DAFTAR ISI
- AWAL
MULA PERJUMPAAN SAYA DENGAN (ALLAAHU YARHAM) BAPAK M. NATSIR ..................
- KATA
SAMBUTAN Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat .................
- Harian
Umum PELITA
Selasa, 18 Oktober 1983
Menanggapi Gagasan Prof. Dr. Harun Nasution (1)
Soal Penggalakan Kuliah Falsafah, Ilmu
Kalam dan Sejarah Kebudayaan Islam ....
- Harian
Umum PELITA
Rabu, 19 Oktober 1983
Menanggapi Gagasan Prof. Dr. Harun Nasution (2)
Pandangan Ahli Filsafat Islam terhadap
Kebenaran Agamanya .....
- Harian
Umum PELITA
Kamis, 20 Oktober 1983
Menanggapi Gagasan Prof.Dr.Harun Nasution (3)
Bagaimana Rasionalitas Itu ......................................
- Harian
Umum PELITA
Jum’at, 21 Oktober 1983
Menanggapi Gagasan Prof.Dr.Harun Nasution (4 -
selesai)
Pembaharuan Setuju, Asal Tidak Menyimpang .................................................:
- Catatan dan
Kenang-kenangan..........................
AWAL MULA PERJUMPAAN SAYA DENGAN
(ALLAAHU YARHAM)
BAPAK M. NATSIR
Oleh M. Amin
Djamaluddin
Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.
Tanggapan Bapak
M. Natsir terhadap tulisan saya yang dimuat oleh Harian Umum Pelita tanggal 18,
19, 20 dan 21 Oktober 1983, yaitu tanggapan dan bantahan terhadap Pembaharuan
Islam yang digalakkan di IAIN Ciputat (sekarang UIN Jakarta) oleh Rektor IAIN
Ciputat Prof.Dr. Harun Nasution, pada saat itu yang dimuat oleh majalah
Panjimas dan Harian Umum Pelita, Rabu 3 Agustus 1983 dengan judul, “Dr. Harus
Nasution Menyongsong Dies Natalis IAIN ke-26; Ulama Kurang Kuasai Ilmu-ilmu
Keduniaan, dan Harian Umum Pelita, Rabu 10 Agustus 1983 dengan judul, ”Menteri
Agama pada Dies Natalis IAIN Jakarta; Umat Islam Harus Jadi Pemikir dan
Berani Bertanggungjawab.”
Hari keempat
(terakhir) dari tulisan saya di Harian Umum Pelita itu, kemudian Bapak M.Natsir
memanggil Bapak Hardi M.Arifin yang menangani masalah pondok pesantren di Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, beliau meminta, “Arifin coba Saudara teliti,
siapa Amin Djamaluddin yang menulis bersambung di Harian Pelita itu, dan dari
mana pendidikannya, dan organisasinya apa, dan kalau sudah beristeri, isterinya
orang mana dan pendidikannya apa?”
Mendengar
perintah dari Bapak M.Natsir ini, Bapak Hardi Arifin menjawab, “Amin
Djamaluddin itu orang Bima, pendidikannya di PGAN 6 tahun Bima, dan
organisasinya Persis (Persatuan Islam) dan isterinya orang Bogor, tamatan
Pesantren Persis Bangil.” (Padahal isteri saya tamatan dari Pesantren
Persis No. 1 Pajagalan Bandung, Jawa Barat).
Setelah mendengar
jawaban Bapak Hardi Arifin tersebut, Bapak M.Natsir pun langsung memerintahkan
kepadanya, “Tolong dicari Saudara Amin Djamaluddin itu, saya ingin sekali bertemu
dengan dia!” Pada hari itu juga, pas selesai shalat Zhuhur di masjid
Al-Furqan DDII Bapak Hardi Arifin berkata kepada saya, “Min dicari Bapak, ente!”
Saya pun balik bertanya, “Bapak, siapa?” “Pak Natsir, ayo ikut saya!”
Saya sangat
kaget, setelah tahu Bapak M.Natsir lah yang mencari saya. Padahal sebelumnya,
saya belum pernah bertemu dengan Bapak M.Natsir. Saya pun ikut Bapak Hardi
Arifin masuk ke ruangan kerja Bapak M. Natsir. Setelah masuk ke ruangan Bapak M.Natsir,
Bapak Hardi Arifin berkata kepada Bapak M.Natsir, “Ini Amin Djamaluddin itu,
Pak!” Setelah Bapak Hardi Arifin memperkenalkan saya kepada Bapak M.Natsir,
Bapak Hardi Arifin langsung menuju ke ruang kerjanya, dekat dengan ruang kerja Bapak
M.Natsir. Bapak M.Natsir pun langsung bangun dari kursi kerjanya, dan duduk di
kursi biasa, posisinya berhadapan dengan saya, dan langsung berkata, “Saya
sudah baca dan teliti tulisan Saudara yang bersambung di Harian Umum Pelita itu.
Prof. DR. Harun Nasution itu dia adalah tokoh orientalis yang bertaraf
internasional. Jadi pekerjaan yang Saudara lakukan ini, adalah pekerjaan yang
bertaraf internasional. Jarang sekali, orang yang bisa berbuat seperti Saudara.
Saya meminta Saudara untuk membantu saya. Pintu rumah saya 24 jam terbuka untuk
Saudara.”
Inilah,
perjumpaan pertama kalinya, antara saya dengan Bapak. M.Natsir, sehingga saya
diminta menjadi staf ahli khusus Bapak M. Natsir di dalam menghadapi aliran
sesat sampai beliau wafat. Kemudian, untuk mendirikan LPPI yang saya pimpin, Bapak
M.Natsir telah memberikan uang kepada saya, sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima
ribu rupiah) untuk membuat Akta Notaris pada tahun 1985. Alhamdulillaah,
LPPI saat ini dengan modal tersebut sudah mempunyai gedung sendiri berlantai
empat di jalan Tambak No. 20B Jakarta Pusat.
Memang
antara saya dengan Bapak Hardi Arifin, tokoh-tokoh GPI dan anak-anak PII, sejak
awal tahun 1978, sudah sangat kenal dekat, karena sering berkumpul di Menteng
Raya 58 Jakarta, markasnya GPI (Gerakan Pemuda Islam) dan PII (Pelajar Islam
Indonesia). Sampai kemudian, pada tahun 1978, (tepatnya pada bulan Maret 1978),
kami semua sama-sama masuk Pesantren Pak Domo (istilah kami), dan kalau orang
bilang, masuk penjara. Disebut Pesantren Pak Domo, karena Jenderal Soedomo saat
itu menjadi Panglima Komkamtip Pusat, yang kerjanya menangkapi orang-orang yang
suka berdemontrasi. Kami pernah ramai-ramai ditahan di Rumah Tahanan Salemba
Jakarta. Kami masuk penjara waktu itu, karena melakukan demontrasi menolak
aliran kepercayaan yang akan disamakan atau dianggap sebagai agama oleh MPR RI
saat itu dan juga menolak PMP (Pendidikan Moral Pancasila) masuk ke dalam GBHN.
Dulu,
di salah satu ruangan di Kramat Raya 45 itu, ada ruang khusus untuk GPI dan anak-anak
PII. Di ruangan itulah tempat kami berkumpul bersama anak-anak PII, waktu muda
dahulu. Sehingga saya sering berada
di Kramat Raya 45, kantor PII tersebut.
Itulah sejarahnya, saya
bisa menjadi staf khusus (Allaahu yarham) Bapak M. Natsir. Bapak M. Natsir
sangat percaya kalau suatu aliran itu sesat, setelah saya memvonisnya sesat dan
menyesatkan. Maka sebagai kenang-kenangan, tulisan saya di Harian Umum Pelita selama
empat hari berturut-turut tersebut saya terbitkan kembali dalam bentuk buku
saku, mudah-mudahan bermanfaat bagi generasi muda Islam saat ini dan di masa
yang akan datang.
Saya sebagai penulis,
hanya lah tamatan PGAN 6 tahun Bima tahun 1970. Tapi saya berani untuk mengoreksi
dan menanggapi pemikiran seorang profesor doktor yang sedang menjabat rektor sebuah
perguruan tinggi Islam terkenal saat itu. Hal ini dikarenakan semangat mencari
ilmu dan semangat belajar juga membaca saya yang tinggi, walaupun saya tidak
pernah masuk perkuliahan di sebuah perguruan tinggi.
Wallaahu a’lam bish showaab.
Jakarta, 14 Jumadil Akhir 1439
H
02 Maret 2018 M
Wassalaam,
Tertanda,
M. Amin Djamaluddin
Acc,
Tertanda,
Hardi M. Arifin
Puncak Bogor, 4 Januari 2019