بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah I
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh umat manusia. Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi akhir zaman, Rasulullah r,
kepada keluarga dan para sahabatnya serta semua pengikutnya sampai akhir zaman.
Mayoritas umat Islam Indonesia , bahkan di dunia adalah
pengikut aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Ajaran-ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah
sangat mengakar dan membumi di dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia .
Memang ajaran-ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah terwujud dalam manifestasi yang
beragam di berbagai belahan dunia Islam.
Dalam bidang aqidah misalnya, ada sebagian
pengikut Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang mengikuti pemahaman Ahlu Atsar yang
identik dengan Imam Ahmad bin Hanbal, sementara yang lainnya mengikuti
pemahaman Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Demikian pula dalam bidang fiqih, ada yang bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hanbali.
Namun dalam perbedaan manifestasi ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah ada beberapa benang merah yang menyatukan semua perbedaan tersebut, yaitu kepercayaan mutlak kepada kesucian al-Qur`an.
Benang merah selanjutnya adalah penghormatan
kepada para sahabat nabi sebagai mata rantai utama ajaran Islam. Keutamaan para
sahabat diimplementasikan dalam ijma ulama tentang adalatus shahabat yang
dimaknai dengan diterimanya periwayatan para sahabat tanpa perlu menyelidiki
jati diri mereka. Dalam hal ini, saya yang dibesarkan dalam lingkungan dan
tradisi jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU), selalu meresapi apa yang diajarkan oleh Hadratus
Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah :
وَ مِنْهُمْ رَافِضِيُّوْنَ
يَسُبُّوْنَ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَ يَكْرَهُوْنَ
الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ يُبَالِغُوْنَ هَوَى سَيِّدِنَا عَلِيٍّ وَ
أَهْلِ بَيْتِهِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. قَالَ السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ
فِيْ شَرْحِ الْقَامُوْسِ : وَ بَعْضُهُمْ يَرْتَقِيْ إِلَى الْكُفْرِ وَ الزَّنْدَقَةِ
أَعَاذَنَا اللهُ وَ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْهَا. قَالَ الْقَاضِيْ عِيَاضٌ فِيْ الشِّفَاءِ
: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ : قَالَ : رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اَللهُ اَللهُ فِيْ أَصْحَابِيْ لَا تَتَّخِذُوْهُمْ غَرَضًا
بَعْدِيْ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّيْ أَحَبَّهُمْ وَ مَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِيْ
أَبْغَضَهُمْ وَ مَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِيْ وَ مَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهَ
وَ مَنْ آذَى اللهَ يُوْشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ.
“Di antara mereka ada
golongan Rafidhah yang suka mencaci Sayyidina Abu Bakar t dan Umar t,
membenci para sahabat Nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayyidina Ali t
dan anggota keluarganya, semoga Allah meridhai mereka bahkan sampai pada
tingkatan kafir dan zindiq, semoga Allah melindungi kita dan kaum muslimin dari
aliran ini. Berkata al-Qadhi Iyadh dalam asy-Syifa dari Abdullah bin Mughaffal
bahwa Rasulullah r bersabda, “Takutlah
kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah
kalian menjadikan mereka sebagai sasaran caci maki sesudah aku tiada. Barangsiapa
mencintai mereka, berarti telah mencintai aku, dan barangsiapa membenci mereka,
berarti telah membenciku. Barangsiapa menyakiti mereka, berarti telah menyakiti
aku dan barangsiapa menyakiti aku, berarti telah menyakiti Allah, dan
barangsiapa menyakiti Allah, dikhawatirkan Allah akan menghukumnya.”
Kedua hal tersebut begitu lekat dan menjiwai faham
keagamaan umat Islam yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Bahkan tidak
berlebihan bila keduanya menjadi parameter di mana seseorang dianggap benar
keislamannya atau salah.
Oleh karena itu, mereka memandang bahwa
setiap aliran, faham atau amaliyah yang bertentangan dengan kedua keyakinan
tersebut di atas, adalah bentuk penyimpangan keislaman yang terkait dengan aqidah
islamiyah, dan bukan sebagai masalah khilafiyah fiqhiyyah.
Di antara aliran tersebut adalah aliran Syi’ah
yang cukup gencar melakukan gerakan dakwah dalam beberapa tahun terakhir ini. Ada beberapa ajaran Syi’ah
yang bertentangan dengan faham keagamaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang sangat
fundamental, antara lain :
Pertama : Tidak mengakui keaslian al-Qur`an yang ada. Mereka
menganggap bahwa al-Qur`an yang ada sekarang ini sudah mengalami distorsi,
penambahan dan pengurangan. Dalam keyakinan mereka, al-Qur`an yang asli adalah Mushaf
Ali t dan Mushaf Fatimah
dengan jumlah ayat yang mencapai tiga kali lipat al-Qur`an yang ada saat ini.
Kedua : Tidak mengakui kekhalifahan sahabat Abu Bakar t,
Umar t dan Utsman t,
serta mencaci maki dan mengafirkan para sahabat Nabi Muhammad r.
Bagi para ulama dan kalangan terpelajar,
tentu akan mudah untuk meragukan kebenaran dari kedua hal tersebut di atas. Terkait
dengan keaslian al-Qur`an, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan sederhana
saja, antara lain :
- Di manakah al-Qur`an yang asli berada? Mengapa tidak diperlihatkan? Adakah dalil aqli dan naqli yang mendukung ketersembunyian al-Qur`an dalam kurun waktu yang lama?
- Mengapa sahabat Ali t -saat menjadi khalifah- tidak menetapkan mushaf yang beliau miliki atau Mushaf Fatimah menjadi Mushaf Imam (mushaf induk) menggantikan Mushaf Utsmani?
- Bukankah beberapa qiraat sab’ah (tujuh bacaan al-Qur`an) bersumber dari Ahlul Bait dan sahabat Ali t? Sebagai contoh qiraat Hamzah az-Zayyat diriwayatkan dari Ja’far ash-Shadiq dari Muhammad al-Baqir dari Ali Zainal Abidin t dari al-Husain t dari Ali bin Abi Thalib t. Dengan jalur sanad ini, tidakkah kita dapat memastikan bahwa Ahlul Bait telah keluar dari ijma kaum muslimin yang menyepakati otoritas Mushaf Utsmani?
- Apabila al-Qur`an yang asli dibawa oleh Imam al-Mahdi al-Muntazhar dalam persembunyiannya sesuai dengan keyakinan Syi’ah, itu berarti Imam Mahdi telah membiarkan umat Islam memegang al-Qur`an yang tidak asl.? Bukanlkah ini merupakan suatu kezaliman?
- Mengapa kaum Syi’ah tidak mencari persembunyian Imam al-Mahdi untuk mengambil al-Qur`an yang asli tersebut? Sudah lebih dari seribu tahun beliau bersembunyi. Sampai kapan beliau akan terus bersembunyi dengan al-Qur`an yang asli tersebut dan membiarkan umat islam -dalam pandangan Syi’ah- berada dalam kesesatan?
Adapun pandangan kaum Syi’ah terkait dengan
kekhalifahan sahabat Abu Bakar t,
Umar t dan Utsman t yang kemudian
menyebabkan kebencian yang luar biasa kepada para sahabat, saya ingin mengajak
kaum Syi’ah untuk merenungi beberapa hal di bawah ini :
- Apabila kaum Syi’ah meyakini bahwa sahabat Ali t telah dilantik oleh Rasulullah r di Ghadir Khum -daerah dekat Juhfah berjarak 170 km dari Madinah-. Mengapa beliau dan para sahabat yang menyaksikan peristiwa Ghadir Khum tidak menolak atau memprotes pengangkatan sahabat Abu Bakar t sebagai khalifah?
- Apabila benar bahwa Rasulullah r telah berwasiat kepada sahabat Ali t untuk menjadi khalifah, mengapa beliau tidak menyampaikan hal tersebut di hadapan para sahabat? Apakah beliau takut untuk menjadi syahid membela wasiat Nabi Muhammad r? Bukankah ini bertentangan dengan sejarah hidup sahabat Ali t yang terkenal dengan ketulusan, keberanian dan kejujurannya?
- Keikut sertaan sahabat Ali t membaiat sahabat Abu Bakar t hanya dapat diartikan dengan dua hal. Pertama, beliau melakukan baiat dalam ketakutan dan itu tidak selaras dengan kepribadian beliau seperti pada point nomor 2. Kedua, apakah keikutsertaan beliau berbaiat kepada sahabat Abu Bakar t dapat diartikan sebagai pengkhianatan terhadap wasiat Nabi Muhammad r?
- Apa manfaat yang bisa dipetik oleh umat Islam dari kebencian yang ditanamkan kepada para sahabat? Kalau benar seperti keyakinan kaum Syi’ah terhadap Abu Bakar t, Umar t, Utsman t bahkan Aisyah yang merupakan isteri Rasulullah r, apakah beliau salah dalam mencari sahabat dan menentukan pendamping hidup?
- Seandainya sahabat Umar t itu murtad atau tidak pernah tulus dalam beriman, mengapa sahabat Ali t rela mengawinkan putrinya Ummi Kaltsum kepada sahabat Umar t? Lalu mengapa beliau berkenan menjadi penasihat khalifah Umar t selama bertahun-tahun?
- Mengapa ketika proses pemilihan khalifah pasca wafatnya sahabat Umar t -di mana sahabat Ali t sebagai salah satu calon dari enam orang kandidat khalifah- kemudian justru beliau mengundurkan diri? Bukankah ini adalah kesempatan untuk melaksanakan wasiat Nabi Muhammad r? Pengunduran diri beliau tidakkah merupakan pelanggaran terhadap wasiat tersebut?
- Apabila para sahabat dianggap telah kafir kecuali Ali t, Miqdad t, Abu Dzar t dan Salman t, lalu bagaimana umat Islam bersandar dalam menjalankan agamanya? Bukankah mereka akan menyandarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat? Bila demikian, ada banyak ibadah dan amaliyah yang tidak memiliki landasan hadits, karena hadits-hadits tersebut tudak diriwayatkan oleh Ahlul Bait atau empat sahabat tersebut.
- Membatasi riwayat hadits sebatas Ahlul Bait dan sahabat Ali t, Miqdad t, Abu Dzar t dan Salman t tidak sesuai dengan logika dan fakta ilmiyah. Karena bila itu yang terjadi, apakah Rasulullah r hanya akan menyampaikan ajaran Islam jika di samping beliau ada Ahlul Bait dan empat orang sahabat tersebut? Bukankah Rasulullah r pernah berbicara dengan Abu Bakar t, Umar t, Utsman t, Aisyah, Abu Hurairah t dan lainnya tanpa kehadiran Ahlul Bait?
Kedua hal tersebut di atas
adalah bagian dari perbedaan prinsip keagamaan antara Ahlu Sunnah wal Jama’ah
dan Syi’ah. Tentu masih terdapat beberapa hal lain yang cukup fundamental dalam
perbedaan faham keagamaan di antara keduanya.
Gerakan
Syi’ah yang sering dikemas dalam bentuk propaganda akan kecintaan kepada
keluarga Rasulullah r
di Indonesia
belakangan ini sudah cukup meresahkan umat Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Lembaga dan organisasi Syi’ah melakukan gerakan masif melalui lembaga
pendidikan, penerbitan buku serta media cetak dan elektronik. Akibatnya di
tengah masyarakat sudah mulai berkembang gambaran negatif tentang
sahabat-sahabat Nabi yang haus akan hal-hal yang bersifat keduniawian sekalipun
untuk mencapainya para sahabat tersebut melakukan kezaliman kepada Ahlul Bait,
utamanya sahabat Ali t
dan anak keturunannya. Inilah anak tangga utama mereka untuk menanamkan
keraguan akan keaslian al-Qur`an dan kebenaran al-Hadits.
Jika
kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka perlahan namun pasti akan merongrong
kelestarian ajaran Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Perbedaan kita dengan Syi’ah,
bukan sekedar perbedaan Madzhab Ahlu Atsar dan Madzhab Asy’ari, Madzhab Hanafi
dan Madzhab Syafi’i, Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persatuan
Islam (PERSIS). Akan tetapi, perbedaan tersebut langsung menyentuh
prinsip-prinsip aqidah dan maqasid syariah yang dianut oleh umat Islam
yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Oleh
karena itu, sebagai bentuk pelaksanaan amanah dan amar ma’ruf nahi munkar
yang menjadi kewajiban kaum terpelajar, para guru, ustadz, kyai dan para
akademisi, saya menyambut baik terbitnya buku, “Agar Kita Tidak Menuduh
Syi’ah”. Sikap diam dan berhusnudzan kepada fanatisme umat kepada ajaran
Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak lagi bisa menahan arus propaganda aliran-aliran
tersebut. Era keterbukaan seperti sekarang ini mengharuskan kita untuk berani
menyampaikan fakta kebenaran secara lugas, meyakinkan dan tanpa basa basi serta
didukung dengan referensi primer dan data yang valid.
Semoga
buku ini bisa bermanfaat untuk umat Islam dan menjadi bahan rujukan bagi semua
pihak yang berkepentingan dalam menjaga kelestarian ajaran Islam Ahlu Sunnah
wal Jama’ah, khususnya di Indonesia .
Syukron Ma’mun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar