Rabu, 04 Februari 2015

TELAAH ATAS TULISAN : HADITS GHADIR KHUM DHAIF? [1]

Oleh M. Amin Djamaluddin


Hadits yang membahas tentang kejadian di Ghadir Khum memang sangat banyak jumlahnya, sehingga Imam Al-Albani harus meneliti jalur-jalur sanad hadits-hadits tersebut. Di dalam kitabnya, Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah jilid 4 hal. 343 Imam Al-Albani mengatakan bahwa Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan jika sanad-sanad hadits Ghadir Khum ada yang shahih dan ada pula yang hasan.
Imam Al-Albani mengutip perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar, dia berkata,
وَ قَدْ ذَكَرْتُ وَ خَرَّجْتُ مَا تَيَسَّرَ لِيْ مِنْهَا مِمَّا يَقْطَعُ الْوَاقِفُ عَلَيْهَا بَعْدَ تَحْقِيْقِ الْكَلَامِ عَلَى أَسَانِيْدِهَا بِصِحَّةِ الْحَدِيْثِ يَقِيْنًا، وَ إِلَّا فَهِيَ كَثِيْرَةٌ جِدًّا، وَ قَدِ اسْتَوْعَبَهَا ابْنُ عُقْدَةَ فِيْ كِتَابِ مُفْرِدٍ، قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرَ : مِنْهَا صِحَّاحٌ وَ مِنْهَا حَسَّانٌ.
“Telah aku sebutkan dan telah aku takhrij apa yang aku pandang mudah bagiku dari hadits-hadits tersebut supaya bisa meyakinkan seseorang yang menekuni hadits-hadits tersebut setelah ucapan-ucapan atas hadits-hadits tersebut diteliti dan dikoreksi sanad-sanadnya dengan memilih hadits-hadits shahih secara yakin, karena jika tidak, hadits-hadits tersebut sangat banyak jumlahnya. Juga Ibnu ‘Uqdah telah mengumpulkan hadits-hadits ini di dalam kitabnya tersendiri, dan telah berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar, ‘Sebagian hadits-hadits tersebut ada yang berderajat shahih dan sebagiannya lagi berderajat hasan.’ ” (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah jilid 4 hal. 343).
Hadits Ghadir Khum tidak bisa dijadikan pijakan untuk menjadikan Ali t sebagai khalifah setelah Rasulullah r wafat dilihat dari beberapa alasan :


  1. Imam Al-Albani di dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah jilid 4 hal. 344 berkata,
أَمَّا مَا يَذْكُرُهُ الشِّيْعَةُ فِيْ هَذَا الْحَدِيْثِ  وَ غَيْرِهِ أَنَّ النَّبي r قَالَ فِيْ عَلِيٍّ : إِنَّهُ خَلِيْفَتِيْ مِنْ بَعْدِيْ، فَلَا يَصِحُّ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ، بَلْ هُوَ مِنْ أَبَاطِلِهِمُ الْكَثِيْرَةِ الَّتِيْ دَلَّ الْوَاقِعُ التَّارِخِيُّ عَلَى كَذْبِهَا لِأَنَّهُ لَوْ فَرَضَ أَنَّ النَّبِيَّ  r قَالَهُ لَوَقَعَ كَمَا قَالَ، لِأَنَّهُ (وَحْيٌ يُوْحَى) وَ اللهُ سُبْحَانَهُ لَا يُخَالِفُ وَعْدَهُ، وَ قَدْ خَرَّجْتُ بَعْضَ أَحَادِثِهِمْ فِيْ ذَلِكَ فِيْ الْكِتَابِ الآخَرِ : الضَّعِيْفَةِ 4923 و 4932، فِيْ جُمْلَةِ أَحَادِيْثٍ لَهُمْ احْتَجَّ بهِاَ عَبْدُ الْحُسَيْنِ فِيْ الْمُرَاجَعَاتِ بَيَّنْتُ وَهَاءَهَا وَ بُطْلَانَهَا وَ كَذْبِهِ هُوَ فِيْ بَعْضِهَا وَ تَقَوَّلَهُ عَلَى أَئِمَّةِ السُّنَّةِ فِيْهَا.

“Adapun yang dikatakan oleh orang-orang Syiah di dalam hadits ini dan hadits lainnya bahwasanya nabi saw telah berkata tentang Ali t bahwasanya Ali t akan menjadi khalifah sepeninggal aku (Rasulullah  r), adalah tidak benar, ditinjau dari sisi mana pun, justru hadits tersebut merupakan sebagian dari kedustaan mereka yang sangat banyak yang bukti sejarah telah menunjukkan atas kedustaannya. Karena andai kata benar bahwasanya Rasulullah r benar-benar mengucapkannya, tentu akan terjadi sebagaimana yang beliau r sabdakan, karena ucapan beliau r adalah wahyu dari Allah I, sedangkan Allah I tidak pernah menyalahi janji-Nya. Aku juga telah mentakhrij hadits-hadits mereka tentang masalah ini (Ali t akan menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah r) di dalam kitab Silsilatul Ahadits Adh-Dhaifah nomor 4923 dan 4932 di dalam sejumlah hadits mereka yang dijadikan hujjah oleh Abdul Husain di dalam kitab Al-Muraja’at, dan aku (Al-Albani) telah menjelaskan keanehan dan kebatilan hadits-hadits tersebut dan kebohongan Abdul Husain di dalam hadits-hadits tersebut dan seluruh ucapan dia terhadap para imam Ahlu Sunnah wal Jama'ah.” (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah jilid 4 hal. 344).
  1. Jika masalah kepemimpinan adalah sangat penting adanya, seharusnya Nabi r menyampaikannya kepada seluruh kaum muslimin di Arafah, sebelum beliau meninggal, tepatnya di haji Wada. Karena ketika di Arafah, semua jamaah haji dari berbagai negeri berkumpul. Tidak hanya penduduk Madinah, tapi dari seluruh penjuru Jazirah Arab. Sehingga apabila penduduk Madinah berkhianat, dan mereka lebih memilih Abu Bakar t sebagai khalifah, maka kaum muslimin yang lainnya yang datang dari luar Madinah bisa menjadi saksi akan hal itu.
  2. Apabila kaum Syi’ah meyakini bahwa shahabat Ali t telah dilantik oleh Rasulullah r di Ghadir Khum -daerah dekat Juhfah berjarak 170 km dari Madinah-, mengapa Ali dan para shahabat lainnya yang menyaksikan peristiwa Ghadir Khum tidak menolak atau memprotes pengangkatan Abu Bakar t sebagai khalifah?
  3. Apabila benar bahwa Rasulullah r telah berwasiat kepada shahabat Ali t untuk menjadi khalifah, mengapa Ali t tidak menyampaikan hal tersebut di hadapan para shahabat? Apakah Ali t takut untuk menjadi syahid membela wasiat Rasulullah r? Bukankah ini bertentangan dengan sejarah hidup shahabat Ali t yang terkenal dengan ketulusan, keberanian dan kejujurannya?
  4. Keikutsertaan Ali t membaiat Abu Bakar t hanya dapat diartikan dengan dua hal. Pertama, Ali t melakukan baiat dalam ketakutan dan itu tidak selaras dengan kepribadian Ali t seperti pada point nomor 4. Kedua, apakah keikutsertaan Ali t berbaiat kepada Abu Bakar t dapat diartikan sebagai pengkhianatan terhadap wasiat Rasulullah r?
  5. Hadits Ghadir Khum sebenarnya adalah hadits yang berisi pemulihan nama baik Ali t oleh Rasulullah r. Hal ini dikarenakan ada beberapa orang para shahabat yang tidak berkenan oleh sikap Ali t dalam masalah ghanimah/rampasan perang dari Yaman.
  6. Memang hadits Ghadir Khum dikutip juga oleh para ahli tafsir, seperti oleh Imam Syaukani (beraqidah Syiah) di dalam Fathul Qadir jilid 1 hal. 541 dari Abu Said Al-Khudri dia berkata bahwasanya QS Al-Maidah [05]: 67 adalah diturunkan kepada Rasulullah r pada hari Ghadir Khum tentang Ali bin Abi Thalib t. (Fathul Qadir jilid 1 hal. 541).
Ayat tersebut berbunyi,
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya, dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir,” (QS Al-Maidah [05]: 67).
Catatan : QS Al-Maidah [05]: 67 ini bukan sebagai legitimasi pengangkatan Ali t sebagai khalifah setelah Rasulullah r di Ghadir Khum sebagaimana yang diklaim oleh Syiah.
Memang orang-orang Syiah berkeyakinan jika ayat tersebut adalah untuk Ali t dan ada ayat setelahnya yang menurut mereka dibuang oleh Rasulullah r seperti yang dikatakan oleh Imam Syaukani dengan mengutip sebuah atsar sebagai berikut,
وَ أَخْرَجَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا نَقْرَأُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ : يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ إِنَّ عَلِيًّا مَوْلَى الْمُؤْمِنِيْنَ. 
“Ibnu Mardawaih telah mengeluarkan (atsar ini) dari Ibnu Mas’ud t dia berkata, “Kami pada zaman Rasulullah biasa membaca ayat, “Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu sesungguhnya Ali adalah pemimpin kaum muslimin,” (Fathul Qadir jilid 1 hal. 541).

Cerita Selengkapnya :
Imam Ibnu Katsir di dalam Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 174 mengisahkan,
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ فِيْ سِيَاقِ حَجَّةِ الْوَدَاعِ حَدَّثَنِيْ يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِيْ عَمْرَةَ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ يَزِيْدَ بْنِ رُكَانَةَ، قَالَ لَمَّا أَقْبَلَ عَلِيٌّ مِنَ الْيَمَنِ لِيَلْقَى رَسُوْلَ اللهِ r بِمَكَّةَ، تَعَجَّلَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ r وَ اسْتَخْلَفَ عَلَى جُنُدِهِ الَّذِيْنَ مَعَهُ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِهِ فَعَمِدَ ذَلِكَ الرَّجُلُ فَكَسَى كُلُّ رَجُلٍ مِنَ الْقَوْمِ حُلَّةً مِنَ الْبِزِّ الَّذِيْ كَانَ مَعَ عَلِيٍّ، فَلَمَّا دَنَا جَيْشُهُ خَرَجَ لِيَلْقَاهُمْ فَإِذَا عَلَيْهِمْ الْحُلَلُ، قَالَ : وَيْلَكَ مَا هَذَا؟ قَالَ: كَسَوْتُ الْقَوْمَ لِيَتَجَمَّلُوْا بِهِ إِذَا قَدِمُوْا فِيْ النَّاسِ، قَالَ: وَيْلَكَ: انْزَعْ قَبْلَ أَنْ يَنْتَهِيَ بِهِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ r  قَالَ: فَانْتَزَعَ الْحُلَلَ مِنَ النَّاسِ فَرَدَّهَا فِيْ الْبَزِّ قَالَ وَ أَظْهَرَ الْجَيْشُ شَكْوَاهُ لِمَا صُنِعَ بِهِمْ.
“Telah berkata Muhammad bin Ishaq di dalam peristiwa haji Wada, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Amrah dari Yazid bin Thalhah bin Yazid bin Rukanah dia berkata, tatkala Ali t bertolak pulang dari Yaman untuk menemui Rasulullah r di Mekkah, (ternyata) Ali t berjalan cepat (tergesa-gesa/berangkat lebih dulu) untuk menemui Rasulullah r, dan Ali t mempercayakan kepada seseorang untuk mengawasi tentara yang Ali t pimpin. Maka shahabat tersebut jadi pemimpin (tentara). Maka seluruh pasukan tentara tersebut memakai pakaian yang tadi dibawa bersama Ali t. Maka tatkala pasukan tentara tersebut telah mendekat, Ali t pun pergi untuk menemui mereka, dan Ali t melihat mereka semua memakai pakaian yang dibawa dari Yaman. Ali t pun berkata, “Apa-apaan ini?” Shahabat tadi berkata, “Aku yang memakaikan pakaian ini kepada seluruh pasukan tentara agar nampak indah ketika mereka datang menemui orang-orang.” Ali t menjawab, “Celaka kamu! Lepaskan seluruh pakaian tersebut sebelum sampai di hadapan Rasulullah r!” Maka dia pun melepaskan kembali seluruh pakaian tersebut dan menyimpannya ke dalam kantong. Maka para tentara ini pun melaporkan sikap Ali t ini terhadap mereka,” (Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 174).
          Akan tetapi, mendengar keluhan dari para tentara atas sikap Ali t ini, justru Rasulullah r bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ لَا تَشْكُوْا عَلِيًّا فَوَ اللهِ إِنَّهُ لَأَخْشَنَّ فِيْ ذَاتِ اللهِ أَوْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ...
“Wahai manusia, janganlah kalian mengeluh mengenai sikap Ali, demi Allah, sesungguhnya Ali adalah orang yang paling takut atas Dzat Allah atau di jalan Allah….” (Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 174).
          Dikarenakan Rasulullah r melihat ada ketidak harmonisan di kalangan para shahabatnya, terutama dari kalangan para tentara yang baru pulang berjihad dari Yaman atas perilaku Ali t ini yang dianggap tidak adil dan bakhil, maka di tengah perjalanan, tepatnya di Ghadir Khum, Rasulullah r berkhutbah panjang lebar,  
أَنَّهُ r خَطَبَ بِمَكَانٍ بَيْنَ مَكَّةَ وَ الْمَدِيْنَةَ مَرْجِعُهُ مِنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَرِيْبٌ مِنَ الْجُحْفَةِ يُقَالُ لَهُ غَدِيْرُ خُمٍّ فَبَيَّنَ فِيْهَا فَضْلَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ وَ بَرَاءَةَ عِرْضِهِ مِمَّا كَانَ تَكَلَّمَ فِيْهِ بَعْضُ مَنْ كَانَ مَعَهُ بِأَرْضِ الْيَمَنِ بِسَبَبِ مَا كَانَ صَدَرَ مِنْهُ إِلَيْهِمْ مِنَ الْمَعْدَلَةِ الَّتِيْ ظَنَّهَا بَعْضُهُمْ جَوْرًا وَ تَضْيِيْقًا وَ بُخْلًا وَ الصَّوَابُ كَانَ مَعَهُ فِيْ ذَلِكَ.
“Nabi r berkhutbah di lembah antara Mekah dan Madinah, sepulang dari haji Wada’, dekat dengan daerah Juhfah, namanya Ghadir Khum. Di sana, Nabi r menyebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib t dan kebersihan nama Ali t dari komentar para shahabat yang bersamanya dari Yaman, dikarenakan kebijakan Ali t terhadap mereka, yang mereka anggap sebagai kedzaliman dan sikap bakhil. Padahal yang benar adalah sikap Ali t.” (Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 173).
Kemudian Ibnu Katsir kembali menegaskan di halaman yang sama,
وَ لِهَذَا لَمَّا تَفَرَّغَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مِنْ بَيَانِ الْمَنَاسِكِ وَ رَجَعَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ بَيَّنَ ذَلِكَ فِيْ أَثْنَاءِ الطَّرِيْقِ فَخَطَبَ خُطْبَةً عَظِيْمَةً فِيْ الْيَوْمِ الثَّامِنِ عَشَرَ مِنْ ذِيْ الْحِجَّةِ عَامَئِذٍ وَ كَانَ يَوْمُ الْأَحَدِ بِغَدِيْرَ خُمٍّ تَحْتَ شَجَرَةٍ هُنَاكَ فَبَيَّنَ فِيْهَا أَشْيَاءَ وَ ذَكَرَ مِنْ فَضْلِ عَلِيٍّ وَ أَمَانَتَهُ وَ عَدْلَهُ وَ قُرْبَهُ إِلَيْهِ مَا أَزَاحَ بِهِ مَا كَانَ فِيْ نُفُوْسِ كَثِيْرٍ مِنَ النَّاسِ مِنْهُ.
“Karena itu, setelah beliau r selesai manasik, dan kembali ke Madinah, di tengah jalan pada tanggal 18 Dzulhijjah di tahun yang sama, bertepatan dengan hari Ahad di Ghadir Khum, di bawah sebuah pohon, beliau menyampaikan khutbah yang sangat menyentuh. Beliau r menjelaskan beberapa hal, dan menyebutkan keutamaan Ali t, bagaimana amanahnya Ali t, keadilannya, dan kedekatannya dengan beliau r. Yang ini akan menghilangkan ketidak nyamanan di hati banyak shahabat terhadap Ali t.”(Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 173).
Berdasarkan keterangan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan Nabi r menyampaikan khutbah di Ghadir Khum, bukan dalam rangka menobatkan Ali t sebagai khalifah sepeninggal beliau r. Jelas ini kesimpulan yang salah. Tapi yang benar adalah untuk membersihkan nama baik Ali bin Abi Thalib t yang mendapatkan penilaian buruk dari para shahabat yang lain.

Latar Belakang Khutbah Ghadir Khum (dari berbagai sumber)
Berikutnya kita perlu mengetahui latar belakang mengapa Rasulullah r bersabda,
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ.
”Barangsiapa yang aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.” Karena salah satu cara untuk memahami maksud Nabi r adalah memahami sababu wurudil hadits (sebab hadits tersebut disampaikan). Dengan demikian, kita bisa memahami hadits tersebut. Ada dua analisis yang dijelaskan para ulama menganai latar belakang khutbah Nabi r di Ghadir Khum.
ANALISIS PERTAMA, disimpulkan dari hadits Imran bin Hushain t yang telah berkata, “Rasulullah r pernah mengirim sebuah pasukan perang ke Yaman. Kemudian Rasulullah r meminta Ali t untuk mengambil harta rampasan perang. Maka Ali t pun menemui pasukan perang itu, dan mengambil seorang tawanan wanita, kemudian Ali t menggaulinya. Para shahabatpun merasa kesal dengan sikap Ali t ini. Di antara mereka ada empat orang shahabat yang berjanji, “Jika kita telah sampai di Madinah, kita akan ceritakan semua yang dilakukan Ali t.”
Kebiasaan kaum muslimin, sepulang mereka dari safar (berjihad dllnya), maka mereka langsung menemui Rasulullah r, untuk mengucapkan salam kepada beliau, dan kemudian baru pulang menuju ke rumah masing-masing. Maka ketika pasukan perang ini tiba di Madinah, mereka pun mengucapkan salam kepada Rasulullah r dan salah seorang dari keempat shahabat tadi melaporkan,
يَا رَسُولَ اللهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا.
”Wahai Rasulullah, tahukan Anda bahwa Ali telah melakukan tindakan begini dan begini.”
Namun Rasulullah r berpaling dan tidak menanggapi laporannya. Maka shahabat kedua gantian melaporkan hal yang sama, dan Rasulullah r tidak memperdulikannya. Shahahab ketiga juga demikian, dan terakhir shahabat keempat. Semuanya tidak dihiraukan oleh Rasulullah r.
Kemudian Rasulullah r memandangi mereka dan nampak rona amarah di wajah beliau r dan kemudian beliau r bersabda,
مَا تُرِيْدُوْنَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيْدُوْنَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيْدُوْنَ مِنْ عَلِيٍّ؟ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي وَ أَنَا مِنْهُ، وَ هُوَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْدِيْ.
”Apa yang kalian inginkan dari Ali? Apa yang kalian inginkan dari Ali? Apa yang kalian inginkan dari Ali? Sesungguhnya Ali bagian dariku dan aku bagian darinya, dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku.” (HR Tirmidzi 3712 dan dishahihkan oleh al-Albani).

ANALISIS KEDUA     disimpulkan dari hadits Buraidah t yang berkata, ”Nabi r telah mengutus Ali bin Abi Thalib t agar menemui Khalid bin Walid t untuk mengambil jatah seperlima dari rampasan perang. Buraidah merasa kesal terhadap Ali t, karena dia telah mandi junub (karena menggauli tawanan wanita). Maka Buraidah t pun menyampaikannya kepada Khalid, ”Lihat apa yang dilakukan oleh Ali!”
Pada saat kami tiba di hadapan Rasulullah r, maka aku (Buraidah t) pun menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah r. Mendengar berita ini, kemudian Rasulullah r bersabda,
يَا بُرَيْدَةُ أَتُبْغِضُ عَلِيًّا؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: لاَ تُبْغِضْهُ، فَإِنَّ لَهُ فِي الْخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ.
”Hai Buraidah, apakah engkau membenci Ali.” Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau r bersabda, “Janganlah engkau membencinya, karena dia berhak mendapatkan seperlima yang lebih banyak daripada seorang tawanan wanita itu.” (HR Al-Bukhari, hadits no. 4350). (Al-Bidayah wan Nihayah jilid 5 hal. 85).
Maka, di tengah perjalanan, Rasulullah r ingin menjelaskan masalah ini di hadapan seluruh para shahabat yang hadir pada saat itu. Tepatnya beliau berhenti di sebuah daerah dekat Juhfah berjarak 170 km dari Madinah, namanya Ghadir Khum. Di sinilah beliau r khutbah panjang lebar menjelaskan kelebihan Ali t dan apa yang dilakukan oleh Ali t adalah benar.
Wallahu A’lam.




[1] 40 Masalah Syiah, karangan Emilia Renita AZ, hal. 65.
Sepertinya penulis (Emilia) ingin menggiring opini jika hadits Ghadir Khum dianggap lemah oleh kalangan Sunnah (Sunni). Justru, sebagian besar para ulama Sunni, telah menshahihkan hadits tersebut. Masalahnya, Syiah berkeyakinan jika hadits Ghadir Khum adalah hadits penetapan Ali t sebagai khalifah setelah Rasulullah r. Sedangkan Sunnah berkeyakinan jika hadits Ghadir Khum adalah hadits pemulihan nama baik Ali t di hadapan para shahabat yang merasa tidak suka atas sikap Ali t terhadap tawanan perang dari Yaman. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar