Selasa, 08 Maret 2022

Pergerakan Ahmadiyah di Indonesia

 

BEBERAPA PERATURAN YANG MEMBATASI

PERGERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA

Oleh : M. Amin Djamaludin

 

Beberapa tahun yang lalu (2017), jemaah Ahmadiyah pernah mengajukan permohonan Judicial Review  ke MK terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dengan memohon tafsir konstitusional bersyarat terhadap Pasal 1, 2, dan 3 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut.

Di dalam berkas permohonan yang dikutip detik.com, Kamis (24/8/2017), Ahmadiyah telah menyodorkan 15 kasus yang menyatakan bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut dianggap merugikan komunitas Ahmadiyah, dan juga mereka menyatakan bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28C ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”

Dalam berkas perbaikan Permohonan Pemohon tertanggal 5 September 2017 dinyatakan bahwa UU a quo juga dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D dan (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (1)  dan ayat (2), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Menurut Ahli, terhadap Pasal-pasal dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang diajukan dan dianggap sebagai bertentangan dengan Pasal-pasal dalam UUD NKRI Tahun 1945 tersebut, terlihat Ahmadiyah sedang berupaya membangun kesan bahwasanya Pemerintah telah mengabaikan hak asasi manusia (HAM) Ahmadiyah. Padahal, seharusnya pihak Ahmadiyah harus membaca dan memahami pasal-pasal lainnya dari UUD 1945 tersebut, mulai Pasal 28A s.d. Pasal 28J, juga Pasal 29 ayat (2). Di antara Pasal 28 yang harus dipertimbangkan oleh pihak Ahmadiyah, yaitu Pasal 28J ayat 1 dan 2, yang berbunyi:

  1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-semata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Akan tetapi menurut pengamatan kami terhadap hal-hal yang menimpa Ahmadiyah adalah disebabkan oleh “kenakalan” mereka sendiri yang tidak mau menaati fatwa yang telah dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang diakui peranannya dalam masyarakat dalam mengawal terlaksananya ibadah agama Islam yang sesuai dengan syariat serta lembaga pemerintahan itu sendiri, yaitu MUI, Surat Keputusan dari 3 Menteri (SKB 3 Menteri 2008), larangan dari Gubernur, Bupati dan Walikota, di antaranya :

SKB Lombok Barat tahun 1983

1.   Pada 21 November 1983, Kabupaten Lombok Barat telah lebih dulu mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83 tentang Pelarangan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah.

2.       SKB 3 Menteri tahun 2008

Pada 9 Juni 2008, Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI dengan No. : 3 tahun 2008, No. : KEP-033/A/JA/6/2008 dan No. : 199 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

 

Peraturan Gubernur

1.  Pada tanggal 10 Februari 2011, Gubernur Sulawesi Selatan H. Syahrul Yasin Limpo mengeluarkan Surat Edaran Gubernur No. 223.2/803/KESBANG tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Propinsi Sulawesi Selatan.

2.   Pada tanggal 28 Februari 2011, Gubernur Jawa Timur, DR. H. Soekarwo mengeluarkan Surat Keputusan No. 188/94/KPTS/013/2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Propinsi Jawa Timur.

3.    Pada tanggal 1 Maret 2011, Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah mengeluarkan Peraturan No. 5 tahun 2011 tentang Larangan Aktivitas Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di wilayah Propinsi Banten.

4.      Pada 3 Maret 2011, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengeluarkan Peraturan No. 12 tahun 2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Propinsi Jawa Barat.

5.   Pada tanggal 24 Maret 2011, Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno mengeluarkan Peraturan No. 17 tahun 2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Propinsi Sumatera Barat.

 

Peraturan Bupati

1.   Pada tanggal 9 Agustus 2005, Bupati Garut H. Agus Supriadi bersama instansi terkait dan elemen masyarakat, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 450/Kep.225-PEM/2005 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Garut.

2.  Pada 20 Maret 2006, Bupati Sukabumi, Kajari Cibadak, Kapolres Sukabumi, Departemen Agama Sukabumi dan Ketua MUI Sukabumi mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 143 tahun 2006 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Sukabumi.

3.   Pada tanggal 16 Februari 2011 Bupati Kampar, Burhanuddin Husin mengeluarkan Peraturan No. 5 tahun 2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Kampar.

4.     Pada tanggal 21 Februari 2011, Bupati Pandeglang, Asmudji HW, Pj. Mengeluarkan Peraturan No. 5 tahun 2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Pandeglang.

5.    Pada tanggal 8 Maret 2011, Bupati Lebak, H. Mulyadi Jayabaya mengeluarkan Peraturan No. 11 tahun 2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Lebak.

 

Peraturan Walikota

1.   Pada tanggal 16 November 2010, Walikota Pekanbaru, H. Herman Abdullah mengeluarkan Surat Keputusan No. 450/BKBPPM/749 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Pekanbaru.

2.    Pada tanggal 25 Februari 2011, Walikota Samarinda, H. Syahrie Ja’ang mengeluarkan Surat Keputusan No. 200/160/BKPPM.I/II/2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Samarinda.

3.  Pada tanggal 3 Maret 2011, Walikota Bogor, Drs. H. Diani Budiarto mengeluarkan Surat Keputusan No. 300.45-122/2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Bogor.

4.      Pada tahun 2011, Walikota Depok, Nur Mahmudi Ismail mengeluarkan Peraturan No. 09 tahun 2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Depok.

   

Keputusan Fatwa MUI

1.      Pada tahun 1980

Pada Musyawarah Nasional (MUNAS) II tahun 1980, MUI mengeluarkan fatwa dengan nomor : 05/Kep./MUNAS II/MUI/1980 bahwa Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. MUI meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk melarangnya. Bahkan sewaktu Ketua Umum MUI Pusat dijabat oleh (alm) K.H. Hasan Basri dan beberapa pengurus MUI lainnya pernah bersama-sama ke Kejaksaan Agung meminta Kejaksaan Agung Republik Indonesia segera melarang Ahmadiyah di seluruh Indonesia.

2.      Pada tahun 2005

Pada MUNAS VII tanggal 28 Juli 2005, MUI menegaskan kembali fatwanya tentang Ahmadiyah. Yaitu menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).

 

Pokok dari seluruh peraturan di atas adalah meminta kepada seluruh anggota/jemaat dan simpatisan Ahmadiyah untuk menghentikan seluruh aktifitas mereka di seluruh wilayah hukum NKRI karena Ahmadiyah dicap sebagai ajaran di luar Islam, sesat dan menyesatkan dan terlarang disebar luaskan di Indonesia.

Adapun mengenai SKB, Pemerintah telah menyatakan bahwa, “SKB Bukan Intervensi Keyakinan. Dengan SKB ini, Pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyarakat. SKB ini adalah upaya pemerintah untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 89).

Bahwa dalam hal ini yang dimaksudkan yaitu penyebaran paham/ajaran internal agama Islam yang menyimpang yang tidak sesuai dengan ajaran pokok Islam, yaitu tidak meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi Khataman Nabiyyin atau Nabi Penutup atau Terakhir, sedangkan Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, dan juga meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih yang turun ke bumi. Selain itu Ahmadiyah memiliki Kitab Tadzkirah yang isinya terdapat surat-surat Al-Qur`an yang kemudian dipenggal atau dipotong-potong isi surat-surat Al-Qur`an tersebut dan kemudian digabung/disambung-sambung sendiri dan dimaknai sendiri. Sedangkan surat-surat dalam Al-Qur`an memiliki rangkaian jumlah ayat yang sudah tetap serta maknanya masing-masing dan tidak bisa dipotong-potong dan dimaknai sendiri begitu saja, terdapat ilmu-ilmu Al-Qur`an lebih lanjut untuk memahaminya. Di sini terlihat secara nyata Ahmadiyah telah melakukan tindakan penyimpangan dalam menjalankan ajaran Agama Islam.

Juga disampaikan, “bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, setiap orang bebas untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 93).

Juga di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, “Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 100).

Juga dikuatkan dengan pertimbangan, “Bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 105).

Pemerintah Republik Indonesia menyatakan, “Bahwa Pemerintah telah melakukan upaya persuasif melalui serangkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesaikan permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, dan dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada tanggal 14 Januari 2008.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 107).

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama telah melakukan pemantauan di lapangan. Ternyata ditemukan bahwa, “Warga JAI tetap meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW dan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, Masih Mau’ud, dan Imam Mahdi. Isi buku Tadzkirah diyakini kewahyuan dan kebenarannya, termasuk klaim tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad di dalamnya. Ketidaksediaan bermakmum dalam shalat kepada orang Islam non-JAI karena dianggap kufur (ingkar) kepada kenabian Mirza Ghulam Ahmad berarti mengkafirkan Muslim non-JAI dengan perbuatan. Semua itu tidak sesuai dengan 12 butir Penjelasan PB JAI tanggal 14 Januari 2008.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 114).

Adapun hasil rapat Bakor Pakem pada 16 April 2008 disebutkan, “(2) Bakor Pakem berpendapat bahwa JAI ternyata telah melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yang dianut di Indonesia, dan menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. (3) Bakor Pakem merekomendasikan agar warga JAI diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, sesuai dengan UU No.1 PNPS Tahun 1965. (4) Apabila perintah dan peringatan keras sebagaimana tersebut pada butir 3 di atas tidak diindahkan, maka Bakor Pakem merekomendasikan untuk membubarkan organisasi JAI dengan segala kegiatan dan ajarannya.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 115).

Kemudian pada tahun 2005, Bakor Pakem telah melakukan rapat yang menyatakan bahwa, “Bakor Pakem (setelah mencatat pertimbangan hukum, termasuk UU PNPS No.1 tahun 1965 yo UU No.5 tahun 1969), merekomendasikan kepada Pemerintah/Presiden Republik Indonesia agar organisasi, kegiatan, ajaran, dan buku-buku yang berisi ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadiyan) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) dilarang di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan suatu Peraturan Presiden Republik Indonesia.”(Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 123).

Kemudian Badan Litbang Kemenag menafsirkan UU Nomor 1/PNPS/1965 bahwa, “Yang dimaksud dengan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya kegiatan atau perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus seperti bangunan rumah ibadat dan bangunan lainnya. Kedua: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 129-130).

Adapun makna “diperingatkan dan diperintahkan” adalah, “Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah untuk menghentikan penyebaran penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan yang menyimpang. Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang adalah faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pengertian kegiatan yang menyimpang adalah kegiatan melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW.”(Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 133).

Kemudian, kegiatan apa saja yang dilarang? Litbang menjawab, “Perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian, pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media elektronika yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW, termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk dihentikan. Ketiga. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.”(Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 134-135).

Kemudian dilanjutkan, “Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) dikatakan maksud Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ialah: “Menyebarkan Agama Islam menurut pelajaran Hazrat Masih Mau’ud a.s. dan para Khalifahnya ke seluruh Indonesia, dan membantu Jemaat Ahmadiyah di luar Indonesia dalam hal itu.”(Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 138).

Kemudian, siapakah anggota Ahmadiyah itu? “Jemaat Ahmadiyah Indonesia beranggotakan: (a) Pria dan wanita yang beriman dan mengaku serta ikrar lisan atau tulisan (bai’at), bahwa segala da’wa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Alaihi Salam dari Qadian, Masih Mau’ud itu benar dan yang bai’at pula kepada para Khilafatnya. (b) Anak-anak anggota Ahmadiyah yang telah aqil baligh, kecuali yang secara tegas menyatakan tidak bersedia menjadi anggota.”(Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 139).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar