Kisah Perdebatan
A. Hassan dengan Tokoh Atheis
Oleh:
Artawijaya
GEDUNG
milik organisasi Al-Irsyad, Surabaya, hari itu penuh sesat dipadati massa.
Almanak menunjukkan tahun 1955. Kota Surabaya yang panas, serasa makin panas
dengan dilangsungkannya debat terbuka antara Muhammad Ahsan, seorang atheis
yang berasal dari Malang, dengan Tuan A. Hassan, guru Pesantren Persatuan
Islam, Bangil. Meski namanya berbau Islam, Muhammad Ahsan adalah orang atheis
yang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, dan tidak pula meyakini bahwa alam
semesta ini ada Yang Maha Mengaturnya. Ia juga menyatakan manusia berasal dari
kera, bukan dari tanah sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an.
Menurut keterangan Ustadz Abdul Jabbar, guru Pesantren
Persis, yang menyaksikan perdebatan itu, hadirin yang datang cukup membludak.
Lebih dari ratusan massa datang berkumpul, mengular sampai ke luar gedung.
Mereka mengganggap perdebatan ini penting, karena Muhammad Ahsan, telah secara
terbuka di Surat Kabar Harian Rakyat, 9 Agustus 1955, meragukan keberadaan
Tuhan. Ia juga menolak keyakinan Islam bahwa orang yang berbuat kebaikan di
dunia, akan dibalas di akhirat kelak. Ahsan berkeyakinan, segala sesuatu
tercipta melalui evolusi alam, dan akan musnah dengan hukum alam juga. Dalam
surat kabar itu, ia menyatakan lugas, “Pencipta itu mestinya berbentuk. Tidak
mungkin suatu pencipta tidak berbentuk, “tulisnya.
Atas pernyataan itu, Hasan Aidit, Ketua Front Anti
Komunis, menghubungi A. Hassan agar bersedia bertukar pikiran dengan tokoh
atheis itu. Sebelumnya, Hasan Aidit dan Bey Arifin sudah melayangkan tantangan
debat di forum Study Club Surabaya pada 12 Agustus 1955, namun rencana itu
gagal. Ia kemudian menyusun rencana agar Ahsan yang atheis itu dipertemukan
dengan A. Hassan, sosok yang dikenal ahli dalam berdebat soal-soal keislaman.
A. Hassan dan Muhammad Ahsan bersedia bertemu di forum terbuka.
Singkat kata, perdebatan terbuka benar-benar terjadi. Karena
dikhawatirkan akan berlangsung panas, maka panitia memberikan beberapa
peraturan kepada hadirin yang datang menyaksikan. Hadirin tak boleh bertepuk
tangan, tidak boleh bersorak sorai, tidak boleh saling berbicara, tidak
menampakkan gerak-gerik yang merendahkan salah seorang pembicara, dan tidak
boleh mengganggu ketentraman selama berlangsungnya perdebatan.
Sementara untuk orang yang berdebat dibuat aturan pula.
Masing-masing berdiri di satu podium dan diberi mikrophone, kemudian saling
bertukar pertanyaan dan jawaban. Sementara pimpinan acara, yaitu Hasan Aidit,
duduk di sebuah meja didampingi seorang sekretaris untuk mencatat jalannya
perdebatan. Tugas pimpinan acara adalah mengatur jalannya perdebatan, dan
menegur siapa saja yang melanggar aturan.
Setelah dibuka dengan ceramah dari KH. Muhammad Isa
Anshary, tokoh Persatuan Islam yang juga petinggi Partai Masyumi, acara pun di
mulai. Perdebatan berlangsung dalam format tanya jawab dan saling menyanggah
pendapat yang diajukan.
Berikut point-point penting dari ringkasan perdebatan itu.
Tokoh atheis Muhammad Ahsan akan disingkat menjadi (MA), sedangkan A. Hassan
disingkat menjadi (AH):
A.H: Saya berpendirian ada Tuhan. Buat membuktikan keadaan
sesuatu, ada beberapa macam cara; dengan panca indera, dengan perhitungan,
dengan kepercayaan yang berdasar perhitungan, dengan penetapan akal.
Makatentang membuktikan adanya Tuhan, tuan mau cara yang mana?
M.A: Saya mau dibuktikan adanya Tuhan dengan panca indera
dan perhitungan dan berbentuk. Karena tiap-tiap yang berbentuk, seperti kita
semua, mestinya dijadikan oleh yang berbentuk juga…
A.H: Tidak bisa dibuktikan Tuhan dengan panca indera,
karena ada banyakperkara yang kita akui adanya, tetapi tidak dapat dibuktikan
dengan panca indera..
M.A: Seperti apa?
A.H: Tuan ada punya aka, fikiran, dan kemauan?
M.A : Ada
A.H : Bisakan tuan membuktikan dengan panca indera?
M.A: Tidak bisa
A.H: Bukan suatu undang-undang ilmi (ilmiah) dan bukan
aqli bahwa tiap-tiapsatu yang berbentuk itu penciptanya mesti berbentuk juga.
Ada banyak perkara, yang tidak berbentuk dibikin oleh yang berbentuk…
M.A: Seperti apa?
A.H : Saya berkata-kata, perkataan saya tidak berbentuk
sedang saya sendiriyang menciptakannya berbentuk. Bom atom berbentuk dan bisa
menghancurkan semua yang berbentuk di sekelilingnya, sedang akal yang
membikinnya tidakberbentuk. Kekuatan elektrik (listrik) tidak berbentuk, tetapi
bisa menghapuskan dan melebur semua yang berbentuk. Jadi, buat mengetahui
sesuatu, tidak selamanya dapat dengan panca indera. Dan pencipta sesuatu yang
berbentuk, tidak selalu mesti berbentuk.
* * *
A.H: Di dalam dunia ini adakah negeri yang dinamai London,
Washington, danMoskow?
M.A: Ada
A.H: Apakah tuan sudah pernah ke negeri-negeri itu?
M.A: Belum
A.H: Maka dari manakah tuan tahu adanya negeri itu?
M.A: Dari orang-orang
A.H: Bisa jadi diantara orang-orang itu ada yang belum
pernah kesana.Walaupun bagaimanapun keadaannya, buat tuan, adanya negeri-
negeri itu, hanya dengan perantaraan percaya, bukan dengan panca indera.
M.A: Ya, memang begitu.
A.H: Dari pembicaraan kita, ternyata ada terlalu banyak
perkara yang kitaterima dan akui adanya semata-mata dengan kepercayaan
danperhitungan, bukan dengan panca indera.
M.A: Ya memang begitu
A.H: Oleh itu, tentang adanya Tuhan, tidak usah kita minta
bukti dengan pancaindera, tetapi cukup dengan perhitungan dan pertimbangan
akal, sebagaimana kita akui adanya ruh, akal, kemauan, fikiran,
percintaan,kebenciaan, dan lain-lain.
M.A: Ya, saya terima.
A.H: Bila tuan tidak ber-Tuhan, tentulah tidak beragama.
Dari itu semua, baikdan jahat tentunya tuan timbang dengan fikiran dan akal.
Maka menurutfikiran, apakah tuan merasa perlu ada keadilan dan keadilan itu
perludibela hingga tidak tersia-sia?
M.A: Ya, perlu ada keadilan dan perlu dibela
A.H: Apakah tuan makan benda berjiwa?
M.A: Kalau binatang yang sedang berjiwa saya tidak makan
A.H: Saya tidak maksudkan binatang yang sedang hidup,
tetapi daging binatang-binatang: Sapi dan kambing yang dijual dipasar.
M.A: Ya, saya makan
A.H: Itu berarti tidak adil, tuan zalim
M.A: Mengapa tuan berkata begitu?
A.H: Karena menyembelih binatang itu, menurut fikiran satu
kesalahan dan
Kezaliman
M.A: Saya tidak bunuh binatang-binatang itu, tetapi
penjualnya
A.H : Kalau tuan tidak makan dagingnya, tentu orang-orang
tidak sembelih binatangnya. Jadi, tuan adalah seorang dari yang menyebabkan
binatang-binatang itu disembelih. Baiklah kita teruskan, apa tuan berbuat
(lakukan)kalau tuan digigit nyamuk?
M.A: Saya bunuh
A.H: Bukankah itu satu kezaliman?
M.A: Saya bunuh nyamuk itu lantaran ia gigit saya
A.H: Menurut keadilan fikiran, jika nyamuk gigit tuan,
mestinya tuan balas gigit dia. Balas dengan membunuh itu tidak adil…(tuan M.A
tertawa dan hadirin bertepuk tangan. Padahal dalam kesepakatan debat, ini
dilarang)
* * *
A.H: Tuan ada menulis di “Suara Rakyat” tanggal 9 Agustus
1955 tentang seorang yang keluar buntutnya dan terus memanjang, lalu ia minta
pada Rumah Sakit Malang supaya dipotong dan dihilangkan. Karena semakin
panjang, semakin menyakitkan. Apakah (dengan tulisan itu) tuan bermaksud dengan
itu bahwa manusia berasal dari monyet?
M.A: Ya, betul
A.H: Apakah tuan menganggap bahwa buntut orang itu kalau tidak
dibuangdan terus memanjang, niscaya dia jadi monyet?
M.A: Ya, betul begitu
A.H: Jika demikian berarti monyet berasal dari manusia,
bukan manusia berasal dari monyet…(Tuan M.A tertawa, hadirin juga terbahak dan
bertepuk tangan, lupa dengan peraturan majelis)
Perdebatan sengit yang akhirnya diselingi derai tawa dan
tepuk tangan karena keahlian A. Hassan yang mampu mematahkan argumen dengan
gaya yang santai, lucu, dan ilmiah, ini dikenang sepanjang massa sebagai debat
terbaik A. Hassan dengan tokoh atheis tersebut. Perdebatan ini sendiri
berlangsung dua kali. Debat pertama berlangsung selama dua setengah jam, dan
berakhir dengan pernyataan Ahsan menerima apa yang disampaikan oleh A. Hassan.
Ia menyatakan menerima dan kembali pada Islam. Namun dalam
pertemuan pertama, A. Hassan meminta Ahsan untuk berpikir dulu, sebelum
menerima apa yang disampaikan. Akhirnya pada pertemuan kedua yang berlangsung
selama dua jam, Ahsan benar-benar menerima dalil-dalil dan argumentasi yang
disampaikan A. Hassan. Tokoh atheis itu akhirnya kembali ke pangkuan Islam.
Kisah perdebatan antara A. Hassan dengan tokoh atheis ini kemudian
didokumentasikan dalam sebuah buku oleh A. Hassan dengan judul, “Adakah Tuhan?”
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar