Qur’an
merupakan fenomena yang dinamis,dialogis,debat-sanggah dan mengikuti mekanisme take and give, receive and reject. Posisi
itulah yang tidak mampu di jangkau oleh mushaf sebagai sekumpulan teks yang
mati. Kita tahu sepanjang proses pewahyuan, orang-orang islam pertama zaman itu
mengajukan berbagai macam pertanyaan kritis dan menuntut jawaban al-Qur’an.
Manusia jaman itu berinteraksi dengan sesuatu yang sacral dengan cara yang
hidup dan sehat. Artinya mereka bertanya al-Qur’an menjawab, mereka membantah
al-Qur’an menyanggah begitu seterusnya. Itu artinya al-Qur’an sangat
demokratis. Maka, ketika realitas al-Qur’an yang begitu dinamis dan demokratis
itu kemudian di “bonsai” dalam bentuk ”mushaf al-Imam”-yang banyak menimbulkan
kontroversi itu-yang terjadi adalah reduksi besar-besaran atas nilai, makna dan
wawasan al-Qur’an. (idem hal.
36).
11. Menggembor-gemborkan
al-Qur’an sebagai teks yang otentik adalah lelucon yang tidak lucu dari ummat
islam yang katanya ummat Terbaik.
Teks
tidak mampu menampung konteks. Konteks
selalu hidup dan dinamis sementara teks selalu mati dan statis. Menyadari
realitas sejarah yang demikian, umat islam bukan melakukan kritik diri bahkan
sebaliknya membela mati-matian otoritas dan supremasi teks al-qur’an sera
menggembar gemborkan sebagai teks yang
otentik, asli,original one, made in tuhan, bukan teks palsu, imitasi seperti,
bible, injil dan lainya. Ini adalah bagian lelucon yang tidak lucu dari ummat
islam yang katanya”umat terbaik itu”. Kenapa teks menempati supremasi yang
begitu tinggi dalam islam ? ini sangat terkait dengan “wawasan teologis” umat
islam yang mengangap Tuhan berbicara langsung kepada manusia via nabi – yang
kemudian jadi al-Qur’an ( baca mushaf al-qur’an ) bahwa firman Tuhan adalah
superior tehadap kata-kata manusia; (idem hal. 37).
12. Penyembahan pada Teks
Wawasan
teologis yang bersifat ultra-teosentris semacam inilah yang menerangkan kenapa teks ditempatkan
dalam kedudukan yang sentral sementara pengalaman manusia yang riil dan
kontekstual diletakkan dalam kedudukan yang inferior, rendah, sekunder atau
bahkan tidak berarti sama sekali.
Saya
berpendapat, wawasan teologis yang demikian sanngat berbahaya karena bisa
mengarah pada “kemusyrikan intelektual “ ya’ni “penyembahan pada teks” yang
oleh T.H. Huxley dalam science and Hebrew tradition disebut
“bibliolatry”-pemberhalaan atas teks scriptural. Selain itu, ketundukan pada
sebuah teks scriptural akan merosotkan nilai islam sebagai agama yang, memegang
prinsip “takrim” (pemuliaan manusia karena anugerah akal) dan merendahkan
derajat al-Qur’an sebagai sebuah “khitab”. (idem hal. 37).
13.Islam Konservatif
Apa
yang dilakukan kalangan fanatikus islam (fundamentalis, konservatis, teroris,)
dewasa ini sebetulnya hanyalah sekadar “melanjutkan tradisi” islam konservatif
masa lalu. Dan lagi lagi wacana otentisitas “discourse of authenticity“
(idem hal.
39).
14. Wawasan Islam bukan
bunyi dari Sebuah Teks
Mereka
melihat wawasan islam bukann dari bunyi literal sebuah teks melainkan dari visi
etis teks itu. Bukan dari yang tersurat tapi yang tersirat dala sebuah teks. (idem hal.
41)
15.Penafsiran Mengikuti Teks Al Qur’an Apa Asana, Jelas
Ngawur.
Benarkah
penafsiran yang berupaya menyingkap makna dibalik teks (the meaning behind the teks), penafsiran
non-literal atas al-Qur’an dan kontekstualistik, semakin jauh dari “kehendak
Tuhan”?. Dan sebaliknya: penafsiran yang mengikuti teks al-Qur’an “apa adanya“ (baca,
literal), tekstualistik, berarti dengan sendirinya semakin dekat dengan
“kehendak tuhan”? saya rasa tesis
demikian jelas ngawur ! (idem hal.
42)
16. Tidak Punya Urusan Dengan Tuhan
Saya
tidak bermaksud untuk melakukan kontestasi atau perebutan teks kepada tuhan.
Saya bahkan tidak punya urusan dengan tuhan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa
pandangan “ semakin literal memahami teks al-Qur’an, maka “semakin dekat dengan
kehendak tuhan “ sebagai pandangan yang ngawur karena ini jelas mengingkari fakta
historisitas al-Qur’an seperti saya singgung diatas pada mulanya adalah sebuah
“Khitab” atau
ajaran dinamis yang sangat demokratis dan terbuka dengan konteks osial dan
aneka ragam pendapat. Bahkan sesungguhnya hakikat al-Qur’an bukanlah “teks
Verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan utsman itu melainka
gumpalan-gumpalan gagasan. Imam Zarkasyi menegaskan bahwa al-Qur’an turun
kepada nabi hanyalah berupa gumpalan gagasan sementara ide pengkalimatan
gagasan dilakukan oleh nabi sendiri ( sebagian pendapat lain jibril yang
memberi baju atas ide-ide kewahyuan). Meskipun lebih dominan yang mengatakan
bahwa semua teks al-Qur’an made in Tuhan
(dalam hati saya emang Tuhan bisa berbahasa arab ?). (idem hal.
42 )
17. Redaksi Al Qur’an
Dirumuskan Oleh Nabi
Al-Qur’an bagi
saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian dirumuskan
redaksinya oleh nabi. (idem hal.
42)
18. Nabi, Shahabat,
Komunitas Makkah dan Madinah ikut Menciptakan Al Qur’an
Oleh
karena itu nabi, sahabat dan pengalaman komunitas makkah dan madinah
(tajribatul madinah wa makkah) pada hakikatnya adalah” co-author” karena ikut menciptakan al-Qur’an.
Dengan
demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal “ (“wahyu eksplisit” dalam
bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan wahyu non verbal” (“whyu implicit”
berupa konteks social waktu itu). Proses penulisan al-Qur’an dengan sendirinya
telah “mereduksi” al-Qur’an hanya sebagai teks mati belaka. (idem hal.
43)
19. Betulkah Pemikiran
Liberal yang menafsirkan Teks Secara Non Literal berarti Jauh dari Tuhan
Kemudian
betulkah pemikiran lliberal yang menafsirkan teks secara non literal berarti
jauh dari Tuhan ? sebaliknya, bertulkah mereka, kaum fanatikus al-Qur’an yang
menafsirkan teks suci secara literal itu justru paling dekat dengan Tuhan?
Jika
kelak di akhirat pertanyaan diatas diajukan kepadaTuhan, mungkin hanya
tersenyum tersimpul. Sambil menunjukan surganya yang maha luas, disana ternyata
telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, sahabat Umar,
Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharuddin Lopa,
dan Munir !. (idem hal.
45)
20. Al Qur’an, sehingga
menjadi Kitab Suci Tidak Lepas dari Peran Serta Tangan-Tangan Ghoib
Al-Qur’an
sehingga menjadi “kitab suci” (sengaja saya pakai tanda kutip) juga tidak lepas
dari peran serta “tangan-tangan ghoib” yang bekerja diatas layar maupun
panggung politik kekuasaan untuk memapankan status al-Qur’an. (idem hal.
64)
21.Al Qur’an yang Dibaca oleh Jutaan Umat Islam adalah Teks
Asli Hasil Kodifikasi – tidak menyebut “Kesepakatan Terselubung – anatar
Khalifah Utsman dan Panitia Pengumpul yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabbit.
Karena itu, tidak pada tempat disebut Sebago Kitab Suci yang Disakralkan.
Kita
tahu al-Qur’an yang dibaca oleh jutaan ummat islam saat ini adalah teks hasil
kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara khalifah
utsman (644-656 M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit,
sehingga teks ini disebut mushaf utsmani. (idem hal. 65).
22. Suatu Teks Hanya
akan Berfungsi sebagai Kitab Suci selama ada Sekelompok Orang menganggapnya
Sakral dan Suci.
Karena
itu tidak pada tempatnya jika ia disebut sebagai “kitab suci” yang disakralkan,
dimitoskan. apakah yang menjadikan suatu
teks agama seperti al-Kitab dan al-Qur’an itu suci dan sakral? bagi siapakah
teks itu suci dan kapankah ia dianggap suci dan kesakralannya ? (idem hal.
66)
Suatu
teks hanya akan berfungsi sebagai kitab suci selama ada sekelompok orang
menganggapnnya sakral dan suci, berpengaruh dan memiliki nilai-nilai transenden
yang yang membedakanya dari teks teks lain jika tidak ada sekelompok orang yang
menganggapnya suci dan sacral, sesungguhnya tidak ada yang namanya teks yang
suci. Jika tidak ada yang namanya teks yang suci, tidak akan ada kemarahan
meskipun teks itu di injak-injak’. Kemarahan akan terjadi karena ada anggapan
kesucian atas sebuah obyek itu bagi sementara orang yang menyucikannya. (idem hal.
23)
23. Kesucian dan Kebenaran Hanyalah Hadiah dari Kelompok
Orang tertentu.
Disinilah
saya ingin bertanya sederhana saja, adakah sebuah obyek kesucian dan kebenaran
yang berlaku universal ? tidak ada ! sekali lagi tidak ada! Tuhan sekalipun!
sebab ada sekelompok manusia yang tidak mempercayai adanya kebenaran Tuhan.
Maka, jika Tuhan saja “dipersoalkan” eksistensi kebenaranya, apalagi obyek
lain? kata “suci“ dan “tidak Suci“ seperti kata “benar” dan “tidak benar”.
Keduanya
(kesucian dan kebenaran) hanyalah hasil konstruksi pemikiran atau persepsi
manusia belaka atas sebuah obyek tertentu. Karena hasil konstruksi sebuah
pemikiran, maka kita tidak akan menemukan sebuah konsep “ kesucian “ dan
“kebenaran” yang bersifat obyektif dan berlaku universal dan permanen.
Singkatnya, kesucian dan kebenaran hanyalah “hadiah” dari sekelompok orang
tertentu karena dipandang memiliki “nilai lebih“ ketimbang yang lain. (idem hal.
68)
24. Syariat Islam
Bukannya Manusia-Manusia Suci, Saleh, dan Agung, tapi justru Menciptakan
Gerombolan Mafia dan Anjing-Anjing Penjilat.
Faktanya
:”classless society” tidak pernah ada, ratu adil tidak kunjung nongol, dan
pemberlakuan syariat islam yang secara kaaffah itu diberbagai belahan dunia
islam justru lebih bannyak menimbulkan distorsi dan kejahatan kemanusiaan
ketimbang memunculkan peradaban manusia yang egaliter , demokratis, berkeadilan,
dan manusiawi. Pembantaian terjadi dimana-mana, teror terjadi dimana-mana, Buah
syariat islam bukanya manusia-manusia suci, saleh dan agung tapi justru
menciptakan gerombolan mafia dan “anjing-anjing” penjilat kekuasaan! (idem hal.
70).
25.Berpegang Teguh Terhadap Sebuah Teks Sama Saja Berpegang
pada barang Rongsokan yang Sudah Usang.
Agama,
atau tepatnya aturan-aturan keagamaan memang bukanya kapsul yang siap ditelan.
Dan teks-teks keagamaan yang (“suci “ atau profan) bukan “juklak atau “juknis”
kehidupan manusia yang sudah “selesai” dan final serta mampu mengatasi setiap
zaman, setiap generasi. Setiap teks memiliki keterbatasan sejarah. Karena itu setiap generasi selalu muncul “agen-agen
sejarah” yang merestorasi sebuah teks Musa , Jesus, Muhammad, Sidharta, Lao
Tze, konfusius, zarasthutra, Marthin Luther, dan lainya adalah bagian kecil
dari contoh agen agen sejarah yang melakukan restorasi teks. Berpegang teguh
terhadap sebuah teks sama saja berpegangan barang rongsokan yang sudah usang. (idem hal.
70-71).
26. Orang yang Berpegang
pada Sebuah Teks seoerti Bayi yang selalu Netek pada Ibunya.
“Hanya buah mentah yang melekat
di dahan ; karena buah belum matang tidak siap disajikan di istana; pada saat
matang, buah menjadi manis, dan dapat melepaskan diri….; bersikukuhlah dan
fanatic (ta’asub) adalah ( symbol ) ketidak matangan ; selama kalian masih
embrio, kesibukanmu hanyalah menghisap darah”. Penyair Rumi menamsilkan
orang yang berpegang teguh pada sebuah teks (katakanlah kalangan konservatif),
ibarat buah mentah yang selalu melekat didahan . jika boleh saya tambah, orang
yang model begini ini seperti bayi yang selalu netek pada ibunya. (idem hal.
71)
27.“Pemberontakan” terhadap Teks-Teks Keagamaan yang
Membelenggu Kebebasan dan Akal Sehat
Dengan
kata lain, kita harus melampui teks: beyond the teks . Muhammad dan juga Musa, Jesus dan Shidarta dan juga
lainya, hanyalah membuat “dinding dan pagar pembatas” , katakanlah, sebuah exercise intellectual . tugas
kita untuk melampui dinding dan pagar itu. Jika kita mampu melaksanakan tugas
itu. Mereka tentu akan tersenyum bangga diakhirat sana . sebaliknya bila tidak ada kemajuan,
membeo, membebek tentu mereka akan tersenyum kecut, atau mungkin megumpat : “
dasar anak pandir !“ Dalam konteks inilah, saya sangat apresiatif dengan
gagasan para sarjana yang berani melakukan “pemberontakan” terhadap teks-teks
keagamaan yang membelenggu kebebasan dan akal sehat. (idem hal.
71)
28. Pentingnya Melampaui
Teks dari Sarjana Liberal
Melihat
adanya sejumlah teks keagamaan yang mengandung semangat diskriminasi,
permusuhan terhadap “ The
others” terutama yang berbeda
pemahaman teologi dan jauh dari rasa kemanusiaan dan keadilan. Di sinilah
pentingnya pemikiran yang ;melampui” teks seperti yang diserukan beberapa
sarjana liberal. Gagasan-gagasan keagamaan yang “melampui” teks (beyond the teks) dari
para sarjana liberal agama ini tidak sekedar tampil beda atau hanya mencari
popularitas dari kepengapan hidup, tetapi lebih didasarkan pada kegetiran dan
kegelisahan intelektual atas realitas keagamaan yang tidak bisa bunyi
menghadapi persoalan getir kehudupan. (idem hal. 72)
29. Rukun Islam.
Juga,
tidak lupa untuk disebut di sini adalah Muhammad Syahrur, sayap liberall islam
kelahiran damaskus. al-Islam
wa al-Iman : manzumah
al-qiyam telah merontokkan konsep islam dan iman yang dirumuskan para
ulama klasik. Setelah melakukan riset ayat-ayat al-Qur’an selama 23 tahun) di
makkah dan madinah. Syahrur mengabaikan manusia , syahrur sampai pada
kesimpulan, rukun islam itu bukan syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji tapi
kesaksian pada Allah (tanpa Muhammad), harim kemudian dan amal shaleh . ia
menuding Imam Syafi’I sebagai “biang kerok” kemandulan intelektual umat ruang
untuk mengapresiasi teks teks keislaman mula-mula) semua tafsir sudah
dimonopoli oleh sang imam. (idem hal : 73)
30. “Rukun Iman”
Rukun
Iman dalam Islam yang dirumuskan secara
“sembrono” oleh para ulama klasik-skolastik). (idem hal. 74)
31. Apalah Artinya
Status Bagi Orang yang Sudah Mampu Meraih Cinta Kasih Tuhan Sebagai Sumber Mata
air Kehidupan.
Saya
bertanya dalam hati, apakah kita masih butuh identitas dan status keagamaan
(islam atau Kristen misalnya). Apalah artinya status itu bagi orang yang sudah
mampu “meraih” cinta kasih tuhan sebagai sumber mata air kehidupan.
32. Hanya Tukang Sensus
yang Memperdulikan Status Keagamaan
Saya
rasa hanya tukang sensus yang masih mempedulikan status keagamaan : Muslim,
Kristen, dan lainya. Dan saya rasa Jesus atau Muhammad atau siapa saja
manusia-manusia agung di jagat raya ini tidak merasa bangga dengan
membeludaknya pengikut tetapi amat sedikit yang memahami “ kekristenan” atau
“keislaman”.
33.Bila Agama Mengklaim Kebenaran Ajarannya, Teks Sucinya,
Doktrinnya Sebago Kebenaran Mutlak Satu-satunya Jalan Keselamatan, PAndangan yang
Demikian itu Sangat Picik dan Menyesatkan
Charles
Kimball dalam When
religion Becomes evil? mengingatkan, agama bila ditempatkan secara keliru
bisa berubah menjadi kekuatan pembunuh yang mengerikan, korup dan jahat. Menurutnya ada lima hal/tanda yang bisa membuat agama
menjadi busuk dan menimbulkan bencana. Pertama, bila agama mengklaim kebenaran
ajaranya, teks sucinya, doktrinya sebagai kebenaran mutlak satu-satunya. (idem hal. 86)
34. Umat Islam Harus Mampu Memilah-milah Teks Al Qur’an
Karena itulah umat islam harus mampu
memilah-milah teks al-Qur’an : mana yang merupakan nilai universal islam dan
mana yang hanya “pesan sponsor” orang arab atau bahkan orang quraisy. (idem hal. 117)
35. Umat Islam Harus Mampu Memiliah-milah Al Qur’an
Selama ini mempengaruhi kognisi
public umat beragama. “ Premis dasar” yang dimaksud adalah keyakinan bahwa
“kitab suci”-nya (al-kitab atau al-Qur’an) sebagai “firman Tuhan” yang otentik.
Jika keyakinan ini belum bisa ditinggalkan, maka upaya membongkar dimensi
historitas al-kitab maupun al-Qur’an menjadi sia-sia (mission imposible) dengan
pendekatan kesejahteraan ini pula, kita akan tahu bahwa teks yang kini di
sucikan oleh umat beragma itu sebetulnya bersifat profane tidak sacral,
temporal bukan permanen/abadi. (idem hal. 117).
36. Hidup Kita seperti Robot yang Dikendalikan oleh Remote Kontrol
bernama Teks
Tanpa disadari hidup kita selama ini
seperti robot yang gerak-geriknya dikendalikan oleh remote
control yang bernama teks yang menjadi
dasar/ruh sebuah agama. (idem hal. 117)
37. Meyakini Agama Tertentu dan Teks Tertentu lebih unggul ketimbang
yang lainnya, bisa Menyesatkan.
Teks, yakni teks tertentu lebih
unggul ketimbang teks lain yang kemudian melahirkan pandangan bahwa agama
tertentu lebih unggul ketimbang lainya-sebuah kategori yang bisa menyesatkan.
Tidak ada satupun umat beragama yang bisa mengklaim bahwa halaman “kitab
suci”-nya telah mampu menangkap pesan-pesan Tuhan. Tuhan jelas lebih agung
ketimbang sebuah teks. Dia melampui teks apapun. Klaim atas keotentikkan firman
Tuhan justru akan mereduksi kebesaran
Tuhan itu sendiri. (idem hal. 118)
38. Meyakini Kebenaran Agamanya Sendiri sebagai Satu-satunya Jalan
Keselamatan, pandangan yang Demikian itu sangat picik dan menyesatkan.
Kitab sucinya yang merupakan sumber
kebenaran yang diyakini sebagai’ (1) bersifat konsisten dan berisi
kebenaran-kebenaran yang tanpa kesalahan sama sekali; (2) bersifat lengkap dan
final-dan karena itu tidak diperlukan kebenaran agama lain; (3) kebenaran
agamanya sendiri dianggap merupakan satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan
maupun pembebasan; (4) seluruh kebenaran itu orisinil dari Tuhan, tidak ada
insruksi manusia . pandangan demikian jelas sangat picik, menyesatkan. (idem hal. 118-119)
39. “Menelanjangi Fundamentalisme Islam”
Sengaja saya pilih judul itu karena
berasumsi bahwa dengan melakukan dekonstruksi atau tafkik dalam istilah arab, terhadap (teks-teks) keagamaan
akan membuka jalan bagi terciptanya suatu masyarakat yang demokratis. Dengan
kata lain, tanpa melakukan pembongkaran terhadap sejumlah teks keagmaan
(keislaman), akan sulit menciptkan suatu tatanan demokratis dimasyarakat. Hal
ini disebabkan agama dalam batas tertentu berisi sejumlah teks yang bisa
menghambat laju demokratis. (idem hal. 121-122)
40. Islam Merupakan Produk Sejarah
Sementara baik kalangan
“liberal-progresif” berpandangan bahwa islam merupakan “produk sejarah” yang
tentunya sangat terbatas dengan ruang dan waktu, dan karena itu tidak memadai untuk menjawab persoalan
kekinian dan kedisinian yang begitu kompleks. (idem hal. 122)
41. Apa yang Dilakukan Muhammad
dengan Islam dan Al Qur’an menagndung Keterbatasan Sejarah yang tak lepas dari
Distorsi-distorsi.
Tanpa
bermaksud meremehkan ajaran islam dan al-Qur’an serta praktek kenabian, apa
yang dilakukan Muhammad dengan islam dan al-Qur’an juga mengandung keterbatasan
sejarah yang tidak lepas
dari-distorsi-distorsi. Keislaman yang dia praktekkan hanyalah salah
satu contoh dari keislaman lain. Karena itu kritik perlu juga dialamatkan pada
nabi dan teks-teks dasar scriptural islam. (idem hal. 127).
42.Dalil Syariat Seringkali
Hanyalah Dalil untuk Melakukan Penindasan atas Nama Islam
Aplikasi
syari’at islam dikatakan tirani karena dalil syari’at seringkali hanyalah dalil
untuk melakukan penindasan atas nama islam yang sering kali bertabrakan dengan
hak hak dasar manusia yang paling fundamental. (idem hal. 134)
43. Harus Diakui secara Jujur bahwa Sejumlah Teks-teks Skriptual
(termasuk Al Qur’an) tidak hanya “Bermasalah” dari Sudut Material saja, juga
Menyimpan Problem Historis yang Penuh dengan Kontroversi.
Dasar teologis pembersihan “agama
suku” ini adalah ayat : Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahlul
kitab dan kaum musyrik akan kekal dalam neraka. Mereka adalah seburuk-buruk mahluk”. (Q.S 98:7). Terma
musyrik ini mengacu pada system kepercayaan local di luar Islam dan ahlul kitab
(Yahudi/Kristen). Konteksnya
saat itu agama-agama dan system kepercayaan masyarakat suku di makkah dan
sekitarnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika ayat yang mengandung
kutukan ini diterapkan di Indonesia yang penuhi sesak agama suku. Sebagai
catatan di Papua/Irian Jaya saja menurut informasi F. Ukur & Cooley dan F.C
Kamma ada sekitar 250-an system kepercayaan lokal (agama suku).
Harus diakui secara jujur bahwa sejumlah
teks-teks skriptual (termasuk al-Qur’an) tidak hanya “bermasalah” dari sudut
material tetapi juga menyimpan problem histories yang penuh dengan kontroversi.
(idem hal. 143).
44. Politik Bahasa yang Dimainkan Imam Syafi’i lambat laun telah
Menyebabkan Teks-teks Skriptual Islam seperti “Berhala” yang Dimitoskan.
Abu Zayd menganggap pengagungan
terhadap bahasa al-Qur’an yang berlebihan merupakan dampak dari politik bahasa
yang dilakukan oleh beberapa ulama islam. Abu Zayd, juga Arkoun menuding imam Syafi’i
sebagai salah satu arsitek dan pionir dalam sakralisasi bahasa al-Qur’an
(Arab). Politik bahasa yang dimainkan Imam Syafi’i ini lambat laun telah
menyebabkan teks-teks skriptural islam seperti “berhala” yang dimitoskan. Saya
harus katakan bahwa fenomena “pemberhalaan teks” ini tidak hanya terjadi dalam
lingkup islam saja tetapi juga agama lain Kristen atau yahudi misalnya. (idem hal. 145)
45. Menempatkan Teks-Teks Keagamaan secara Proporsional dan Kritis
Sebago bagian dari Produk Kebudayaan Manusia.
Sebagai muslim saya menginginkan
agama Islam ini tampil sebagai pembebas manusia dari-istilah al-Qur’an,
“kegelapan ke cahaya” (min dzulumat ila nur)-, dari belenggu ke pembebasan, dari hegemoni ke
liberasi, dari otoriterisme ke demokrasi dan seterusnya. Dan itu baru bisa
terlaksana jika kita menempatkan teks-teks keagamaan secara proporsional dan
kritis sebagai bagian dari produk kebudayaan manusia. (idem hal.
147).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar