Serial ulasan ke-15 terhadap buku "Akhirnya Kutemukan
Kebenaran" dan penulisnya, Dr. Muhammad At-Tijani. Silakan baca serial
ulasannya secara lengkap di sini: Akhirnya Kutemukan Kebenaran
(Judul di atas kami ambil dari judul sub-bab pada makalah
Jalaluddin Rakhmat "Sahabat dalam Timbangan Al-Qur'an, Sunnah dan Ilmu
Pengetahuan" yang mengetengahkan Syubhat seperti yang ditulis oleh
At-Tijani tentang 'pembangkangan' para sahabat kepada Nabi Muhammad pada
peristiwa perjanjian Hudaibiyah, berikut ini bantahan untuk mereka berdua)
Penulis (at-Tijani) berkata pada halaman 93: pada judul (Para
sahabat pada Peristiwa Hudaibiyah), setelah menyebutkan secara menyeluruh
berita perjanjian Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- bersama
orang-orang Quraisy dengan syarat-syarat yang telah diketahui: “Akan tetapi
beberapa sahabat tidak menyetujui tindakan dari Nabi dan mereka menolak
pendapat beliau dengan penolakan yang keras, Umar bin Khattab mendatanginya
kemudian berkata: “Bukankah engkau benar Nabi Allah?” Nabi berkata, “Benar”
Umar berkata, “Bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas
kebatilan?” Nabi berkata, “Benar” Umar berkata, “Jika demikian mengapa kita
menghinakan agama kita” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku adalah Rasul
Allah dan aku tidaklah melanggar perintah-Nya dan Dia adalah penolongku.” Umar
berkata, “Bukankah engkau mengatakan kepada kami bahwa kami akan mendatangi
Baitullah dan berthawaf di sana?”
Nabi berkata, “Benar, tapi apakah aku mengabarkan bahwa kita akan mendatanginya
tahun ini?” Umar berkata, “tidak”, Nabi berkata, “Sesungguhnya engkau akan
mendatanginya dan bertawaf di sekililingnya.”
Hingga dia (at-Tijani) berkata: “Ketika Rasulullah telah selesai
dengan perjanjian tersebut, beliau berkata kepada sahabatnya: “bangkitlah dan
bersembelihlah lalu bercukurlah (tahallul),” demi Allah tidak seorangpun diantara
mereka yang berdiri sampai Nabi mengulangi perintahnya hingga tiga kali mereka
tetap tidak menaati perintah Nabi. Nabi masuk ke dalam tenda kemudian keluar
lagi dan tidak berbicara dengan seorangpun diantara mereka dan beliau
menyembelih qurban dengan tangannya, dan memanggil tukang cukur untuk mencukur
rambut beliau. Ketika para sahabat melihat hal tersebut, mereka kemudian
bangkit dan menyembelih, dan saling mencukur rambut satu sama lain sehingga
nampak seakan-akan mereka saling berbunuh-bunuhan.”
Kemudian penulis berkata: “Apakah seorang yang berpikir waras
dapat menerima perkataan yang mengatakan bahwa para sahabat mengikuti perintah
Rasulullah? Kisah ini membantah perkataan mereka tersebut. Apakah Umar selamat
dan tidak terdapat ganjalan dalam hatinya terhadap apa yang diputuskan oleh
Rasulullah? Ataukah ada keraguan padanya terhadap apa yang diperintahkan oleh
Nabi, terkhusus pada perkataannya: “Bukankah engkau benar Nabi Allah?, dan
seterusnya” Apakah dia menerima setelah Rasulullah menjawab pertanyaannya
dengan jawaban yang memuaskan? Tidak, dia tidak puas dengan jawaban Nabi dan
pergi kepada Abu Bakar dan bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama.”
Jawaban:
Semua yang disebutkan penulis tentang pertanyaan Umar kepada nabi
pada peristiwa Hudaibiyah, begitu pula terlambatnya para sahabat mengikuti
perintah Nabi untuk menyembelih dan bertahallul hingga Rasulullah yang
menyembelih dan bercukur terlebih dahulu, semua ini adalah shahih tsabit
pada shahihain dan selainnya dari kitab-kitab hadis yang menceritakan tentang
Perjanjian Hudaibiyah.[1]
Dan karena dua peristiwa ini muncul kecaman dari Rafidhah terhadap
para sahabat Nabi, sementara mereka (para sahabat) baik itu Umar ataupun
selainnya dari kalangan sahabat Nabi yang menyaksikan perjanjian Hudaibiyah
tidaklah tercela karena peristiwa tersebut.
Penjelasan
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- telah melihat
dalam mimpinya bahwa beliau akan memasuki Mekah dan berthawaf di Baitullah.
Kemudian beliau mengabarkan kepada para sahabat beliau tentang hal tersebut,
ketika itu mereka di Madinah. Ketika tahun terjadinya Perjanjian Hudaibiyah,
tidak ada yang ragu di kalangan para sahabat bahwa mimpi tersebut akan terjadi
tahun ini (tahun hudaibiyah). Dan ketika terjadi kesepakatan Perjanjian
Hudaibiyah yang di dalamnya tertulis bahwa mereka harus kembali ke Madinah pada
tahun itu kemudian kembali ke Makkah tahun depannya, para sahabat merasa berat
dengan keputusan perjanjian itu.[2] Kemudian Umar
dengan semangatnya mempertanyakan perkara perjanjian tersebut kepada
Rasulullah. Dan pertanyaan-pertanyaan Umar tersebut bukanlah suatu bentuk
keraguannya kepada Rasulullah atau penolakan terhadapnya, akan tetapi sebagai
bentuk klarifikasi tentang apa yang telah berulang kali diketahuinya, yaitu
mereka akan memasuki mekah dan bertawaf di Baitullah. Dan dia menginginkan agar
Rasulullah segera memasuki Mekah, dan tidak kembali ke Madinah. Umar
melihat hal yang demikian (memasuki Mekah) adalah bentuk kemuliaan bagi agama
Allah dan kehinaan bagi orang-orang Musyrik.
Berkata an-Nawawi: “Berkata para
ulama bahwa pertanyaan dari Umar bukanlah bentuk keraguannya kepada Nabi,
bahkan itu adalah klarifikasi terhadap suatu persoalan yang masih belum jelas
baginya, juga keinginannya untuk menghinakan kaum kuffar dan agar memberikan
kejayaan bagi Islam, sebagaimana yang telah diketahui dari sifat beliau radhiyallahu
anhu, dan semangatnya yang kuat dalam menolong agama Islam dan menghinakan
orang-orang bathil.”[3]
Umar dalam hal ini adalah seorang
mujtahid, yang membuatnya bertanya seperti itu adalah semangatnya yang
sangat kuat dalam membela kebenaran, menolong agama Allah, dan ghirah
(rasa cemburu jika agamanya dihinakan). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
Rasulullah memanggilnya pada musyawarah, mengemukakan pendapat, permisalan dari
perintah Allah Ta’ala: (Maafkanlah mereka, dan minta ampunkanlah bagi mereka
dan bermusyawarahlah dalam urusan).[5] Nabi
telah banyak bermusyawarah dengan para sahabat dan mengambil pendapat mereka,
seperti pada musyawarah perang Badar pada saat kepergian ke al-‘iir, Nabi
bermusyawarah dengan mereka. Demikian pula pada hari Uhud apakah Nabi cukup
tinggal di Madinah ataukah keluar berperang melawan musuh. Kemudian
mayoritas sahabat menginginkan agar beliau keluar berperang, maka Nabi pun
keluar bersama mereka. Beliau juga bermusyawarah dengan sahabat pada perang
Khandaq untuk berdamai dengan Al-Ahzab (golongan kuffar musyrikin quraisy,
yahudi, dan kabilah-kabilah arab) dengan memberikan mereka sepertiga hasil
panen buah-buahan madinah pada tahun tersebut, lalu dua Sa’ad (Sa’ad bin Muadz
dan Sa’ad bin Ubadah) tidak setuju dan Nabi pun meninggalkan pendapat
pribadinya. Nabi juga bermusyarah dengan mereka pada peristiwa Hudaibiyah untuk
memancing kemarahan orang-orang Musyrik, Berkata Abu Bakar: “Sesungguhnya kami
tidak datang untuk berperang, Kami datang untuk umrah,[6] kemudian
Nabi menyetujui pendapat tersebut. Masih banyak peristiwa lainnya,
terlalu panjang jika kita sebut semua.
Umar sangat ingin agar Rasulullah
menyetujui pendapatnya, yaitu berperang melawan orang-orang Quraisy. Karena
itu, Umar menanyakan kembali ketika keputusan perjanjian mengecewakan kaum
Muslimin, beliau juga bertanya kembali kepada Abu Bakar. Namun ketika beliau
melihat mereka berdua (Rasulullah dan Abu Bakar) berpandangan yang sama
akhirnya beliau meninggalkan pendapatnya. Olehnya, Rasulullah menerima alasan
kemarahan Umar karena melihat niatnya yang baik dan benar.
Adapun sikap para sahabat tentang
penyembelihan dan bercukur hingga Nabi yang lebih dulu menyembelih dan
bercukur, bukanlah merupakan kemaksiatan terhadap perintah Rasulullah, para
Ulama telah menyebutkan beberapa pandangan.
Ibnu Hajar berkata: bentuk diamnya
para sahabat kemungkinan adalah mereka beranggapan bahwa perintah tersebut
adalah sunnah (tidak wajib), atau mereka mengharapkan turunnya wahyu untuk
membatalkan perjanjian Hudaibiyah (karena para sahabat menganggap umat islam
dirugikan dalam perjanjian tersebut), atau kekhususan bagi mereka untuk
memasuki Mekah pada tahun tersebut untuk menyempurnakan manasik mereka
karena pada masa itu masih berlaku naskh (nasikh-mansukh/pembatalan
hukum dalam periode pensyari’atan). Kemungkinan juga mereka telah terbawa
kondisi pada saat itu, kemudian mereka terpengaruh dengannya dan merasa bahwa
apa yang terjadi dari perjanjian itu merupakan bentuk penghinaan terhadap diri
mereka, dimana kekuatan dan kemampuan memungkinkan untuk mencapai keinginan
mereka, melaksanakan manasik dengan cara memasuki Makkah dengan berperang, atau
mereka mengakhirkan untuk menaati mengikuti perintah Nabi karena mereka
beranggapan bahwa perintah tersebut tidaklah bermakna segera untuk dilaksanakan
(boleh ditunda pelaksanaannya). Hal ini terjadi terhadap mereka semua.[7]
Pada beberapa riwayat, bahwa
ketika Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- melihat para sahabat
tidak ada yang mengikuti perintahnya, beliau menemui Ummu Salamah dan
menceritakan apa yang terjadi. Kemudian Ummu Salamah berkata:
“Wahai Rasulullah, janganlah engkau berbicara dengan mereka, sesungguhnya
mereka merasa berat menerima isi Perjanjian Hudaibiyah dan kembali tanpa
pembebasan (kota Mekah).”[8]
Kemudian Ummu Salamah mengisyaratkan
kepada beliau seperti disebutkan dalam riwayat Bukhari: “Keluarlah, janganlah
engkau berbicara dengan seorang pun diantara mereka hingga engkau menyembelih
qurban, lalu memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut engkau.” Nabi lalu
keluar dan tidak berbicara dengan seorang pun hingga Nabi melakukan seperti
yang disarankan oleh Ummu Salamah. Ketika para sahabat melihat Nabi melakukan
hal tersebut, mereka pun bangkit dan menyembelih.[9]
Ibnu Hajar berkata: “ini menunjukkan
bahwa Ummu Salamah memahami keadaan para sahabat bahwasanya Nabi memerintahkan
mereka untuk bercukur sebagai keringanan bagi mereka, dan Nabi melanjutkan
untuk berihram sebagai bentuk kemauan yang kuat pada diri beliau sendiri,
Kemudian Ummu Salamah mengisyaratkan kepada Nabi agar bertahallul untuk
mencairkan suasana tersebut. Nabi mengetahui kebenaran akan apa yang
disampaikan ummu salamah kepadanya, ia pun melakukannya. Sebagaimana yang
terjadi pada para sahabat pada Fathu Mekkah ketika Nabi memerintahkan mereka
untuk berbuka puasa (di siang hari) pada bulan Ramadhan, mereka tidak
melakukannya karena menyangka hal itu dilarang. Akan tetapi ketika
para sahabat melihat beliau minum, mereka pun ikut minum.[10]
Ini adalah suatu kebaikan yang layak
disandarkan pada para sahabat Nabi. Mereka memiliki keinginan yang besar untuk
melakukan ihram dan semangat untuk menyempurnakan haji. Ketika Nabi menyuruh
mereka untuk bertahallul dan mereka tidak mengerjakannya, mereka mengira
bahwa Nabi merasa kasihan kepada mereka. Kemudian ketika para sahabat melihat
Nabi telah bercukur (tahallul) yakinlah mereka bahwa hal itu adalah lebih afdhal
bagi mereka. mereka pun bersegera melakukannya. Ini seperti yang terjadi kepada
mereka pada peristiwa haji pada fath makkah beserta Nabi ketika
menuju Mekah bertawaf dan bersa’i Nabi menyuruh mereka untuk bercukur.
Dan memerintahkan istri-istri mereka untuk berumrah. Lalu mereka merasa berat
dengan itu karena besarnya pengagungan mereka terhadap manasik haji. Mereka
berkata: “Kami pergi ke arafah namun ingatan kami berada di Mina. Ketika
Nabi mengetahuinya, dan Ia belum bertahallul, Nabi bersabda kepada mereka:
“Wahai manusia, bercukurlah, kalau bukan karena hadya (binatang sembelihan)
yang aku bawa, niscaya aku akan melakukan seperti yang kalian kerjakan” Jabir
–Perawi hadits ini- berkata: “Kami pun bercukur, kami dengar dan kami taat”[11]
Ini semua adalah bentuk semangat para
sahabat Rasulullah dalam kebaikan dan kecintaan dalam mencontoh Nabi dengan
sempurna. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.
Dengan ini nampaklah pandangan yang
benar sikap para sahabat yang mulia pada peperangan berberkah tersebut, yang
menambah kedudukan mereka di sisi Allah, dan kecintaan di hati orang-orang
beriman.
Jika si Rafidhi (penulis) tidak
menerima penjelasan di atas dengan kesombongan, kezholiman, dan tetap berjalan
di atas kedustaan dan tadlis (penipuan), saya akan memberikan di sini
beberapa poin untuk membantah syubhatnya dengan mengharap daya dan kekuatan
dari Allah.
Pertama
Apa yang terjadi pada para sahabat –radhiyallahu
anhum- di hari Hudaibiyah terjadi di hadapan Rasulullah, dan wahyu turun
kepada beliau, maka apakah Allah mengecam mereka karena hal tersebut? Karena
sesungguhnya Allah tidaklah mendiamkan kebatilan. Atau apakah Rasulullah
mengingkari para sahabat? Dimana Rasulullah tidak takut dari celaan sang
pencela. Jika beberapa hal ini tidak terjadi kepada para sahabat (yaitu kecaman
Allah atau kecaman Rasulullah kepada mereka), tidak juga didapatkan riwayat
dari seorang sahabat yang terlibat dalam peristiwa Hudaibiyah bahwa para
sahabat berusaha mengingkari perintah Rasulullah seperti apa yang dituduhkan
oleh si Rafidhi (penulis) ini bahwasanya mereka enggan dan menolak. Kemudian
umat, dari generasi ke generasi tidak mengingkari perbuatan mereka bahkan
meridhai mereka semua; para manusia terpilih itu. Semua ini menunjukkan satu
hakikat yang pasti dan pokok penting dalam syariat setiap orang yang
beragama dengan agama ini, yaitu kesucian dan berlepas dirinya para sahabat
dari semua yang dituduhkan oleh Rafidhah dan orang-orang Zindiq (munafik) dari
segala bentuk tuduhan dan cela terhadap mereka.
Mencela sahabat setelah ini merupakan
penentangan terhadap Tuhan semesta alam, inkar terhadap Rasul yang mulia dan
mengikuti jalan selain jalannya kaum Mu’minin.
Kedua
Bahwasanya Allah berfirman di dalam
surah al-Fath ayat 18-19 yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah setelah
kepulangan beliau dari Hudaibiyah di jalan menuju Madinah: “Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat
mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Jumlah ahlul Hudaibiyah (para
sahabat) yang membaiat Nabi di bawah pohon adalah 1.400 orang, sebagaimana
disebutkan oleh Jabir –radhiyallahu anhu- ia berkata: “Kami dahulu pada
peristiwa Hudaibiyah berjumlah 1.400 orang, kami membaiat Nabi. Umar
memegang tangan beliau (berbai’at) di bawah pohon Samurah”[12]
Di dalam shahih muslim bahwasanya
Ummu Bisyr mendengar Nabi bersabda: “Tidak akan masuk neraka –insyaallah-
seorangpun dari orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.”[13]
Dan telah jelas di dalam Kitab dan
as-Sunnah bahwa Allah telah meridhai para sahabat dan menurunkan ketenangan di
dalam hati mereka, dan rasulullah bersaksi bahwa surga bagi mereka, dan
keselamatan dari api neraka. Jadi, adapun celaan kepada mereka setelah
datangnya dalil-dalil dan nash yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh
karena itu para ulama memvonis kafir orang yang mengkafirkan para sahabat, atau
menganggap fasik para sahabat secara umum karena bertentangan dengan kejelasan
dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-
berkata dalam merinci hukum mencela para sahabat: “….adapun barangsiapa yang
mengatakan dan menyangka bahwa mereka (para sahabat) murtad setelah kematian
Rasulullah kecuali sebagian kecil dari mereka, tidak lebih dari sepuluh orang,
atau bahwasanya mereka fasik secara keseluruhan, hal ini tidak tidak perlu
diragukan lagi akan kekafirannya (orang yang mengatakan demikian), karena dia
mendustakan nash Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Allah ridha pada mereka dan
pujian terhadap mereka. bahkan barang siapa yang ragu akan kekufuran mereka
(yang mengatakan para sahabat kafir) maka ia jelas kafir.”[14]
Ketiga
Berkaitan dengan beberapa riwayat
yang shahih, Rasulullah bersabda kepada sahabatnya: “Bangkitlah, bersembelih
kemudian bercukurlah” dia (penulis) berkata:”Demi Allah tidak seorangpun di
antara mereka bangkit meskipun Nabi telah mengulanginya hingga tiga kali.”[15]
Penulis , kemudian berkata: “Apakah
diterima perkataan yang mengatakan bahwa para sahabat mengikuti perintah
rasulullah……?”[16]
Aku katakan: “Aku sudah meberikan
jawaban atasnya, sesungguhnya itu bukanlah celaan kepada para sahabat.”[17]
Aku katakan kepada penulis
(at-Tijani) di sini: “Bukankah Ali-radhiyallahu anhu- bagian dari
sahabat di antara mereka (yang tidak mau bersembelih dan bercukur)? ini
sekaligus membantah apa yang kalian katakan, maka apakah jawaban kalian?”
Keempat
Telah jelas di dalam shahihain dari
hadits al-Barra’ bin Azib –radhiyallahu anhu- berkata: “Ali bin Abi
Thalib menulis perjanjian antara Nabi dan kaum musyrikin pada hari Hudaibiyah.
Lalu Ali menulis di atasnya ‘Muhammad Rasulullah’, berkata orang-orang Musyrik:
janganlah engkau menulis ‘Rasulullah’, karena jikalau kami mengetahui bahwa
engkau adalah Rasul Allah kami tidak akan memerangimu. Maka Nabi bersabda,
“hapuslah (wahai Ali). Ali berkata, “Aku tidak akan menghapusnya.” Maka Nabi
pun yang menghapusnya dengan tangan beliau sendiri.[18] Dan di
sebagian riwayat bahwasnya Ali –radhiyallahu anhu- berkata “Demi Allah,
aku tidak akan menghapusnya selamanya.”[19]
Apa yang terjadi pada Ali di sini
sama halnya dengan yang terjadi pada Umar –radhiyallahu anhu- dalam kasus
kembalinya beliau mempertanyakan kepada Rasulullah isi Perjanjian tersebut.
Jika dalam hal ini Ali tidaklah tercela dan dia berada dalam kebenaran
(al-haq), demikian pula dengan Umar. Jika si Rafidhiy berkata sesungguhnya Ali
tidak mau menghapus kata ‘Rasulullah’ sebagai bentuk kecintaannya dan pemuliaan
kepada Rasulullah, kami katakan: “sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Umar
adalah bentuk pertolongannya kepada Rasulullah dan untuk memuliakan agamanya.”
Kelima
Bahwasanya alasan atau motif yang
mendorong para sahabat –ridhwanullahi alaihim- pada hari Hudaibiyah
adalah kuatnya semangat mereka kepada kebaikan dan kecintaan mereka terhadap
pahala. Dan Umar dalam hal ini menginginkan peperangan melawan orang-orang Kuffar.
Akan tetapi apa yang diinginkan oleh Rasulullah dari perjanjian tersebut adalah
lebih baik dan lebih selamat. Demikian pula ketika para sahabat terlambat pada
permulaan perintah bersembelih dan bercukur, sesungguhnya mereka ingin
menyempurnakan manasik. Akan tetapi apa yang diperintahkan Rasul kepada
mereka untuk bertahallul di tempat mereka adalah lebih ringan dan lebih mudah
bagi mereka. Meskipun kita tidaklah ragu bahwa apa yang diinginkan oleh
Rasulullah dan apa yang beliau perintahkan kepada mereka adalah lebih sempurna
dan lebih afdhal di dunia dan akhirat. Akan tetapi yang perlu kita perhatikan
adalah kebaikan niat mereka, dan keyakinan cinta mereka terhadap apa yang ada
di sisi Allah dan hari akhir. Ini berbeda dengan orang-orang yang menginginkan
dunia seperti orang-orang munafik yang merasa berat pergi berjihad dan
mengerjakan kebaikan, mencari-cari alasan untuk mengakhirkannya seperti yang
telah kita ketahui tentang kisah mereka dalam al-Qur’an. Karena itu, Allah
memuji para ahlu Hudaibiyah dan membalas mereka dengan kebaikan dan keutamaan
yang telah Dia ketahui tentang mereka berupa kejujuran cinta mereka dan meminta
ridha-Nya. Allah berfirman: “Allah telah meridhai orang-orang beriman ketika
mereka membai’atmu di bawah pohon, dan Dia mengetahui apa yang ada di dalam
hati mereka.” (QS. Al-Fath: 18)
Oleh: Prof. Dr. Ibrahim bin Amir
Ar-Ruhaili, Al-Intishar Li Ash-Shahbi Wa Al-Aal Min Iftira'ati As- Samawi
Adh-Dhaal. Hal 262-274
[1] Lihat Shahih Bukhari dan Fathul
Bari, Kitab asy-Syurut,
Bab asy-Syurut fi al-Jihad, 5/329, 2731-2732, dan Kitab al-Jizyah 6/281, 3182.
Dan shahih Muslim, Kitab al-Jihad wa as-Siir, Bab Sulhi al-Hudaibiyah 3/1411,
1785, dan Musnad Ahmad 486/3.
[6] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/420 pada tafsir
firman Allah: “bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”
[11] Ringkasan
dari hadits Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
al-i’tisham, bab Nahyi an-Nabiy shallallahu alaihi wa sallam alaa at-Tahrim
illaa maa tu’rafu ibahatuhu. Fath al-Bari 13/337, 7367.
Dan Muslim, Kitab al-Haj, bab bayan wujuuhi al-ihram, 2/883-884,
1216.
[13] Diriwayatkan
Muslim, Kitab Fadhail ash-Shahabah, Bab min fadhail ashabi asy-Syajarah,
4/1942, 2496.
[15] Dari
hadits panjang yang diriwayatkan al-Bukhari dari hadis miswar bin makhramah dan
marwan bin al-Hakam dalam Kitab asy-Syurut, Bab asy-Syurut fi al-Jihad,
Fath al-Bari 5/329, 2731,2732.
[16] Lihat hal
263 pada buku al-Intishar, yaitu perkataan Tijani, [“Apakah seorang yang
berpikir waras dapat menerima perkataan yang mengatakan bahwa para sahabat
mengikuti perintah Rasulullah? Kisah ini membantah perkataan mereka tersebut.
Apakah Umar selamat dan tidak terdapat ganjalan dalam hatinya terhadap apa yang
diputuskan oleh Rasulullah? Ataukah ada keraguan padanya terhadap apa yang
diperintahkan oleh Nabi, terkhusus pada perkataannya: “Bukankah engkau benar
Nabi Allah?, dan seterusnya” Apakah dia menerima setelah Rasulullah menjawab
pertanyaannya dengan jawaban yang memuaskan? Tidak, dia tidak puas dengan
jawaban Nabi dan pergi kepada Abu Bakar dan bertanya kepadanya dengan
pertanyaan yang sama.”]
[17] Lihat
halaman 266 dalam buku ini, yaitu perkataan Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili,
[Adapun sikap para sahabat tentang penyembelihan dan bercukur hingga Nabi yang
lebih dulu menyembelih dan bercukur, bukanlah merupakan kemaksiatan terhadap
perintah Rasulullah, para Ulama telah menyebutkan beberapa pandangan.
Ibnu Hajar berkata: bentuk diamnya
para sahabat kemungkinan adalah mereka beranggapan bahwa perintah tersebut
adalah sunnah (tidak wajib), atau mereka mengharapkan turunnya wahyu untuk
membatalkan perjanjian Hudaibiyah (karena para sahabat menganggap umat islam
dirugikan dalam perjanjian tersebut), atau kekhususan bagi mereka untuk
memasuki Mekah pada tahun tersebut untuk menyempurnakan manasik mereka
karena pada masa itu masih berlaku naskh (nasikh-mansukh/pembatalan
hukum dalam periode pensyari’atan). Kemungkinan juga mereka telah terbawa
kondisi pada saat itu, kemudian mereka terpengaruh dengannya dan merasa bahwa
apa yang terjadi dari perjanjian itu merupakan bentuk penghinaan terhadap diri
mereka, dimana kekuatan dan kemampuan memungkinkan untuk mencapai keinginan
mereka, melaksanakan manasik dengan cara memasuki Makkah dengan berperang, atau
mereka mengakhirkan untuk menaati mengikuti perintah Nabi karena mereka
beranggapan bahwa perintah tersebut tidaklah bermakna segera untuk dilaksanakan
(boleh ditunda pelaksanaannya). Hal ini terjadi terhadap mereka semua.]
[18] Riwayat
Bukhari dalam Kitab ash-Shulh, Bab kaifa yaktubu hadza maa Shalihu Fulaan
ibn Fulan, Fath al-Bari 5/303, dan Muslim Kitab al-Jihad, Bab Sulh
al-Hudaibiyah, 1409/3, 1783.
[19] Dicantumkan
al-Bukhari dalam Kitab al-Jizyah, Bab al-Mashalihah alaa tsalatsati ayyam,
fath al-Bari 6/282, 3184, dan Muslim dalam Kitab dan Bab as-Sabiqiin 3/1410.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar