Jakarta (SI Online) – Setelah berproses dalam 13 kali sidang sejak sidang pertama 25 Agustus 2017, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada Senin (23/7), memutuskan Uji Materi (Judicial Review) yang diajukan Komunitas Ahmadiyah.
Setelah melalui pembacaan tertulis pertimbangan Majelis Hakim secara maraton oleh Ketua Majelis Hakim Anwar Usman, disambung pembacaannya berturur-turut oleh Hakim anggota Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams dan Aswanto, Majelis Hakim mengadili memutuskan menolak para pemohon untuk permohonan seluruhnya.
“Hal itu (UU PNPS/1965) tidak bertentangan dengan UUD 1945, jika ajaran agama tersebut tidak bertentangan dengan sumber agama. Diantaranya berbasis kitab suci,” kata Hakim Ketua Anwar Usman dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (23/7).
Dalam persidangan sebelumnya, komunitas Ahmadiyah mengajukan Uji Materi atas UU No. 1/PNPS/1965 atau biasa disebut sebagai UU tentang pencegahan dan atau penyalahgunaan dan penodaan agama, khususnya terkait pasal 1, pasal 2 dan pasal 3 yang dianggapnya memiliki penafsiran beragam sehingga mengandung ketidakpastian hukum, menyalahi konstitusi dan hak sebagai warga negara.
“Kebebasan menafsirkan agama tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada individu meskipun memiliki kebebasan. Dan itu pun harus diakui berdasarkan metodologi yang disetujui forum internum dan eksternum suatu agama,” sambung Anwar dalam pembacaan putusan.
Sekretaris Umum Dewan Da’wah Ustaz Avid Sholihin mengatakan, ditolaknya gugatan Pemohon oleh 8 Hakim MK bukan terkait persoalan kalah atau menang. Tetapi kebenaran yang terorganisir akan mengalahkan kejahatan yang terorganisir.
“Kebenaran itu datangnya dari Allah, dan Allah menunjukkan kebenaran itu. Tentu saja ini hadiah untuk umat Islam. Inilah jihad konstitusi yang kita lakukan. Jihad konstitusi adalah memperjuangkan Undang-Undang yang di dalamnya memperjuangkan umat Islam secara keseluruhan dan bangsa Indonesia,” tutur Avid.
Atas putusan Majelis Hakim menolak gugatan Pemohon, Avid teringat pemaparan mantan Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution yang menyatakan, jika masih terdapat Undang-Undang, maka segala sengketa dapat diselesaikan di meja hijau. Jika tidak ada, maka lapangan hijau menjadi alternatif terakhir.
“Alhamdulillah, pemerintah memilih untuk menyelesaikan persoalan di meja hijau, sehingga Undang-Undang (PNPS/1965) itu dipertahankan, dan permohonan pemohon ditolak sepenuhnya,” ujar dia.
Pemerhati Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) Ustaz Amin Djamaluddin menuturkan apresiasi yang sangat mendalam atas ditolaknya gugatan komunitas Ahmadiyah terkait Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNPS/1945.
“Saya sampai menitikkan air mata, tidak bisa berkata apa-apa. Sebab, kalau ini diterima bisa bahaya,” ujarnya.
Ustaz Amin menjelaskan, kendati Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri melarang segala kegiatan dan aktivitas Ahmadiyah, hal itu tidak menghentikan pelanggaran yang dilakukan Ahmadiyah. Karena itu, ia mendorong Kejaksaan Agung untuk mengkomunikasikan dengan Presiden agar dirubah menjadi Keppres (Keputusan Presiden).
“Sebenarnya dengan SKB ini (Ahmadiyah) sudah tidak boleh beraktivitas lagi. Tapi mereka bandel. Nah, akumulasi kegiatan ini bisa kita laporkan agar Presiden mengeluarkan Keppres. Jika tidak dibuat, Presiden sama saja melanggar hukum, dan tidak menutup kemungkinan masyarakat main hakim sendiri,” tegasnya.
Kuasa Hukum Dewan Da’wah Ahmad Leksono menjelaskan, ada 3 alasan mendasar Hakim MK menolak gugatan Ahamadiyah. Pertama, penafsiran terhadap UU harus disesuaikan dengan norma agama yang berlaku di Indonesia, khususnya agama Islam.
“Kedua, norma agama tidak boleh ditafsirkan oleh siapapun secara bebas. Dan ketiga, norma agama selarasa dengan faktor internum dan eksternum yang telah terjadi dan dilaksanakan di Indonesia,” ungkap Leksono.
Tiga alasan itu, lanjut dia, merupakan satu nafas hakim MK yang sepatutnya ditolak. Ia berharap, stabilitas negara, stabilitas agama dan masyarakat tetap terjaga.
“MK menegaskan, Undang-Undang PNPS Pasal 1, 2 dan 3 bukan penyelundupan hukum. Justru, MK mengatakan kebebasan itu sudah diatur dalam norma-norma hukum,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia Kaspodin Nor menjelaskan putusan MK menolak gugatan Ahmadiyah sudah tepat, adil, bijaksana, dan profesional.
“Kalau permohonan Ahmadiyah dikabulkan, maka sama saja merusak tatanan hukum yang ada. Sebab, kebebasan itu bukan segala-galanya. Ada keterbatasan yang diatur dalam norma hukum,” terang mantan anggota Komisi Kejaksaan itu.
Justru itu, lanjut Kaspodin, negara hadir untuk mengatur kebebasan agar tidak menimbulkan kegaduhan dan kekacauan.
“Bukan berarti negara campur tangan dalam urusan agama, tapi ada aturan yang sudah prinsip dan tidak boleh dilanggar. Negara pun harus memahami prinsip agama, tidak boleh tidak. Negara harus faham mana yang dilanggar dan tidak,” katanya.
Selama bersidang, komunitas Ahmadiyah telah mengajukan enam orang saksi ke depan sidang yang disebut-sebut sebagai korban yang mengalami langsung dan atau melihat langsung sejumlah perlakuan kekerasan dan intimidasi oleh masyarakat terhadap komunitas Ahmadiyah yang terjadi di berbagai daerah. Komunitas Ahamdiyah juga mengajukan enam orang Ahli, diantaranya dari Komnas HAM, Komnas Perempuan dan YLBHI.
Sedangkan Dewan Da’wah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang ini sebagai Pihak Terkait dalam hal ini juga telah mengajukan sejumlah saksi.
Hadir mendengarkan putusan ini dari Dewan Da’wah adalah Sekretaris Umum Drs. Avid Solihin, MM, Humas Dewan Da’wah Yuddy Ardhi dan Dadi Nurjaman, didampingi Kuasa Hukum antara lain Kaspodin Nor, Abdullah Alkatiri, Ahmad Leksono dan Sani Alamsyah.
Sidang dipimpin oleh Hakim Anwar Usman, sedangkan delapan Majelis Hakim lainnya adalah Saldi Isra, Arief Hidayat (yang sebelumnya adalah Ketua Majelis Hakim), I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams dan Manahan MP Sitompul.
red: adhila/zuhdi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar