Kutipan,
“Ketiga, mempermudah pernikahan bilamana berkaitan dengan kebutuhan
biologis. Jangan sampai dipersulit persyaratannya sebagaimana yang diterapkan
untuk pemenuhan kebutuhan berketurunan dan membangun keluarga. Sehingga orang
yang memiliki hasrat seksual yang tinggi namun belum begitu genap bisa memenuhi
tujuan pernikahan yang kedua, dia bisa menyalurkan kebutuhan biologisnya secara
wajar dan sesuai tuntunan syari’at. Oleh karenanya Allah SWT mensyari’atkan
sebuah ”jalan pemecahan” karena kasih-sayangnya pada hambanya dan menuruti
naluri kebutuhan biologis yang telah Allah ciptakan untuk hambanya. Hal itu
juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan jiwa dan menjaga mereka dari
kehinaan. Jalan pemecahan tersebut adalah nikah mut’ah atau dalam kata lain
”pernikahan temporer.” Nikah mut’ah ini seperti nikah biasa, hanya saja dengan
menyertakan ketentuan waktu, sekiranya nikah mut’ah ini bisa menutupi kebutuhan
biologis seksual sebagaimana yang terpenuhi oleh pernikahan normal yang
langgeng. Nikah temporer ini juga bisa menyelesaikan problem-problem karena
mandul, menjanda/duda, membujang, kesepian, hidup dalam perjalanan, dan berbagai
kondisi lain di mana pernikahan normal tidak bisa menyelesaikannya.” (hal.
121)
Nikah Mut’ah dalam Al-Qur`an
Dalil atau hujjah pemberlakuan nikah mut’ah, cukup bagi kami, firman Allah
SWT dalam surat Al-Nisaaa.
”Maka isteri-isteri yang telah kamu n’mati di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu.”
Para imam ahli bait telah sepakat bahwa ayat tersebut berkaitan dengan
nikah mut’ah. Bahkan Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, dan Al-Suda
membaca ayat tersebut menjadi sebagai berikut,
“Maka isteri-isteri yang telah
kamu ni’mati di antara mereka dalam masa tertentu, berikanlah kepada mereka
maharnya, sebagai suatu kewajiban.” (hal. 125)
Jawaban LPPI :
Dalam sebuah CD berjudul Al’Imamah
(www.kasralsanam.com & www.karbala-tv.com) yang berisi ceramah
seorang tokoh Syiah, sang tokoh Syiah menjelaskan bahwasanya seluruh umat Syiah
sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah mut’ah walaupun hanya sekali seumur
hidup. Karena nikah mut’ah ini adalah sunnah Rasulullah Saw. Dia juga mengutip sebuah
hadits dari Imam Al-Baqir bahwasanya ketika Rasulullah Saw isra mi’raj,
beliau Saw bertemu dengan malaikat Jibrail dan Jibrail berkata,
يَا
مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى يَقُوْلُ : إِنِّيْ قَدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِيْنَ
مِنْ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ.
“Hai Muhammad, sesungguhnya Allah Tabara wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa umatmu yang melakukan nikah mut’ah
dengan para wanita.”
Selain itu,
sang tokoh juga menjelaskan bahwasanya Imam Shadiq berkata, “Tidak ada
seorang laki-laki yang melakukan nikah mut’ah, kemudian dia mandi, maka Allah
SWT akan menjadikan tujuh puluh malaikat dari setiap tetesan air mandinya yang
akan meminta ampunan untuknya sampai hari Kiamat dan para malaikat tersebut
akan melaknat yang menjauhi sunah nikah mut’ah ini.”
Oleh karena
itu, di dalam buku Titik Temu Fiqih & Theologi Syiah-Sunni;
karya: Prof.Dr. Athif Salam hal. 118-161 Syiah mendakwahkan nikah mut’ah
melalui dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk menjerat para pemuda
Ahlussunnah agar mereka mau masuk ke dalam agama Syiah. Di dalam buku tersebut,
Syiah memutar balikkan fakta dengan mengutip sebuah ayat dari Al-Qur`an dengan
mengutip kata “ujuurahunna”.
Sesungguhnya
maksud dari kata ujuurohunna adalah mahar yang diberikan seorang lelaki
ketika dia menikahi seorang perempuan. Karena mahar ini menjadi benar-benar menjadi
milik mutlak seorang perempuan adalah setelah dia digauli oleh suaminya.
“Maka isteri-isteri yang telah
kamu ni’mati di antara mereka dalam masa tertentu, berikanlah kepada mereka
maharnya, sebagai suatu kewajiban.”
Tapi kemudian
praktek nikah mut’ah ini dilarang oleh Rasulullah Saw dan melarang memakan
daging keledai kampung pada saat perang Khaibar. Keterangan ini tercantum di
dalam Shahih Bukhari dan Muslim dan para ahli hadits lainnya. Adapun di dalam
Shahih Muslim dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani dari Nabi Saw bahwasanya beliau
Saw telah bersabda pada saat Futuh Mekah, ”Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku dulu pernah memperbolehkan kalian nikah mut’ah dengan para
wanita, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan nikah mut’ah ini sampai hari
Kiamat. Barangsiapa di antara kalian yang mempunyai akad mut’ah ini dengan para
wanita, maka biarkanlah mereka pergi (batalkanlah) dan janganlah kalian
mengambil kembali harta yang telah kalian berikan kepada mereka.” (Tafsir
Fathul Qadir jilid ke-1 karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Maktabah
Al-Rusyd, hal. 404).
Adapun hadits
yang berisi larangan mut’ah adalah sebagai berikut :
عن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه
ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ
أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ
النِّسَاءِ، وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ
كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ، وَ لَا تَأْخُذُوْا
مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئًا.
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ”Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku dulu pernah memperbolehkan kalian nikah
mut’ah dengan para wanita, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan nikah
mut’ah ini sampai hari Kiamat. Barangsiapa di antara kalian yang mempunyai akad
mut’ah ini dengan para wanita, maka biarkanlah mereka pergi (batalkanlah) dan
janganlah kalian mengambil kembali harta yang telah kalian berikan kepada
mereka.” (HR Muslim, 9/159, (1406))
Wallahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar