ISLAM JAMA’AH SEBUAH P.R. TAMBAHAN
Oleh : Dr. Ahmad
Syafii Maarif
Gerakan
Islam Jama’ah atau Gerakan Darul Hadits dengan tokoh utamanya mendiang Nurhasan
Ubaidah pernah menghebohkan masyarakat Indonesia beberapa tahun yang lalu, dan
puncak kehebohan itu terjadi pada akhir 1979, pada saat gerakan ini mendapat
serangan dan kecaman keras dari berbagai pihak. Menurut informasi yang
diberikan oleh Bambang Irawan Hafiludin, bekas salah seorang tokoh puncaknya,
Gerakan Islam Jama’ah (GIJ) ini bukan hanya merupakan gejala Indonesia, tetapi
juga punya beberapa markas di luar negeri, antara lain di Makkah dengan
peralatan fisik yang serba modern dan mewah. Gerakan ini dianalogikan orang
juga sebagai Khawarij Gaya Baru (lihat Panjimas, 21 Juni 1986, hal. 19) dengan
sifatnya yang ekslusif dan anti rasio. Dalam makalah ini, saya akan melakukan
sorotan ulang terhadap hakekat, karakteristik gerakan ini, dan kira-kira
bagaimana strategi kita menghadapinya, karena gerakan ini telah muncul ke
permukaan kembali dengan berbagai nama dan bentuk. Kabarnya beberapa anggota
Muhammadiyah di beberapa tempat telah berhasil disedotnya. Ini adalah sebuah
Pekerjaan Rumah (PR) tambahan bagi kita di samping tugas-tugas lain yang
semakin menumpuk.
Islam versi Islam Jama’ah
Dari literatur
yang masih terbatas, kita diberi tahu tentang versi Islam gerakan ini. Doktrin
mereka bertumpu pada sebuah hadits mauquf yang dipercayai berasal dari Umar bin
Khatttab :
لا إسلام إلا بالجماعة و لا
جماعة إلا بالإمارة و لا إمارة إلا بالبيعة و لا بيعة إلا بالطاعة.
“Tiada Islam bila
tanpa jama’ah, tiada jama’ah tanpa keamiran, tiada keamiran tanpa bai’at, dan
tiada bai’at tanpa kataatan.”
Dengan bergayut
pada doktrin ini, gerakan ini secara semena-mena telah menggiring seluruh
ajaran Islam kepada hadits mauquf ini tapi menurut tafsiran yang sesuai dengan
selera amir tertinggi mereka. Jelas kita melihat di sini suatu kerja
eksploitatif terhadap kesucian ajaran agama untuk mencapai tujuan-tujuan
pragmatis-materialistik.
Tapi
tujuan-tujuan pragmatis ini tidak cepat dapat disadari oleh para pengikutnya,
karena memang sengaja disembunyikan, sekali pun hal itu tentunya banyak
tergantung pada kesigapan batin seseorang dalam menangkap tujuan sebenarnya
dari gerakan ini. Seorang Bambang Irawan, misalnya, memerlukan tempo sekitar 23
tahun untuk mengenal betul hakekat IJ ini. Irawan, sebagaimana kita ketahui,
adalah calon pengganti Ubaidah, tapi kemudian setelah belajar agama ke Makkah,
pada 1983 ia meninggalkan gerakan itu, dan telah membeberkan seluk beluk
gerakan ini. Irawan pernah mengeluh, “Sayang, 23 tahun saya menjadi korban
berat IJ. Sebuah pengalaman pahit,” (Ibid, hal. 23).
Dalam membuat
doktrinnya lebih efektif, sang amir dengan sengaja membaca hadits mauquf di
atas secara terbalik. Dengan jalan begini ia telah menentukan posisi keimanan
seseorang. Jadi hadits itu dibalik begini :
“La tha’ata
berarti la bai’ata, la bai’ata berarti la imarata, la imarata berarti la
jama’ata, la jama’ata berarti la islama, la islama berarti kafir.” (ibid).
Dengan
cara inilah memastikan surga atau neraka bagi seseorang. Sebuah jalan pintas
yang sangat sederhana di samping sangat licik. Oleh sebab itu tidak
mengherankan bila sebagian besar pengikut mereka adalah orang-orang yang awam
dalam soal agama, sekali pun mungkin punya ketenaran pada sisi lain.
Kesederhanaan dan kemudahan inilah menurut almarhum Buya Hamka “sebagai daya
tarik bagi yang butuh pegangan.” Para artis misalnya, kata Hamka, kan sebenarnya
punya kehausan keagamaan. Selama ini mungkin mereka merasa kotor. Tiba-tiba
datang kiyai yang menurut mereka meyakinkan, dan berkata, “Kamu tidak
apa-apa. Kamu masuk surga, asal begini-begini, begitu-begitu.” (Tempo, No.
32 Th. IX (6 Oktober 1979), hal. 18). Dengan doktrin ini para pengikut itu
merasa mendapat tempat dan dihargai. Bukan saja sebagai siswa, tapi malah
sebagai muballigh. Kemudian Tempo menuturkan, “Anak-anak muda SMP dan SMA
dikirim ke Kediri. Hanya dua bulan dapat pelajaran, langsung disebut
“muballigh” dalam ukuran ‘cabe-rawit’ dan “mengajar.” (ibid).
Kepada para pengikut ini memang diajarkan Al-Qur`an dan Hadits, tapi harus manqul (dinukilkan dari Nabi lewat mulut demi mulut sampai ke mulut Nurhasan). Nurhasan lah yang memberi kata putus bagi sah tidaknya suatu ajaran. Para pengikut tidak boleh bertanya, apa lagi mendebat sang amir. Di samping Nurhasan, ada lagi tokoh lain Drs. Nurhasyim, alumnus dan pernah jadi dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Kalijaga Yogyakarta. Nurhasyim inilah yang mula-mula membina Bambang Irawan. Sekarang baik Ubaidah maupun Nurhasan telah meninggal, masing-masing tahun 1982 dan tahun 1974.
Pada
awal 1970 Drs. Nurhasyim menulis sebuah risalah dengan judul “Al-Qur`an Hadits
Jama’ah Adalah Agama Islam itu Sendiri.” Risalah ini bertujuan untuk memberikan
justifikasi agama bagi eksistensi Islam Jama’ah. Ada 49 butir doktrin yang
ditampilkan dalam risalah itu yang umumnya dikembangkan dari hadits mauquf
tersebut di atas. Butir doktrin no. 38 berbunyi, “Mati sebelum bai’at adalah
mati jahiliyah.” Doktrin no. 39 berbunyi, “Kewajiban orang yang telah
bai’at ialah taat bil ma’ruf dan syukur karena Allah.” No. 40 berbunyi, “Tidak
taat setelah bai’at adalah neraka.” (lihat hal. 58).
Dengan
cara inilah Ubaidah menegakkan karisma diri dan karisma dinastinya untuk mereka
yang sangat awam dalam pemahaman agama atau mereka yang oportunis untuk meraih
tujuan-tujuan yang sepenuhnya bersifat materialistik, seperti kekayaan, seks
dan pengaruh. Ada dua buku yang ditulis secara populer oleh empat penulis pada
1979 untuk melawan gerakan dan ajaran Islam Jama’ah ini. Buku itu adalah adalah
Drs. Imron A.M. dan Achmad Taufiq, “Islam Jama’ah yang Meresahkan,” Bangil,
Al-Muslimun, 1979, dan yang lain adalah Anshari Thayib dan Anas Sadaruwan, “Korban
Islam Jama’ah,” Surabaya, Bina Ilmu, 1979. Buku pertama mengupas Islam Jama’ah
dari sudut ajaran Islam (yang benar). Buku kedua melihatnya sebagai gejala
sosio-religius yang menyimpang, dan dibandingkan dengan praktek Jim Jones dari
Guyana di mana gerejanya pernah menghebohkan dunia dengan pembunuhan massalnya.
Buku pertama terutama dapat jadi bacaan awal bagi kita untuk meneliti lebih
jauh tentang gerakan ini, di samping sumber-sumber yang telah saya sebut di
atas.
Karakteristik dan Eksistensi
Islam Jama’ah Sekarang
Islam
Jama’ah adalah gerakan yang ekslusif dengan doktrin yang sama sekali tidak
dapat dipertanggung jawabkan secara agama sebagaimana yang kita fahami. Mereka
memang menutup diri untuk berdialog, karena dengan cara inilah gerakan ini mempertahankan
eksistensinya. Sekali dialog dibuka, maka seluruh agenda tersembunyi gerakan
ini akan terbongkar. Dengan sifat ekslusif ini, pusat-pusat gerakan ini di
Burengan, Kediri, Pondok Darul Hadits di Kertosono dan kini entah di mana lagi,
dapat melestarikan mengalirnya infaq 10% dari para pengikutnya. Jumlah infaq
ini konon kabarnya sampai mencapai 1 milyar saban bulan. Bagaimana mengatur
penggunaan infaq ini seluruhnya diatur oleh amir. Para pengikut tidak punya hak
menanyakan masalah keuangan itu, sebab kewajiban mereka adalah taat. Bertanya tentang
soal keuangan ini berarti melanggar doktrin tentang taat itu. Fenomena macam
ini di dunia modern memang sesuatu yang hebat. Hebat dalam arti bagaimana
manusia modern, dan sebagian kabarnya adalah kaum intelektual, terjerat oleh
gerakan yang sama sekali, tidak dapat diukur dengan standar akal sehat. Tapi
inilah yang terjadi.
Menurut
Bambang Irawan, pengikut IJ sekarang mencapai jutaan di Indonesia. (lihat
Panjimas, op.cit., hal. 19). Lewat pengajian yang mereka selenggarakan di
berbagai tempat, doktrin-doktrin gerakan ini semakin merayap dalam meracuni
keimanan ummat kita yang awam. Sikap mengkafirkan terhadap non anggota IJ
memang tidak lagi mereka tonjolkan. Mungkin karena dipandang dapat jadi bumerang
bagi eksistensi gerakan mereka. Tapi bahwa doktrin takfir itu tidak dicabut
dari ajaran pokok mereka, saya rasa adalah pendirian mereka, berdasarkan hadits
mauquf yang sengaja dibaca terbalik di atas.
Siasat Penanggulangan
Sebenarnya
secara hukum IJ telah dilarang oleh Kejaksaan Agung dengan SK-nya
NO.089/DA/10/1971. Tapi larangan semacam ini ternyata tidak efektif. Apalagi
ada phak-pihak tertentu untuk tujuan-tujuan politik yang melindunginya, hingga
larangan pihak Kejaksaan menjadi tidak berdaya. Dan memang untuk menanggulangi
gerakan seperti IJ ini, larangan hukum atau fatwa agama sering tidak mencapai
tujuannya. Apalagi fatwa agama yang diberikan oleh lembaga-lembaga Islam di
luar IJ tidak akan mereka dengar, sebab orang-orang yang tidak mengakui keamiran
mereka sudah tidak sah lagi Islamnya. Dengan demikian pendapat atau keputusan hukum
agama yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang “tidak sah” Islamnya, sudah tentu
dengan sendirinya tidak dapat mengikat pengikut IJ, kecuali tentunya mereka
yang punya hati dan pikiran terbuka.
Tapi
dari diskusi nanti siapa tahu di antara kita yang hadir ini ada yang sudah
berkenalan langsung dengan GIJ, hingga kita dapat merumuskan suatu
kebijaksanaan untuk menghadapinya, betapa pun masih bersifat tentatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar