Jakarta (SI Online) - Presiden dan Menteri Agama Republik Indonesia bertanggung-jawab atas pembacaan Alquran dengan langgam dalang cerita pewayangan Jawa dalam acara Isra Mi'raj di Istana Negara pada hari Jum'at 15 Mei 2015 lalu. Demikian ditegaskan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab dalam laman facebooknya, Selasa (19/5/2015).
"Mereka wajib tobat mohon ampun kepada Allah SWT dan meminta maaf kepada seluruh umat Islam, serta berjanji untuk tidak mengulanginya," ujar Habib Rizieq.
"Jika tidak, maka mereka wajib diproses hukum dengan undang-undang penodaan agama, bahkan wajib dilengserkan dan dilongsorkan dari jabatannya, karena telah melecehkan Alquran," tambahnya.
Habib Rizieq menjelaskan, hukum melecehkan Alquran adalah murtad, dan orang murtad tidak boleh jadi pemimpin umat Islam.
"Selain itu, mereka telah mempermalukan Indonesia di mata dunia Islam. Jadi, Presiden dan menteri agama hanya punya dua pilihan, tobat atau lengser!" tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengakui bahwa pembacaan Alquran dengan langgam Jawa adalah murni idenya. "Tujuan pembacaan Alquran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air," kata Lukman pada akun twitternya.
Kontroversi terjadi saat Qari Muhammad Yasser Arafat membacakan ayat suci Alquran menggunakan langgam Jawa pada peringatan Isra' Miraj di Istana Negara. Dengan menggunakan langgam Jawa, pembacaan ayat suci tersebut menjadi mirip sinden dalam pagelaran wayang kulit.
red: adhila
==
JAKARTA (Panjimas.com) – Perayaan Isra’ Mi’raj di Istana Negara pada Jum’at (15/5/2015) lalu, juga ada agenda pembacaan ayat suci Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Menurut Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin bacaan tersebut disebut sebagai Langgam Nusantara untuk melestarikan budaya Indonesia.
Namun cara baca Al-Qur’an yang dilantunkan oleh Muhammad Yaser Arafat dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu justru kemudian menimbulkan kritikan dan protes dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena pembacaan dilakukan dengan langgam Jawa.
Penasihat MUI DKI Jakarta, Samsul Maarif mengatakan, pembacaan ayat suci Al-Qur’an pada acara itu kurang tepat. “Pembacaan Al-Qur’an dengan langgam seperti sinden kurang sesuai dengan tuntunan,” katanya pada Senin (18/5/2015).
JAKARTA (Panjimas.com) – Perayaan Isra’ Mi’raj di Istana Negara pada Jum’at (15/5/2015) lalu, juga ada agenda pembacaan ayat suci Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Menurut Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin bacaan tersebut disebut sebagai Langgam Nusantara untuk melestarikan budaya Indonesia.
Namun cara baca Al-Qur’an yang dilantunkan oleh Muhammad Yaser Arafat dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu justru kemudian menimbulkan kritikan dan protes dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena pembacaan dilakukan dengan langgam Jawa.
Penasihat MUI DKI Jakarta, Samsul Maarif mengatakan, pembacaan ayat suci Al-Qur’an pada acara itu kurang tepat. “Pembacaan Al-Qur’an dengan langgam seperti sinden kurang sesuai dengan tuntunan,” katanya pada Senin (18/5/2015).
Menurut dia, pembacaan seperti itu dinilai telah keluar dari pakem model bacaan Al-Qur’an pada umumnya. Sebaiknya, hal itu perlu mendapat pertimbangan dari para pakar ulumul quran. Meskipun, dari aspek hukum, asal bacaan itu boleh asalkan masih sesuai dengan ilmu baca Al-Qur’an yang benar, baik dari sisi tajwid, makharijul huruf, dan aturan lainnya.
Namun, ia khawatir, jika masyarakat dibebaskan menggunakan model lagu dalam membaca Al-Qur’an dengan mengikuti keinginan masing-masing, suatu saat akan menimbulkan potensi pembacaan ayat suci Al-Qur’an dengan lagu yang tidak pantas.
“Pembacaan Al-Qur’an harus dengan pertimbangan yang matang. Tidak cukup hanya mepertimbangan aspek seni dan mengikuti kearifan lokal,” tandasnya. (Baca: Al-Quran Dibaca dengan Lagu Dandang Gulo di Istana, Presiden Jokowi Lecehkan Islam)
Karena itu, ia berharap agar kepada pemerintah Jokowi melalui Kementerian Agama (Kemenag) agar lebih bijaksana. Hal itu mutlak diperlukan demi menghindari kontroversi yang berkembang di masyarakat. [GA/ROL]
==
Baca Al-Qur’an dengan Langgam Jawa adalah Bentuk Liberalisasi Agama
JAKARTA (Panjimas.com) – Cara membaca Al-Qur’an dengan menggunakan nada Jawa atau langgam Jawa saat peringatan Isra’ Mi’raj 1436 H di Istana Negara pada Jum’at (15/5/2015) malam terus menuai kritik dan protes dari para tokoh Islam.
Menurut murid Syaikh Shuraim, ustadz Toha Husain Al-Hafidz dari Purwokerto, setidaknya ada 3 kesalahan yang dipraktekkan oleh Muhammad Yaser Arafat dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam membaca Al-Qur’an dengan lagu Dandang Gulo (Jawa).
“Kesalahan tajwid. Maadnya dipaksa ikuti kebutuhan lagu. Kesalahan logat. Al-Qur’an harus diucapkan dengan logat Arab. Biasanya denan qiraah sab’ah atau qiraah asyrah,” ujarnya pada Sabtu (16/5/2015).
“Kesalahan Takalluf. Memaksakan untuk meniru lagu yang tak lazim untuk Qur’an. Dan yang paling fatal kalau ada kesalahan niat. Yaitu merasa perlu menonjolkan kejawaan atau ke-Indonesiaan atau kebangsaan dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Allah yahdina wa yahdihim. Semoga Allah menjaga keikhlasan kita dalam mencintai Qur’an,” imbuhnya.
Sementara itu, Doktor Bidang Al-Quran Departemen Pengkaderan Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia (DDII) Pusat, Dr Ahmad Annuri MA mendesak pemerintah Joko Widodo (Jokowi) harus segera menghentikan cara membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa yang cenderung melecehkan Islam itu.
Dr Ahmad pun menegaskan bahwa jika ditimbang dari segi manfaat dan mandhorotnya, maka cara membawa Al-Qur’an seperti itu lebih banyak mendatangkan madhorot. (Baca: Al-Quran Dibaca dengan Lagu Dandang Gulo di Istana, Presiden Jokowi Lecehkan Islam)
“Karena madhorotnya lebih besar dari pada manfaatnya. Coba bayangkan, bagamanai bunyi Aamiin-nya makmum, kalau bacaan Fatihah Imam sholat, lagu fatihahnya pake lagu Jawa atau suku yg lain?,” tanya Dr Ahmad pada Sabtu (16/5/2015).
Dan yang paling fatal adalah, cara membaca Al-Qur’an seperti yang dipraktekkan oleh Muhammad Yaser Arafat ada upaya liberalisasi agama dalam pembacaan Al-Qur’an. Analisa ini tidaklah berlebihan, mengingat UIN Sunan Kalijaga selama ini dikenal sebagai kampus dan sarang kalangan liberal.
“Cara baca Al-Qur’an seperti itu adalah bentuk Liberalisai Agama khususnya tentang tata cara baca Al-Qur’an,” tandasnya. (Baca: DDII Pusat: Hentikan Baca Al-Qur’an Dengan Nada Jawa). [GA]
==
Jakarta (SI Online) - Pembacaan Alquran dengan langgam Jawa pada peringatan Isra' Mi'raj di Istana Negara, Jumat malam (15/05) lalu terus menuai kontroversi. Saat itu Muhammad Yasser Arafat melantunkan Surah An-Najm 1-15 dengan cengkok atau langgam Jawa.
Acara itu dihadiri Presiden Joko Widodo, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pimpinan MPR/DPR, sejumlah pejabat tinggi negara dan duta besar negara Arab.
Pakar pengajaran Alquran dari Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII), Dr Ahmad Annuri, MA., menuding pemerintah melakukan liberalisasi agama Islam.
Menurut Ahmad, cara membaca Alquran seperti di Istana Negara itu tidak boleh terjadi lagi dan harus dihentikan. Sebab, kata dia, hal itu memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim untuk baca Alquran, dan yang paling fatal ketika ada kesalahan niat.
"Yaitu merasa perlu menonjolkan citra rasa lagu ke-Nusantara-an atau keindonesiaan dalam membaca Alquran," kata doktor bidang Alquran ini dalam pernyataan yang disebar ke media sosial, Ahad (17/05).
Menurut Ahmad Annuri, langkah itu membangun sikap hubbul wathoniyyah yang salah, seolah bahwa lagu Nusantara untuk membaca Quran adalah sesuatu yang layak dan sah-sah saja. Cara membaca Alquran seperti itu, kata dia, akan merusak kelaziman.
Dia pun bertanya, bagaimana kalau lagu Indonesia Raya saat acara kenegaraan dinyanyikan dengan langgam Jawa atau suku yang lain? "Apakah orang Indonesia terima?"
Contoh lain, ujar dia, bagaimana jika imam salat membaca Al-Fatihah dengan langgam Jawa? Jadi, dia menegaskan, pembacaan Quran dengan langgam etnis lokal lebih besar mudarat daripada manfaatnya.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan pembacaan Alquran dengan langgam Jawa adalah murni idenya. Dia membantah gagasan itu dari Presiden Jokowi.
"Tujuan pembacaan Alquran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air," cuit Lukman pada akun Twitter-nya.
Dia menyimak kritik yang berkeberatan dengan adanya pembacaan Alquran dengan langgam Jawa. "Tapi saya juga berterima kasih kepada yang mengapresiasinya," kata Lukman.
red: shodiq ramadhan
JAKARTA (Panjimas.com) – Cara membaca Al-Qur’an dengan menggunakan nada Jawa atau langgam Jawa saat peringatan Isra’ Mi’raj 1436 H di Istana Negara pada Jum’at (15/5/2015) malam terus menuai kritik dan protes dari para tokoh Islam.
Menurut murid Syaikh Shuraim, ustadz Toha Husain Al-Hafidz dari Purwokerto, setidaknya ada 3 kesalahan yang dipraktekkan oleh Muhammad Yaser Arafat dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam membaca Al-Qur’an dengan lagu Dandang Gulo (Jawa).
“Kesalahan tajwid. Maadnya dipaksa ikuti kebutuhan lagu. Kesalahan logat. Al-Qur’an harus diucapkan dengan logat Arab. Biasanya denan qiraah sab’ah atau qiraah asyrah,” ujarnya pada Sabtu (16/5/2015).
“Kesalahan Takalluf. Memaksakan untuk meniru lagu yang tak lazim untuk Qur’an. Dan yang paling fatal kalau ada kesalahan niat. Yaitu merasa perlu menonjolkan kejawaan atau ke-Indonesiaan atau kebangsaan dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Allah yahdina wa yahdihim. Semoga Allah menjaga keikhlasan kita dalam mencintai Qur’an,” imbuhnya.
Sementara itu, Doktor Bidang Al-Quran Departemen Pengkaderan Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia (DDII) Pusat, Dr Ahmad Annuri MA mendesak pemerintah Joko Widodo (Jokowi) harus segera menghentikan cara membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa yang cenderung melecehkan Islam itu.
Dr Ahmad pun menegaskan bahwa jika ditimbang dari segi manfaat dan mandhorotnya, maka cara membawa Al-Qur’an seperti itu lebih banyak mendatangkan madhorot. (Baca: Al-Quran Dibaca dengan Lagu Dandang Gulo di Istana, Presiden Jokowi Lecehkan Islam)
“Karena madhorotnya lebih besar dari pada manfaatnya. Coba bayangkan, bagamanai bunyi Aamiin-nya makmum, kalau bacaan Fatihah Imam sholat, lagu fatihahnya pake lagu Jawa atau suku yg lain?,” tanya Dr Ahmad pada Sabtu (16/5/2015).
Dan yang paling fatal adalah, cara membaca Al-Qur’an seperti yang dipraktekkan oleh Muhammad Yaser Arafat ada upaya liberalisasi agama dalam pembacaan Al-Qur’an. Analisa ini tidaklah berlebihan, mengingat UIN Sunan Kalijaga selama ini dikenal sebagai kampus dan sarang kalangan liberal.
“Cara baca Al-Qur’an seperti itu adalah bentuk Liberalisai Agama khususnya tentang tata cara baca Al-Qur’an,” tandasnya. (Baca: DDII Pusat: Hentikan Baca Al-Qur’an Dengan Nada Jawa). [GA]
==
Jakarta (SI Online) - Pembacaan Alquran dengan langgam Jawa pada peringatan Isra' Mi'raj di Istana Negara, Jumat malam (15/05) lalu terus menuai kontroversi. Saat itu Muhammad Yasser Arafat melantunkan Surah An-Najm 1-15 dengan cengkok atau langgam Jawa.
Acara itu dihadiri Presiden Joko Widodo, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pimpinan MPR/DPR, sejumlah pejabat tinggi negara dan duta besar negara Arab.
Pakar pengajaran Alquran dari Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII), Dr Ahmad Annuri, MA., menuding pemerintah melakukan liberalisasi agama Islam.
Menurut Ahmad, cara membaca Alquran seperti di Istana Negara itu tidak boleh terjadi lagi dan harus dihentikan. Sebab, kata dia, hal itu memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim untuk baca Alquran, dan yang paling fatal ketika ada kesalahan niat.
"Yaitu merasa perlu menonjolkan citra rasa lagu ke-Nusantara-an atau keindonesiaan dalam membaca Alquran," kata doktor bidang Alquran ini dalam pernyataan yang disebar ke media sosial, Ahad (17/05).
Menurut Ahmad Annuri, langkah itu membangun sikap hubbul wathoniyyah yang salah, seolah bahwa lagu Nusantara untuk membaca Quran adalah sesuatu yang layak dan sah-sah saja. Cara membaca Alquran seperti itu, kata dia, akan merusak kelaziman.
Dia pun bertanya, bagaimana kalau lagu Indonesia Raya saat acara kenegaraan dinyanyikan dengan langgam Jawa atau suku yang lain? "Apakah orang Indonesia terima?"
Contoh lain, ujar dia, bagaimana jika imam salat membaca Al-Fatihah dengan langgam Jawa? Jadi, dia menegaskan, pembacaan Quran dengan langgam etnis lokal lebih besar mudarat daripada manfaatnya.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan pembacaan Alquran dengan langgam Jawa adalah murni idenya. Dia membantah gagasan itu dari Presiden Jokowi.
"Tujuan pembacaan Alquran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air," cuit Lukman pada akun Twitter-nya.
Dia menyimak kritik yang berkeberatan dengan adanya pembacaan Alquran dengan langgam Jawa. "Tapi saya juga berterima kasih kepada yang mengapresiasinya," kata Lukman.
red: shodiq ramadhan
Saya Juga Tidak Sepaham Tu,.,
BalasHapusKatanya NKRI Harga Mati Tapi Justru Pluralisme (Sem Karoba),.,.
Pluralisme itu idenya Gusss.... Durrrrr.....
HapusPluralisme itu idenya Gusss.... Durrrrr.....
Hapus