PERKEMBANGAN AHMADIYAH
DI INDONESIA
(1925 - 2011)
Oleh M. Amin
Djamaluddin
Ahmadiyyah
yang dikenal juga dengan nama Qadiyaniyyah atau Mirzaiyyah adalah sebuah
kelompok yang beranggapan bahwa ajarannya berdasar kepada ajaran Islam yang
benar. Ajaran ini didirikan oleh seorang Qadiyan yang mengaku dirinya sebagai
Nabi, bernama Mirza Gulam Ahmad, pada tanggal 23 Maret 1889 (Azar) di sebuah
kota yang bernama Ludhiana di Punjab - India, Negeri ini oleh orang-orang
Ahmadi disebut “Darul Bai’at”. Tujuan pertama Ahmadiyah adalah mengajak
orang-orang Islam dan yang lainnya untuk membenarkan pengakuan Mirza Gulam
Ahmad Al-Qadiyani sebagai Nabi. Tidak hanya itu, dia juga mengklaim sebagai al-Masih yang
dijanjikan, dan Imam al-Mahdiy (yang ditunggu-tunggu). Ahmadiyah menganggap
umat Islam yang tidak masuk ke dalam kelompoknya sebagai orang kafir. Ahmadiyah
di negara asalnya, Pakistan, terpecah menjadi 5 (lima) kelompok besar. Namun,
yang masuk ke Indonesia hanya 2 (dua) kelompok saja, yaitu Ahmadiyah Qadiyan
dan Ahmadiyah Lahore. Dari
sejak kehadirannya di Indonesia, Ahmadiyah telah menimbulkan berbagai polemik
di masyarakat, karena ajarannya yang menyimpang dari ajaran Islam. Berikut
ringkasan sejarah perjalanan Ahmadiyah di Indonesia:
Ahmadiyah
Qadiyan masuk ke Indonesia
dengan tokohnya H. Abu Bakar Ayub. Kemudian kelompok ini mendirikan organisasi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau
disingkat JAI.
Ahmadiyah Lahore masuk
ke Indonesia ,
tepatnya tanggal 28 September 1928. Kelompok ini mendirikan organisasi Gerakan
Ahmadiyah Indonesia
atau disingkat GAI. Setelah berhasil masuk ke Indonesia , ajaran Ahmadiyah mulai
menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi banyak mendapat penolakan
dari umat Islam Indonesia .
Salah satunya ditandai dengan adanya perdebatan terbuka antara tokoh Ahmadiyah
saat itu, Abu Bakar Ayub dan Rahmat Ali, dengan Ulama Persatuan Islam (PERSIS),
Ahmad Hassan. Peristiwa tersebut berlangsung di Gang Kenari, Jakarta Pusat pada
September 1933, dan tercatat ada 2 (dua) kali perdebatan, khususnya membahas tentang
Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir (Khatamun Nabiyyin). Untuk bisa
hidup dan berkembang di Indonesia ,
Ahmadiyah mendaftarkan diri di Departemen Kehakiman
RI pada tanggal 3 Maret 1953.
Usaha itu mendapat hasil dengan disahkannya Ahmadiyah sebagai sebuah
organisasi, yang
dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI
No. 26, tanggal 31 Maret 1953; Pada tanggal 27 Januari 1965, Presiden Republik
Indonesia, Ir. Soekarno, mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Jauh setelah
kemerdekaan Republik Indonesia ,
yaitu setelah berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26 Juli
1975, polemik Ahmadiyah kembali menghangat. MUI sebagai wadah para Ulama,
Zu’ama, dan Cendikiawan Muslim Indonesia pun melakukan penelitian terhadap
ajaran yang disebarkan oleh Ahmadiyah.
Hasilnya, pada Musyawarah Nasional
(MUNAS) II Tahun 1980, MUI mengeluarkan Fatwa dengan Nomor: 05/Kep./MUNAS
II/MUI/1980 bahwa Ahmadiyah adalah Jama’ah di Luar Islam, Sesat dan
Menyesatkan. Dan meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk melarangnya. Bahkan,
sewaktu Ketua Umum MUI Pusat dijabat oleh (alm.) KH. Hasan Basri dan
beberapa pengurus MUI lainnya pernah bersama-sama ke Kejaksaan Agung meminta
Kejaksaan Agung Republik Indonesia segera melarang Ahmadiyah di seluruh
Indonesia; Dan pada saat itu, Ahmadiyah baru memiliki 45 (empat puluh
lima) cabang di seluruh Indonesia; Pada 21 November 1983, Kabupaten Lombok
Barat telah lebih dulu mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83
tentang Pelarangan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah.
Pada tanggal 12
Pebruari 1984, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara mengeluarkan Keputusan No.
KEP-07/0.2/Dsb.1/02/1984 tentang Larangan Kegiatan Ajaran Ahmadiyah Qadiyan
di Sumatera Utara. Masih pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 20 September
1984, Dirjen Bimas dan Urusan Haji DEPAG RI mengeluarkan Surat Edaran No.
D/BA.01/309/9/84, yang isinya: ‘Perlu dijaga agar kegiatan jamaah Ahmadiyah Indonesia
(Ahmadiyah Qadiyan) tidak menyebarkan fahamnya di luar pemeluknya agar tidak
menimbulkan keresahan di masyarakat.’ Dan pada saat itu, cabang Ahmadiyah
di seluruh Indonesia telah bertambah menjadi 75 (tujuh puluh lima) cabang;
Pada tahun 1989,
cabang Ahmadiyah di seluruh Indonesia bertambah lagi menjadi 150 (seratus
lima puluh) cabang. (Laporan Tahunan Ahmadiyah Tahun 1988-1989);
Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), sebagai lembaga yang khusus menangani aliran-aliran sesat
di Indonesia, sejak 1988 terus berjuang untuk membubarkan Ahmadiyah di
Indonesia. Pada Juni 1994, LPPI melayangkan surat resmi kepada Mahkamah Agung
RI dengan Nomor: 035/LPPI/6/1994 tertanggal 10 Juni 1994, yang Memohon
Pelarangan Ahmadiyah Secara Nasional.
Departemen Agama RI
melalui Pusat Pengembangan Kehidupan Beragama Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Agama RI di Jakarta pada tahun 1995 memberikan usulan sesuai dengan
masukan dari MUI Pusat, Organisasi Islam Tingkat Pusat / Nasional dan Tingkat Daerah,
agar Jaksa Agung RI melarang ajaran dan kegiatan Ahmadiyah secara
Nasional di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia;
1999, Ahmadiyah semakin melebarkan sayapnya
dengan memiliki 228 (dua ratus dua puluh delapan) cabang di
seluruh Indonesia. (Laporan Tahunan Ahmadiyah Tahun 1998-1999); Departemen
Per tahanan dan Keamanan RI telah mengeluarkan pernyataan sikap melalui pidato Mayor
Jenderal TNI Ir. Soetomo, SA selaku Staf Ahli MENHAN RI Bidang Ideologi
dan Agama, dalam kapasitasnya mewakili Menteri Pertahanan RI dalam
Simposium Sehari pada tanggal 12 Februari 2000 di Tangerang. Pidato tersebut
menitikberatkan pada: “Kewaspadaan Umat Islam terhadap Aliran yang Merusak
Aqidah Tauhid seperti Ahmadiyah, Syi’ah, Ingkarussunnah, Isa Bugis, dan
lain-lainnya sebagai Aliran Sesat dan Menyesatkan;
20 Juni 2000, Hazrat Mirza Thahir Ahmad (Khalifatul
Masih ke-4) berkunjung ke Indonesia. Kedatangannya di Indonesia disambut oleh
Dawam Rahardjo dan seluruh pimpinan jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hazrat Mirza
Thahir Ahmad melakukan kunjungan di Indonesia selama 22 hari dengan agenda yang
cukup padat. Misalnya mengunjungi cabang-cabang Ahmadiyah di daerah-daerah,
melakukan Jalsah Salanah dan shalat Jumat, juga melakukan kunjungan kepada
pejabat tinggi dan pejabat tertinggi di Indonesia, seminar internasional dan
dialog dengan tokoh intelektual muslim di Indonesia.
Kunjungan Hazrat
dimulai dengan mengunjungi ketua MPR RI, Bapak Prof. DR. Amin Rais pada 21 Juni
2000.
22 Juni 2000, Hazrat berkunjung ke Yogyakarta untuk
mengadakan Seminar Internasional di Univ Gajah Mada. Selain itu, tak lupa Hazrat juga berkunjung ke Istana
Presiden RI dan disambut hangat oleh presiden Abdurrahman Wahid. Pada 28 Juni
2000.
Setelah Hazrat
berkunjung ke Indonesia ini, dia menyatakan bahwa dia ingin menjadikan
Indonesia sebagai pusat Ahmadiyah internasional di masa yang akan datang.
3 November 2002, MUSPIDA, Pimpinan DPRD, MUI, dan
Pimpinan Pondok Pesantren dan Ormas Islam Kabupaten Kuningan mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelarangan aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia
di Wilayah Kabupaten Kuningan. Pada tanggal 23 Januari 2003, LPPI kembali berupaya membubarkan Ahmadiyah
dengan mengirim surat resmi kepada Menteri Kehakiman dan HAM RI, agar
mencabut surat pendaftaran Ahmadiyah Indonesia tahun 1953, yang selalu
dijadikan dasar hukum pihak Ahmadiyah untuk bisa hidup dan berkembang di
Indonesia; 14 Maret 2003, Departemen Kehakiman dan HAM RI merespon Surat
tersebut dengan adanya surat jawaban perihal: MEMORANDUM untuk Menteri
Kehakiman dan HAM RI dari Direktorat Administrasi dan Hukum Umum. Pada 18
Januari dan 12 Mei 2005, Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)
yang berada di bawah koordinasi Kejaksaan Agung RI, dan terdiri dari berbagai unsur
yaitu Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara (BIN), Mabes TNI, Mabes POLRI,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Agama Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI); mengadakan Rapat
Koordinasi yang menghasilkan Rekomendasi Pelarangan dan Pembubaran Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) di Seluruh
Wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Juni
2005, Ahmadiyah
mengadakan acara Jalsah Salanah, yaitu Pertemuan Tahunan yang dihadiri
oleh undangan dari perwakilan Ahmadiyah di seluruh dunia serta para Duta Besar
negara barat di Jakarta. Yang sangat disayangkan adalah tidak adanya reaksi
apapun dari Departemen Agama saat itu, padahal sudah ada tembusan surat No. 1
kepada Dirjen Bimas Islam Depag RI, dari Badan Intelejen Keamanan (Baintelkam)
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), yang
mengeluarkan Surat Izin dengan Nopol: S1/YANMIN/453/VI/2005/BAINTELKAM
tertanggal 6 Juni 2005, perihal izin penyelenggaraan acara Jalsah Salanah Ahmadiyah
Indonesia yang mendunia tersebut.
Ket. Acara Jalsah Salanah Ahmadiyah ini adalah Jalsah Salanah yang
ke-46 yang diselenggarakan pada tanggal 8-10 Juli 2005 yang bertempat di Kampus
Mubarak Jl. Raya Parung Bogor No. 27 Kemang Bogor 16330 Telp (0251) 674524,
618025 dan Faz. (0251) 617961 yang dipimpin oleh Amir Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, yaitu H. Abdul Basith.
Acara Jalsah
Salanah ini ditentang dan ditolak oleh kaum muslimin dengan melakukan demo
besar-besaran di sekitar Kampus Mubarak Bogor sehingga menimbulkan ketegangan dan
terjadi aksi saling lempar antara warga sekitar dengan jemaat Ahmadiyah di
komplek Kampus Mubarak.
Setelah terjadi
pengepungan oleh umat Islam terhadap Pusat Ahmadiyah di Kampus Mubarok di
Parung Bogor Jawa Barat ba’da Jum’at 15 Juli 2005 M/8 Jumadil Akhir 1426 H
sehingga menimbulkan ketegangan, akhirnya Pemda Bogor mengeluarkan perintah
untuk menutup pusat aliran sesat Ahmadiyah tersebut. Maka orang-orang Ahmadiyah
di dalamnya dievakuasi dengan 4 bus dan 4 truk polisi.
20
Juli 2005, Bupati
Bogor, Ketua DPRD Bogor, Dandim 0621, Kepala Kejaksaaan Negeri Cibinong,
Kapolres Bogor, Ketua PN Bogor, DANLANUD ARS, Departemen Agama dan MUI Bogor
mengeluarkan Surat Pernyataan Bersama tentang Pelarangan Kegiatan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia di Wilayah Kabupaten Bogor.
28
Juli 2005, dalam MUNAS VII,
MUI menegaskan kembali Fatwanya tentang Ahmadiyah. Yaitu menetapkan bahwa Aliran
Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya
adalah murtad (keluar dari Islam).
6
Agustus 2005,
setelah melakukan Rapat Koordinasi tingkat Menteri bersama Menko Kesra, Menteri
Agama, Kapolri, Jaksa Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Polkam,
PBNU, PP Muhammadiyah, MUI, Dewan Dakwah Islamiyah, Yayasan Lentera Hati, Pusat
Studi Al-Qur’an, dan Sekretariat Wakil Presiden; Pemerintah mengambil sikap
dengan menghasilkan kesimpulan bahwa penyelesaian kasus Ahmadiyah yang dinilai
menodai ajaran Islam sehingga meresahkan umat Islam diharapkan dapat diproses
dan diselesaikan secara tuntas melalui jalur hukum.
9
Agustus 2005,
Bupati Garut, H. Agus Supriadi, bersama instansi terkait dan elemen masyarakat,
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 450/Kep. 225 – PEM/2005
tentang Pelarangan
Penyebaran aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
17 Oktober 2005, Bupati Cianjur, Kepala Kejaksaan Negeri
Cianjur, dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Cianjur mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) No.
21 Tahun 2005
tentang larangan melakukan aktivitas penyebaran ajaran/faham Ahmadiyah di
Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2005, Ahmadiyah justru semakin berkembang
di seluruh
Indonesia, dengan memiliki 305 (tiga ratus lima) cabang;
20
Maret 2006,
Bupati Sukabumi, Kajari Cibadak, Kapolres Sukabumi, Departemen Agama Sukabumi,
dan Ketua MUI Sukabumi mengeliarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 143 tahun
2006 tentang Pelarangan Penyebaran aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Tahun 2008, polemik
Ahmadiyah mencuat lagi ke permukaan, sehingga desakan umat Islam kepada pemerintah
untuk membuberkan Ahmadiyah semakin kuat.
18
Pebruari 2008,
LPPI melakukan audiensi dengan Komisi VIII DPR RI yang menghasilkan catatan
bahwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, sehingga perlu segera dibubarkan. Alasan untuk pembubaran sudah cukup lengkap.
Untuk itu, perlu segera dikeluarkan Peraturan Presiden untuk pembubaran
organisasi Ahmadiyah dan dinyatakan dilarang selama-lamanya. Untuk kemudian, dilakukan
pembinaan bagi eks penganut Ahmadiyah oleh Majelis Ulama Indonesia beserta
Organisasi Kemasyarakatan Islam lainnya. Kemudian, persoalan Ahmadiyah harus
segera diselesaikan dengan Menteri Agama RI untuk dicarikan payung hukum yang
tegas dan mengikat seluruh pihak. Untuk itu, Komisi VIII DPR-RI perlu segera
melakukan langkah-langkah yang tepat dan akurat untuk pengambilan keputusan
tentang Ahmadiyah di Indonesia dengan mengedepankan kepentingan Islam secara keseluruhan.
9
Juni 2008, Pemerintah
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri RI dengan Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008,
dan Nomor: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut,
Anggota, dan/ atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat.
1
September 2008,
Gubernur Mahyudin N.S. mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No.563/KPT/ BAN.KESBANGPOL
& LINMAS/2008 tentang Larangan Terhadap Aliran Ahmadiyah dan Aktivitas
Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dalam Wilayah Sumatera Selatan yang Mengatasnamakan Islam dan Bertentangan
dengan Ajaran Agama Islam.
16 November 2010, Walikota Pekanbaru, H. Herman Abdullah
mengeluarkan Surat Keputusan No. 450/BKBPPM/749 tentang Pelarangan Penyebaran
aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pada tahun 2011 ini, beberapa daerah
di Indonesia sudah mulai mengeluarkan Keputusan dan Peraturan tentang keberadaan
Jemaat Ahmadiyah di wilayahnya masingmasing.
10
Februari 2011, Gubernur
Sulawesi Selatan, H. Syahrul Yasin Limpo mengeluarkan Surat Edaran Gubernur
No.223.2/803/KESBANG tentang Pelarangan Penyebaran aliran/ajaran Jemaat
Ahmadiyah Indonesia.
16
Februari 2011, Bupati
Kampar, Burhanuddin Husin, mengeluarkan Peraturan No. 450/PUM/2011/68 tentang Menghentikan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah.
21
Februari 2011, Bupati
Pandeglang, Asmudji HW, Pj. mengeluarkan Peraturan No. 5 Tahun 2011 tentang Pelarangan
Penyebaran aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
25
Februari 2011, Walikota,
H. Syahrie Ja’ang, mengeluarkan Surat Keputusan No. 200/160/BKPPM.I/II/ 2011
tentang Pelarangan Penyebaran aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
28
Februari 2011, Gubernur
Jawa Timur, DR. H. Soekarwo, mengeluarkan Surat Keputusan No.
188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) di Jawa Timur.
1
Maret 2011, Gubernur
Banten, Ratu Atut Chosiyah, mengeluarkan Peraturan No. 5 Tahun 2011 tentang Larangan
Aktivitas Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) di Wilayah Provinsi Banten.
3
Maret 2011, Gubernur
Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mengeluarkan Peraturan No. 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan
Kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.
3
Maret 2011, Walikota
Bogor, Drs. H. Diani Budiarto, mengeluarkan Surat Keputusan No. 300.45-122/2011
tentang Pelarangan Kegiatan Ahmadiyah Indonesia di Kota Bogor.
7
Maret 2011, Komisi
VIII DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan
Ahli/Pakar tentang Ahmadiyah, yaitu: Prof. Dr. HM. Atho Mudzhar (Kementerian
Agama RI); dan M. Amin Jamaluddin (Direktur LPPI), dengan Agenda Rapat: “MENDALAMI
TENTANG KEBERADAAN AHMADIYAH DI INDONESIA.”
8
Maret 2011, Bupati
Lebak, H. Mulyadi Jayabaya, mengeluarkan Peraturan No. 11 Tahun 2011 tentang Pelarangan
Aktivitas Ahmadiyah di Wilayah Kabupaten Lebak.
24
Maret 2011, Gubernur
Sumatera Barat, Irwan Prayitno, mengeluarkan Peraturan No. 17 tahun 2011
tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Provinsi Sumatera
Barat.
2011, Walikota Depok, Nur Mahmudi Ismail,
mengeluarkan Peraturan No. 09 tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia di Depok.
23-25 Maret 2012, Jalsah
Salanah Ahmadiyah dilangsungkan di D.I. Yogyakarta, pada tanggal 23 s.d. 25
Maret 2012 yang diselenggarakan di sebuah area Wisata Hutan Pendidikan Wanagama
milik Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta yang berlokasi di Kabupaten Gunung
Kidul. Acara Jalsah Salanah Wilayah DI Yogyakarta di buka pada hari Jum'at,
ba'da shalat Jum'at oleh Muballigh Wilayah DI Yogyakarta, Mln. Nanang Sanusi,
selaku yang mewakili kehadiran Bpk. Amir Nasional. Jalsah
Salanah ini diisi dengan ceramah-ceramah yang merupakan acara inti. Sebanyak 7 penceramah
telah menyampaikan ceramahnya dengan baik dan menarik. Para narasumber merupakan
para Muballigh dan tokoh-tokoh Jema'at yang ada di lingkungan D.I. Yogyakarta,
juga didukung oleh para muballighin dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jalsah Salanah 2012 D.I. Yogyakarta ini ditutup
pada Ahad pagi, 25 Maret 2012, oleh Muballigh Wilayah D.I. Yogyakarta
Mln.Nanang Sanusi, yang ditunjuk selaku wakil Pusat dan berakhir tepat pada pukul
10.00 pagi.
ELEMEN-ELEMEN YANG
MENDUKUNG
PEMBUBARAN AHMADIYAH
DI INDONESIA
Alhamdulillah, kalau
kita melihat dari jumlah orang-orang yang hadir pada saat terjadi demontrasi
menolak Ahmadiyah di Indonesia, maka setiap orang akan tahu jika jumlah warga
negara Indonesia yang menolak dan ingin membubarkan Ahmadiyah adalah sangat
banyak. Artinya, seluruh elemen dan komponen bangsa telah bersepakat dan
bersuara bulat bahwa Ahmadiyah harus dibubarkan dan dilarang di Indonesia.
Sebagian besar ormas Islam dan instansi pemerintah adalah mendukung pembubaran
Ahmadiyah. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah keputusan pembubaran
Ahmadiyah berada di tangan presiden RI yang sekarang dijabat oleh Soesiloe
Bambang Yoedoyono.
Akan
tetapi, untuk lebih jelasnya saya lampirkan beberapa elemen masyarakat dan
pemerintah yang mendukung pembubaran Ahmadiyah. Di antaranya :
NO.
|
NAMA ORMAS/LEMBAGA
|
KETERANGAN
|
1.
|
MUI
(MAJELIS ULAMA
|
Pemerintah
|
2.
|
FPI
(FRONT PEMBELA ISLAM)
|
Non
Pemerintah
|
3.
|
LPPI (LEMBAGA PENELITIAN DAN
PENGKAJIAN ISLAM)
|
Non
Pemerintah
|
4.
|
PERSIS
(PERSATUAN ISLAM)
|
Non
Pemerintah
|
5.
|
MUHAMMADIYAH
|
Non
Pemerintah
|
6.
|
NAHDHATUL
ULAMA
|
Non
Pemerintah
|
7.
|
AL-IRSYAD
AL-ISLAMIYAH
|
Non
Pemerintah
|
8.
|
GARIS
(GERAKAN REFORMIS ISLAM)
|
Non
Pemerintah
|
9.
|
YPI
ASY-SYAFI’IYYAH
|
Non
Pemerintah
|
10.
|
PERTI
(PERSATUAN TARBIYAH ISLAMIYAH)
|
Non
Pemerintah
|
11.
|
WAHDAH
ISLAMIYAH
|
Non
Pemerintah
|
12.
|
DDII
(DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH
|
Non
Pemerintah
|
13.
|
FUI
(FORUM UMAT ISLAM)
|
Non
Pemerintah
|
14.
|
MAJELIS
AZ-ZIKRA
|
Non
Pemerintah
|
15.
|
AL-ITTIHADIYYAH
|
Non
Pemerintah
|
16.
|
BIN
(BADAN INTELIJEN NEGARA)
|
Pemerintah
|
17.
|
POLRI
(KEPOLISIAN REPUBLIK
|
Pemerintah
|
18.
|
TNI
(TENTARA NASIONAL
|
Pemerintah
|
19.
|
FUUI
(FORUM ULAMA UMMAT
|
Non
Pemerintah
|
20.
|
KEMENAG
(KEMENTERIAN AGAMA)
|
Pemerintah
|
21.
|
MMI
(MAJELIS MUJAHIDIN
|
Non
Pemerintah
|
22.
|
PBB
(PARTAI BULAN BINTANG)
|
Non
Pemerintah
|
23.
|
Dan ormas-ormas Islam lainnya
|
|
Innallaha ma'ashshabirin
BalasHapusHarus diteliti hadist Rasulullah s.a.w.:ummatku akan pecah menjadi 73 partai,kesemuanya masuk,neraka kecuali satu :dan ayat Qur'an :KAM FIATIN QALILATIN GHALABAT FIATAN KASTIRATAN BIIDZNILLAH.
BalasHapus