PERBEDAAN ANTARA MADZHAB SUNNI
DENGAN
MADZHAB SYI’AH IMAMIYAH
Oleh DR. Yusuf Al-Qaradhawi
Oleh DR. Yusuf Al-Qaradhawi
Diterjemahkan oleh Dudung
Ramdani, Lc -Staf LPPI Jakarta-
Pertanyaan:
Yang terhormat, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi -hafidhahullah-
Saya bermaksud mengajukan
sebuah pertanyaan kepada Anda, semoga Anda bisa menjawabnya dengan terusterang yang bisa melegakan dada dan menghilangkan
keraguan.
Kami di Mesir tidak mengenal
madzhab yang lain kecuali madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah yang terdiri dari
empat madzhab yang sudah dikenal yang dipimpin oleh para imam. Di antaranya
oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’ie dan Imam Ahmad. Penduduk Mesir
menganut tiga madzhab yang pertama. Madzhab Malik di daerah Sha’id dan sebagian
kota yang ada di pinggir laut Merah, dan madzhab Syafi’ie dianut oleh sebagian
besar penduduk pinggiran laut Merah, dan madzhab Hanafi hanya dianut oleh
beberapa orang tertentu saja yang diwarisi dari zaman kekhalifahan Utsmaniyah.
Kami
sama sekali tidak kenal yang namanya Syi’ah sedikit pun. Hal ini dikarenakan
kami tidak pernah bersinggungan dengan mereka. Setahu saya, di Mesir tidak
pernah ditemukan ada orang Syi’ah walaupun hanya seorang. Yang kami tahu bahwa
mereka itu hanya orang-orang yang berlebihan di dalam mencintai dan fanatik
terhadap Ahlul Bait. Sedangkan kami warga Mesir sebagaimana yang engkau ketahui
cinta juga terhadap Ahlul Bait. Sebab kami memiliki beberapa situs Ahlul Bait
yang biasa dikunjungi dan ada beberapa perayaan yang sering dirayakan. Misalnya
terhadap Al-Husain, Zainab di Kairo, Ahmad Al-Badawi di Tanta dan yang lainnya.
Belum
pernah sama sekali ada para ulama dari kalangan Ahlu Sunnah yang memuji Syi’ah
ataupun mencelanya. Oleh karena itu, seluruh rakyat Mesir bersikap masa bodoh
terhadap Syi’ah ini, baik dari sisi akidahnya maupun pemikiran-pemikirannya. Sampai
kami dikagetkan di akhir-akhir tahun ini bahwa sebagian warga Mesir sudah ada
yang meninggalkan madzhab Sunninya dan kemudian mereka beralih menjadi pengikut
madzhab Syi’ah. Sebagian mereka ada yang giat menulis di koran-koran, ada juga
yang menyebarkan selebaran, ada juga yang menulis buku yang berisi
pandangan-pandangan miring terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah yang ujungnya
mengajak masuk ke dalam madzhab Syi’ah. Setahu kami bahwa madzhab Syi’ah ini
berbeda dengan madzhab Ahlu Sunnah yang kami fahami. Setelah beberapa kali pertemuan,
kami tahu dari orang-orang yang berkata bahwa orang-orang itu (antek Syi’ah) bekerja
karena bantuan finansial dari Iran. Mereka selalu menyerang Ahlu Sunnah, baik
dahulu maupun sekarang. Sehingga hal ini membuat kami bingung, karena kami
tidak mempunyai basic pengetahuan untuk membela pada saat orang-orang Syi’ah
sangat terlatih di dalam menyebarkan berbagai macam tuduhan dan merubah-rubah
perkataan dan bahkan mereka menciptakan kebohongan-kebohongan. Semua ini
dilakukan dalam rangka perang terhadap Ahlu Sunnah yang masih disibukkan dengan urusan diri dan perutnya dan perpecahan internal
yang
terjadi.
Apakah
memang ada perbedaan yang mendasar antara Sunni dan Syi’ah? Apa bentuk
perbedaan ini? Bagaimana sikap Syi’ah yang
sebenarnya terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat? Dan bagaimana
kedudukan imam yang 12 orang itu?
Mengapa
para ulama Ahlu Sunnah membiarkan kami tanpa dibekali pengetahuan walaupun
hanya sekelumit, yang wajib diketahui oleh seorang Sunni tentang Syi’ah?
Saya
yakin bahwa para ulama mempunyai tanggung jawab yang besar di hadapan Allah SWT
dan di hadapan umat. Demikian juga Anda, Anda mempunyai tanggung jawab yang
sangat besar, sebab umat sudah percaya dengan ilmu Anda, dan percaya dengan
seluruh nasihat Anda, keberanian dan semangat Anda terhadap agama Islam ini.
Saya
mohon, - demikian juga seluruh teman-teman saya – mendapatkan penjelasan yang
sangat jelas atas masalah ini. Sehingga semuanya jelas, hati menjadi tenang dan
Allah SWT akan memberikan hidayah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke
jalan yang lurus.
Harapan
kami, semoga Anda tidak menyepelekan masalah ini atau terlambat menjawabnya.
Semoga
Allah SWT melindungi Anda, juga membimbing langkah Anda.
Dr.
Abdullah
Salim (Dosen perguruan tinggi)
Jawaban:
Segala puji bagi Allah SWT,
semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan
para sahabatnya dan juga kepada seluruh umatnya yang mengikuti petunjuknya. Amma
ba’du,
Sungguh, saudara telah
mengupas dengan tegas di dalam surat ini, yaitu tentang luka yang kami diamkan
sejak lama dan kami baru berusaha untuk membalutnya dengan perban agar darah
luka itu berhenti mengalir. Atau kami baru berusaha untuk memberi obat pereda sakit
yang tidak akan membasmi bakteri ke akar-akarnya. Sejak lama pula, kami telah mewanti-wanti untuk tidak membahas topik ini untuk menghindari perpecahan golongan
atau membangunkan fitnah yang sedang tertidur. Kami sengaja membiarkan
saudara-saudara kami dari Ahlu Sunnah agar lalai, tidak mempunyai wawasan yang
cukup tentang hal ini. Padahal
di sisi lain, ada kader-kader yang sedang disiapkan dan dilatih
untuk menyebarkan madzhab Syi’ah di kalangan Ahlu Sunnah. Ketika ada
kesempatan, dengan cepat para kader Syi’ah ini langsung memanfaatkannya. Mereka
pun menebarkan jaring-jaringnya dari atas kuda mereka. Ada saja orang yang
terperangkap ke dalam jaring mereka ini! Memang benar jika mereka itu
(orang-orang Syi’ah) jumlahnya hanya sedikit. Akan tetapi jumlah yang sedikit
bisa menjadi banyak jika terbuka kesempatan dan sebab-sebab ke arah sana
(bertambah pengikut) masih ada. Tanggung jawab pertama ada di tangan kami
sebagai para ulama Ahlu Sunnah yang mana kami telah berjanji di hadapan Allah
SWT bahwa kami akan senantiasa menjelaskan kebenaran dan tidak akan
menyembunyikannya.
Kewajiban ini menjadi kuat
ketika bahaya sudah menjadi-jadi di hadapan kita dalam bentuk jaringan
terorganisir yang dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai semangat tinggi,
bukan hanya sekedar pegawai biasa. Tangan mereka membawa bermilyar-milyar dolar
untuk memuluskan tujuan ini dan di belakang mereka ada negara ideologis, kuat dan makmur yang membiayainya.
Saya
telah mengikuti berbagai seminar pendekatan antara Sunni dan Syi’ah di Rabbat-Maroko,
Bahrain, Damaskus dan Doha. Saya
juga pernah berkunjung ke Iran dan bertemu dengan presiden Iran, seorang cendikiawan
bernama DR. Muhammad Khatami. Saya juga
telah bertemu dengan banyak Mullah dan Ayatullah di beberapa kota di Iran. Pada
semua kesempatan ini, saya selalu menekankan kepada mereka beberapa perkara penting, di antaranya:
- Pernyataan tegas dari pihak Syi’ah bahwa Al-Qur`an itu (sebagaimana yang tertera di mushaf kaum muslimin saat ini) adalah firman Allah SWT yang diturunkan (untuk manusia). Al-Qur`an ini terpelihara, tidak ada pengurangan dan tidak ada penambahan sedikitpun. Tidak ada hal-hal rancu di dalamnya.
- Berhenti mencela para sahabat. Karena para sahabat lah yang telah menukil Al-Qur`an untuk kita, meriwayatkan As-Sunnah, melakukan penaklukan damai dan Allah SWT dan Rasul-Nya telah memuji mereka.
- Berhenti melakukan penyebaran sebuah madzhab di sebuah negara yang dihuni pemeluk madzhab tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dari Libanon, ”Berhenti menyebarkan faham sebuah madzhab di negara bermadzhab lain”.
- Mengakui hak-hak minoritas, baik Sunni maupun Syi’ah.
Walaupun saudara-saudara kami
dari Syi’ah membenarkan ucapan saya ini secara teori, akan tetapi mereka tidak
menepati janji mereka dalam prakteknya. Khususnya poin nomor 3, yaitu berhenti
melakukan penyebaran madzhab Syi’ah di
negeri-negeri Sunni. Kami melihat mereka bersikap masa bodoh. Mereka menerobos masuk ke masyarakat Sunni dengan memanfaatkan kekaguman Ahlu Sunnah atas sikap Syi’ah
di bidang politik dan militer. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai alat
propaganda.
Dahulu Mesir merupakan negara yang seratus persen dihuni oleh Ahlu Sunnah. Demikian juga
dengan Sudan, Libya, Al-jazair, Tunis, Maroko, dan Mauritania. Tidak ada Syi’ah
di sana walaupun hanya seorang, meski dahulunya Mesir dan Afrika Utara dikuasai
oleh Daulah Bani Fathimiyah (Daulah Syi’ah). Akan tetapi hal ini tidak membuat
rakyat Mesir menjadi penganut Syi’ah walaupun ada banyak iming-iming materi yang
ditawarkan kepada rakyat Mesir. Pada saat itu, di Mesir ada slogan
seperti ini, ”Barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan
menerima satu dinar dan kacang!” Maksudnya barangsiapa yang
berani melaknat para sahabat, maka dia akan mendapatkan satu Dinar uang emas
dan hadiah kacang-kacangan atau gandum (sembako).
Pada saat Shalahuddin
Al-Ayyubi berkuasa di Mesir, penganut madzhab Sunni di Mesir adalah 100 %. Pada
saat itu, Al-Azhar menjadi mercusuar madzhab Sunni sampai beberapa abad
lamanya. Sampai akhir tahun-tahun yang penuh ujian ini, orang-orang dikagetkan
– sebagaimana yang dikatakan oleh penanya-, ada orang yang terang-terangan
mengaku sebagai Syi’ah dan mendakwahkannya! Tentu, masalah ini perlu
diklarifikasi dan inilah saatnya dan jangan sampai terlambat. Pada saat inilah saya berkewajiban menjawab
pertanyaan saudara penanya.
Apakah ada perbedaan yang
mendasar antara madzhab Sunni dengan madzhab Syi’ah? Apa saja bentuknya?
Kami jawab: Kami melihat bahwa
ada dari sebagian orang-orang Syi’ah yang tidak mempunyai perbedaan yang
mendasar dengan kami (Ahlu Sunnah). Baik dalam masalah ushul maupun di dalam
masalah furu’. Contohnya adalah Syi’ah
Zaidiyyah yang tersebar di Yaman. Mereka mengakui kitab-kitab Ahlu Sunnah
seperti Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Kutubus Sittah (Kitab 6 Imam) yang
lainnya, juga Al-Muwaththa, Musnad Imam Ahmad dan seluruh para pengarang kitab
hadits. Sebagian kitab-kitab Syi’ah Zaidiyah sama dengan kitab-kitab Ahlu
Sunnah, baik di dalam hal sumber maupun isinya. Contohnya kitab Ar-Raudhu
An-Nadhir yang menjelaskan seluruh hadits kumpulan Imam Zaid bin Ali RA. Tapi terdapat pula
perbedaan di dalam cabang-cabang akidah, seperti perbedaan yang terdapat antara Ahlu Sunnah dengan
Mu’tazilah. Akan tetapi Syi’ah Zaidiyyah tidak pernah mencela para sahabat dan
juga mereka meyakini bahwa Al-Qur`an tidak terjadi pengurangan maupun
penambahan dan lain-lainnya.
Perbedaan yang dimaksud di
dalam pembahasan kali ini adalah perbedaan antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah
Itsna ’Asyariyyah. Karena mereka itulah, ada sebuah pertanyaan
yang menuntut agar dibedakan antara madzhab Sunni dengan madzhab Syi’ah.
Jawabannya, sudah jelas dan gamblang.
Di dalam masalah fiqih dan
furu, secara praktis tidak ada perbedaan mencolok antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah
atau Ja’fariyah. Perbedaan fiqih kita
dengan mereka sama halnya dengan perbedaan antara madzhab-madzhab yang ada di kalangan Ahlu Sunnah. Kita lihat Imam Asy-Syaukani
menyebutkan madzhab Ahlul Bait di dalam kitabnya Nailul Authar. Akan
tetapi, tidak ada seorang pun dari kalangan Sunni yang keberatan atas hal ini. Karena
tidak ada perbedaan yang mendasar di antara madzhab-madzhab tersebut.
Akan tetapi, secara fiqih ada beberapa bentuk amaliyah
munkarah (perbuatan munkar) yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Misalnya
masalah ucapan tasyahud di dalam adzan yang ditambah menjadi 3, dengan ucapan, ”Aku
bersaksi bahwa Ali Wali Allah!” benar para ulama Syi’ah telah sepakat bahwa
penambahan ini tidak ada dasarnya di dalam ajaran (fiqih) mereka. Akan tetapi
hal ini dibiarkan saja karena mereka takut
orang-orang awam akan marah besar!
Sesungguhnya perbedaan yang
mendasar di antara kedua madzhab ini (Sunni dan Syi’ah) adalah perbedaan di
dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan bukan di dalam masalah furu’. Oleh
karena itu, sebutan untuk perbedaan ini adalah perbedaan di antara dua
golongan, yaitu Ahlu Sunnah di satu sisi dan Syi’ah di sisi yang lainnya.
Perbedaan ini bukan di antara dua madzhab fiqih.
Sikap Ahlu Sunnah terhadap
firqah Syi’ah
terbagi ke dalam tiga golongan.
1.
Golongan Sunni yang Mengkafirkan Syi’ah
Kelompok pertama yaitu
orang-orang yang mengafirkan Syi’ah dan menganggap mereka telah murtad dari
Islam. Inilah pendapat orang-orang salafi secara umum. Apalagi kelompok salafi
yang berlebihan, bukan hanya mengkafirkan Syi’ah tapi juga mengkafirkan
kelompok Ahlus Sunnah lainnya yang fahamnya berseberangan dengan mereka atau
orang-orang yang biasa melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bisa ditakwilkan.
Di antara penulis yang menuliskan
masalah ini secara ilmiah yaitu buku yang ditulis oleh Sayyid Muhibbuddin
Al-Khathib, seorang ahli sejarah dan pentahqiq senior yang juga direktur
Majalah Al-Fath dan Majalah Az-Zahra yang mengusung tema pemurnian Islam di
zamannya. Beliau juga adalah pimred harian Al-Ikhwan Al-Muslimun dan majalah
Al-Azhar untuk beberapa periode.
Ustadz Al-Khathib telah
menulis bukun berjudul, “Al-Khuthuth Al-’Aridhah allati Qama ’Alayha Din
Al-Syi’ah” (Dasar-dasar yang Dipegang oleh Agama Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah).
Buku ini mengupas permasalahan yang sangat penting tentang sikap orang-orang Syi’ah terhadap Al-Qur`an bahwa Al-Qur`an
telah dirubah-rubah dan dikurang-kurangi. Penulis Syi’ah yang menulis buku
tentang perubahan di dalam Al-Qur`an adalah Fashlu Al-Khithab fi Itsbati
Tahrif Kitabi Rabbil Arbab (yang dimaksud dengan kitab adalah Al-Qur`an)
karya An-Nuri Ath-Thabrasi yang kematiannya selalu diperingati secara meriah
oleh orang-orang Syi’ah dan dikuburkan di dekat kuburan Imam Ali RA.
Beliau menjelaskan tentang
sikap orang-orang Syi’ah terhadap As-Sunnah dan terhadap para sahabat, ajaran
Taqiyyah dan beberapa hal lainnya. Singkat kata, madzhab Syi’ah ini mempunyai
perbedaan yang sangat jauh dengan madzhab Ahlu Sunnah.
Ustadz Muhibbuddin Al-Khathib juga
menulis beberapa buku dan artikel yang berisi pembelaan terhadap para sahabat. Seperti
buku yang berisi resensi dan catatan penting beliau terhadap buku yang ditulis
oleh Abu Bakar bin Al-Araby tentang para sahabat yang berjudul, Al-‘Awashim min Al-Qawashim. Buku lainnya yaitu tentang
catatan beliau terhadap buku Al-Muntaqa dari kitab Mizan Al-I’tidal
karya Adz-Dzahabi. Beliau juga menulis buku dengan judul, Bersama Generasi Pertama. Buku ini berisi penjelasan dan pembelaan tentang kedudukan para sahabat
di dalam Islam, jihad serta upaya mereka di dalam membela sang Penutup para nabi.
Beberapa saat setelah itu, muncullah
buku ulama Pakistan yang sangat terkenal, yaitu Ihsan Ilahi Zhahir yang
memperluas pembahasan buku Al-Khathib tersebut. Beliau berargumentasi dengan
buku-buku Syi’ah sendiri, juga melakukan pembantahan terhadap tuduhan-tuduhan Syi’ah.
Sampai akhirnya beliau syahid ditembak di salah satu pertemuan yang beliau
hadiri. Orang-orang Syi’ah lah yang berada di balik aksi penembakan beliau ini.
Saya berpendapat bahwa di
dalam masalah ini terdapat sikap berlebihan menghukumi orang-orang Syi’ah secara umum. Terutama mengenai masalah pengkafiran-pengkafiran
yang mencap orang lain telah murtad dari Islam- adalah masalah yang sangat
berbahaya. Sejak lama, saya telah menulis sebuah buku dengan judul, “Zhahirat Al-Ghuluww fi At-Takfir” Sikap Berlebihan di
Dalam Mengafirkan Orang Lain. Saya melihat bahwa yang harus dilakukan di dalam masalah
ini adalah bersikap hati-hati, melakukan penelitian terlebih dahulu dan
bermusyawarah sebelum mencap orang lain dengan cap kafir. Bagaimana pula halnya
dengan mengafirkan sebuah jamaah (perkumpulan seperti Syi’ah) yang terdiri dari
puluhan juta orang?!
Selagi ada celah untuk
perkataan atau perbuatan itu ditakwil yang bisa mengeluarkan musuhnya dari
kekafiran, maka seyogyanya seorang alim menempuh hal itu. Sebab tidak boleh
mengkafirkan orang lain kecuali dengan indicator pasti yang tidak bisa
ditafsirkan kecuali dengan mencapnya sebagai orang kafir, seperti telah mengucapkan
sesuatu atau melakukan perbuatan kufur yang nyata. Kami berpendapat bahwa sikap
moderat adalah, ”Sesungguhnya mereka mengafirkan orang secara umum dan tidak
mengafirkan orang per orang (tertentu saja) kecuali dengan banyak syarat.”
Pada bagian buku saya ini
terdapat pembahasan tentang fatwa takfir dan syarat-syaratnya.
Fatwa ini adalah fatwa saya yang lama. Silahkan dikaji kembali.
Memang ada hadits tentang
perpecahan umat Islam sehingga terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang
semuanya masuk neraka kecuali satu saja. Namun hadis itu masih tetap menggolongkan
firqah-firqah yang sesat dan celaka itu sebagai bagian umat Islam ini, dan
tidak mengeluarkan mereka darinya, ketika beliau bersabda, ”UMMATKU akan
terpecah belah!”
Saya juga ingin mengatakan, sesungguhnya dari
kalangan orang-orang Syi’ah ada yang ekstrim
dan suka
mengkafirkan Ahlu Sunnah. Kami
telah menukil sebagian perkataan mereka itu di beberapa forum. Bahkan di antara
mereka ada yang berani mengafirkan para sahabat. Ada juga yang berani
mengafirkan umat Islam seluruhnya, kecuali yang tidak kafir hanya Syi’ah,
seperti yang tercantum di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyah karya
Syaikh Nikmatullah Al-Musawi Al-Jazairi.
2.
Orang-orang
Sunni yang Melihat Syi’ah
dari Sisi Politik Semata
Kelompok
kedua adalah kebalikan dari kelompok pertama yang suka mengafirkan Syi’ah. Kelompok
ini tidak pernah melihat Syi’ah dari sisi akidah dan pokok-pokok ajaran mereka yang bertentangan dengan akidah
mayoritas umat Islam. Mereka ini tidak mau memperhatikan Syi’ah dari sisi ajaran atau
keyakinan mereka terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat. Mereka juga
tidak mau memperhatikan Syi’ah dari sisi ucapan mereka yang mengatakan bahwa
para Imam mereka adalah orang-orang maksum, mengetahui hal gaib yang tidak
diketahui oleh para nabi dan ucapan mereka bahwa Imamah adalah pokok ajaran Syi’ah
yang barangsiapa menolaknya, maka dia dicap kafir. Kelompok ini juga tidak
memperhatikan Syi’ah dalam hal tingkah laku mereka yang menyimpang. Misalnya peristiwa peringatan wafatnya
Al-Husain RA setiap tahunnya dengan cara menampar pipi, merobek-robek kantong
baju, juga memukul dada dan punggung sampai berdarah-darah. Ritual ini terus
diamalkan sampai lebih dari tiga belas abad lamanya. Mereka juga beriman bahwasanya Al-Mahdi itu ada dan sekarang sedang
bersembunyi di Sirdab dan belum keluar dari persembunyiannya sejak 11 abad yang
lalu. Keyakinan semacam ini jelas menyalahi sunnatullah pada usia manusia.
Kelompok
Sunni ini tidak menghiraukan semua akidah Syi’ah yang
batil ini.
Kelompok ini hanya melihat sisi politiknya saja sebagai buah dari Revolusi Imam
Khumaeni. Di antara yang menonjol adalah Iran berani menantang Amerika Serikat
dan anak emasnya Israel. Hal ini dibuktikan dengan adanya kelompok pejuang Hizbullah (Syi’ah) di Libanon
yang perang melawan Israel pada musim
panas tahun 2006 M.
Oleh sebab itulah, kita harus diam saja dan jangan membicarakan
madzhab mereka (Syi’ah) dan akidah mereka. Juga
strategi mereka untuk menumpas masyarakat Sunni dengan persiapan dana jutaan bahkan
milyaran dollar Amerika yang ditunjang dengan orang-orang yang sudah terlatih
dan siap berperang, pada saat Ahlu Sunnah tidak memiliki pertahanan sedikit pun.
Realita ini persis dengan pertanyaan yang ditanyakan oleh saudara penanya, ”Sesungguhnya
para ulama Ahlu Sunnah tidak membekali ilmu yang memadai untuk membendung
Syi’ah dan mereka membiarkan dada para pengikut Ahlu Sunnah terbuka sehingga
menjadi sasaran empuk anak panah dari kanan maupun dari kiri.”
Saya melihat di sini bahwa kita
harus bisa membedakan mana siasat politik mereka dan mana ajaran atau akidah
mereka. Kita hanya mendukung dari sisi politik mereka melawan Amerika dan
Israel. Kita juga hanya mendukung Iran dari sisi pengembangan nuklir dan kita
akan menolak segala bentuk intervensi atas hak mereka di dalam pengembangan reaktor
nuklir. Kita juga berdiri dengan segala kekuatan kita untuk melawan Amerika
jika mereka melakukan serangan militer
terhadap Iran. Inilah yang saya terangkan dengan sangat jelas, alhamdulillah. Saya
katakan, ”Kita akan melawan Amerika jika Iran diserang!” Ucapan saya ini telah
disiarkan oleh stasiun tv milik Iran. Mereka memuji saya dalam hal ini dan
mengucapkan ucapan terimakasihnya melalui telepon. Perlu dicata, saya tidak mengucapkan kecuali
sesuatu yang saya anggap sebagai kebenaran!
Saya
pun mendukung tentara Hizbulloh pada saat mereka perang melawan Israel. Saya
juga telah membantah fatwa salah satu ulama senior Saudi yaitu Syaikh Jibrin di dalam program TV Aljazeera yang bertajuk “Syariah dan Kehidupan”. Di dalam buku ini pun ada fatwa mengenai masalah ini.
Yang
jelas, resistensi kita terhadap ajaran Syi’ah tetap ada, dan sikap kita tidak berubah terhadap pokok-pokok ajaran mereka. Demikian pula sikap saya tetap tegas menolak segala bentuk
penyebaran ajaran Syi’ah ke tengah-tengah Ahlu Sunnah!
3.
Kelompok
Pertengahan
Di antara kedua kelompok yang
telah disebutkan, ternyata ada satu kelompok yang moderat. Kelompok ini hanya
berseberangan dengan Syi’ah dari sisi
keyakinan dan pokok-pokok ajaran mereka dan juga tingkah laku serta slogan ciri
khas mereka. Misalnya ada tiga syahadat di dalam adzan mereka atau peringatan
wafatnya Husein di hari Asyuro setiap tahunnya. Padahal yang diajarkan di dalam
As-Sunnah bahwa kita tidak boleh bertakziyah setelah tiga hari sejak wafatnya
seseorang. Akan tetapi kelompok ini
tidak sampai mengkafirkan Syi’ah dengan kufur yang nyata dan besar, kecuali untuk
beberapa hal yang tidak bisa ditakwil dan dihukumi
kafir untuk pelakunya.
Posisi kita adalah bergabung dengan
kelompok yang tidak mengkafirkan Syi’ah ini secara mutlak. Namun, kelompok pertengahan
ini
berbeda pandangan secara tajam dengan Syi’ah di beberapa
masalah utama, di antaranya:
1. Sikap Syi’ah terhadap Al-Qur`an.
Sikap
mereka terhadap Al-Qur`an seperti yang telah saya jelaskan berulang-ulang kali
bahwa mereka tetap percaya dengan Al-Qur`an yang kita hafal. Mereka
berkeyakinan bahwa Al-Qur`an adalah firman Allah SWT. Mushaf yang dicetak di
Iran dengan mushaf yang dicetak di Mekah, Madinah dan Kairo adalah sama.
Al-Qur`an ini dihafal oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah/pesantren)
di sana. Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al-Qur`an di dalam masalah
pokok-pokok dan furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah ditafsirkan oleh para
ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun
masih tetap ada di antara mereka yang berkata, “Sesungguhnya Al-Qur`an ini tidak lengkap. Karena ada beberapa surat dan ayat yang
dihilangkan dan akan dibawa oleh Al-Mahdi pada saat dia muncul dari persembunyiannya.”
Mungkin saja sebagian besar ulama mereka tidak
mempercayai hal ini. Sayangnya mereka tidak
mengafirkan orang yang telah mengatakan hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeda dengan sikap
Ahlu Sunnah, yaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi penambahan dan
pengurangan terhadap Al-Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi, kami akan cap dia
sebagai orang kafir!
Padahal
keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al-Kaafiy
yang sebanding dengan kitab Shahih Al-Bukhari bagi Ahlu Sunnah. Kitab
ini telah dicetak dan diterjemahkan lalu
didistribusikan
ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa di dalamnya. Ada pepatah di
masyarakat, “Orang yang diam terhadap kebatilan, sama dengan orang yang
membicarakannya.”
2. Sikap Syi’ah terhadap As-Sunnah
Definisi
As-Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah Rasulullah SAW yang telah dimaksum
oleh Allah SWT dan Dia perintahkan umat Islam
untuk menaati beliau di samping taat kepada-Nya.
Allah
SWT berfirman, “Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul;
jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah
apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan
kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” (QS
An-Nur [24]: 54). ”dan taatlah kepada Rasul (Muhammad),
agar kamu diberi rahmat,” (QS An-Nur [24]: 56). “Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya),” (QS An-Nisa [04]: 59). “Katakanlah (Muhammad), “Taatilah
Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai
orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]: 32). “Barangsiapa menaati Rasul
(Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa
berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An-Nisa [04]: 80). “Dan
tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain
(Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An-Najm
[53]: 3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan
tetapi batasan As-Sunnah menurut Syi’ah adalah
sunnah Rasulullah SAW dan para imam mereka yang maksum. Maksudnya, sunnah mencakup
bukan hanya sunnah Rasulullah SAW melainkan juga sunnah kedua belas
imam mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat
kepada Allah SWT dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu. Mereka telah
menambahkan perintah Al-Qur`an untuk taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya yaitu
agar taat kepada makhluk yang Allah SWT sendiri tidak memerintahkannya. Lebih
dari itu, kita mengkritik Syi’ah karena telah meriwayatkan sunnah dari
orang-orang yang tidak tsiqah (terpercaya) karena tidak memenuhi unsur keadilan
dan kesempurnaan hafalan.
Oleh
karena itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka
tidak mau menerima kitab Shahih Bukhari, Muslim dan kutub sittah lainnya, tidak
mau menerima kitab Al-Muwatha, Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.
3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat
Pandangan
negatif mereka terhadap para sahabat
merupakan pokok dan dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah turunan dari
pokok ajaran mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah SAW telah berwasiat jika
beliau wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah pengganti beliau. Akan tetapi para
sahabat menyembunyikan wasiat ini dan mereka
merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para sahabat telah berkhianat
terhadap Rasulullah SAW yang menjadi wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan
mereka hidup di zaman beliau untuk menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala
yang mereka miliki.
Yang mengherankan, apakah
mungkin para sahabat bersekongkol untuk melakukan hal ini, sementara Ali RA –sang pemberani- hanya bisa diam saja tidak berani mengumumkan haknya ini.
Justru Ali malah ikut membaiat Abu Bakar,
Umar dan kemudian Utsman. Ali tidak berkata kepada salah seorang dari mereka
itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai wasiat dari Rasulullah SAW. Akan tetapi,
mengapa kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Mengapa kalian hanya
bermusyawarah dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri kalian
sendiri? Siapakah orangnya yang harus memilih sedangkan umat Islam telah
menetapkan hal ini dengan wasiat Rasulullah SAW?” Mengapa Ali tidak mau menjelaskan hal ini?
Kemudian, jika memang Al-Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat sebagai
khalifah setelah Ali karena ada wasiat Rasulullah SAW, tapi mengapa justru
Al-Hasan mengalah dan memberikan jabatan khalifah ini kepada Muawiyah? Mengapa
Al-Hasan melakukan hal ini, padahal ini merupakan
perintah dari Allah SWT? Dan mengapa justru Rasulullah SAW di dalam haditsnya (hadits
ramalan Rasulullah SAW) memuji sikap Al-Hasan ini?
Pertanyaan
ini tidak bisa dijawab sama sekali oleh mereka!
Inilah
tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat yang tidak terbukti. Keterangan
mereka ini sangat bertentangan dengan keterangan yang Allah SWT sebutkan di
dalam beberapa surat Al-Qur`an. Seperti di akhir surat Al-Anfal, surat
At-Taubah, surat Al-Fath di pertengahan di akhirnya, surat Al-Hasyr dan
surat-surat lainnya.
Demikian
pula As-Sunnah telah memuji para sahabat baik
secara umum maupun secara khusus. Juga zaman mereka itu dianggap sebagai
sebaik-baik zaman setelah Rasulullah SAW.
Juga
apa yang dicatat oleh sejarah tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang
telah menghafal Al-Qur`an dan dari mereka lah umat menukilnya. Mereka juga
adalah orang-orang yang telah menukil As-Sunnah dan menyampaikan apa yang
mereka nukil dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan
beliau kepada umat ini.
Mereka
juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan negeri
lain dengan damai) dan membimbing umat ini menuju tauhid Allah SWT dan risalah Islam. Mereka juga telah
mempersembahkan kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh teladan
Qur’ani yang dijadikan sebagai petunjuk.
4. Imamah Ali dan keturunannya
yang berjumlah 12 imam merupakan pokok ajaran mereka. Barangsiapa yang menolak,
maka dia dicap kafir.
Di
antara masalah akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang bertentangan dengan
Ahlu Sunnah adalah, keyakinan Syi’ah bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya
dari garis Husein merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah
SWT, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitab-Nya, beriman
kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir. Tidak sah dan tidak akan
diterima oleh Allah SWT iman seorang muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali
adalah khalifah yang ditunjuk oleh Allah SWT. Demikian juga halnya dengan 11
imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang berani menolak hal ini atau
meragukannya, maka dia adalah kafir yang akan kekal di neraka. Seperti inilah
riwayat-riwayat yang tercantum di dalam Al-Kaafiy dan kitab-kitab
lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.
Atas
dasar inilah, sebagian besar kaum Syi’ah mengkafirkan Ahlu Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah
Ahlu Sunnah berbeda dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak
mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan
dusta atas nama Allah SWT dan rasul-Nya.
Bahkan
Syi’ah juga mengkafirkan para sahabat yang tidak mengakui imamah Ali RA.
Mereka juga mengkafirkan tiga orang khulafa rasyidin sebelum Ali yaitu Abu
Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat lain yang mendukung ketiga orang
khalifah ini. Kita ketahui bahwa semua para sahabat telah meridhai tiga khulafa
rasyidin, termasuk Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir
membaiat Abu Bakar. Kemudian Ali berkata, ”Sesungguhnya kami tidak
mengingkari keutamaan dan kedudukan Anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi kami
dalam hal ini mempunyai hak karena kami adalah kerabat (keluarga) Rasulullah
SAW.” Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa dia mempunyai nas
wasiat dari
Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sedangkan
kami Ahlu Sunnah menganggap bahwa masalah imamah dan yang berkaitan dengannya
termasuk ke dalam furu’ dan bukan termasuk pokok-pokok akidah Islam. Masalah
ini lebih baik dikaji di dalam kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji
di dalam kitab-kitab akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat
terpaksa para ulama Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab akidah
untuk membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.
Syaikh
Muhammad ‘Arfah seorang anggota Lembaga Ulama Senior Al-Azhar pada zamannya
telah menukil dari kitab-kitab akidah milik Syi’ah Imammiyah Itsna ’Asyariyyah
sebagai penguat apa yang kami ucapkan tentang mereka. Beliau berkata,
”Jika kita mau mengkaji
kitab-kitab akidah milik orang-orang Syi’ah, maka kita akan menemukan adanya
kesesuaian atas riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Kita pun bisa langsung menukil
ajaran mereka yang kita anggap sebagai ajaran yang sangat berbahaya yaitu
masalah imamah, ajaran mengkafirkan para sahabat dan tiga orang khulafa
rasyidin. Mereka terus mengkafirkan kaum muslimin
sejak Rasulullah SAW wafat sampai hari ini. Hal ini disebabkan kaum muslimin
tidak pernah mengakui imamah Ali dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami
kutip dari penghulu ahli hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali bin
Husein bin Babwaih Al-Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah yang
merupakan ahli hadits kedua dari tiga ahli hadits (Syi’ah) yang juga dia itu
adalah pengarang kitab yang berjudul, Man La Yahdhuruhul Faqih, salah
satu kitab dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran
mereka. Dia berkata, ”Kami berkeyakinan pada orang-orang yang menolak imamah
Ali bin Abi Thalib dan seluruh imam setelah beliau adalah seperti orang-orang
yang menolak nubuwah (kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahwa
orang-orang yang mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali
adalah seperti orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi
mereka menolak Nabi Muhammad SAW.” Dia
juga berkata di dalam Risalat Al-I’tiqadat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
”Barangsiapa yang menolak imamah Ali setelah aku (Rasulullah SAW), artinya
dia telah menolak kenabianku dan barangsiapa yang menolak kenabianku, artinya
dia telah menolak rububiyah Allah SWT.”
Rasulullah
SAW telah bersabda, ”Wahai Ali, Sesungguhnya kelak setelah aku wafat, engkau itu akan
dizhalimi. Barangsiapa yang menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku;
barangsiapa yang bersikap adil terhadapmu, sama dengan dia telah bersikap adil
terhadap aku; dan barangsiapa yang menolakmu, sama dengan menolak aku.”
Imam
Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam terakhir kami, sama dengan
menolak imam pertama kami.”
Nabi
Muhammad SAW bersabda, ”Para imam setelah aku ini ada berjumlah dua belas
orang. Imam yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam
yang terakhir adalah Al-Mahdi. Menaati mereka sama dengan menaati aku dan
bermaksiat kepada mereka sama dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang
menolak salah seorang dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq
berkata, ”Barangsiapa yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan
sikap zhalim mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]
5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah SAW
untuk Ali
Dakwaan
adanya wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali menjadi khalifah setelah beliau
wafat –seperti keyakinan Syi’ah- sungguh telah merampas hak kaum muslimin untuk
memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Itulah wujud pengamalan terhadap
perintah musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai ciri khas kaum
muslimin, ”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka,” (QS Asy-Syura [42]: 38).
Seolah-olah dengan adanya wasiat itu, umat
Islam terbelakang selamanya, sehingga Allah SWT harus menentukan siapa orangnya
yang berhak mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga diharuskan orang yang
memimpin umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan dari keturunan tertentu
dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah sama. Yang jelas bahwa
yang berhak memimpin umat Islam adalah orang yang diterima (diridhai) oleh umat
Islam dan dia mampu untuk memikul amanah ini dan menakhodai umat ini.
Saya yakin jika Negara Islam yang dipersepsikan oleh
Ahlu Sunnah adalah bentuk Negara Islam ideal yang telah digambarkan
oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Yaitu sangat sesuai dengan yang
diinginkan oleh masyarakat dunia pada saat ini bahwa rakyat berhak menentukan
nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara Teokrasi atau sebuah sistem yang
mana negara dikuasai oleh pemerintahan berasaskan agama (tertentu) atas nama
Pemerintahan Langit yang membelenggu leher masyarakat dan hati nurani mereka. Semua
lapisan masyarakat tidak kuasa atas diri mereka sendiri kecuali harus
mengatakan, ”Kami mendengar dan kami taat!”
Keyakinan Syi’ah ini dibantah oleh takdir Allah,
di mana Imam yang ke-12 mereka sedang bersembunyi, seperti yang mereka yakini. Akhirnya,
umat manusia ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari 11 abad. Bagaimana
mungkin Allah SWT akan membiarkan umat manusia tanpa imam yang akan membimbing
mereka? Ternyata mereka (orang-orang Syi’ah) berkata, ”Kami masih mempunyai
Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk membimbing kami!” ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak
dahulu sudah mengatakan hal ini.
6. Superioritas Kelompok Tertentu atas Seluruh Umat Manusia
Keyakinan orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar rasa
superioritas (merasa paling lebih) dari seluruh makhluk Allah SWT. Mereka merasa mempunyai karunia yang
sangat besar jika dilihat dari penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun
mereka tidak memilihnya.
Hal ini dikarenakan telah menjadi keputusan langit.
Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan
ajaran Islam secara umum. Hal ini disebabkan seluruh manusia adalah sama
seperti deretan sisir. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh umat manusia dan
memiliki nenek moyang yang sama yaitu Adam AS. Mereka semua diciptakan dari
bahan yang sama, yaitu sperma. Oleh karena itu, tidak ada rasa superioritas
seorang manusia atas manusia yang lain kecuali dengan taqwanya. Hal ini seperti
yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur`an, “Wahai manusia! Sungguh, Kami
telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Sesungguhnya
manusia itu diutamakan atas yang
lainnya hanya karena amal perbuatan, dan bukan karena faktor keturunan. Sebab siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya
tidak akan mempercepat langkahnya meraih ridha-Nya. Allah SWT berfirman, ”Apabila
sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada
hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya,” (QS
Al-Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah SWT menyebutkan bahwa yang akan
menghukumi umat manusia di hari Kiamat adalah Al-Mizan yang tidak akan
menzhalimi seorang pun. Manusia lah yang memilih para pemimpin dalam bingkai
musyawarah. Manusia berbaiat kepada para pemimpin dengan syarat jangan melanggar
batasan-batasan Allah SWT dan hak-hak manusia.
Hanya
Rasulullah SAW saja satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih
mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al-An’am [06]:
124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan
tidak
dipilih oleh wahyu.
Kemudian
kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku berhak menduduki
sebuah jabatan pemerintahan atas dasar nash (Al-Qur`an/As-Sunnah), ternyata
mereka itu tidak menduduki jabatan apa-apa. Justru mereka hidup seperti manusia
pada umumnya (rakyat biasa), mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali
bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum
muslimin menjadi khalifah. Karena jika dilihat dari sisi keilmuan, beberapa imam
‘maksum’ keturunan Ali tidak dikenal sebagai orang yang unggul kecerdasannya
dan layak menjadi imam. Namun ada sebagian dari keturunan
Ali termasuk ke dalam tokoh besar di
bidang fiqih,
seperti Muhammad Al-Baqir dan Ja’far Ash-Shadiq
seperti imam-imam fiqih lainnya.
7. Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
Di
antara yang harus diperhatikan dari Syi’ah yaitu terjadinya penyebaran bid’ah
yang mengandung kemusyrikan di kalangan para pengikut Syi’ah. Mereka menyembah
kuburan dan situs-situs para imam dan syaikh mereka. Mereka berani bersujud ke
kuburan, meminta pertolongan kepada ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan
untuk para peziarahnya dan supaya terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut
mereka bahwa para ahli kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan bahaya,
bisa membuat miskin dan kaya seseorang dan bisa membuat seseorang senang maupun
sengsara.
Saya (Syaikh Yusuf
Al-Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana para peziarah
kuburan Imam Ridha bersujud sambil merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak
sepuluh meteran. Tentu hal ini bisa terjadi dikarenakan kerelaan dan anjuran
dari para ulama Syi’ah.
Hal
ini berbeda dengan perilaku orang-orang awam Ahlu Sunnah pada saat mereka
melakukan ziarah ke kuburan para wali dan Ahlul Bait yang kedapatan berperilaku
menyimpang dan bid’ah. Akan tetapi, perilaku ini ditolak keras oleh para ulama
Ahlu Sunnah. Inilah perbedaan yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu
Sunnah) dengan mereka (para ulama Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah
mengecam perilaku munkar yang dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada
sebagian para ulama Ahlu Sunnah yang mengafirkan perilaku orang-orang awam ini!
Akan tetapi perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh orang-orang awam Syi’ah
adalah diridhai dan mendapat dukungan dari para ulama mereka.
8. Syi’ah Melakukan Distorsi Sejarah
Sesungguhnya
Syi’ah telah menjelek-jelekkan para sahabat, tabiin, dan para pengikut mereka. Juga mereka berani
merubah alur sejarah umat Islam sejak zaman yang paling baik (zaman Rasulullah
SAW dan para sahabatnya dan generasi setelah ini). Yaitu zaman terjadinya futuh
(pembebasan negeri dengan cara damai) dan kemenangan gilang gemilang serta
berbondong-bondongnya umat manusia masuk Islam. Juga terbangunnya kebudayaan
yang mengacu kepada ilmu pengetahuan, iman dan akhlaq juga umat Islam ini
mempunyai sejarah yang sangat gemilang. Sekarang umat Islam mencoba untuk
bangkit kembali dengan cara berkaca kepada sejarahnya, menyambungkan masa
sekarang dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para pendahulu umat Islam
sebagai figur untuk mendorong generasi
muda kini untuk maju dan jaya.
Sedangkan
sejarah orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong
saya untuk menulis sebuah buku dengan judul, Sejarah Kita yang
Diselewengkan. Buku ini mengupas sejarah yang benar dan membantah seluruh
tuduhan busuk orang-orang Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah
gerah. Kemudian salah seorang Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya
ini. Dia berkata, ”Yusuf Al-Qardhawi ini wakil Allah SWT atau wakil Bani Umayyah?”[2]
9. Ajaran Taqiyyah
Di
antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan Taqiyyah sebagai
dasar dan pokok ajaran di dalam berinteraksi (bermuamalah) dengan orang lain. Mereka
selalu melakukan Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang
ada di dalam hati. Mereka itu mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama
dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang lainnya dihadapkan ke kelompok
yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai dua lidah.
Mereka
berdalih dengan firman Allah SWT, ”Janganlah orang-orang beriman menjadikan
orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa
berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali
karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,”
(QS Ali Imran [03]: 28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan
bahwa dibolehkannya Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang
muslim harus melakukan hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada bahaya
besar yang mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam pengecualian,
seperti firman Allah SWT, ”Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman,” (QS An-Nahl [16]: 106).
Pengecualian
ini tidak bisa dijadikan sebagai acuan di dalam bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah)
boleh dilakukan pada saat darurat, yang mana keadaan darurat bisa menghalalkan
sesuatu yang terlarang. Akan tetapi tetap harus dihitung secara cermat. Untuk
orang lain yang tidak terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu
yang terjadi atas dasar pengecualian tidak bisa dikiaskan.
Akan
tetapi Syi’ah Imamiyah menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di dalam muamalah
mereka karena para imam mereka membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash-Shadiq
bahwasanya dia telah berkata ”Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu
Taimiyyah berkata mengomentari ucapan ini, ”Allah SWT telah menyucikan Ahlul
Bait dari hal ini dan mereka tidak memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah
orang-orang yang paling jujur dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka
adalah Taqwa dan bukan Taqiyyah.” [3]
Pendapat para ulama senior
Al-Azhar tentang Syi’ah
Pada
kesempatan kali ini saya ingin mengatakan bahwa semua penjelasan saya tentang Syi’ah
ini bukan semata-mata pendapat saya sendiri. Akan tetapi merupakan pendapat
para ulama senior Al-Azhar terhadap Syi’ah. Seperti Syaikh Hasanain Muhammad
Makhluf (mantan Mufti Mesir), Syaikh Muhammad ‘Arfah (anggota Lembaga Ulama Senior
dan mantan ketua divisi Bimbingan dan Penerangan), Syaikh Jadul Haq Ali Jadul
Haq (mantan Mufti Mesir dan Grand Syaikh Al-Azhar), Syaikh Athiyah Shaqer (ketua
Komisi Fatwa Al-Azhar), Syaikh Dr. Abdul Mun’im An-Namir (Wakil Syaikh Al-Azhar
dan mantan Menteri Waqaf Mesir).
Akan
tetapi karena keterbatasan tempat, tidak memungkinkan bagi saya untuk
menyebutkan seluruh perkataan para ulama senior tersebut yang berkompeten di
dalam masalah ilmu dan memiliki peranan di dalam melakukan perbaikan di dalam
hidup mereka. Tidak pernah ada tuduhan yang diarahkan kepada mereka, baik
tuduhan fanatisme maupun tuduhan konservatif (tertutup).
Syaikh
Makhluf telah menyebutkan macam-macam Syi’ah. Di antaranya: Syi’ah Imamiyah Itsna
’Asyariyyah yang berkeyakinan bahwa Rasulullah SAW telah membuat wasiat bahwa
Ali harus menjadi khalifah setelah beliau wafat. Karena Ali adalah ahli waris
beliau. Kelompok Syi’ah ini berani mencela para sahabat, terutama Abu Bakar dan
Umar. Bahkan mereka juga berani mengafirkan para sahabat. Mereka juga
berkeyakinan bahwa imamah itu hanya terbatas kepada imam mereka yang berjumlah
dua belas orang yang mereka yakini kemaksumannya dan mereka meyakini Imam Mahdi
akan muncul ke dunia ini, dsb.
Syaikh
Makhluf berkata, ”Ajaran Islam tidak pernah mengajarkan keyakinan seperti
ini, baik secara global maupun secara terperinci. Tidak ada orang yang maksum
selain para nabi dan rasul. Juga tidak ada ajaran yang menyatakan bahwa imamah
itu hanya terbatas di Ahlul Bait atau hanya terbatas dua belas imam saja. Juga
Rasulullah SAW tidak pernah memberikan wasiat kepada Ali, baik dengan nash yang terang maupun samar. Islam juga tidak mengenal istilah Al-Mahdi yang
ditunggu-tunggu yang diyakini oleh Syi’ah sedang bersembunyi dan masih hidup di
bumi sampai sekarang yang akan muncul di akhir zaman. Juga tidak boleh mengkultuskan orang lain selain para rasul.
Juga tidak ada keterangan yang memerintahkan untuk pergi berziarah ke Karbala
dan Najaf, dan memuliakan kedua kota
tersebut. Juga tidak ada perintahnya untuk menjadikan hari Asyuro sebagai hari
berkabung. Justru yang ada adalah perintah untuk shaum di hari Asyuro.”
Inilah
perkataan Syaikh Makhluf yang didukung oleh perkataan para ulama senior yang
lainnya. Hal ini seperti yang telah dinukil oleh Dr. Muhammad Yusri di dalam
bukunya yang berisi kumpulan fatwa-fatwa ini dengan judul, Himpunan Fatwa
Ulama Senior Al-Azhar tentang Syi’ah dan Sekte-sektenya. Buku ini diedit
oleh dua orang profesor Al-Azhar yaitu
Muhammad Al-Khasyu’i dan ‘Abdul Aziz Quraisyi. Buku ini adalah kumpulan
fatwa ilmiyah yang lengkap dengan kutipan dari referensi kitab-kitab Syi’ah dan
bukan dari kitab musuh-musuh Syi’ah. Pesan saya kepada saudara saya sesama
muslim jika Anda ingin mencari kebenaran, saya persilahkan untuk membaca buku himpunan fatwa ulama tersebut.
Akan
tetapi dari buku ini, saya hanya akan mengutipkan perkataan Syaikh Dr. Abdul Mun’im An-Namir. Beliau adalah seorang tokoh yang
sudah terkenal akan keterbukaan beliau terhadap dunia ini. Beliau telah banyak
melakukan kunjungan ke berbagai negara Islam di seluruh dunia. Beliau juga
pernah menjadi perwakilan (utusan) Al-Azhar di India. Di sana, beliau menulis
buku tentang sejarah Islam di India. Beliau juga
merupakan Pimpinan Redaksi Majalah Al-Wa’ie Al-Islami di Kuwait. Beliau juga
mengeluarkan pandangan-pandangan dan tulisan-tulisannya yang terbaru (up to
date), sehingga beliau tidak pernah dituduh sebagai ulama jumud atau
fanatik.
Pendapat Dr. Abdul Mun’im An-Namir, mantan Menteri Waqaf Mesir tentang Syi’ah
Beliau
telah mencantumkan di dalam bukunya yang berjudul, Syi’ah dan Al-Mahdi
yang berisi dialog beliau dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri, seorang ulama penyebar
ide pendekatan antara Sunni dan Syi’ah.
Beliau
berkata, ”Bismillaahir rahmaanir rahiim, semoga selawat dan salam tercurah
kepada Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du: Saya
telah menjadikan dialog yang terjadi antara saya dengan Syaikh Muhammad Ali
Taskhiri sebagai muqaddimah cetakan keempat ini. Beliau adalah salah seorang
ulama Iran yang sering menjadi utusan Pemerintah Iran untuk menghadiri berbagai
macam muktamar (konferensi) dan seminar tentang Islam. Beliau adalah ulama yang
fasih dan luas ilmunya. Jika beliau berbicara dengan bahasa Arab, seolah-olah
beliau adalah orang Arab asli. Ternyata, sejak masih muda, beliau telah bertalaqqi
di beberapa kota suci Syi’ah di Irak.
Pertemuan
ini terjadi di kota Moscat, ibukota Kesultanan
Oman. Tepatnya
terjadi di areal Universitas Sultan Qobus yang baru, luas dan megah yang
terletak kurang lebih sekitar 40 km dari ibukota Moscat. Di sana berlangsung Seminar Fiqih Islam yang disponsori Pemerintah
setempat dari tanggal 22-26 Sya’ban 1408 H atau bertepatan dengan tanggal 9-13
April 1988 M. Seminar ini dihadiri
banyak para ulama senior, para ahli fiqih Islam dan tokoh pergerakan Islam,
misalnya Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Haqq Ali Jadul Haqq (w.1996 M)
Di
sana, ketika acara dimulai, saya bertemu dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri.
Kami pun bersalaman dan berbincang-bincang. Beliau mengingatkan saya bahwa
pertemuan yang pertama adalah terjadi di acara Forum Pemikiran yang diadakan di kota Kosantin di Aljazair pada awal tahun 1980-an.
Di
hari keduanya saat break seminar tersebut, kami keluar bersama beliau dan
terjadilah dialog yang dimulai oleh beliau. Beliau berkata kepada saya, ”Anda
telah menzhalimi kami ketika Anda menuduh kami bahwa kami telah berkata bahwa
telah terjadi perubahan terhadap Al-Qur`an dan para sahabat yang telah
mengumpulkannya telah membuang (menghilangkan) beberapa surat atau beberapa
ayat, yaitu ayat tentang hak Ali sebagai pemimpim setelah Rasulullah SAW wafat.”
Saya
jawab pertanyaan beliau ini, “Ya, memang saya telah menulis hal itu berdasarkan kepada kitab-kitab kalian. Saya
pun menyebutkan nama-nama kitab-kitab mereka tersebut, salah satunya kitab Fashlul
Khithaab fii Itsbaati Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbaab. Kitab ini ditulis oleh
ulama besar Syi’ah, Syaikh Husein An-Nuuri Ath-Thabrasi pada abad ke-13 H. Kitab
ini dicetak di Iran pada tahun 1298 H. Saya hanya menukil apa yang tercantum di
dalam kitab ini. Bagaimana mungkin saya dianggap telah menzhalimi kalian,
karena semua yang saya sebutkan di dalam masalah ini adalah bersumber dari
kitab-kitab kalian yang telah diakui oleh para ulama kalian. Dan kalian pun
memberikan penghormatan yang tinggi kepada penulis kitab ini pada saat dia
meninggal dunia pada tahun 1232 H. Beliau ini
dikuburkan di Najaf, sebuah tempat agung menurut orang-orang Syi’ah, di dekat
kuburan Imam Ali Al-Murtadha.”
Beliau
berkata, ”Kitab ini tidak ada apa-apanya. Saya sendiri meletakkan kitab ini
di bawah kaki saya (beliau menghentakkan kakinya ke tanah) sambil marah.”
Saya
berkata kepada beliau, ”Mengapa kalian diam saja pada saat kitab ini
menceritakan tentang kalian jika memang seperti itu? Mengapa pula kalian tidak
mengumumkan jika kalian tidak mengakui isi kitab tersebut? Dan mengapa kalian
mendistribusikan kitab ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga saya dan ulama
yang lain pun tahu bahwa kitab ini tidak mewakili ajaran madzhab kalian. Apakah
ada sebuah keterangan yang dirilis oleh pemimpin tertinggi Syi’ah pada saat ini
(Ayatullah Khumaini) bahwa isi kitab-kitab Syi’ah adalah tidak benar, seperti
kitab An-Nuur Ath-Thabrasi ini. Contoh lainnya tentang kebiasaan mencela para
sahabat yang telah mengumpulkan Al-Qur`an bahwa mereka itu telah merubahnya. Sebaiknya
seluruh tuduhan ini dihapus dari kitab kalian itu pada saat akan dicetak ulang.
Apakah kalian berat melaksanakan ini semua?”
Kalian
tidak melaksanakan satu dari tuntutan kami ini. Karena saya tahu jika sebagian
dari para ulama kalian telah berlepas diri di dalam pengajian-pengajian mereka
dari tuduhan bahwa telah Al-Qur`an telah dirubah. Akan tetapi pendapat yang
paling kuat adalah pendapat yang telah menuduh bahwa para sahabat telah
merubah-rubah Al-Qur`an. Mengapa pula kalian tidak membuat pernyataan untuk
seluruh rakyat yang membaca kitab ini yang berisi penolakan kalian atas tuduhan
ini?
Beliau
berkata kepada saya, ”Anda telah membicarakan
mengenai ucapan yang mengatakan bahwa kami mempunyai mushaf Fathimah. Padahal
kami tidak pernah mengatakan seperti ini.”
Saya
pun berkata kepada beliau, ”Ya, rujukan utama kalian telah mengatakan bahwa
wahyu Allah SWT juga turun kepada Fathimah setelah wafat orang tuanya
(Rasulullah SAW). Adalah Ali RA sebagai pencatat wahyu tersebut sampai
terkumpul dan di kemudian hari
disebut dengan Mushaf Fathimah.”
Saya
baru tahu akan masalah ini setelah saya memperhatikan khutbah Imam Khumaini
yang disiarkan oleh radio Teheran. Beliau telah berkata di dalam khutbah
tersebut yang mana khutbah tersebut diadakan pada perkumpulan para wanita pembesar Iran pada acara peringatan
lahirnya Fathimah. Imam Khumaini berkata, ”Sesungguhnya saya tidak kuasa
untuk bercerita tentang Siti Fahimah. Akan tetapi cukuplah dengan sebuah
riwayat yang tercantum di dalam kitab Al-Kaafiy.” Beliau pun menceritakan
riwayat ini di depan para isteri pembesar Iran.
Kitab
Al-Kaafiy yang ditulis oleh Imam Al-Kulaini adalah kitab Syi’ah yang
sepadan dengan Kitab Al-Bukhari di kalangan Ahlu Sunnah. Hal ini lah yang
memaksa saya pergi ke kota Najaf untuk bertemu dengan salah seorang ulama besar
Syi’ah. Di sana saya bisa melihat-lihat isi kitab tersebut yang merupakan
cetakan Iran yang terdapat di perpustakaan pribadi miliknya.
Saya
telah mencantumkan di dalam buku saya tentang juz dan bab yang menerangkan
tentang turunnya wahyu kepada Fathimah dan mushafnya secara jelas. Apakah
dengan ini saya dianggap telah melukai dan menzhalimi kalian gara-gara saya melampirkan
seluruh isi buku saya dari sumber rujukan yang paling valid menurut kalian berikut
teksnya?
Beliau
berkata, ”Kitab-kitab itu adalah kitab murahan
dan tidak valid!”
Saya
bertanya kepada beliau, ”Tapi, mengapa kalian mendistribusikan kitab ini
(kitab Al-Kaafiy) ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Amerika. Bahkan kalian
telah menerjemahkanya ke dalam bahasa Inggris agar mudah dibaca oleh semua
orang yang faham bahasa Inggris di Barat dan di Timur! Saya sendiri mempunyai
cetakan terbaru yang sudah diterjemahkan. Apakah dengan ini semua bisa
dikatakan jika kitab Al-Kaafiy ini adalah kitab hebat menurut kalian? Sebab
kalian telah berupaya keras dan menggelontorkan dana yang cukup besar untuk
mencetak dan menerjemahkannya sampai mencapai ratusan ribu eksemplar untuk
disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda madzhab
kalian. Apakah kalian merasakan hal ini?”
Beliau
berkata, ”Di dalam kitab-kitab tafsir kalian terdapat banyak kisah-kisah Israiliyat.
Apakah hal ini bermakna bahwa kalian (Ahlu Sunnah) juga mengakui keabsahannya?”
Saya jawab, ”Memang benar, di dalam kitab-kitab tafsir
kami banyak riwayat Israiliyat dan hadits-hadits yang tidak shahih. Akan tetapi
sebagian para ahli tafsir mengingatkan hal ini dan mereka juga mengakui jika
riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat dusta. Kami sekarang ini sedang
memberantas riwayat-riwayat Israiliyat tersebut. Kami sedang menulis beberapa
kitab yang menjelaskan hal tersebut dan memperingatkan orang yang membacanya
agar jangan mempercayai riwayat-riwayat dusta tersebut. Sebagian para ulama ada
yang berusaha untuk mengoreksi dan membuang riwayat-riwayat Israiliyat,
hadits-hadits palsu dan hadits-hadits yang tidak shahih. Dibandingkan dengan
kalian, kami lihat kalian
terus memperbaharui cetakannya dan kemudian kalian mengatakan jika kitab
tersebut tidak ada apa-apanya? Bahkan kalian juga menerjemahkannya dan
mengirimkannya ke berbagai negara! Mana yang dapat kami percayai? Apakah ucapan
yang tidak memiliki dalil apa pun ataukah kenyataan yang merupakan dalil yang
sangat kuat?”
Di
hari kedua dari pertemuan di pagi hari, ada seorang dari saudara saya dari
kalangan para ulama yang memberitahu saya bahwa Syaikh Taskhiri terserang serangan jantung dan telah dibawa ke RS
Sulthan. Saya menyesal, mungkin saja saya yang menyebabkan serangan jantung
ini. Akhirnya, saya buru-buru pergi ke RS untuk melihat kondisinya. Di RS, saya
melihat beliau telah sadar dan sedang berbaring di atas ranjangnya. Saya pun
merasa tenang setelah saya tahu bahwa penyebab ini semua adalah luka di usus
dua belas jarinya yang semakin parah. Beliau pun telah minum obat. Pada saat
kami sedang berbincang-bincang dengan beliau, datanglah Menteri Luar Negeri
Iran, yaitu Ali Akbar Wilayati menjenguk beliau. Pak Menteri bersalaman dengan
kami. Di RS saya duduk sebentar dan kemudian saya berpamitan agar keduanya (Pak
Menteri dan Syaikh) leluasa bercengkrama.
Pada
hari kedua Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abu
An-Nur mengajak saya untuk menjenguk Syaikh di RS. Pada saat tiba di RS, kami
melihat kamar Syaikh telah kosong dari para penjenguk. Teman saya ini mengajak
saya untuk melanjutkan dialog. Saya berkata kepadanya, ”Sekarang tema tentang
tempat suci. Bagaimana yang kalian lakukan di dalam tempat suci yang perbuatan
tersebut tidak pernah diterima oleh kaum muslimin?”
Beliau
menjawab, ”Sesungguhnya Imam Khumaini membutuhkan sebuah fatwa syariah Islam
dari para ulama Ahlu Sunnah. Dan beliau pasti akan menyambutnya!”
Saya
katakan kepada beliau, ”Apakah tema tentang keamanan kota suci (Mekah) perlu
fatwa, padahal sudah ada nash yang jelas yang menguatkan akan keamanan kota
suci. Misalnya firman Allah SWT, ”Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah
dia,” (QS Ali Imran [03]: 97). Setelah Allah SWT memberikan rasa aman kepada
seluruh makhluk yang berada di tanah suci sampai kepada burung-burung dan
pepohonan, dan juga dilarang beradu pendapat (adu mulut) di areal tersebut,
apakah setelah ini semua kita memerlukan fatwa dari seseorang? Apakah usaha
mendatangkan orang-orang yang siap meledakkan dirinya bersama jemaah haji Iran,
kemudian mereka melakukan demontrasi meneriakkan yel-yel nama Khumaini, mereka
memblokir jalan-jalan dan mengganggu pengguna jalan. Mereka bergerak menuju
tanah suci yang pada saat itu sedang dipadati oleh jemaah haji.
Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang yang terlihat beringas. Hasil dari
ini semua sudah bisa diketahui. Apakah perilaku ini sesuai dengan jaminan
keamanan yang Allah SWT minta dari kita, yaitu kita harus menjaga keamanan kota
suci (Mekah)?”
Wahai
saudaraku... sengaja saya
menyebutkan kejadian ini kepadamu agar pengetahuanmu terhadap buku saya ini
bertambah. Juga agar kita semua tahu akan tabiat dan tingkah laku orang-orang
yang kita sering bermuamalah dengan mereka. Kami semua adalah kaum muslimin
dari kalangan bangsa Arab. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan petunjuk-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya!
Kitab Kasyful Asrar karya Imam
Khumaini dan Tuduhannya terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khaththab
Di depan saya ada kitab yang
berisi dialog antara Ruhullah Khumaini dengan penentangnya dari kalangan Ahlu
Sunnah. Imam Syi’ah ini berdalil bahwa keyakinan imamah adalah benar dan wajib
diimani oleh setiap muslim. Beliau melanjutkan dengan perkataannya di bawah
ini:
”Keyakinan harus menolak Abu Bakar adalah perintah
Al-Qur`an. Beliau mulai berbicara dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur`an
tentang mewariskan tahta kekuasaan. Di antaranya, ”Dan
Sulaiman telah mewarisi Dawud,” (QS An-Naml [27]: 16),
”Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku
seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu,
yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya‘qub; dan jadikanlah dia,
ya Tuhanku, seorang yang diridai,” (QS Maryam [19]: 5-6) dan ayat-ayat lainnya. Dari
sini beliau berdalih bahwa ajaran mereka adalah benar bahwa Ali RA akan
menerima warisan kekuasaan dari Rasulullah SAW.”
Kemudian beliau juga mengutip
dalil-dalil bahwa Abu Bakar telah melanggar nash Al-Qur`an, kemudian dia sesuaikan
dengan hawa nafsunya dan berupaya untuk menjauhkan Ahlul Bait dari
pemerintahan. Abu Bakar juga telah menzhalimi Ahlul Bait di dalam kehidupan ini
ketika dia membuat sebuah hadits yang berbunyi, ”Kami sekalian para nabi tidak
mewariskan apa-apa. Yang kami tinggalkan hanya sedekah.”
Kemudian beliau di halaman 114
menjelaskan penyimpangan Umar bin Khaththab dari Al-Qur`an. Ia (Khumaini) telah menyebutkan beberapa
kejadian lalu menafsirkannya sesuai dengan
keinginannya. Misalnya kejadian pada saat Rasulullah SAW menyuruh Umar agar menulis
sebuah surat dan lain-lainnya. Penulis juga mencantumkan ucapan Umar dalam
kisah ini. Setelah penulis mencantumkan sumber rujukannya, dia berkata, ”Kisah
ini menguatkan bahwa kebohongan itu berasal dari Umar bin Khaththab sang penipu!”
Kemudian di paragraf
berikutnya penulis mengatakan beberapa ucapan Umar bin Khaththab dalam masalah
ini, ”Sesungguhnya ucapan-ucapan itu berdiri di atas dasar kebohongan dan berasal
dari perbuatan kufur dan zindiq!” (hal. 116). Masih di halaman yang sama
dari buku tersebut, penulis membuat sub judul, ”Kesimpulan Kami tentang
Masalah Ini,” kemudian dia menulis di bawahnya, ”Dari semua bahasan yang
telah lalu, jelaslah bahwa penyimpangan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab
terhadap Al-Qur`an menurut kaum muslimin bukan masalah penting.” Penulis
berdalil tentang masalah ini bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khaththab tidak
pernah mau mendengarkan pendapat orang lain. Keduanya juga tidak mau lengser
dari jabatannya, juga Ahlu Sunnah tidak siap untuk melengserkan keduanya, walaupun
Umar bin Khaththab berkata, ”Sesungguhnya Allah SWT, malaikat Jibril dan
nabi telah salah menurunkan ayat ini.” Hal ini sama sebagaimana kaum muslimin juga berusaha untuk mendukung inovasi dan perubahan yang
terjadi (disebabkan Umar) di dalam agama Islam. (hal. 117).
Sampai seperti ini Imam
Khumaini menulis tentang Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Dia menuliskan semua
ini pertama-tama untuk para pengikutnya untuk menanamkan keyakinan seperti ini terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Sudah
jelas, keyakinan ini kita tolak dan kami berlindung kepada Allah SWT dari orang
yang mempercayainya. Oleh karena itu, jangan heran apa yang dikutip dari ucapan
Imam Khumaini dalam karya-karyanya bahwasanya dia menyebut Abu Bakar dan Umar
bin Khaththab dengan sebutan Al-Jibt dan Thaghut. Dia juga
menamai keduanya dengan sebutan Dua Berhala Quraisy. Dia dan jemaahnya
berkeyakinan bahwa melaknat Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Aisyah dan Hafshah
akan mendatangkan pahala dari Allah SWT. Demikianlah, tuduhan ini juga mereka
alamatkan kepada Utsman bin Affan. [4]
Jangan heran, inilah pendapat
Imam Khumaini tentang Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan para sahabat yang
lainnya, sampai dia membuat sebuah doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT secara
berjamaah yang dinamai dengan Doa Dua Berhala Quraisy. Mereka selalu membaca
doa ini,
بسم الله الرحمن الرحيم، اللهم صل على محمد و آل محمد..اللهم العن صنمي قريش و
طاغوطيهما و إفكيها وابنيهما الذين خالفا أمرك و أنكرا وحيك و جحدا إنعامك و
عصيا رسولك و قلبا دينك و حرفا كتابك و
أحبا أعداءك و جحدا آلاءك و عطلا أحكامك و أبطلا فرائضك و ألحدا في آياتك و عاديا
أولياءك و واليا أعداءك و خربا بلادك و أفسدا عبادك، اللهم العنهما و أتباعهما و
أولياءهما و أشياعهما و محبيهما فقد خربا بيت النبوة و ردما بابه و نقضا سقفه و ألحقا سماءه بأرضه و
عالية بسافله و ظاهره بباطنه واستأصلا أهله و أبادا أنصاره و قتلا أطفاله و أخليا
منبره من وصيه و وارث عمله، و جحدا إمامته و أشركا بربهما فعظم ذنبهما و خلدهما في
سقر و ما أدلراك ما سقر لا تبقي و لا تذر، اللهم اللهم العنهم بعدد كل منكر أتوه و
حق أخذوه و منبر علوه و منافق ولوه و ولي آذوه و طريد آووه و صادق طردوه و كافر
نصروه و إمام قهروه و فرض غيروه و أثر أنكروه و شر آثروه و دم أراقوه و خير بدلوه
و كفر نصبوه و كذب دلسوه و إرث غصبوه و فيء اقتطعوه و سحت أكلوه و خمس استحلوه و
باطل أسسوه و جور بسطوه.
“Dengan nama Allah yang Maha
Penyayang, Maha Pemurah. Ya Allah, semoga selawat atas Muhammad dan keluarga
Muhammad.. Ya Allah, kutuklah dua orang Berhala Quraisy dan Thagutnya, juga kedua
anaknya, yang mereka berdua itu telah melanggar perintah-Mu, menolak wahyu-Mu, mengingkari
nikmat-Mu, bermaksiat kepada Rasul-Mu, merubah agama-Mu, merubah wahyu-Mu, mencintai
musuh-musuh-Mu, menolak karunia-Mu, mencabut hukum-hukum-Mu, menolak
perintah-perintah-Mu, melencengkan ayat-ayat-Mu, memusuhi wali-wali-Mu, bersikap
loyal kepada musuh-musuh-Mu, menghancurkan negeri-Mu, menghancurkan
hamba-hamba-Mu. Wahai Allah, laknatlah keduanya dan juga para pengikutnya, para
pemimpinya, para pendukungnya dan para pecintanya. Keduanya telah menghancurkan
rumah kenabian, merobohkan pintunya, mencabut atapnya, tanahnya dilekatkan ke
atasnya, yang atas ke bawah dan yang bawah ke atas. Mereka mengusir
penghuninya, menganiaya para pendukungnya, membunuh anak-anaknya dan membiarkan
mimbar beliau kosong dari pewarisnya (yaitu Ali), mereka menyangkal imamah Ali,
keduanya telah menyekutukan Rabbnya. Oleh karena itu, perbesarlah dosa mereka,
kekalkanlah mereka berdua di neraka Saqar. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu?
Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Wahai Allah laknatlah
mereka karena sejumlah kejahatan yang telah mereka lakukan, hak yang telah mereka
rampas, mimbar yang telah mereka hinakan, munafik yang telah mereka dukung,
menolong orang-orang yang menyakitinya (Ali), dan orang jujur yang telah mereka
usir, orang kafir yang telah mereka bantu, imam yang telah mereka hinakan,
hukum yang telah mereka rubah, utang nyawa yang telah mereka tolak, kejahatan
yang telah mereka sebarkan, darah yang telah mereka tumpahkan, kebaikan yang telah
mereka rubah, dan kekufuran yang telah mereka dirikan, kedustaan yang telah mereka
lakukan, hak waris yang telah mereka rampas, harta fa’i yang telah mereka
potong, harta riba yang telah mereka makan, zakat seperlima yang telah mereka
halalkan, kebatilan yang telah mereka dirikan dan keburukan yang telah mereka
bentangkan.”
Tidak
sampai di sini, mereka juga meneruskan doa ini dengan membaca,
اللهم العنهما بعدد كل آية حرفوها و فريضة تركوها و سنة غيروها...اللهم
العنهما في مكنون السر و ظاهر العلانية لعنا كبيرا...دائما دائبا سرمدا لا انقطاع
لأمده و لا نفاد لعدده لعنا يعود أوله و لا ينقطع آخره...اللهم العنهم و محبيهم و
مواليهم و المسلمين لهم و المائلين إليهم...و الناهقين باحتجاجهم و المقتدين
بكلامهم و المصدقين بأحكامهم. [قل أربع
مرات] : اللهم عذبهم عذابا يستغيث منه أهل النار...آمين يا رب العالمين.
“Wahai Allah, laknatlah mereka
dengan seluruh ayat yang telah mereka rubah, hukum yang telah mereka tinggalkan
dan sunnah yang telah mereka rubah…Wahai Allah, laknatlah mereka berdua di tempat
tersembunyi dan tempat terbuka dengan laknat yang besar…selama-lamanya,
terus-menerus yang tidak bisa terputus waktunya dan tidak akan habis
hitungannya dengan laknat yang akan berbalik laknat yang pertamanya dan tidak
akan terputus laknat yang terakhirnya…(terus bersambung). Wahai Allah, laknatlah
mereka dan juga para pecintanya, kaum
muslimin dan orang-orang yang pro kepada mereka…Juga orang-orang yang menyambung
lidah argumen mereka dan orang-orang yang meniru ucapan mereka, orang-orang
yang membenarkan hukum mereka.” (Ucapkanlah sebanyak 4X, “Wahai Allah, adzablah
mereka dengan adzab yang penduduk neraka saja berlindung dari adzab tersebut…Aamiin
wahai Rabb seluruh alam semesta).
Doa
ini semua diarahkan kepada Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan para sahabat
yang mengikuti keduanya!
Saya
berlindung kepada Allah dari kebencian seperti ini. Doa apa yang mereka sisakan
bagi orang-orang yang ingkar terhadap Allah dan Rasul-Nya!? Wahai Allah yang
Maha Menjaga! Mereka telah bersikap tidak senonoh, sampai-sampai mereka berdoa
kepada Allah SWT dengan doa seperti ini!
Ketahuilah
bahwa Ali telah menikahkan putrinya (Ummu Kultsum binti Ali dari Fathimah,
saudara perempuannya Al-Hasan dan Al-Husein) kepada Umar bin Khaththab. Apakah
Imam Ali menilai Umar seperti yang mereka (orang-orang Syi’ah) nilai? Lantas mengapa
justru Ali menikahkan Umar bin Khaththab dengan putrinya?
Saya yakin jika pendapat Imam
Khumaini terhadap kami yang sangat menghormati Khulafaur Rasyidun dan para
sahabat lainnya, pada saat ini pendapatnya masih jelas, yaitu dia menganggap
kita adalah orang-orang kafir yang layak mendapatkan laknat dari Allah SWT!
Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika pada masa kekuasaannya dia ingin mengekspor revolusinya ke negara-negara Arab. Yang dia inginkan
bukan hanya revolusi dalam bidang hukum saja, akan tetapi ingin sesuai dengan
madzhabnya. Dia ingin menggiring kita dari kekufuran (Ahlus Sunnah menurut dia) kepada Islam cara dia dan madzhabnya (Syi’ah)! Kemudian kita semua berdoa bersama-sama
melaknat dua berhala Quraisy: Abu Bakar dan Umar bin Khaththab agar kita
mendapatkan pahala dari Allah SWT!
Inilah yang akan dipaksakan
kepada kita, jika Iran menang dalam perangnya melawan Irak. Kemudian dia dan pasukan tentaranya ingin menguasai
negara-negara Arab -semoga Allah SWT tidak mentaqdirkan hal ini-. Insya Allah, akan
ada penjelasan lengkapnya tentang topik ini.
Profesor Ahmad Amin telah
menulis beberapa sifat khusus Imam Syi’ah yang beliau nukil dari kitab Al-Kaafiy,
karya Al-Kulaini yang merupakan kitab utama madzhab Syi’ah Imamiyah Itsna
’Asyariyyah.[5]
Beliau menyebutkannya sebagai berikut :
- Mereka berkeyakinan bahwa imam mereka menerima wahyu, meski cara pewahyuannya berbeda dengan nabi dan rasul.
- Barangsiapa yang tidak mempunyai imam, maka dia akan menjadi orang sesat dan barangsiapa mati dalam keadaan tanpa imam, maka matinya dalam keadaan kafir dan munafiq. Telah berkata Imam Ridha, ”Manusia itu adalah hamba sahaya kami dalam hal ketaatan.”
- Para imam adalah cahaya Allah, yang Allah SWT telah berfirman tentang mereka, ”Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur'an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan,” (QS At-Taghabun [64]: 8). Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya di ayat ini bukan Al-Qur`an, tetapi para imam Syi’ah.
- Para Imam Syi’ah adalah tiangnya bumi agar bumi tidak bergoyang.
- Para Imam adalah suci dari dosa-dosa, tidak mempunyai cela dan banyak ilmunya.
- Seluruh perbuatan umat manusia akan diperlihatkan kepada Nabi dan kepada para Imam Syi’ah.
- Para Imam Syi’ah adalah tempat berpijaknya Risalah Allah SWT; tempat Allah SWT menyimpan rahasia-Nya di bumi dan titipan-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
- Para Imam memiliki seluruh kitab Allah SWT yang diturunkan kepada para rasul dan mereka memahaminya dengan bahasa kitabnya masing-masing.
- Tidak ada yang bisa menguasai ilmu Al-Qur`an, kecuali para Imam Syi’ah. Yaitu dengan cara mendapatkan warisan dari Imam Ali RA.
- Para Imam mengetahui perkara yang telah lalu dan yang akan terjadi. Tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sedikit pun. Sesungguhnya Allah SWT tidak mengajarkan kepada Nabi-Nya sedikit pun ilmu, kecuali setelah Allah SWT menyuruh Ali agar mengajarinya. Kemudian ilmu ini diwariskan kepada seluruh Imam Syi’ah.
- Rasulullah SAW didampingi oleh sebuah ruh yang sangat besar melebihi malaikat Jibril dan Mikail. Ruh ini sekarang menemani para Imam Syi’ah.
- Para malaikat akan memasuki rumah para Imam Syi’ah. Para malaikat akan menginjakkan kakinya di karpet para imam dan mereka memberitahukan sesuatu kepada para Imam.
- Bumi ini semuanya adalah untuk para Imam. Dan Ahlul Bait adalah orang-orang yang akan mewarisi bumi ini. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Adz-Dzikir (Lauh Mahafuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh,” (QS Al-Anbiya [21]: 105). Adapun yang dimaksud dengan hamba-hamba-Ku yang saleh adalah para Imam Syi’ah.
Inilah ajaran yang diyakini
oleh Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah di dalam kitab-kitab mereka. Kecuali Syi’ah
Ismailiyyah mempunyai perbedaan sedikit dengan Syi’ah Imamiyah. Akan tetapi, bisa
saja di dalam ajaran Syi’ah Ismailiyyah ada ajaran-ajaran yang lebih jauh
penyimpangannya, sehingga diakui oleh ajaran Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.
SIKAP SAYA YANG SEBENARNYA
DI DALAM MUKTAMAR PENDEKATAN
ANTAR MADZHAB DI DOHA QATAR
(1-3 Muharram 1428 H/20-22
Januari 2007 M)
Pertanyaan :
Yang terhormat Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi.
Assalamu ’Alaikum Wr. Wb.
Kami orang-orang Syi’ah di
Iran telah menganggap Anda sebagai seorang da’i yang pertama kali mendengungkan
ajakan kepada persatuan umat dan pendekatan antara madzhab-madzhab dan
golongan-golongan yang ada. Anda juga dianggap sebagai salah seorang da’i yang
melawan para penyebar fitnah, para penyeru kepada perpecahan madzhab, golongan,
ras dan lain-lainnya.
Saya merasa yakin jika Anda
telah merasakan penghormatan yang agung dari para pemimpin di Republik Islam
Iran. Dimulai dari Presiden Republik Islam Iran, Sayyid Muhammad Khatami yang
telah menyambut Anda di kantornya. Seluruh media cetak, radio dan televisi
telah menyiarkan kunjungan Anda dengan luar biasa. Semuanya menyiarkan tentang
pentingnya kunjungan Anda ini.
Demikian juga Ayatulloh telah
menyambut Anda di Teheran, di Qum, di Masyhad, di Asfahan dan di seluruh kota
yang Anda kunjungi di Teheran.
Akan tetapi kami dikagetkan
dengan fatwa Anda yang baru, yang berbeda dengan fatwa Anda sebelumnya (yang
terdahulu). Di dalam fatwa terbaru Anda itu berisi tuduhan miring terhadap Syi’ah,
terhadap ide pendekatan madzhab dan tuduhan terhadap muk-tamar pendekatan
madzhab dan juga meragukan keputusan muktamar tersebut. Fatwa ini ditanggapi
oleh orang-orang Iran secara khusus dan penganut Syi’ah secara umum. Fatwa Anda
ini adalah kebalikan dari fatwa Anda sebelumnya, juga atas ide-ide Anda tentang
persatuan dan pendekatan yang terdahulu yang telah diketahui oleh masyarakat
luas.
Hal inilah yang menjadikan
segelintir orang-orang Syi’ah di sini (Iran) dan di berbagai negara, akhirnya
menghujat dan mengkritik Anda secara berlebihan, yang jauh dari sopan santun.
Surat saya ini ditujukan
kepada Anda Syaikh Yusuf Al-Qardhawi sebagai tokoh persatuan Islam dan ulama
besar umat Islam bagi seluruh golongan dan madzhab. Bukan sebagai figur yang
dimiliki oleh sekelompok orang atau aliran tertentu saja. Saya berharap Anda
bisa menjelaskan kepada kami dan seluruh orang yang mengajukan pertanyaan:
Bagaimana sikap Anda yang sebenarnya di Muktamar Doha? Apakah sikap Anda ini
telah berubah hanya untuk satu poin saja atau apa? Kami masih berbaik sangka
kepada Anda.
Hormat saya,
Muhammad Ali
(Penanya dari Iran)
Jawaban:
Segala puji bagi Allah,
selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga beliau
dan para sahabat juga orang-orang yang setia kepada beliau. Amma ba’du :
Di
sini saya ingin menjelaskan beberapa masalah yang menjelaskan sikap saya yang
sebenarnya terhadap masalah pendekatan antar madzhab dan golongan di dalam
Islam sebagai berikut :
- Sesungguhnya saya sangat mengharapkan persatuan ahlul qiblat yaitu seluruh kaum muslimin yang menjadi umat Islam. Sedangkan adanya (persatuan) umat Islam menurut saya ini adalah benar-benar nyata, bukan angan-angan kosong.[6] Sesungguhnya perpecahan umat menjadi banyak golongan dan madzhab yang bermacam-macam masih bisa disebut sebagai satu umat. Karena di antara mereka itu masih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Rabbnya sama, nabinya sama, kitab sucinya sama, akidah Islamnya sama, masa depannya sama, musuhnya sama dan kepentingannya juga sama.
- Sesungguhnya saya melawan para penganjur perpecahan di antara umat Islam. Baik itu perpecahan golongan, madzhab, suku (ras) dan yang lainnya. Saya melihat bahwa orang-orang yang mengendalikan isu perpecahan adalah musuh-musuh Islam yang mempunyai semboyan ”Pecah belah dan taklukkan!” (divide et impera).
- Sesungguhnya sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab, saya telah menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
- Kesepakatan untuk tidak mencaci para sahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu. Karena saya mengatakan: Semoga Allah meridhai mereka (para sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata: Semoga Allah melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang sangat besar.
- Dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain).
- Memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas tersebut adalah madzhab yang sah.
Saya telah menyampaikan sebuah
makalah di Muktamar Pendekatan Madzhab di Kerajaan Bahrain yang saya terbitkan
setelah itu berjudul, Mabaadi’ fi At-Taqriib bayna Al-Madzaahib Al-Islaamiyyah,
”Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di
Dalam Islam” yang berisi macam-macam teori saya agar usaha pendekatan ini
berjalan di atas dasar yang kokoh dan tiang yang kuat.
Inilah sikap saya. Saya tidak
akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau menjadi orang-orang yang berhamburan
kepada usaha pendekatan (pendekatan Sunni – Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan.
Karena saya melihat bahwa muktamar ini hanya seremonial saja. Akan tetapi tidak
memecahkan akar permasalahannya dan tidak ada ujung pangkalnya. Muktamar
tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak menghasilkan apa-apa setelahnya.
Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan sesuatu yang ada di dalam diri saya
kepada seluruh kaum muslimin. Saya tidak akan menyembunyikan sesuatu yang
dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah. Hal ini lah yang dituntut oleh
sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian yang telah diambil oleh Allah
terhadap para ulama, ”Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab
itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” (QS Ali Imran
[03]: 187).
Saya pun telah menjelaskan
masalah ini dengan panjang lebar di depan para wartawan di Kairo sebagai bentuk
jawaban atas pertanyaan yang kemudian saya jelaskan kembali di Muktamar Doha,
Qatar.
Sebenarnya saya takut jika
seluruh ucapan yang telah saya sampaikan di dalam Muktamar Doha, Qatar itu akan
dirubah atau ditafsirkan tidak sesuai dengan yang saya maksud, walaupun ceramah
saya itu direkam. Oleh karena itu, saya bermaksud mencatatnya tertulis dengan pena
saya sendiri dan saya sendiri yang akan mendistribusikannya. Inilah penjelasan
saya kepada umat, demi membela kebenaran dan untuk menghancurkan kebatilan.
Oleh karena itu, tidak pantas
saudara-saudara saya dari kalangan para ulama Syi’ah dan seluruh murid-muridnya
mengutuk saya atas penjelasan saya ini. Walaupun ada sebagian dari mereka yang menyebut
saya dengan sebutan “Syaikh Tho’ifiy”, Syaikh Sektarian! Pada saat ini
dan selamanya insya Allah, saya tidak akan menjadi ulama sekte tertentu! Yang
saya inginkan adalah menjadi ulama milik umat seluruhnya dan khususnya bagi
Islam. Saya melihat bahwa sikap fanatik yang dibenci adalah seseorang lebih
mengedepankan (kepentingan) golongan di atas umat, atau mendahulukan
kepentingan madzhab di atas Islam atau mengedepankan kitab-kitab madzhab di
atas Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Mereka sepertinya telah melupakan
seluruh sikap saya yang selayaknya jangan dilupakan. Misalnya bantahan saya
terhadap fatwa Syaikh Jibrin yang merupakan anggota dari Lembaga Ulama Senior
di Kerajaan Saudi Arabia yang memfatwakan tidak boleh mendukung Hizbullah pada
perang melawan Israel dan jangan bersikap pro kepadanya walaupun hanya dalam
bentuk doa!
Pada saat itu, saya sedang
berlibur di Kairo. Secara tiba-tiba, saya ingin membantah perkataan Syaikh
Jibrin melalui siaran Al-Jazeera. Saya pun membantah seluruh perkataan Syaikh Jibrin
dengan dalil-dalil syar’i dan dalil-dalil ilmiyah. Saya pun tergerak untuk
menuliskannya menjadi sebuah buku dan kemudian mendistribusikannya. Seluruh
tulisan saya ini dilampiri dengan seluruh fatwa-fatwa saya.
***
Di bawah ini, ringkasan dari
seluruh kata sambutan saya dan kata penutupan saya di Muktamar Pendekatan antar
Madzhab di Doha, Qatar. Ini dilakukan agar orang yang hidup itu hidup dengan
bukti yang nyata dan agar orang yang binasa itu binasa dengan bukti yang nyata.[7]:
Sebenarnya Ahlu Sunnah lah
yaitu mayoritas kaum muslimin yang telah mengajukan ide pendekatan madzhab dan
mereka telah menerimanya dengan lapang dada. Uniknya, bahwa hal ini diawali
dari Kairo dan yang menjadi pelopornya adalah para sesepuh Al-Azhar,
seperti Syaikh Abdul Majid Salim, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Muhammad
Al-Madani, Syaikh Abdul Aziz Isa dan lain-lain. Pendapat mereka ini didukung
oleh Imam Hasan Al-Bana.
Di kota Kairo, kota tempat Universitas
Al-Azhar berdiri yang menjadi kiblat ilmu pengetahuan Islam, ternyata di sana
telah didirikan sebuah Lembaga Pendekatan Madzhab. Lembaga atau Yayasan ini
dipimpin oleh seorang ulama Ja’fari yang masyhur yaitu Syaikh Taqiyuddin
Al-Qummi yang berafiliasi kepada Lembaga Ilmiyah di Qum. Lembaga ini
menerbitkan majalah Ar-Risalah sebagai sarana bagi para ulama senior Ahlu
Sunnah untuk menuangkan tulisannya. Di dalam majalah tersebut, Syaikh Syaltut
telah menulis makalahnya di dalam masalah tafsir yang telah dikumpulkan
sehingga menjadi 10 jilid pertama.
Kantor Pusat Ikhwan Al-Muslimin
di Kairo pada zaman Hasan Al-Bana pernah menyambut kedatangan Syaikh Al-Qummi.
Demikian juga Kantor Pusat
Ikhwan Al-Muslimin pada zaman Ustadz Hasan Al-Hudhaibi –pemimpin kedua- setelah
beberapa tahun kemudian pernah juga menyambut kedatangan seorang ulama Syi’ah
yang sudah dikenal luas. Akan tetapi dia bukan dari Lembaga Ilmiyah di Qum.
Justru dia adalah dari kalangan para pejuang Syi’ah yaitu: Nuwab Shafawi
(pemimpin Jemaat Fidayin Islam) yang menjadi oposisi kekuasaan Syah Iran dan
Syah pun benci kepadanya.
Pada tahun 60-an yang lampau,
Syaikh Mahmud Syaltut sebagai Grand Syaikh Al-Azhar telah mengeluarkan sebuah
fatwa yang membolehkan beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari. Dengan alasan
di dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati kepada Madzhab Ahlu Sunnah,
kecuali ada perbedaan sedikit saja yang tidak menjadi alasan untuk melarang
beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara keseluruhan, seperti dalam hal
shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan tetapi fatwa ini tidak dibukukan
dalam Himpunan Fatwa Syaltut.
Fatwa Syaikh Syaltut ini
sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan akidah dan
ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya mengandung perbedaan yang
sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam hal imamah, 12
imam Syi’ah, kemaksuman mereka, pengetahuan mereka terhadap hal gaib dan
kedudukan mereka yang tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh malaikat
yang sangat dekat (dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang diutus.
Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah penting yang termasuk
masalah ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan mengimani
masalah ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di neraka. Juga
contoh lainnya yaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat dan
hal-hal lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama mereka.
Di samping itu, kami belum
pernah menemukan ada orang Syi’ah yang membalas kebaikan dengan kebaikan atau
ada yang menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik atau dengan salam
serupa. Sebaliknya, tidak ada dari para ulama senior Syi’ah yang selevel dengan
Syaikh Syaltut di kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di Qum maupun di Najaf
yang mengeluarkan fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh beribadah dengan menggunakan
madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus Sunnah) tidak perlu hal ini.
Justru kami melihat sebaliknya.
Antara Mayoritas dan
Minoritas
Sepanjang sejarah mereka, Syi’ah itu hanya sebagai
minoritas yang hidup di tengah-tengah mayoritas Ahlu Sunnah. Mereka hidup
dengan aman, damai, bisa merekrut anggota, mencetak buku-buku, berdakwah
membela madzhab mereka dan menyebarkannya di tengah-tengah mayoritas Ahlu
Sunnah. Tidak ada seorang pun yang menyakiti mereka atau ingin melenyapkan
etnis mereka, walaupun di dalam buku-buku mereka tercantum ajaran jahat mereka yang
menyakitkan Ahlu Sunnah sampai mereka mengkafirkan Ahlu Sunnah dan menganggap
Ahlu Sunnah telah murtad dari Islam, sampai imam-imam Ahlu Sunnah yang empat
pun tidak luput dari cercaan mereka!
Seperti
itu lah kondisi mereka hidup di zaman Daulah Abbasiyah, pada era pertama dan era
keduanya. Juga seperti itu pula mereka hidup di zaman Utsmaniyah, hanya saja di
antara mereka dengan Bani Shafawiyyin terdapat perseteruan.
Bahkan seperti itu pula mereka
hidup pada zaman kita sekarang ini di bawah bendera Wahabiyah yang sudah jelas
sikapnya terhadap Syi’ah. Demikian pula orang-orang Syi’ah di wilayah timur
Kerajaan Saudi Arabia, mereka bisa melaksanakan ritual keagamaan dan dakwah
mereka. Tidak ada terbersit sedikit pun negara Wahabi ini untuk memusnahkan
mereka atau memotong kuku mereka!
Seperti
itu pula mereka hidup di Teluk Arab secara umum, walaupun seluruh penguasa di Teluk
adalah Ahlu Sunnah. Akan tetapi mereka bisa mengumpulkan kekayaan, mendapatkan
tempat di masyarakat, dan bisa ikut berpartisipasi di bidang politik. Di antara
mereka ada yang menjadi anggota dewan, menteri, duta besar, direktur
perusahaan, rektor di universitas, dekan fakultas dan menjadi tokoh masyarakat.
Dari
dahulu kala, Ahlu Sunnah, walaupun mereka merupakan mayoritas umat Islam,
mereka tidak pernah mencoba untuk menumpas Syi’ah atau mempersempit ruang gerak
mereka, baik di dalam syiar keagamaan maupun literatur/buku-buku mereka.
Walaupun syiar-syiar agama mereka bertabrakan dengan syiar Ahlu Sunnah.
Misalnya ucapan mereka di dalam adzan mereka: ”Aku bersaksi bahwa Ali adalah
wali Allah!” Sedangkan Ahlu Sunnah tidak mengenal syahadat kecuali syahadatain.[8]
Apabila
seperti ini sikap mayoritas Ahlu Sunnah, baik dahulu maupun sekarang, mengapa
kita melihat ada minoritas Syi’ah yang mengancam keselamatan Sunni, melecehkan
dan memprovokasi secara terang-terangan dan dengan cara yang bisa membuat marah
orang yang lembut dan bijak sekalipun? Andai saja seluruh cita-cita mereka
tercapai dan bisa meluapkan amarah mereka dan melakukan revolusi, tentu akan
menjadi sebuah petaka yang sangat besar dan keburukan yang akan terus menerus
berlangsung.
Apakah Ada Perbedaan Prinsip Sehingga
Kita Perlu Pendekatan Madzhab?
Makna taqrib (pendekatan)
adalah jika di sana ada sebuah perbedaan di antara kedua belah pihak dan kita
ingin mendekatkan salah satu dari keduanya atau masing-masing pihak mendekatkan
diri kepada temannya.
Apakah di antara golongan atau
sekte yang bermacam-macam ini ada perbedaan mendasar sehingga kita harus
mengadakan dakwah untuk mendekatkan di antara mereka? Khususnya di antara dua
kelompok besar yaitu Sunni dan Syi’ah?
Yang benar bahwa perbedaan itu
memang ada, baik dalam tataran pemikiran, praktik, maupun perpolitikan.
Contoh perbedaan di dalam
masalah akidah, yaitu khususnya di dalam masalah imamah. Karena mereka
(orang-orang Syi’ah) berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok akidah mereka dan
termasuk ke dalam rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah)
menganggapnya hanya sebagai furu’ (cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk
amaliyah dan bukan sebagai akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah
merupakan pokok ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada: Al-Washiyah
(wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali dan
keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan
Ar-Roj’ah (kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas
musuh-musuh imam Ahlul Bait).
Ajaran Syi’ah menyebutkan
masalah imamah dengan sangat tegas. Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak
beriman kepada imamah ini, maka tidak dianggap sebagai orang yang beriman.
Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini berasal dari Rasulullah SAW, yang
dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh sebelas imam setelah Ali RA.
Dalil Imamah Syi’ah
Di
dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir) bahwasanya dia
telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar: Shalat, zakat, puasa,
haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih ditekankan kecuali
rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya mengambil empat perkara dan
mereka meninggalkan rukun ini, yaitu al-wilayah.” (Ushul Al-Kafi
jilid 2 hal. 18).
Dari Zurarah dari Abu Ja’far
dia berkata, ”Islam itu dibangun di atas lima perkara: Shalat, zakat, haji,
puasa dan al-wilayah.” Zurarah berkata: Aku bertanya kepadanya: ”Manakah di
antara semua itu yang paling utama?” Abu Ja’far menjawab, ”Al-wilayah lebih
utama, karena al-wilayah adalah kunci dari semua rukun itu.” (Ushul
Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Al-Kulaini meriwayatkan dengan
sanadnya dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya beliau bersabda, ”Dasar Islam itu
ada tiga: Shalat, zakat dan al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun
ini kecuali dengan menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul Al-Kafi,
jilid 2 hal. 18).
Di dalam masalah al-wilayah
tidak ada rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia berkata,
”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan lima perkara kepada umat Nabi Muhammad
SAW: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (pemerintahan) kami. Allah telah
memberikan keringanan di dalam rukun yang empat. Akan tetapi Allah tidak
memberikan keringanan kepada seorang muslim pun di dalam hal meninggalkan
wilayah (pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah. Sesungguhnya tidak ada keringanan
di dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, ”Islam
dibangun atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bersaksi
bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat,
puasa di bulan ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke baitullah dan wilayah
(pemerintahan) Ali bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal.
21).
Bahkan pada kenyataannya
mereka (orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada masalah al-wilayah
(pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai ke taraf uluhiyah
(ketuhanan). Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah orang-orang yang
beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah satu titik
perbedaan yang paling mendasar. Perbedaan lainnya, karena sudah diketahui bahwa
Syi’ah itu mengadopsi madzhab Mu’tazilah di dalam masalah ilahiyyat (teologi).
Orang-orang Mu’tazilah adalah kelompok yang telah menghilangkan sifat-sifat
yang wajib disematkan kepada Allah, seperti sifat: ilmu (mengetahui), iradah
(berkehendak), qudrah (berkuasa) dan sifat-sifat yang lainnya. Orang-orang
Mu’tazilah berkata, ”Allah itu Dzat-Nya adalah Maha Tahu, akan tetapi Allah SWT
tidak mempunyai sifat yang namanya ilmu. Allah SWT itu Dzat-Nya adalah Maha
Kuasa, akan tetapi Dia tidak mempunyai sifat yang namanya qudrah (berkuasa),
dan lain-lainnya.
Telah terjadi pertentangan
yang sengit di antara Mu’tazilah dengan Ahlu Sunnah di dalam permasalahan ini.
Ahlu Sunnah menamai Mu’tazilah dengan sebutan Al-Mu’aththilah, yaitu
orang-orang yang telah menafikan sifat-sifat Allah SWT. Sedangkan Mu’tazilah
telah menuduh Ahlu Sunnah yang berwujud dalam madzhab Asya’irah dan
Maturidiyyah di zaman mereka bahwa mereka (Ahlu Sunnah) itu adalah orang-orang
yang telah menetapkan adanya berbagai hal yang qadim bersama Dzat Allah
SWT!
Semua Ahlu Sunnah telah
menganggap Mu’tazilah sebagai kelompok yang telah mengada-ada di dalam agama
Islam (bid’ah) di dalam masalah akidah. Sedangkan setiap bid’ah adalah
kesesatan dan setiap kesesatan adalah di neraka. Di antara sesuatu yang telah
disepakati adalah: Bid’ah ucapan lebih berat (dosanya) daripada bid’ah
perbuatan. Bid’ah akidah lebih berat daripada bid’ah perbuatan. Sedangkan
pelaku bid’ah dianggap sebagai orang fasiq. Fasiqnya hanya sebatas fasiq
takwil, bukan dianggap sebagai fasiq tingkah laku dan perbuatan.
Hal ini bermakna bahwa Syi’ah
di dalam pandangan Ahlu Sunnah adalah sebagai para pelaku bid’ah di dalam
masalah akidah. Akan tetapi pandangan umum Ahlu Sunnah adalah bahwa Ahlu Sunnah
tidak mengafirkan para pelaku bid’ah di dalam masalah akidah. Ahlu Sunnah tidak
mengafirkan Mu’tazilah, Murji`ah dan tidak juga Jabariyah. Bahkan Ahlu Sunnah
tidak mengafirkan Khawarij. Padahal ada sebuah hadits yang shahih bahwasanya
Khawarij adalah orang-orang yang keluar dari agama Islam seperti anak panah
yang lepas (melesat) dari busurnya. Akan tetapi Ahlu Sunnah tetap menganggap
mereka masih berada di dalam Islam selama mereka masih mengatakan tidak ada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dan mereka masih melaksanakan
shalat ke arah kiblat.
Akan tetapi ada di antara para
ulama Ahlu Sunnah yang memaafkan para mujtahid jika mereka salah. Baik salah
dalam masalah ushuluddin maupun di dalam masalah furu (cabang), di dalam
masalah akidah maupun di dalam masalah
perbuatan selama mereka masih layak berijtihad dan selama ia masih mengerahkan
seluruh kemampuannya di dalam mencari kebenaran, namun dia belum mendapatkan
bimbingan ke arah itu. Inilah kemampuannya dan Allah SWT tidak pernah membebani
seseorang di luar batas kemampuannya. Justru menurut pandangan Ahlu Sunnah
bahwa seorang mujtahid akan mendapatkan satu pahala atas usahanya. Sedangkan
Allah SWT tidak pernah menyia-nyiakan pahala bagi siapa saja yang telah beramal
saleh. Inilah pendapat Ibnu Taimiyyah dan para ulama yang sepakat dengan
beliau.
Akan tetapi Syi’ah -terutama
dari kalangan ekstrimnya- mereka itu
tidak saja membid’ahkan Ahlu Sunnah atau menganggap fasik Ahlu Sunnah, akan
tetapi mereka jelas-jelas mengkafirkan Ahlu Sunnah dan menganggap Ahlu Sunnah
telah murtad dari Islam!
Ni’matullah Al-Jazairi (wafat
1212 H) di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu
Sunnah wal Jama’ah, ”Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka
(Ahlu Sunnah) di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal
ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, ”Sesungguhnya Rabb mereka adalah
yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi
kami tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan
tetapi kami mengatakan, ”Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar:
Khalifah nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga
bukan nabi kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan
Yayasan Al-A’lami Beirut Libanon).
Apabila mayoritas Ahlu Sunnah
di dalam akidah memakai mazhab Asya’irah sebagaimana maklum, dengan mengikuti
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) yang sangat terkenal, maka sesungguhnya
madzhab Asya’irah di dalam pandangan orang-orang Syi’ah sebagaimana yang digambarkan
oleh Syaikh Al-Jazairi bahwa Asy’ari tidak mengenal tuhan secara benar. Karena
dia dan para pengikutnya mengenal tuhan dengan cara yang salah. Oleh karena
itu, tidak ada perbedaannya antara pemahaman mereka (Asy’ariyyah) dengan
pemahaman orang-orang kafir. Karena
Asy’ari dan para pengikutnya figur paling buruk dalam masalah mengenal Sang
Pencipta, dibandingkan dengan orang-orang musyrik dan nashara. Kami
(orang-orang Syi’ah) telah benar-benar jauh dan berpisah dari mereka (pengikut
Asy’ari) di dalam masalah rububiyyah. Karena tuhan kami (Syi’ah) adalah Dzat
yang mempunyai sifat azali sedangkan rabb mereka (Ahlu Sunnah) adalah rabb yang
sifat azali-Nya ada delapan buah!
Yang dimaksud oleh orang-orang
Syi’ah dengan sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Asya’irah dan
Maturidiyyah adalah sebagai berikut : al-ilmu, al-iradah, al-qudrah, al-hayat,
as-sam’u, al-bashar, al-kalam. Kemudian ditambah oleh Al-Maturidiyah satu sifat
yaitu sifat at-takwin (membentuk dan mencipta).
Adapun bantahan Al-Jazairi di
sini adalah sebagaimana yang telah dijawab oleh Mu’tazilah dahulu. Orang-orang
Mu’tazilah mengatakan: Sesungguhnya orang-orang Nashara telah kafir karena
mereka telah menetapkan tiga keazalian. Bagaimana halnya dengan orang yang
telah menetapkan ada delapan keazalian? Akan tetapi pemaparan dan bantahan atas
perkataan ini tidak bisa dijelaskan di sini karena masuk ke dalam pembahasan
ilmu kalam.
Pendekatan Antar Madzhab atau Antar
Golongan?
Di antara siapa kah pendekatan
yang diharapkan itu akan terjadi?
Seluruh peserta muktamar taqrib
madzhab dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu (terjadi) antar madzhab
di dalam Islam.
Menurut saya bahwa maksud dari
ungkapan ini tidak pas. Karena kalimat madzhab telah menjadi istilah yang mapan
bagi madzhab fikih Sunni yang empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab
Zhahiriyah juga Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah.
Adapun
perbedaan di antara madzhab-madzhab ini hanya berkisar di dalam masalah furu’
dan amaliah yang tidak sampai menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok
keimanan dan ushuluddin (pokok-pokok agama).
Tidak
ada seorang pun dari ulama umat ini yang membuat keributan hanya gara-gara
perbedaan fikih furu’. Karena para sahabat saja di antara mereka pernah terjadi
perbedaan, demikian juga di kalangan para tabiin. Demikian juga para imam yang
menjadi rujukan pun berbeda pendapat di antara mereka. Akan tetapi setiap dari
mereka tidak menyalahkan yang lainnya. Yang berbeda itu hanya pendapat mereka
saja, akan tetapi hati mereka menyatu. Para imam (imam madzhab) saling
bertukaran mengimami shalat. Sehingga di antara mereka itu ada yang berkata, ”Pendapat
saya ini benar, tapi bisa saja salah dan pendapat yang lain salah, tapi bisa saja
benar.” Bahkan ada kelompok ulama yang membenarkan pendapat seluruh para
mujtahid di dalam masalah furu’. Mereka berpendapat bahwa bisa saja pendapat
yang benar itu ada beberapa macam. Mereka ini yang di dalam ilmu ushul fikih
disebut dengan kelompok ”Al-Mushowwibah”.
Saya
sendiri pernah shalat dan di belakang saya shalat beberapa orang ulama Syi’ah.
Hal ini terjadi pada saat saya berkunjung ke Iran pada tahun 1998. Demikian
juga saya pernah shalat di belakang
mereka (orang-orang Syi’ah) di masjid mereka di Madrasah Imam Khumaini di Qum
pada saat shalat berjamaah.
Maka
perbedaan dalam masalah furu, fikih atau ibadah adalah bukan faktor yang
berpengaruh di dalam hubungan antara Sunni dan Syi’ah. Sangat penting
digarisbawahi bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan di dalam
masalah akidah seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya di dalam masalah
pendekatan madzhab. Perbedaan dalam akidah
inilah yang telah menjadi penyebab tumbuhnya berbagai macam golongan,
seperti Mu’tazilah, Jabariyyah, Murji`ah, Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah,
Maturidiyyah, Salafiyyah dan lain-lainnya.
Oleh
karena itu, jika memungkinkan, aktifitas itu lebih tepat disebut sebagai pendekatan
antar golongan/firqah (akidah) dan bukan pendekatan antar madzhab (fikih). Karena
fikih tidak memerlukan pendekatan. Pun jika kita permudah istilah dengan menyatakan
madzhab-madzhab, maka yang kita maksudkan disini adalah madzhab-madzhab akidah
dan bukan mazhab-mazhab fikih.
Apabila
dasar penamaan firqah/golongan adalah berdasarkan hadits masyhur yang
menyatakan tentang perpecahan umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan yang
kesemuanya masuk neraka kecuali hanya satu golongan saja, maka menurut saya
hadits tersebut tidak kuat, baik dalam sanad (rangkaian periwayat
hadits) maupun matannya (isi hadits). Saya telah menjelaskan hal ini di
dalam buku saya yang berjudul, ”Kebangkitan Islam di Antara Perbedaan yang
Dibolehkan dan Perpecahan yang Terlarang.” Saya telah menjelaskan seluruh
pendapat para ulama terhadap para perawi hadits tersebut. Sebagian ulama tidak
menerima hadits tersebut. Di antara mereka itu ada Ibnu Hazm, Ibnu Az-Zubair,
Ibnu Al-Wazir, Asy-Syaukani dan ulama-ulama lainnya.
Imam
Ibnu Hazm telah berkata, ”Sesungguhnya kata-kata tambahan ’semuanya di
neraka kecuali hanya satu golongan’ adalah palsu.” Imam Ibnu Al-Wazir
berkata, ”Hati-hati dengan kata-kata tambahan ’semuanya di neraka kecuali
hanya satu golongan’ karena kata-kata tersebut disusupkan oleh orang-orang mulhid.”
[9]
Akan
tetapi hadits tersebut sudah menyebar dan dijadikan sebagai dasar di dalam
buku-buku firqah dan kitab “Al-Farqu bayna Al-Firaq” (Perbedaan di
antara Firqah-firqah). Di antara mata pelajaran yang pernah kami pelajari di fakultas
Ushuluddin adalah buku yang berjudul, ”Sejarah Sekte-sekte dalam Islam”.
Ada banyak orang yang ingin mencoba menghitung golongan yang berjumlah tujuh
puluh tiga golongan ini sampai bersusah payah.
Yang
penting dicatat, bahwa hadits tersebut secara jelas menyandarkan seluruh
golongan itu –sampai yang menyimpang sekalipun- kepada umat Islam ini, dengan
sabda nabi ”umatku ini akan terpecah...” Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan untuk mencap kafir golongan-golongan yang ada ini, kecuali dengan
dalil-dalil syar’i yang qath’i.
Oleh
karena itu, saya berpendapat bahwa konsentrasi (seperti yang dikatakan oleh
orang-orang yang aktif dalam pendekatan itu) untuk mengajarkan fikih perbandingan
di beberapa universitas Islam bukankah sebuah cara untuk menyelesaikan problem perpecahan
atau perbedaan sekte, dan bukan pula mata kuliah tersebut yang bisa mendorong
kepada pendekatan yang hakiki baik dalam bentuk dekoratif atau hanya sebatas
ucapan saja. Justru hal ini sangat jauh dari yang diharapkan sebagaimana yang
akan kita lihat nanti.
Makna Pendekatan yang Kami Inginkan
Apa yang dimaksud dengan
kalimat ’pendekatan’ ketika kita mengucapkannya?
Apakah yang dimaksud dengan
kalimat tersebut yaitu setiap jemaah wajib menanggalkan seluruh keyakinannya
yang paling pokok dan bersikap mengalah untuk mendapatkan simpati dari golongan
yang berbeda dengannya?
Atau
dengan ungkapan lainnya yaitu orang Syi’ah bersikap mengalah dari ajaran, dan
akidah Syi’ahnya demi menjaga perasaan Ahlu Sunnah?! Atau seorang Sunni
bersikap mengalah dari keyakinannya, pemikiran dan pokok-pokok akidahnya agar
orang-orang Syi’ah mau mendekatinya dan mau duduk di sampingnya?!
Saya
yakin bahwa hal ini belum pernah terbetik di dalam pikiran salah seorang dari
dua golongan tersebut, baik Sunni maupun Syi’ah. Karena masing-masing dari
keduanya (Sunni dan Syi’ah) tidak akan bersikap mengalah dari akidah mereka
demi tujuan apa pun. Karena yang namanya akidah sebuah agama bisa membuat
seseorang rela berkorban di jalannya, baik dengan jiwanya, hartanya,
keluarganya, negaranya dan apa saja yang dia sayangi.
Pendekatan
yang diharapkan adalah pendekatan di antara para penganut keya-kinan, madzhab
atau golongan antara satu dengan yang lainnya dengan menanamkan sikap toleransi
di antara mereka dan memperbanyak titik persamaan di antara mereka jika
memungkinkan. Di dalam buku Kebangkitan Islam di Antara Perbedaan yang
Dibolehkan dan Perpecahan yang Terlarang, saya telah menyusun beberapa
kaidah-kaidah pendekatan di antara orang-orang yang berbeda faham. Sama dengan
yang telah saya susun di dalam buku yang lain berjudul, Prinsip-prinsip di Dalam Dialog dan
Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam, ada sepuluh prinsip
atau kaidah yang bisa jadi acuan untuk mendekatkan dan mendamaikan di antara
golongan.
Di
antara yang telah saya katakan di pembukaan buku ini bahwa yang dimaksud dengan
pendekatan itu bukan sikap mengalah seorang Sunni dari faham Sunninya yang
kemudian dia masuk ke dalam madzhab Syi’ah dan bukan pula seorang penganut Syi’ah
bersikap mengalah dari faham Syi’ahnya dan kemudian dia masuk ke dalam faham
Sunni. Karena bukan hal yang mudah bagi seorang penganut madzhab untuk
melepaskan madzhabnya hanya karena makalah yang dia baca, khutbah yang didengarnya,
hasil penelitian atau seminar yang dia hadiri. Hal ini dikarenakan madzhab
telah ada sejak dahulu kala, seorang anak mewarisinya dari orang tua mereka,
cucu mewarisinya dari kakeknya, generasi sekarang mewarisinya dari generasi
sebelumnya, anak kecil tumbuh dewasa dengan madzhab tersebut dan orang dewasa
memegang madzhab tersebut sampai dia tua.
Sesungguhnya
yang diharapkan dari adanya dialog dan pendekatan di sini adalah membersihkan
udara dari hal-hal yang mengotorinya yang bisa menyebabkan perpecahan, buruk
sangka dan hilangnya kepercayaan di antara kedua golongan yang bisa menimbulkan
kehancuran umat -jika terus-menerus terjadi- sebagaimana yang tercantum di
dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Kehancuran zatul bain itu
adalah alat cukur. Bukan untuk mencukur rambut, akan tetapi untuk mencukur
agama.” (HR Ahmad di dalam Al-Musnad, hadits no. 1412).
Saya
sendiri tidak bisa menilai, baik Sunni maupun Syi’ah ada yang suka mencukur
agamanya sebagaimana pisau cukur mencukur rambut. Justru masing-masing dari
kedunya itu ingin agar agamanya tetap terjaga.[10]
Pendekatan yang Diharapkan:
Bukan yang Berdasar kepada Ajaran Taqiyyah
Sesungguhnya
pendekatan yang diharapkan adalah bukan yang berdiri di atas dasar Taqiyyah
seperti yang ditetapkan oleh saudara-saudara kita dari kalangan Syi’ah. Karena
jika dasar Taqiyyah ini dijadikan sebagai dasar di dalam bermuamalah di antara
para dai (muballigh dll), tidak akan menciptakan kepercayaan dan ketenangan di
antara sesama mereka. Terutama untuk Ahlu Sunnah. Karena sangat mungkin apa
yang kebetulan saya alami adalah karena Taqiyyah! Sebab Taqiyyah –dalam
pandangan Syi’ah- membolehkan seseorang untuk menampakkan sesuatu yang berbeda
dari yang disembunyikannya, atau engkau menampakkan sesuatu tetapi engkau tidak
beriman sama sekali terhadap hal yang engkau tampakkan tersebut.
Dasar
adanya taqiyyah adalah diambil dari Al-Qur`an Al-Karim dari firman Allah SWT, ”Janganlah
orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan
orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan
memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari
sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri
(siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali,” (QS Ali Imran [03]:
28). Akan tetapi, Al-Qur`an menyebutkan Taqiyyah dalam konteks menghadapi orang-orang
kafir dan bukan terhadap sesama kaum muslimin! (kecuali jika benar Syi’ah telah
menganggap Ahlu Sunnah sebagai bukan muslim, alias kafir)
Allah
SWT telah menjadikan Taqiyyah ini sebagai keringanan dengan alasan darurat, “kecuali
karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.” Sesuatu
yang dibolehkan karena faktor darurat dan atas dasar pengecualian, maka
hukumnya tidak boleh dijadikan sebagai dasar atau kaidah yang baku dan tetap untuk
sebuah hukum syara’, pendidikan atau tingkah laku. Sebagaimana yang tercantum
di dalam firman Allah SWT, “kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),” (QS An-Nahl [16]:
106).
Pendekatan yang Diharapkan: Pendekatan
yang Menjauhi Klaim Takfir
Oleh karena itu, kita tidak
boleh menyeru kepada pendekatan atau penggabungan -apalagi persatuan- sementara
sebagian kita masih ada yang mengkafirkan golongan lain dan kitab-kitabnya mencantumkan
hal itu dengan sangat jelas. Bagaimana mungkin saya akan meletakkan tangan saya
di atas tanganmu dan saya menganggap kamu sebagai saudara saya dan engkau pun
menganggap saya sebagai saudaramu, padahal di dalam keyakinan hatimu engkau
yakin bahwa antara saya dengan kamu itu tidak ada hubungan apa-apa dan faktor
yang menyatukan kita pun hanya khayalan. Adapun faktor yang berbeda di antara
kita sangatlah banyak dan besar sekali. Sesungguhnya orang musyrik, Yahudi dan
Nashrani lebih dekat hubungan mereka denganmu daripada dengan saya?!
Sesungguhnya faham mengkafirkan
orang lain adalah faham yang sangat berbahaya dan jauh panggang dari
pendekatan. Sesungguhnya orang yang mengkafirkan seseorang itu menjadikan
dirinya keluar dari Islam dan tercabut dari umat. Bagaimana mungkin dia (orang
yang dikafirkan) akan mendekatinya?
Faham mengafirkan orang lain
sudah ada di kedua belah pihak (Sunni dan Syi’ah) dan bukan hanya ada di Ahlu
Sunnah saja sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Syi’ah. Justru
orang-orang Syi’ah sangat keterlaluan dalam hal mengafirkan golongan lain
melebihi Ahlu Sunnah. Kami telah menyebutkan contohnya sebelum ini. Ada juga
contoh-contoh yang lebih buruk lagi, terutama yang berkaitan dengan penolakan
imamah dan kemaksuman imam.
Sungguh menarik, orang yang
tidak pernah sama sekali mengkafirkan golongan lain adalah Ali bin Abi Thalib
RA. Beliau tidak pernah mengkafirkan orang-orang yang ikut peristiwa Jamal (Perang
Unta), dan juga beliau tidak mengkafirkan orang-orang yang ikut perang Shiffin
yang mana mereka itu memerangi Ali dan membencinya. Bahkan beliau juga tidak
mengkafirkan Khawarij yang telah mengkafirkan dirinya dan oleh sebab itu mereka
membunuh Ali sebagai syahid. Ali pernah ditanya tentang Khawarij, “Apakah
mereka itu orang-orang kafir?” Ali menjawab, “Mereka lari dari kekufuran”.
Beliau ditanya lagi, “Apakah mereka masuk ke dalam orang-orang munafiq?”
Ali menjawab, “Orang-orang munafiq itu tidak pernah mengingat Allah SWT
kecuali hanya sedikit”. Ali ditanya, “Lantas siapakah mereka itu?”
Ali menjawab, “Mereka adalah saudara-saudara kita kemarin yang telah berbuat
berlebihan hari ini terhadap kami”. Ali tidak lebih hanya mengatakan bahwa
para penentangnya melakukan bughat. Alangkah jelas, jujur dan adilnya
Ali bin Abi Thalib. Harus seperti ini lah sikap seorang mukmin apabila dia
marah, yaitu kemarahannya tidak membuat dirinya keluar dari kebenaran dan
apabila rela, kerelaannya tidak memasukkan dirinya ke dalam kebatilan!
Pendekatan yang Diharapkan:
Pendekatan yang Mengacu kepada Faham Moderat
Semestinya
kita mengambil slogan para pengusung faham moderat dari kedua belah pihak.
Seperti faham yang dicetuskan ulama rujukan Syi’ah yang masyhur yaitu Sayyid
Muhammad Husein Fadhlullah di kitab tafsirnya dan di beberapa bukunya yang lain
dimana beliau membantah riwayat-riwayat dusta tentang para sahabat, juga di
dalam tafsir Al-Qur`an, yang ia bantah dengan ilmu manthiq ilmiyah dan tegas
yang bersumber kepada sumber yang benar dan akal yang jelas.
Kami
sangat prihatin ketika kami menemukan ada sebagian orang-orang Syi’ah yang
secara khusus membantahnya dan menjelekkan pendapat-pendapatnya dan mereka menuduhnya
dengan tuduhan yang tidak pantas, sampai ada sebuah situs di internet yaitu www.dholal.net memberikan komentar
atas makalah-makalahnya juga pendapat-pendapat Syaikh Fadhlullah penuh dengan penistaan,
bantahan dan penolakan.
Contoh
riwayat dusta yang dibantah oleh Syaikh Fadhlullah adalah bahwa Fathimah
Az-Zahra RA meninggal dunia sebagai syahid karena dibunuh. Adapun yang
membunuhnya adalah Umar bin Khaththab. Umar telah menyeretnya ke pintu rumah
(pintu rumah Fathimah) sehingga punggung Fathimah tertusuk paku. Maka Umar lah
yang menjadi penyebab kematian Fathimah. Pintu yang manakah yang terdapat
pakunya? Apakah pintu di zaman mereka (Umar dan para sahabat yang lainnya)
seperti ini (dipaku)? Yang benar bahwa pintu zaman para sahabat adalah hanya
sebatas pembatas kain yang dijulurkan. Lantas, bagaimana mungkin suaminya
Fathimah yaitu Ali hanya diam saja atas targedi pembunuhan ini? Padahal beliau
adalah sosok penunggang kuda yang pemberani dan pedang Islam yang sangat tajam.
Bahkan, bagaimana mungkin setelah itu Umar menjadi menantu Ali? Karena Ali
menikahkan putrinya yang bernama Ummu Kultsum kepada Umar yang dia (Ummu
Kultsum) itu adalah putri Fathimah juga!
Saya
sangat gembira pada saat ini, sebab saya bisa menuliskan kata-kata mutiara yang
telah diucapkan oleh tokoh Syi’ah yaitu Ustadz Kamil Muruwwah, pendiri surat
kabar Al-Hayat di Libanon. Beliau pernah berkunjung ke tempat kami di Qatar di
awal-awal tahun tujuh puluhan yang lalu. Beliau bertemu dengan saya dan
beberapa ulama dan da’i di Qatar. Kami membicarakan masalah perbedaan di antara
Sunni dan Syi’ah dan kemungkinan adanya pendekatan di antara dua golongan:
Apakah pendekatan ini bisa terjadi ataukah sesuatu yang mustahil terjadi? Juga
tentang pengalamannya di bidang jurnalistik, politik, dan berbaurnya kedua
golongan ini?
Ternyata
jawaban orang Syi’ah ini penuh dengan kata-kata bijak. Dia berkata, ”Kita adalah
umat yang bersatu pada zaman Rasulullah SAW. Tidak ada Sunni dan tidak ada juga
Syi’ah atau yang lainnya sampai Allah SWT menurunkan firman-Nya, ”Pada hari ini
telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu,
dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu,” (QS Al-Maidah [05]: 3).
Kemudian terjadilah perbedaan pendapat setelah turun ayat ini. Maksudnya
setelah agama ini sempurna, dan nikmat Allah SWT telah sempurna diberikan
kepada umat Islam, barulah terjadi perbedaan pendapat.”
Kami
berbeda pendapat setelah itu. Yaitu kami berbeda pendapat di dalam masalah
sejarah; siapa yang lebih berhak dari siapa? (siapa yang lebih berhak atas
kekhalifahan, Ali atau Abu Bakar, pent), dan lain-lainnya. Semua ini adalah
masalah sejarah masa lalu yang kemudian membuat kita berbeda pendapat dan
membuat kita bercerai-berai. Hanya Al-Qur`an dan ajaran Islam yang agung lah
yang menyatukan kita yang kita yakini bahwa Allah SWT telah menyempurnakannya
untuk kita. Allah SWT menyempurnakan nikmat-Nya dan meridhai Islam sebagai
agama untuk kita.”
Inilah ucapan ulama Syi’ah
tersebut. Ucapannya sungguh benar! Karena seluruh perbedaan pendapat di antara kita
terjadi setelah agama Islam ini sempurna dan Al-Qur`an tidak turun lagi.
Perbedaan ini hanya berkisar di dalam masalah sejarah yang kita sendiri tidak
menyaksikannya dan tidak ikut serta di dalamnya. Cukup lah bagi kami firman
Allah SWT, ”Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka
usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta
(pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka kerjakan,” (QS
Al-Baqarah [02]: 134).
Agar Usaha Pendekatan Ini Berbuah Manis
Di
sini saya ingin menjelaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa taqrib (usaha
pendekatan) ini -agar membuahkan hasil- yaitu harus dilakukan dengan keterusterangan
dan terbuka, huruf-hurufnya diberi harakat, tangan diletakkan (diusapkan) ke
atas luka yang masih berdarah, membuka kebenaran yang ditutup-tutupi yang bisa
merapuhkan pondasi pendekatan ini dan juga
membuang seluruh hambatan di antara kedua kelompok yang sulit diatasi.
Saya
sendiri telah membahas masalah ini di dalam buku saya yang berjudul, Prinsip-prinsip
di Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam yang
membuat saya harus membahas kembali poin-poin yang berkaitan dengan masalah
ini. Walaupun saya sendiri sebenarnya tidak suka dengan pengulangan. Akan
tetapi, metode pengulangan bisa menguatkan pemikiran (jadi hafal), oleh karena
itu tidak apa-apa.
Di antara prinsip yang saya tekankan itu adalah:
1. Masing-masing kita (Sunni dan Syi’ah) tidak
saling mengkafirkan. Karena mengkafirkan seorang muslim adalah dosa besar.
Tidak boleh seorang muslim
bersikap berlebihan di dalam masalah ini, kecuali jika sudah jelas kekufurannya
dan ada bukti-buktinya (dalil-dalil pendukungnya) dari Allah SWT. Hukum asalnya
bahwa siapa saja yang telah mengucapkan tidak ada tuhan selain Allah SWT dan
Muhammad itu adalah utusan-Nya, maka dia itu adalah muslim. Kalimat ini telah
melindungi darah dan hartanya dan Allah SWT yang akan menghisabnya kelak,
sebagaimana telah tercantum di dalam sebuah hadits.[11]
Barangsiapa yang telah masuk Islam dengan yakin, maka dia tidak akan murtad
kecuali dengan yakin pula. Sedangkan keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh
karaguan. Bagaimana mungkin seorang muslim mengafirkan sesama muslim? Padahal
dia terlihat shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat, menunaikan haji, membaca
Al-Qur`an dan berzikir kepada Allah SWT. Bukankah semua ini menjadi tanda atas
keislamannya?
Sesuatu yang tidak bisa
dipungkiri bahwa ada orang-orang Ahlu Sunnah yang suka mengkafirkan orang lain.
Mereka mengafirkan orang-orang Syi’ah dan mencap mereka murtad karena
alasan-alasan yang mereka miliki. Akan tetapi mereka (Ahlu Sunnah yang suka
mengkafirkan) itu tidak hanya mengafirkan orang-orang Syi’ah saja. Mereka juga
mengkafirkan orang-orang Ahlu Sunnah yang berseberangan faham dengan mereka,
termasuk mengkafirkan para ulamanya. Bisa saja jilatan api takfir mereka ini
mengena kepada diri saya atau mengena kepada saudara-saudara saya. Akan tetapi,
ada juga orang-orang yang dikenal suka mengkafirkan orang lain dari kalangan Syi’ah.
Mereka mengkafirkan orang lain dengan mengacu kepada kitab-kitab rujukan
mereka. Sebagian besar dari mereka itu mengkafirkan Ahlu Sunnah, baik secara
umum maupun secara rinci. Sebagian dari mereka ada yang mengganggap najis Ahlu
Sunnah dan menganggap lebih kufur daripada orang-orang musyrik, orang-orang
Yahudi dan Nashrani. Oleh karena itu, kepada orang-orang Syi’ah yang
menginginkan pendekatan ini harus menolak faham saling mengkafirkan ini dan ulama
Syi’ah yang suka mengafirkan ini jangan dijadikan sebagai rujukan.
2. Harus membuang jauh-jauh faham Taqiyyah yang
merupakan faham utama orang-orang Syi’ah di dalam ajaran mereka.
Karena masuknya faham Taqiyyah
di dalam perjanjian yang besar ini bisa merontokkan kepercayaan atas semua yang
disampaikan dan disepakati. Karena bisa saja semua ini (dilakukan) dalam rangka
bertaqiyyah!
3. Di antara keterus terangan yang diharapkan
adalah kita mengakui fakta yang ada di muka bumi, seperti yang sedang terjadi
di Irak yaitu adanya gengster yang bernama “Para Pencabut Nyawa”.
Dengan entengnya mereka
membantai manusia. Mereka membantai setiap orang yang bernama Umar atau Utsman!
Mereka menyembelih orang-orang di dalam rumah mereka sendiri. Mereka juga
menculik orang-orang dari keluarganya. Setelah itu, orang-orang melihat kepala
orang-orang yang diculik tersebut sudah tergeletak di jalan. Dan yang paling
sadis yaitu bekas-bekas penyiksaan masih terlihat jelas di tubuh korban yang
bisa membuat bulu kuduk merinding. Islam telah melarang kaum muslimin melakukan
mutilasi terhadap mayat orang-orang musyrik pada saat peperangan. Nah,
bagaimana mungkin kita membolehkan untuk memutilasi tubuh kaum muslimin yang
masih hidup bukan pada waktu perang?
4. Melarang orang-orang Syi’ah yang berusaha
untuk menerobos masyarakat Sunni dengan cara menyebarkan faham Syi’ah ke
tengah-tengah mereka.
Padahal aktifitas ini tidak
dianjurkan oleh para ulama dari kedua belah pihak. Misalnya Imam Muhammad Mahdi
Syamsuddin, Ketua Dewan Tertinggi Syi’ah di Libanon yang telah melemahkan faham
ini dan menolaknya dengan keras. Beliau juga telah menjelaskan sikapnya dengan
sangat jelas.
5. Menghentikan sikap media massa yang menyerang
Ahlu Sunnah dan mendakwahkan ajaran Syi’ah secara terang-terangan lewat
saluran-saluran udara yang sangat banyak dan didanai oleh Syi’ah.
Tidak ada keraguan lagi bahwa
saluran-saluran udara ini bertujuan untuk menjelekkan citra Islam Sunni yang
dianut oleh mayoritas kaum muslimin di dunia. Saluran ini sangat dikenal bagi
orang-orang yang suka menontonnya.
Pihak yang Menolak Pendekatan Madzhab
Di sini saya ingin menjelaskan
sebuah fakta kepada semuanya yang tidak boleh disembunyikan. Yaitu bahwa pada
saat ini, ide pendekatan madzhab ini banyak ditolak orang. Jadi ide ini sedang
diuji.
Sesungguhnya ide pendekatan
madzhab, para penganjur, kelompok-kelompok dan yayasan yang mengusung ide ini
sedang menghadapi ujian yang sangat berat pada saat ini, yang mungkin saja
faham ini akan hancur jika orang-orang yang beriman, baik pribadi maupun
yayasan-yasannya tidak menyadari hal ini.
Ide pendekatan madzhab ini
sedang ditolak masyarakat. Mungkin saja keberadaan ide ini akan diakui di alam
nyata. Bisa menunaikan tugasnya sesuai tugasnya. Bisa mengalahkan para
pengusung perpecahan sekte dan fanatisme jahiliyah yang bisa menyulut huru-hara
dan menyebabkan kebakaran (kekacauan). Atau bisa saja melemah, apinya padam,
jemaahnya bercerai berai sehingga hanya tinggal kenangan atau hanya menjadi buah
bibir saja.
Seluruh kaum muslimin
mengharapkan realisasi beberapa poin dari para pengusung ide pendekatan madzhab
ini, di antaranya:
1. Berusaha untuk memadamkan
huru-hara di Irak yang memicu perang antar sekte yang tidak ada ujung
pangkalnya. Huru-hara ini susah dipadamkan ketika sudah berkobar.
Apinya membesar sehingga
menyebar ke mana-mana. Dalam perang ini tidak ada yang menang dan tidak ada
yang kalah. Justru semua pihak menjadi pihak yang kalah, walaupun mereka
menyangka bahwa mereka lah pihak yang menang. Justru pemenangnya adalah Zionis
(Israel), beserta Amerika dan sekutunya yang memusuhi Islam, kaum muslimin dan
peradabannya. Padahal dahulunya bangsa Irak adalah bangsa yang bersatu di dalam
negara yang satu, di bawah pemerintahan yang sama sejak beberapa abad lamanya.
Satu klan dan satu keluarga bahkan terdiri dari 2 golongan Sunni-Syi’ah,
sehingga terjadi hubungan perkawinan satu sama lain. Itu semua berjalan secara
alamiah.
Apa yang terjadi pada hari
ini? Apakah zaman pemerintahan sekuler sebelum ini lebih toleran dan tidak
bersikap keras dari pada partai-partai yang kini berafiliasi kepada agama?
Contohnya Dewan Tertinggi Revolusi, atau Kelompok Ash-Shadra (pimpinan Muqtadha
Ash-Shadr), Partai Dakwah dan perkumpulan-perkumpulan Syi’ah yang lainnya yang
dituduh oleh banyak orang bahwa mereka memiliki pasukan yang dipersenjatai yang
dengan mudahnya membantai semua orang yang bernama Abu Bakar, Umar, Utsman atau
Aisyah. Setiap orang yang bernama seperti ini, maka mereka akan langsung
dibunuh. Sebagian besar korbannya disiksa dengan beragam siksaan terlebih
dahulu sebelum mereka dibunuh. Padahal, dahulu para sahabat saja belum pernah
merasakan siksaan seperti ini dari orang-orang musyrik dan orang-orang kafir.
Sesungguhnya geng “Para
Pencabut Nyawa” membantai Ahlu Sunnah di dalam rumah mereka, di atas tempat
tidur mereka atau menculiknya dan kemudian kepala si korban dibuang di
jalan-jalan atau di rumah-rumah kosong. Mereka membantai Ahlu Sunnah setiap
harinya mencapai puluhan bahkan ratusan korban. Kepada siapakah mereka (para
pelaku kejahatan ini) dinisbahkan? Mereka itu memakai seragam polisi lengkap
beserta senjata kepolisian (pistol). Mereka juga memakai lencana kepolisian.
Akan tetapi tidak ada seorang pun yang menjegal upaya mereka ini. Sebagian
besar para korban yang ditawan oleh mereka dimasukkan ke dalam penjara milik
pemerintah!
2. Menghentikan program
penyebaran madzhab di sebuah negara yang dihuni oleh madzhab tertentu.
Inilah yang saya jelaskan di
depan saudara-saudara saya di Iran pada saat kunjungan saya ke sana tahun 1998.
Hal ini juga senada dengan yang diserukan oleh para ulama Syi’ah yang
terhormat, seperti Muhammad Mahdi Syamsuddin, Ketua Dewan Tertinggi Syi’ah di
Libanon dan Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, ulama senior rujukan Syi’ah.
Saya juga telah menyampaikan
kepada ulama rujukan Syi’ah di Iran ketika saya berkunjung ke sana bahwasanya
usaha pendekatan ini tidak akan terjadi di antara kita (Sunni dan Syi’ah), jika
orang-orang Syi’ah berusaha untuk menyimpangkan akidah para pengikut kami (Ahlu
Sunnah). Atau kami (Ahlu Sunnah) berupaya untuk menyimpangkan akidah para
pengikut Syi’ah. Usaha ini bisa merusak hubungan baik di antara kita dan
menimbulkan ketakutan serta hilangnya kepercayaan di antara kita.
Kemudian, apa yang mendorong
orang-orang Syi’ah memaksakan diri ingin masuk ke dalam sebuah negara yang
dihuni mayoritas Sunni yang penduduknya bermadzhab Syafi’iyyah, Malikiyyah atau
madzhab yang lainnya sehingga secara perlahan-lahan sebagian penduduknya
-dengan cara-cara Syi’ah- masuk ke dalam ajaran Syi’ah? Saya bertanya kepada
kalian, “Berapa banyak yang kalian targetkan? Sepuluh atau dua puluh orang?
Seratus atau dua ratus orang atau bahkan seribu atau dua ribu orang?” Hal
ini mungkin saja terjadi dengan cara-cara yang sangat halus, sebagaimana yang
dilakukan oleh Misionaris Kristen ke negara-negara berpenduduk muslim.
Akan tetapi pada saat
masyarakat Sunni mengetahui hal ini, maka mereka akan membenci dan memusuhi
kalian dan mereka akan menumpahkan amarahnya kepada kalian. Mereka juga akan
melaknat kalian dan akan melontarkan tuduhan-tuduhan, baik yang benar maupun
yang tidak benar. Akhirnya, suasana di masyarakat penuh dengan kebencian dan
pergolakan.
Pada saat itu, sahabat kami
Ayatullah At-Taskhiri juga hadir dan beliau menguatkan pendapat saya ini.
Beliau berkata, ”Engkau benar!” Kemudian beliau menceritakan kisah yang
terjadi pada saat Revolusi “Inqadz” di Sudan yang menandakan sangat berbahaya
jika faham Syi’ah disebarkan ke tengah-tengah mayoritas Ahlu Sunnah.
Demikian juga sebaliknya,
yaitu sangat berbahaya jika faham Ahlu Sunnah disebarluaskan di negara-negara
yang dihuni mayoritas Syi’ah. Masih ada yang melakukan hal ini secara
perorangan. Akan tetapi jumlah mereka amat terbatas. Akan tetapi, ajaran Syi’ah
ini disebarluaskan terprogram dengan memakai strategi. Ada tim suksesnya,
misionarisnya, didukung dana, dilengkapi berbagai macam kegiatan, ada target
dan fasilitas lain yang mendukungnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi
setiap orang yang terkait peristiwa Revolusi Iran yang mana efeknya terasa
sampai ke luar Iran.
3. Ajaran yang berkaitan
dengan mencerca para sahabat. Saya telah sampaikan dan akan terus saya sampaikan bahwa
kita tidak mungkin akan saling mendekat dengan semboyan persatuan umat, selama
itu diamalkan.
Sebab ada jurang menganga di
antara kita mengenai penilaian terhadap para sahabat. Terutama terhadap para
sahabat yang masuk ke dalam kategori orang-orang Muhajirin dan Anshar generasi
pertama yang telah Allah SWT ridhai dan mereka pun ridha terhadap Allah SWT,
yang mana Allah SWT telah menyiapkan bagi mereka surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.
Hal ini telah dijelaskan di
dalam Al-Qur`an, ”Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida
kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang agung,” (QS At-Taubah [09]: 100). Sampai saat ini, ayat ini
masih terus memuji para sahabat. Bahkan ayat ini diikuti oleh ayat lain, ”Orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik.” Tidak diragukan lagi bahwa di antara
orang-orang yang disebut sebagai ”orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin,” yaitu Abu
Bakar, Umar, Utsman, Thalhah dan Zubair.
Tentang mereka ini lah Allah
SWT menurunkan firman-Nya, ”Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah,
kemudian mereka terbunuh atau mati, sungguh, Allah akan memberikan kepada
mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi rezeki
yang terbaik. Sungguh, Dia (Allah) pasti akan memasukkan mereka ke tempat masuk
(surga) yang mereka sukai. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha
Penyantun,” (QS Al-Hajj [22]: 58-59). Juga firman-Nya, ”(Harta rampasan
itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang terusir dari kampung
halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan
keridaan(-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar,” (QS Al-Hasyr [59]: 8). Mereka itulah yang dicap
sebagai orang-orang yang benar menurut nash Al-Qur`an. Di dalam Al-Qur`an,
Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar kita selalu bersama orang-orang
yang benar, ”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan
bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar,” (QS At-Taubah [09]: 119).
Mereka itu adalah orang-orang
yang berbaiat kepada Nabi Muhammad SAW di bawah pohon untuk rela mati di jalan
Allah SWT. Maka turunlah firman Allah SWT, ”Sungguh, Allah telah meridai
orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah
pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat,”
(QS Al-Fath [48]: 18). Mereka juga adalah orang-orang yang ikut berjihad di
perang Badar, Uhud, Tabuk dan perang-perang yang lainnya. Mereka juga adalah
orang-orang yang mendapat persaksian dari Al-Qur`an, ”Dan orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka
itulah orang yang benar-benar beriman,” (QS Al-Anfal [08]: 74). Mereka juga
adalah orang-orang dimaksudkan oleh firman Allah SWT, ”Adapun orang-orang
yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang
beruntung,” (QS Al-A’raf [07]: 157). Mereka jugalah yang dimaksud oleh
Al-Qur`an, ”Dan jika mereka hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah
Allah (menjadi pelindung) bagimu. Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu
dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin, dan Dia
(Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu
menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana,” (Al-Anfal [08]: 62-63).
Mereka itu para sahabat yang
Allah SWT dengan perantaraan mereka telah menolong Rasulullah SAW dan Allah SWT
memuliakan Islam melalui usaha mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang
Al-Qur`an bersaksi kepada mereka semua bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan
di sisi Allah SWT, walaupun bagi orang-orang yang terdahulu ada karunia yang
mereka peroleh lebih dahulu. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah SWT,
”Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu
dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya
daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu.
Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik,” (QS Al-Hadid [57]: 10).
Sampai-sampai para sahabat
yang bersikap keliru di dalam peperangan, seperti sebagian sahabat yang
melarikan diri dari perang Uhud setelah mendengar berita bahwa Rasulullah SAW
telah wafat, namun Allah SWT telah memaafkan mereka. Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya
orang-orang yang berpaling di antara kamu ketika terjadi pertemuan
(pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan,
disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa
lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyantun,” (QS Ali Imran [03]: 155). Mereka juga,
orang-orang yang diberi kesaksian oleh ayat terakhir dari surah Al-Fath [48]
yang berbunyi, ”Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama
dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia
Allah dan keridaan-Nya,” (QS Al-Fath [48]: 29).
Mereka adalah orang-orang yang
mendapatkan kesaksian dari Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah SAW, juga
mendapat kesaksian dari sejarah yang belum pernah dicapai oleh orang lain
sebelum mereka.
Kita juga menyaksikan bahwa
mereka lah yang telah menghafalkan untuk kita kitab suci Al-Qur`an dan kemudian
mereka nukil untuk kita dalam keadaan utuh tanpa perubahan sedikitpun.
Mereka juga adalah orang-orang
yang telah meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW untuk kita, juga
sunnahnya, baik ucapan, perbuatan maupun keputusan Rasulullah SAW. Mereka juga
telah menukilkan untuk kita semua sejarah Rasulullah SAW secara terperinci yang
belum pernah dilakukan bagi seorang nabi sebelum beliau atau bagi seorang yang
mulia sebelum beliau.
Mereka juga adalah orang-orang
yang berjasa menyampaikan agama Islam ke seluruh penjuru dunia dan melakukan
serangkaian futuh (penaklukan secara damai) dan mereka berjuang dengan
pedang mereka melawan orang-orang yang menjajah manusia. Sehingga Allah SWT pun
memberikan kemenangan untuk mereka ketika melawan Kisra (Raja Persia) dan
Kaisar (Raja Romawi) demi tersebarnya keadilan Allah SWT di muka bumi.
Mereka itu adalah orang-orang
yang paling dekat dengan cahaya kenabian dan mereka pun belajar dari cahaya
kenabian ini (cahaya kenabian = Rasulullah SAW). Mereka mencontohnya di dalam
seluruh sunnahnya dan petunjuk-petunjuknya. Karena di dalam diri Rasulullah SAW
bagi mereka benar-benar ada suri tauladan yang baik. Mereka itu adalah sebaik-baik
murid bagi sebaik-baik guru. Oleh karena itu mereka disebut dengan Para Sahabat
Rasulullah SAW.
Mereka itu, menurut Al-Qur`an,
As-Sunnah, sejarah dan ilmu manthiq merupakan generasi yang paling baik yang
pernah dicatat oleh sejarah. Tidak diragukan lagi! Karena mereka adalah
murid-murid penghulu umat manusia, para sahabat adalah buah dari pendidikan
beliau, dan generasi yang beliau bina dengan tangannya sendiri. Barangsiapa
yang mencela mereka, maka seolah-olah telah mencela guru mereka, yaitu Rasulullah
SAW. Terlebih lagi mencela para sahabat yang sangat dekat dengan beliau. Imam
Malik telah berkata terhadap orang-orang yang mencela para sahabat, ”Mereka
itu sebenarnya ingin mencela Rasulullah SAW, tapi mereka tidak bisa
melakukannya. Akhirnya, mereka mencela para sahabat Rasulullah SAW. Mereka
mengatakan, ’Dia itu orang jahat!’ karena jika orang shalih, maka
teman-temannya pun akan orang shalih pula!”[12]
Oleh karena itu, tidak mungkin
bisa dilakukan pendekatan antara Sunni dan Syi’ah. Sebab ajaran kebencian ini
masih menjadi sikap mereka terhadap para sahabat Rasulullah SAW.
Memang benar, tidak mungkin kita akan
bersatu. Ketika saya mengatakan, ”Abu Bakar semoga Allah SWT meridhainya.
Umar semoga Allah SWT meridhainya.” Sedangkan engkau (Syi’ah) berkata, ”Abu
Bakar semoga Allah SWT melaknatnya. Umar semoga Allah SWT melaknatnya.”
Ingat, alangkah besarnya jurang perbedaan antara kalimat ‘semoga Allah SWT
meridhainya’ dengan kalimat ‘semoga Allah SWT melaknatnya’.
Tulisan ini saya akhiri dengan
doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan
kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang,” (QS Al-Hasyr [59]:
10).
MENCACI PARA SAHABAT
Pertanyaan :
Yang terhormat, Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hafizhahullah.
Assalaamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Kami mengenal Anda sebagai salah
satu ulama yang menyerukankan pendekatan di antara golongan dan madzhab di
dalam Islam. Terutama antara madzhab Sunni dengan Syi’ah Imamiyah Itsna
’Asyariyyah. Di sini kami ingin bertanya kepada Anda dengan sebuah pertanyaan
yang sangat jelas, yang mana kami sangat mengharapkan jawaban dari Anda dengan
jawaban yang jelas pula, tidak hanya berdiplomasi. Pertanyaannya yaitu: Apakah
mungkin akan terjadi pendekatan antara kedua golongan (Sunni dan Syi’ah), yang
mana Syi’ah sangat membenci para sahabat dan bahkan berani mencaci dan melaknat
mereka, terutama terhadap sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Zubair dan
Thalhah. Oleh karena itu, orang-orang Syi’ah tidak mau menamai anak mereka
dengan nama-nama ini, kecuali dibolehkan bagi seorang perempuan yang tidak
mempunyai anak dan yang lainnya.
Bagaimana hukum mencaci para
sahabat yang telah dijadikan Allah SWT sebagai penolong rasul dan agama-Nya?
Apakah masuk ke dalam kategori perbuatan kufur? Hal ini dikarenakan
bertentangan dengan nash Al-Qur`an yang telah memuji para sahabat.
Pembahasan ini merupakan sebab
terjadinya perpecahan di antara kami dengan mereka (orang-orang Syi’ah). Kami
harapkan, Anda bisa menerangkan kebenaran hal ini. Karena Anda telah
mendapatkan anugerah ilmu, kekuatan dan hujjah dari Allah SWT. Juga Anda
menguasai sejarah dan perkembangan masa kini, juga mempunyai keberanian di
dalam menyampaikan kebenaran.
Semoga Allah SWT senantiasa
menambahkan taufik-Nya kepada Anda.
Wassalaamu ’Alaikum Wr. Wb.
Hasan Ali Abdullah
Dari Kuwait
Jawaban :
Segala puji bagi Allah SWT.
Semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, amma ba’du :
Saya
ucapkan terimakasih kepada Saudara penanya atas pertanyaannya yang sangat
penting. Pertanyaan ini menyangkut masalah sensitif antara kami dengan Syi’ah.
Karena inilah sikap mereka (orang-orang Syi’ah) terhadap para sahabat. Mereka
sangat membenci para sahabat dan menuduh para sahabat dengan tuduhan keji.
Topik ini merupakan topik yang selalu hangat dibicarakan dalam acara-acara
pendekatan madzhab antara Sunni dengan Syi’ah. Topik ini merupakan salah satu
dari 2 topik pembahasan yang membuat ketegangan antara kami dengan Syi’ah sejak
bulan Ramadhan 1429 H/September 2008. Saya pernah membahas topik ini dengan
para ulama mereka setiap kali kami bertemu dengan mereka. Semuanya ternyata
setuju dengan pendapat yang saya ajukan, namun realitas menyatakan sebaliknya.
Saya tidak ingin mengatakan jika mereka (para ulama Syi’ah) mengatakan hal ini
adalah sebagai bentuk Taqiyyah.
Akan tetapi saya melihat jika
ajaran Syi’ah yang dominan selalu melampaui seluruh ucapan ulama Syi’ah di berbagai
forum. Ini imbas dari sejarah yang panjang. Inilah wujud realitas yang dipenuhi
kebencian dan dendam kesumat.
Saya
hanya ingin mengatakan bahwa siapa saja orangnya yang sudah mengenal madzhab Syi’ah,
maka dengan mudah dia akan memahami sikap Syi’ah terhadap para sahabat,
terutama terhadap para sahabat senior.
Karena
ajaran pokok madzhab Syi’ah yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Rasulullah
SAW telah tegas menyatakan Ali sebagai penggantinya (menjadi Khalifah) setelah
beliau wafat. Akan tetapi para sahabat telah bersekongkol untuk menyembunyikan
kebenaran ini. Dengan sengaja, mereka telah durhaka terhadap Rasulullah SAW.
Para sahabat –menurut Syi’ah- telah menyakiti Rasulullah SAW yang telah
berwasiat untuk menjaga keluarganya dengan baik.
Sedangkan kita ketahui bahwa
para sahabat senior adalah para sahabat yang
paling dekat dengan beliau, paling dicintai, paling banyak berinfaq, paling
dipuji, sebab terdapat banyak hadits yang menerangkan keutamaan mereka.
Tidak
diragukan lagi bahwa inilah buah dari pembinaan dan pendidikan Rasulullah SAW.
Juga sebagai hasil dari perhatian serius beliau terhadap ucapan dan perbuatan
para sahabatnya. Misalnya saja penjelasan wahyu yang terdapat di dalam
Al-Qur`an yang memuji seluruh perbuatan baik para sahabat dan menegur seluruh
perbuatan kurang baik dari mereka. Tujuannya agar para sahabat introspeksi dan
bertaubat kepada Allah SWT dan memperbaiki perbuatan mereka. Sampai akhirnya
mereka disebut, ”Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia,” (QS Ali Imran [03]: 110). Mereka akhirnya menjadi figur umat
pertengahan yang Allah SWT jadikan sebagai saksi atas seluruh umat manusia.
Mereka
berhak mendapatkan gelar ini sampai Al-Qur`an dari langit ketujuh turun, berisi
pujian atas mereka. Yaitu orang-orang yang ikut hijrah, mereka pergi
meninggalkan rumah dan harta benda mereka karena mencari keridhaan Allah SWT.
Mereka menolong agama Allah dan rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang
benar. Juga orang-orang Anshar yang menjadi penolong Rasulullah SAW dan
dakwahnya dengan jiwa dan harta mereka. Mereka lah yang disebutkan di dalam
Al-Qur`an, ”Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati
kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri,
meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung,”
(QS Al-Hasyr [59]: 9).
Inilah
gambaran Ahlu Sunnah terhadap para sahabat. Gambaran ini bersandar kepada
Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, dan kenyataan sejarah yang sangat berbeda
dengan gambaran yang diberikan oleh orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat.
Gambaran ini sangat bertolak belakang 100% dengan gambaran orang-orang Syi’ah.
Karena gambaran mereka tidak mengacu kepada Al-Qur`an, As-Sunnah, sejarah dan fakta
yang benar. Inilah gambaran yang telah dijelaskan oleh syaikh kami, Abul Hasan Ali
An-Nadawi di dalam makalah pendeknya dengan judul, ”Dua Gambaran yang
Bertolak Belakang.”
Kesimpulan
terhadap gambaran pertama dari orang-orang Syi’ah, “Sesungguhnya Rasulullah
SAW tidak benar di dalam mendidik murud-muridnya. Beliau telah ditipu oleh
mereka, dan murid-murid beliau telah mengkhianati gurunya dengan cara
menyia-nyiakan wasiat kepemimpinan setelah beliau wafat. Mereka juga berkhianat
kepada keluarga beliau, menzalimi Ahlul Bait di dalam masalah kepemimpinan dan
membuat konspirasi terhadap Ahlul Bait”.
Kesimpulan
terhadap gambaran kedua dari Ahlu Sunnah, “Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah guru yang paling baik.
Beliau memahami betul seluruh murid-muridnya. Beliau sangat dekat dengan mereka
dan memberikan sinyal kepemimpinan setelah beliau wafat dengan cara penunjukan
imam di dalam shalat dan lain-lainnya.”
Masalah
ini yang membuat kami Ahlu Sunnah sering berbenturan dengan orang-orang Syi’ah.
Kami Ahlu Sunnah mengatakan: Abu Bakar dan Umar -semoga Allah SWT meridhai
keduanya-, sedangkan orang-orang Syi’ah mengatakan: Abu Bakar dan Umar -semoga
Allah SWT melaknat keduanya-. Kami Ahlu Sunnah mengatakan: Aisyah -semoga
Allah SWT meridhainya-, sedangkan orang-orang Syi’ah mengatakan: Aisyah -semoga
Allah SWT melaknatnya-. Padahal Aisyah ini telah Allah SWT sucikan di dalam
firman-Nya di dalam surah An-Nur.
Saya
sangat sedih ketika terjadi peristiwa di Beirut pada tahun 2008, pada saat
pasukan Hizbulloh memasuki rumah-rumah Ahlu Sunnah sambil berteriak, ”Semoga
Allah SWT melaknat tiga orang!” Tiga orang yang mereka maksudkan adalah Abu
Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan. Cerita ini saya dengar dari
orang-orang yang bisa dipercaya, karena mereka menyaksikannya sendiri.
Saya
telah menulis di dalam buku saya yang berjudul, ”Dasar-Dasar di Dalam Dialog
dan Pendekatan di Antara Madzhab-madzhab dan Golongan di Dalam Islam.” Di
dalam buku tersebut saya telah membuat sepuluh kaidah dan dasar-dasar di dalam
dialog atau pendekatan antara dua madzhab. Di antaranya, menjauhi kata-kata
provokasi. Yaitu, segala sesuatu yang bisa memprovokasi orang lain, membuat
orang lain marah dan perbuatan yang menantang orang lain yang tidak bisa
dibenarkan. Di antara bentuk-bentuk provokasi itu adalah mencerca para sahabat.
Di
sini saya ingin menukil sebagian yang saya tuliskan di sana, karena mengandung
ibrah dan pelajaran, juga mengandung penjelasan yang kuat atas setiap para
pembangkang dan orang-orang sombong.
Di
antara yang sudah saya katakan, masalah mencaci para sahabat oleh orang-orang Syi’ah
tetap menjadi persoalan, terutama menghina para sahabat senior. Yaitu para
sahabat yang ketika Rasulullah SAW wafat, beliau telah ridha terhadap mereka.
Misalnya Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman RA dan
sepuluh orang sahabat yang telah dijamin masuk surga, seperti Thalhah, Zubair,
para sahabat yang ikut hijrah dan pertama-tama beriman kepada Rasulullah SAW,
yang mana saat itu orang-orang Mekah mendustakan beliau. Justru para sahabat
beriman di saat orang-orang menolak beliau. Oleh karena itu, Allah SWT memuji mereka semuanya di dalam
Al-Qur`an. Allah SWT ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap Allah
SWT. Allah SWT berfirman, ”Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan
mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang agung,” (QS At-Taubah [09]: 100).
Contoh
lainnya, Aisyah binti Abu Bakar yang telah disucikan oleh Allah SWT dari tujuh
lapis langit. Mengenai Aisyah ini telah turun sebuah ayat di dalam surat An-Nur
[24] yang berbunyi, ”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi
kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan
dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil
bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar
(pula),” (QS An-Nur [24]: 11).
Demikian
juga dengan para sahabat yang lainnya yang levelnya di bawah para sahabat
senior. Akan tetapi mereka sangat gembira karena bisa menemani Rasulullah SAW.
Mereka semua ini berada di dalam kebaikan, sebagaiman firman Allah SWT, ”Dan
mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah, padahal milik Allah
semua pusaka langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di
jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka
lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan
berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka
(balasan) yang lebih baik. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan,”
(QS Al-Hadid [57]: 10).
Inilah
poin yang sangat sensitif antara kami Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Karena tidak
mungkin antara kita akan terjadi pendekatan. Karena saya berkata, ”Abu Bakar -semoga
Allah SWT meridhainya-. Sedangkan engkau (Syi’ah) mengatakan, ”Abu Bakar -semoga
Allah SWT melaknatnya.- Coba perhatikan, ada berapa perbedaan antara ucapan
ridha terhadap seseorang dengan ucapan laknat?
Saya
pernah berdialog dengan beberapa orang para ulama Syi’ah yang saya tahu mereka
itu adalah para ulama yang bijaksana. Saya katakan kepada mereka, ”Sesungguhnya
masalah ini adalah batu sandungan utama di dalam proses pendekatan antara dua
madzhab. Oleh karena itu, para cendekiawan Syi’ah harus menahannya atau paling
kurang memperkecil efeknya. Karena jika hal ini dibiarkan sesuai dengan tabiat
orang-orang awam yang dipenuhi dendam dan kebencian, maka akan memakan setiap
rumput hijau dan yang kering, dan sangat wajar jika tidak ada kesempatan bagi
para ulama di dalam menjelaskan prospek persatuan dan proses pendekatan
madzhab.”
Sebenarnya
saya katakan bahwa para cendekiawan Syi’ah seperti Ayatullah Muhammad Ali
At-Taskhiri dan Ayatullah Wa’izh Zadeh dan yang lainnya mereka sangat setuju
dengan hal ini. Mereka meyakinkan kepada saya bahwa cara pandang seperti ini
(tidak mencaci para sahabat, ed.) mulai menguat dan menyebar di kalangan Syi’ah
sedikit demi sedikit. Sampai-sampai kurikulum pendidikan yang baru di Iran di
beberapa bukunya menyebutkan tentang sejarah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab
yang dipenuhi dengan pujian dan kemuliaan.
Saya
katakan kepada mereka, ”Inilah yang harus dikembangkan di dalam
yayasan/lembaga pendidikan milik pemerintah dan juga di dalam pendidikan
keluarga secara khusus. Karena pengetahuan masyarakat Syi’ah banyak mengandung
ilusi, hal-hal yang berlebihan dan takhayul. Semua ini tidak bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Akan tetapi menurut orang-orang awam, hal ini merupakan
kebenaran dan akidah mereka.”
Sebenarnya,
masalah yang sangat membahayakan ini perlu dihilangkan dan dijelaskan untuk
membersihkan semua debu-debu kekisruhan. Atau paling tidak untuk membentuk
sikap positif dan bijaksana terhadap permasalahan ini.
Awas, Jangan Mencerca Para Sahabat!
Saya ingin menjelaskan masalah ini di hadapan
saudara-saudara saya dari madzhab Syi’ah. Saya sendiri tidak bermaksud lain
dari ini semua kecuali hanya mengharap ridha Allah SWT, berkhidmat kepada Islam
dan umat Islam.
Pertama, Sesungguhnya semua kejadian yang dialami oleh para
sahabat, seperti perbedaan pendapat sampai terjadinya huru-hara, semua ini
sudah menjadi sejarah (masa lalu) dan telah digulungkan lembaran sejarahnya,
baik yang manis maupun yang pahitnya.
Yang buruk dan yang baiknya, kelak,
Allah SWT akan menanyai para sahabat dan Dia akan memberikan pahala atas
seluruh perbuatan dan niat mereka. Yang layak bagi kita adalah menyerahkan
semua ini kepada Allah SWT dan tidak perlu repot-repot kita
menghitung-hitungnya. Sebab Allah SWT telah berfirman, ”Itulah umat yang
telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah
kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa
yang dahulu mereka kerjakan,” (QS Al-Baqarah [02]: 134).
Karena alasan ini pula,
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika ditanya tentang masalah ini, beliau
menjawab, ”Dengan darah mereka itulah Allah SWT membersihkan tangan-tangan
kita. Oleh karena itu, janganlah kita mengotori lidah kita dengan masalah ini!”
Kedua, di antara kaidah
toleransi di antara para pemeluk agama yang berbeda yaitu sesungguhnya orang-orang yang sesat di antara kita akan
dihisab atas kesesatannya dan orang-orang kkafir akan dihisab atas kekkafirannya
adalah tugas Allah SWT dan bukan tugas kita. Dan hisab ini tempatnya yaitu di
akhirat dan bukan di dunia ini. Allah SWT telah berfirman, ”Sesungguhnya
orang-orang beriman, orang Yahudi, orang sabiin, orang Nasrani, orang Majusi
dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari
Kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu,” (QS Al-Hajj
[22]: 17). Allah SWT juga telah berfirman kepada Rasulullah SAW, ”Karena
itu, serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana
diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan
katakanlah, “Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah dan aku
diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan
Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagi kamu perbuatan kamu. Tidak
(perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita
dan kepada-Nyalah (kita) kembali,” (QS Asy-Syura [42]: 15). Apabila
sikap seperti ini adalah sikap terhadap pemeluk agama yang berbeda-beda, lantas
bagaimana halnya dengan orang-orang yang seagama dengan kita?
Ketiga, sesungguhnya yang
layak bagi kita di sini adalah membiarkan orang-orang yang berselisih faham
tersebut dan menyerahkannya kepada niat mereka masing-masing. Karena mereka
telah sampai (merasakan) atas apa yang mereka persembahkan (lakukan di dunia).
Terhadap para sahabat
tersebut, jika kita anggap mereka telah berbuat dosa, maka tentunya mereka akan
tetap mendapatkan pahala karena telah menemani Rasulullah SAW, atau pahala
jihad mereka bersama beliau yang mana beliau bisa memberikan syafaat kepada
mereka. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Umar di dalam masalah
Hathib bin Abi Balta’ah yang mana dia telah memata-matai kaum muslimin atas
perintah orang-orang Quraisy sebelum Futuh Mekah. Berkatalah Umar kepada
Rasulullah SAW, ”Biarkanlah saya memancung lehernya, karena dia adalah orang
munafiq!” Maka Rasulullah SAW bersabda, ”Dia itu termasuk yang ikut
dalam perang Badar. Apakah engkau tahu wahai Umar, barangkali saja Allah SWT
memaafkan para pejuang perang Badar.” Beliau pun bersabda, ”Kerjakanlah
apa yang ingin kalian kerjakan, sungguh aku telah memaafkan kalian.”
Imam Al-Qurthubi telah berkata
di dalam tafsirnya Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur`an,
“Tidak boleh menyandarkan
sebuah kesalahan tertentu kepada salah seorang dari sahabat, karena mereka
semua telah berijtihad atas apa yang mereka lakukan dan yang mereka inginkan
hanya Allah SWT. Sedangkan mereka itu adalah imam kita dan kita akan dianggap
beribadah (berpahala) jika tidak membicarakan perselisihan mereka. Kita semua
hanya menceritakan kebaikan-kebaikan mereka saja, karena mereka telah menemani
Rasulullah SAW dan juga karena ada larangan mencaci para sahabat ini dari
Rasulullah SAW. Demikian juga karena Allah SWT telah memaafkan dan meridhai
mereka.
Ada sebuah riwayat dengan
banyak jalur dari Rasulullah SAW bahwasanya Thalhah adalah seorang syahid.
Andai saja dia pergi ke medan perang itu karena faktor maksiat, tentu orang
yang terbunuh pada peperangan tersebut tidak akan disebut mati syahid. Demikian
pula seandainya dia pergi ke medan perang karena faktor salah persepsi. Karena
yang disebut mati syahid itu tidak akan terjadi kecuali jika terbunuh di dalam
ketaatan. Maka urusan mereka itu wajib disikapi seperti yang telah kami
terangkan.
Di antara yang menjadi dalil
hal ini, yaitu sebuah riwayat shahih dan sudah tersebar dari Ali bahwasanya
pembunuh anaknya Shafiyyah[13]
adalah di neraka. Karena Ali pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Berilah
kabar gembira pembunuh putra Shafiyyah dengan api neraka!”[14]
Jika memang seperti ini, maka
ada sebuah keterangan yang menerangkan bahwa Thalhah dan Zubair tidak
bermaksiat atas perintah jihad. Karena jika seperti ini, mana mungkin
Rasulullah SAW berkata kepada Thalhah sebagai syahid? Dan juga beliau tidak
mengatakan bahwa pembunuh Zubair akan masuk neraka.
Demikian pula dengan orang
yang tidak ikut perang tidak karena salah persepsi, dan justru karena kebenaran
yang menuntut mereka agar berjihad. Apabila seperti ini, maka kita tidak boleh
melaknat atau memfasiqkan mereka dan menghilangkan keutamaan dan jihad mereka.
Sebagian para ulama ditanya
perihal darah yang telah ditumpahkan oleh para sahabat (peperangan di antara
para sahabat). Maka dia menjawab, ”Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa
yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu
tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang dahulu mereka
kerjakan,” (QS Al-Baqarah [02]: 134).
Demikian pula ada sebagian
para ulama yang ditanya tentang hal tersebut (peperangan di antara para
sahabat). Maka dia menjawab, ”Itulah darah yang Allah SWT telah menyucikan
tangan saya dari darah tersebut. Maka aku tidak mau mengotori lidahku dengan
masalah ini.” Maksudnya berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam
kesalahan atau salah memberikan penilaian terhadap para sahabat.
Ibnu Furik berkata, ”Di
antara para ulama ada yang berkata bahwa pertikaian yang terjadi di antara para
sahabat adalah seperti pertikaian yang terjadi antara saudara-saudara Yusuf
dengan Yusuf. Tetapi saudara-saudara Yusuf ini tidak membuat Yusuf tersingkir
dari kepemimpinan dan kenabian (Nabi Yusuf tetap menjadi Nabi dan Raja Mesir).
Demikian pula halnya dengan pertikaian yang terjadi di antara para sahabat.”
Al-Muhasibi berkata, ”Adapun
dalam masalah darah (peperangan), kami kesulitan untuk menilai hal ini
dikarenakan faktor perselisihan mereka (para sahabat)”. Al-Hasan Al-Bashri
pernah ditanya tentang masalah peperangan di antara para sahabat. Beliau
berkata, “Peperangan di antara para sahabat Rasulullah SAW itu kita tidak
mengetahuinya. Mereka mengetahuinya dan kita tidak. Mereka berijma dan kita
mengikutinya dan mereka berselisih faham, kita diam.” Al-Muhasibi berkata, “Kami
pun berkata sama dengan perkataan Al-Hasan Al-Bashri. Kami tahu jika para
sahabat lebih tahu daripada kami atas perkara yang mereka hadapi. Kami hanya mengikuti apa yang menjadi kesepakatan
mereka. Kami diam atas apa yang mereka perselisihkan. Kami tidak membuat-buat
opini. Karena kami tahu jika mereka telah berijtihad dan menginginkan Allah SWT
(lillahi ta’ala). Kalau begitu, mereka itu tidak dituduh macam-macam dalam
Islam ini. Kami hanya memohon taufiq kepada-Nya.”[15]
Keempat, Sesungguhnya
kewajiban kita dari sisi yang lain adalah harus menghadapi masa saat ini,
daripada kita sibuk memikirkan masa lalu kita. Karena zaman kita sekarang ini
penuh dengan berbagai macam musibah dan malapetaka yang menghadang para
penggiat kebaikan (para reformis). Musibah ini harus kita hadapi; kita kerahkan
segenap pikiran, hati dan anggota tubuh kita. Terutama pada saat ini yang
sedang mewabahnya Zionisme dan kesombongan Amerika.
Saya pernah mendengar bantahan
Syaikh Muhammad Al-Ghazali terhadap seseorang yang mendebatnya tentang masalah
kejadian yang dialami para sahabat. Dia mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak
berbobot, ”Siapakah yang lebih berhak menjadi khalifah, Abu Bakar atau Ali?”
Syaikh menjawab, ”Abu Bakar
telah wafat, demikian pula Ali. Begitu pula kekhalifahan, kerajaan Bani
Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah telah runtuh. Sampai kekhalifahan benar-benar
tercabut dari negara-negara Islam. Sehingga kita semua dipimpin oleh
orang-orang asing. Bukan Abu Bakar dan bukan Ali. Sampai kapan kita
memperdebatkan masalah ini?”
Kelima, Sesungguhnya
persoalan mencaci para sahabat pada
dasarnya dari kacamata Islam sangatlah tidak terpuji. Karena seorang muslim itu
bukan tipe pencela atau pelaknat. Al-Qur`an saja melarang kita mencaci berhala, karena khawatir bisa memancing emosi
orang-orang musyrik. Akhirnya mereka mencaci Allah SWT, sebagai bentuk pembelaan atas
tuhan-tuhan mereka. Allah SWT berfirman, ”Dan janganlah kamu memaki
sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan, tempat
kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah
mereka kerjakan,” (QS Al-An’am [06]: 108).
Siapa saja yang membaca Sunnah
Rasulullah SAW, maka dia akan menemukan ada banyak hadits yang melarang
perbuatan mencaci. Misalnya di dalam kitab Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir
ada beberapa hadits yang semuanya melarang perbuatan mencaci. Dimulai dari
hadits nomer 7309 sampai dengan hadits nomer 7322. Di antaranya:
لا تسبوا أصحابي فو الذي نفسي بيده لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا، ما بلغ مد
أحدهم و لا نصيفه.
”Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di
tangan-Nya, kalau saja ada salah seorang dari kalian yang berinfaq emas sebesar
gunung Uhud, maka (pahala) infaqnya ini tidak akan menyamai (pahala) satu mud
atau setengah mud (infaq para sahabat).” (Muttafaq Alaih)
لا تسبوا الأموات، فإنهم أفضوا إلى ما قدموا.
”Janganlah kalian mencaci orang-orang yang sudah meninggal dunia, sebab
mereka telah sampai kepada apa yang mereka persembahkan.” (HR. Al-Bukhari)
لا تسبوا الدهر، فإن الله هو الدهر.
”Janganlah kalian mencaci zaman, sebab Allah lah zaman.” (HR. Muslim)
لا تسبوا الديك فإنه يوقظ للصلاة.
”Janganlah
kalian mencaci ayam jago, sebab dia
(suka) membangunkan manusia untuk shalat.” (HR Ahmad)
لا تسبوا الريح، فإنها من روح الله.
”Janganlah kalian mencaci angin, sebab angin adalah karunia Allah.” (HR Ahmad)
لا تسبي الحمى، فإنها تذهب خطايا بني آدم.
”Janganlah kalian (para ibu) mencaci
demam, sebab demam bisa menghilangkan
dosa-dosa anak Adam.” (HR Muslim)
Saya sangat takjub dengan
hadits yang berbunyi,
لا تسبوا الشيطان، وتعوذوا بالله من شره.
”Janganlah
kalian mencaci setan. (tapi) berlindunglah kalian kepada Allah dari
keburukannya.” (HR Tamam Ar-Razi di dalam kitab Al-Fawaid dan dishahihkan oleh
Al-Albani di dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no.2422).
Sampai
kepada setan pun, kita dilarang mencacinya. Tetapi kita diharuskan untuk
berlindung kepada Allah SWT dari keburukannya. Sebab perbuatan mencaci itu
adalah perbuatan negatif, sedangkan berlindung kepada Allah SWT dari keburukan
setan adalah perbuatan positif.
Orang-orang
Barat mengatakan, ”Daripada mencaci gelap, lebih baik nyalakan lilin.”
Maksudnya bahwa mencaci gelap tidak akan merubah suasana. Yang terbaik adalah
engkau menyalakan sesuatu yang bisa menerangi jalanmu di kegelapan, walaupun
hanya dengan nyala lilin yang sangat kecil.
Kemudian
perbuatan cela mencaci itu tidak ada dasar tanggung jawabnya. Karena mencaci
hal-hal buruk dan orang-orang kafir itu bukan sesuatu yang dianggap wajib di
dalam Islam. Maksudnya jika hal ini tidak dikerjakan, maka akan mendapatkan
hukuman dari Allah SWT.
Sebagian
para imam (imam yang empat) berkata, ”Andai saja ada seseorang yang berumur
panjang, kemudian dia tidak pernah mencaci Fir’aun, Abu Jahal atau Iblis, maka orang ini
tidak akan dihisab apa-apa di hari Kiamat atas sikapnya ini. Akan tetapi jika
dia pernah melaknat seseorang yang tidak pantas dilaknat, walaupun hanya satu
kali, tentu dia akan dihisab di hadapan Allah SWT di hari Kiamat: Mengapa
engkau melaknatnya?”
Oleh
karena itu, Imam Al-Ghazali berkata,
”Orang mukmin itu bukan pencela. Maka tidak diperbolehkan lisan ini
mengeluarkan kata-kata laknat, kecuali kepada seseorang yang mati di dalam
kekufuran, atau terhadap orang-orang dengan sifat-sifat tertentu tanpa merinci
orang-orangnya (dengan jelas). Menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah
SWT adalah lebih baik. Kalau tidak bisa, maka diam akan lebih menyelamatkan.”
Makki bin Ibrahim berkata, ”Kami
pernah bersama Ibnu Aun. Maka mereka menceritakan kisah Bilal bin Abi Bardah.
Maka mereka pun mulai melaknatnya, sedangkan Ibnu Aun hanya diam saja. Maka
orang-orang berkata, ”Wahai Ibnu Aun, kami hanya membicarakan perbuatan yang
dia lakukan padamu!” Ibnu Aun menjawab, ”Sesungguhnya ada dua kalimat yang akan
keluar dari catatan amalku di hari Kiamat, yaitu tidak ada tuhan selain Allah,
dan semoga Allah melaknat si fulan. Aku lebih suka kalimat tidak ada tuhan
selain Allah yang keluar dari buku catatan amalku, daripada kalimat semoga
Allah melaknat si fulan!”
Ibnu
Umar berkata, ”Manusia yang dibenci oleh Allah adalah orang yang suka
mencaci dan mencaci.”[16]
Kemudian
perbuatan mencaci para sahabat sangat
tidak pantas bagi seorang muslim. Karena para sahabat mempunyai hubungan dengan
Rasulullah SAW. Karena para sahabat adalah teman-teman beliau dan mereka juga
adalah lulusan dari madrasah beliau. Mereka langsung belajar dari Rasulullah
SAW dan mereka juga menerima cahaya kenabian. Mereka juga menyaksikan turunnya
Al-Qur`an dan menjadi pelaku sejarah. Merupakan hal yang wajar jika kemudian
mereka menerima cahaya kenabian. Barangsiapa mencaci murid-murid terdekat seorang guru, maka
seolah-olah dia itu mencaci guru mereka!
Oleh
karena itu, para tabiin adalah orang-orang yang dekat dengan para sahabat dari
sisi keutamaan mereka. Karena para tabiin ini telah belajar langsung dari para
sahabat. Adapun orang-orang yang jauh dari tabiin ini, maka mereka pun jauh
dari cahaya kenabian. Setiap zaman semakin jauh dari zaman yang lainnya.
Sebagaimana
Rasulullah SAW telah memuji mereka para sahabat, baik secara umum maupun secara
khusus di banyak hadits-haditsnya, sampai mencapai derajat mutawatir.
Sejarah
lah yang telah menjadi saksi yang jujur atas keutamaan mereka. Mereka lah yang
telah menghafal Al-Qur`an dan menukilkannya kepada kita secara mutawatir. Dan
mereka juga yang telah meriwayatkan sunah Rasulullah SAW, baik perkataan,
perbuatan maupun kesepakatan-kesepakatan beliau.
Mereka
juga lah yang telah melakukan pembebasan negeri lain dengan damai dan
menyebarkan agama Islam sampai ke seluruh penjuru dunia. Andai bukan karena
mereka, tentu sekarang ini kita semua bukanlah kaum muslimin. Mereka lah
yang telah mengajarkan Islam kepada umat lain setelah mereka belajar langsung
dari Rasulullah SAW.
Barangsiapa
yang mau membaca sejarah mereka, maka dia akan menemukan sejarah para pemberani
yang berakhlak yang tidak ada tandingannya di umat ini. Yang mana mereka
dijadikan sebagai figur di dalam membentuk
sebuah generasi. Ini lah yang terangkum di dalam kitab Hayatu Shahabah
yang terdiri dari beberapa jilid karya Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi.
Buku
ini sebagai tambahan atas kitab-kitab yang mengupas sejarah para sahabat,
seperti Al-Isti’aab fii Ma’rifatil Ashaab, Asadul Ghaabah fii Ma’rifatish
Shahaabah dan Al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah.
Saya sarankan untuk membaca kitab Muhibuddin Al-Khathib
yang berjudul, Ma’ar Ra’iil Al-Awwal dan penjelasan kitab Jiil
Qur`ani Farid karya Sayyid Quthb di dalam kitabnya Ma’aalimu fith
Thariiq. Dan kitab Abqariyyaat (orang-orang jenius) karya Abbas
Al-‘Aqqad dari kalangan para sahabat dan kitab Akhbaar ’Umar karya
Syaikh Ali Ath-Thanthawi.
Adapun
tuduhan mengkafirkan Syi’ah dengan dalih sikap mereka terhadap para sahabat,
saya sendiri tidak berpendapat seperti itu. Karena mencap kkafir orang yang
telah mengucapkan tidak ada tuhan selain Allah, adalah sebuah urusan yang tidak
boleh dilakukan oleh seorang ulama. Karena ucapan tahlil ini melindungi seseorang
dari kekafiran. Saya adalah termasuk dari kalangan yang melarang dengan keras
mengkafirkan orang lain. Walaupun tuduhan Syi’ah terhadap para sahabat itu
sangat keji, tetapi tuduhan mereka itu tidak secara qath’i menjadikan diri
mereka sebagai orang-orang kafir. Semua keraguan di dalam masalah ini harus
ditafsirkan demi kebaikan seorang muslim yang wajib membawa dirinya ke arah
kebaikan.
Kami
hanya bisa mendoakan mereka, semoga Allah SWT memberikan mereka petunjuk-Nya
kepada kebenaran dan Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka, karena Dia adalah
Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Sumber: Buku berbahasa Arab,
karya Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dengan judul Fataawaa Mu’aasharah, (Fatwa-fatwa
Kontemporer), juz ke-4, penerbit Darul Qalam Kuwait, hal. 275-298.
[1]
Padahal semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri!
[2]
Buku ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim
An-Nafis.
[3]
Lihat kitab Al-Muntaqa min Minhajil I’tidal, karya Imam Adz-Dzahabi hal.
68.
[4] Lihat kitab Kasyful Asraar hal.
107. Juga lihat kitab Syahadat Khumaini fii Ashaabi Rasuulillaah karya
Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah, mantan khatib Masjidil Aqsha yang dicetak oleh
Penerbit Daar Ummar Yordania.
[5] Silahkan merujuk ke kitab Dhuha Islam
(Cahaya Islam), hal. 3 cetakan pertama.
[6] Di dalam sebuah kitab yang berjudul, Umat
Islam; Adalah Nyata dan Bukan Angan-angan. Didistribusikan oleh Pustaka
Wahbah di Mesir dan Yayasan Ar-Risalah di Libanon.
[7] Lihat buku kami yang berjudul, Penjelasan
tentang Pendekatan antar Madzhab dan Golongan di Dalam Islam, hal. 8-39,
penerbit Pustaka Wahbah Kairo cetakan pertama tahun 2008.
[8] Para ulama Syi’ah telah menyatakan bahwa
syahadat ini tidak dikenal oleh mereka. Akan tetapi mereka membiarkan hal ini
terjadi, dengan alasan takut orang-orang awam bergolak (terguncang).
[9] Lihat buku, Kebangkitan Islam di
Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Terlarang, hal. 34-39
cetakan Dar Asy-Syuruq tahun 2001.
[10] Lihat buku, Prinsip-prinsip di
Dalam Dialog dan Pendekatan Antara Aliran dan Madzhab di Dalam Islam, hal.
12 cetakan Pustaka Wahbah, Kairo.
[11] Hadits ini diriwayatkan oleh Muttafaq
Alaih: Al-Bukhari di dalam Bab Zakat, hadits no. 1400, Muslim di dalam Kitab
Iman, hadits no. 21. Imam Ahmad di dalam Al-Musnad, hadits no. 8544, Abu dawud
di dalam Bab Zakat, hadits no. 1556, At-Tirmidzi di dalam Kitab Iman, hadits
no. 2607, An-Nasai di dalam Bab Zakat, hadits no. 2443 dan Ibnu Hibban di Kitab
Fitnah, hadits no. 3927 dari Abu Hurairah RA.
[12] Silahkan merujuk ke kitab yang berjudul, As-Shaarim
Al-Masluul, karya Ibnu Taimiyyah, juz 1 hal. 581.
[13] Yang dimaksud dengan putra Shafiyyah
adalah Zubair bin Al-Awwam. Shafiyyah adalah bibi Rasulullah SAW.
[14] HR Ahmad di dalam Al-Musnad, hal.
618 dari Ali RA. Pentakhrij hadits ini berkata bahwa sanad hadits ini adalah
hasan. HR Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak, kitab Ma’rifatush Shahaabah,
juz 3/414. beliau berkata, “Hadits ini shahih dari Amirul Mu`minin Ali”.
Walaupun Ahmad dan Al-Hakim tidak mengeluarkan hadits ini dengan sanad seperti
ini. Adz-Dzahabi menyetujui pula hadits ini. HR Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabir,
juz 1/123 dan di dalam Al-Ausath juz 7/130.
[15] Tafsir Ath-Thabari, juz 16 hal. 321-322, cetakan Darul Kutub Al-Mishriyyah, Mesir.
[16] Ihya Ulumuddin 3/125-126, cetakan Darul Ma’rifat Beirut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar