BEBERAPA PERATURAN YANG MEMBATASI
PERGERAKAN
AHMADIYAH DI INDONESIA
Oleh : M. Amin Djamaludin
Beberapa tahun yang lalu (2017), jemaah Ahmadiyah pernah mengajukan
permohonan Judicial Review ke MK terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dengan memohon tafsir konstitusional
bersyarat terhadap Pasal 1, 2, dan 3 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut.
Di dalam berkas permohonan yang dikutip detik.com,
Kamis (24/8/2017), Ahmadiyah telah menyodorkan 15 kasus yang menyatakan bahwa
UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut dianggap merugikan komunitas Ahmadiyah, dan juga mereka
menyatakan bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 28C ayat 2 UUD
1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.”
Dalam berkas
perbaikan Permohonan Pemohon tertanggal 5 September 2017 dinyatakan bahwa UU a
quo juga dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D dan (1),
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Menurut Ahli, terhadap
Pasal-pasal dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang diajukan dan dianggap sebagai
bertentangan dengan Pasal-pasal dalam UUD NKRI Tahun 1945 tersebut, terlihat Ahmadiyah
sedang berupaya membangun kesan bahwasanya Pemerintah telah mengabaikan hak
asasi manusia (HAM) Ahmadiyah. Padahal, seharusnya pihak Ahmadiyah harus
membaca dan memahami pasal-pasal lainnya dari UUD 1945 tersebut, mulai Pasal 28A
s.d. Pasal 28J, juga Pasal 29 ayat (2). Di antara Pasal 28 yang harus
dipertimbangkan oleh pihak Ahmadiyah, yaitu Pasal 28J ayat 1 dan 2, yang
berbunyi:
- Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-semata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Akan tetapi menurut pengamatan kami terhadap hal-hal yang
menimpa Ahmadiyah adalah disebabkan oleh “kenakalan” mereka sendiri yang
tidak mau menaati fatwa yang telah dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang diakui
peranannya dalam masyarakat dalam mengawal terlaksananya ibadah agama Islam
yang sesuai dengan syariat serta lembaga pemerintahan itu sendiri, yaitu MUI, Surat
Keputusan dari 3 Menteri (SKB 3 Menteri 2008), larangan dari Gubernur, Bupati
dan Walikota, di antaranya :
SKB Lombok Barat tahun 1983
1. Pada 21 November 1983, Kabupaten
Lombok Barat telah lebih dulu mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No.
Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83 tentang Pelarangan Kegiatan Jemaah Ahmadiyah.
2. SKB 3 Menteri tahun 2008
Pada 9 Juni 2008, Pemerintah mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI
dengan No. : 3 tahun 2008, No. : KEP-033/A/JA/6/2008 dan No. : 199 tahun 2008
tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Peraturan Gubernur
1. Pada tanggal 10 Februari 2011, Gubernur
Sulawesi Selatan H. Syahrul Yasin Limpo mengeluarkan Surat Edaran Gubernur
No. 223.2/803/KESBANG tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat
Ahmadiyah Indonesia di Propinsi Sulawesi Selatan.
2. Pada tanggal 28 Februari 2011, Gubernur
Jawa Timur, DR. H. Soekarwo mengeluarkan Surat Keputusan No.
188/94/KPTS/013/2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat
Ahmadiyah Indonesia di Propinsi Jawa Timur.
3. Pada tanggal 1 Maret 2011, Gubernur
Banten, Ratu Atut Chosiyah mengeluarkan Peraturan No. 5 tahun 2011 tentang
Larangan Aktivitas Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) di wilayah Propinsi Banten.
4. Pada 3 Maret 2011, Gubernur
Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengeluarkan Peraturan No. 12 tahun 2011 tentang
Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Propinsi Jawa
Barat.
5. Pada tanggal 24 Maret 2011, Gubernur
Sumatera Barat, Irwan Prayitno mengeluarkan Peraturan No. 17 tahun 2011
tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di
Propinsi Sumatera Barat.
Peraturan Bupati
1. Pada tanggal 9 Agustus 2005, Bupati
Garut H. Agus Supriadi bersama instansi terkait dan elemen masyarakat,
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 450/Kep.225-PEM/2005 tentang Pelarangan
Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Garut.
2. Pada 20 Maret 2006, Bupati
Sukabumi, Kajari Cibadak, Kapolres Sukabumi, Departemen Agama Sukabumi dan
Ketua MUI Sukabumi mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 143 tahun
2006 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di
Kabupaten Sukabumi.
3. Pada tanggal 16 Februari 2011 Bupati
Kampar, Burhanuddin Husin mengeluarkan Peraturan No. 5 tahun 2011 tentang
Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Kampar.
4. Pada tanggal 21 Februari 2011, Bupati
Pandeglang, Asmudji HW, Pj. Mengeluarkan Peraturan No. 5 tahun 2011 tentang
Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Pandeglang.
5. Pada tanggal 8 Maret 2011, Bupati
Lebak, H. Mulyadi Jayabaya mengeluarkan Peraturan No. 11 tahun 2011 tentang
Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Lebak.
Peraturan Walikota
1. Pada tanggal 16 November 2010, Walikota
Pekanbaru, H. Herman Abdullah mengeluarkan Surat Keputusan No.
450/BKBPPM/749 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di Pekanbaru.
2. Pada tanggal 25 Februari 2011, Walikota
Samarinda, H. Syahrie Ja’ang mengeluarkan Surat Keputusan No.
200/160/BKPPM.I/II/2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di Kota Samarinda.
3. Pada tanggal 3 Maret 2011, Walikota
Bogor, Drs. H. Diani Budiarto mengeluarkan Surat Keputusan No.
300.45-122/2011 tentang Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia
di Kota Bogor.
4. Pada tahun 2011, Walikota
Depok, Nur Mahmudi Ismail mengeluarkan Peraturan No. 09 tahun 2011 tentang
Pelarangan Penyebaran Aliran/Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Depok.
Keputusan Fatwa MUI
1. Pada tahun 1980
Pada Musyawarah Nasional (MUNAS) II tahun 1980,
MUI mengeluarkan fatwa dengan nomor : 05/Kep./MUNAS II/MUI/1980 bahwa
Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. MUI meminta
kepada Pemerintah Republik
2. Pada tahun 2005
Pada MUNAS VII tanggal 28 Juli 2005, MUI
menegaskan kembali fatwanya tentang Ahmadiyah. Yaitu menetapkan bahwa aliran
Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang
mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
Pokok dari seluruh peraturan di atas adalah meminta
kepada seluruh anggota/jemaat dan simpatisan Ahmadiyah untuk menghentikan
seluruh aktifitas mereka di seluruh wilayah hukum NKRI karena Ahmadiyah dicap
sebagai ajaran di luar Islam, sesat dan menyesatkan dan terlarang disebar
luaskan di
Adapun mengenai
SKB, Pemerintah telah menyatakan bahwa, “SKB Bukan Intervensi Keyakinan. Dengan
SKB ini, Pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyarakat. SKB ini
adalah upaya pemerintah untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat
penyebaran paham keagamaan menyimpang.” (Buku Sosialisasi
Bahwa dalam hal
ini yang dimaksudkan yaitu penyebaran paham/ajaran internal agama Islam yang menyimpang
yang tidak sesuai dengan ajaran pokok Islam, yaitu tidak meyakini Nabi Muhammad
SAW sebagai Nabi Khataman Nabiyyin atau Nabi Penutup atau Terakhir, sedangkan
Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, dan
juga meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih yang turun ke bumi. Selain
itu Ahmadiyah memiliki Kitab Tadzkirah yang isinya terdapat surat-surat Al-Qur`an
yang kemudian dipenggal atau dipotong-potong isi surat-surat Al-Qur`an tersebut
dan kemudian digabung/disambung-sambung sendiri dan dimaknai sendiri. Sedangkan
surat-surat dalam Al-Qur`an memiliki rangkaian jumlah ayat yang sudah tetap
serta maknanya masing-masing dan tidak bisa dipotong-potong dan dimaknai
sendiri begitu saja, terdapat ilmu-ilmu Al-Qur`an lebih lanjut untuk
memahaminya. Di sini terlihat secara nyata Ahmadiyah telah melakukan tindakan
penyimpangan dalam menjalankan ajaran Agama Islam.
Juga
disampaikan, “bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun, setiap orang bebas untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, dan dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib menghormati hak asasi orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.” (Buku
Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 93).
Juga di dalam UU
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, “Dalam menjalankan
hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama,
Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008,
penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 100).
Juga dikuatkan
dengan pertimbangan, “Bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka
umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3
Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011,
hal. 105).
Pemerintah
Republik Indonesia menyatakan, “Bahwa Pemerintah telah melakukan upaya
persuasif melalui serangkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesaikan
permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak menimbulkan keresahan
dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat, dan dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah
menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada tanggal 14 Januari 2008.” (Buku
Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 107).
Pemerintah dalam
hal ini Kementerian Agama telah melakukan pemantauan di lapangan. Ternyata
ditemukan bahwa, “Warga JAI tetap meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad
SAW dan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, Masih Mau’ud, dan Imam Mahdi. Isi
buku Tadzkirah diyakini kewahyuan dan kebenarannya, termasuk klaim tentang
kenabian Mirza Ghulam Ahmad di dalamnya. Ketidaksediaan bermakmum dalam shalat
kepada orang Islam non-JAI karena dianggap kufur (ingkar) kepada kenabian Mirza
Ghulam Ahmad berarti mengkafirkan Muslim non-JAI dengan perbuatan. Semua itu
tidak sesuai dengan 12 butir Penjelasan PB JAI tanggal 14 Januari 2008.” (Buku
Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 114).
Adapun hasil
rapat Bakor Pakem pada 16 April 2008 disebutkan, “(2) Bakor Pakem
berpendapat bahwa JAI ternyata telah melakukan kegiatan dan penafsiran
keagamaan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yang dianut di
Indonesia, dan menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga
mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. (3) Bakor Pakem merekomendasikan
agar warga JAI diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan
perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri, sesuai dengan UU No.1 PNPS Tahun 1965. (4) Apabila
perintah dan peringatan keras sebagaimana tersebut pada butir 3 di atas tidak
diindahkan, maka Bakor Pakem merekomendasikan untuk membubarkan organisasi JAI
dengan segala kegiatan dan ajarannya.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI 2011, hal. 115).
Kemudian pada
tahun 2005, Bakor Pakem telah melakukan rapat yang menyatakan bahwa, “Bakor
Pakem (setelah mencatat pertimbangan hukum, termasuk UU PNPS No.1 tahun 1965 yo
UU No.5 tahun 1969), merekomendasikan kepada Pemerintah/Presiden Republik
Indonesia agar organisasi, kegiatan, ajaran, dan buku-buku yang berisi ajaran
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadiyan) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(Ahmadiyah Lahore) dilarang di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan suatu Peraturan Presiden Republik Indonesia.”(Buku
Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 123).
Kemudian Badan
Litbang Kemenag menafsirkan UU Nomor 1/PNPS/1965 bahwa, “Yang dimaksud
dengan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum ialah segala
usaha, upaya kegiatan atau perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain, baik yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus
seperti bangunan rumah ibadat dan bangunan lainnya. Kedua: Memberi peringatan
dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan
penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya
setelah Nabi Muhammad SAW.” (Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3
Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011,
hal. 129-130).
Adapun makna “diperingatkan
dan diperintahkan” adalah, “Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah
untuk menghentikan penyebaran penafsiran yang menyimpang dan menghentikan
kegiatan yang menyimpang. Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang adalah
faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan pengertian kegiatan yang menyimpang adalah kegiatan
melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW.”(Buku
Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2011, hal. 133).
Kemudian, kegiatan
apa saja yang dilarang? Litbang menjawab, “Perbuatan atau kegiatan seperti
pidato, ceramah, khutbah, pengajian, pembaiatan, seminar, lokakarya, dan
kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi,
media cetak, dan media elektronika yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk
penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi
Muhammad SAW, termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk dihentikan.
Ketiga. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Kemudian
dilanjutkan, “Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART)
dikatakan maksud Jemaat Ahmadiyah
Kemudian,
siapakah anggota Ahmadiyah itu? “Jemaat Ahmadiyah Indonesia beranggotakan:
(a) Pria dan wanita yang beriman dan mengaku serta ikrar lisan atau tulisan
(bai’at), bahwa segala da’wa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Alaihi Salam dari
Qadian, Masih Mau’ud itu benar dan yang bai’at pula kepada para Khilafatnya.
(b) Anak-anak anggota Ahmadiyah yang telah aqil baligh, kecuali yang secara
tegas menyatakan tidak bersedia menjadi anggota.”(Buku Sosialisasi Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, penerbit: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI 2011, hal. 139).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar