Kamis, 19 Mei 2022

All About LPPI From Netizen

 


The most active anti-heretical organisation in Indonesia, the Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI – Institute for Islamic Study and Research), has benefitted from the process of democratisation after the downfall of the Suharto regime in 1998. It has taken exclusionary stances towards what it considers to be heretical religious groups, particularly the Ahmadiyya. Established in the 1980s, the LPPI was marginalised and suppressed by the Suharto regime, and its leader, Amin Djamaluddin, was arrested several times for placing himself at loggerheads with the regime. LPPI, however, survived this repression and even found its momentum after 1998. Since then, it has been able to propagate its mission to root out and eradicate heretical beliefs and even gain support from the Majelis Ulama Indonesia (MUI – Council of Indonesian Ulama) and the government. This article studies the political and religious roles of the LPPI in promoting a strict and standardised Islam before and after 1998 by answering the following questions: What theological and political positions were adopted by this organisation in relation to the Ahmadiyya? How have the Persatuan Islam (Persis – Muslim Union) and the Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII – Indonesian Council for Islamic Propagation) influenced the LPPI in opposing nonconformist religious groups? Why did they disseminate anti-Ahmadiyya discourse, provoke people to oppose the Ahmadiyya, and lobby the government to ban this religious community? Did strategies to dismantle ‘deviant religious groups’ differ between the Suharto era and the post-Suharto era?

Organisasi anti kesesatan yang paling aktif di Indonesia, yaitu Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), telah diuntungkan dari proses demokratisasi setelah jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998. LPPI telah mengambil sikap eksklusif terhadap yang dianggapnya sebagai kelompok sesat, khususnya Ahmadiyah. LPPI didirikan pada 1980-an, dan LPPI pernah dipinggirkan dan ditekan oleh rezim Suharto, dan pemimpinnya, M. Amin Djamaluddin pernah ditangkap beberapa kali, karena berselisih dengan rezim. Namun, LPPI selamat dari penindasan rezim dan bahkan menemukan momentumnya setelah tahun 1998. Sejak itu, LPPI mampu menyebarkan misinya untuk membasmi dan memberantas aliran sesat dan bahkan mendapatkan dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah.

Artikel ini mempelajari peran politik dan dakwah LPPI di dalam mempromosikan Islam yang ketat dan baku sebelum dan sesudah tahun 1998 dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini : Posisi teologis dan politik apa yang dianut oleh organisasi ini dalam kaitannya dengan Ahmadiyah? Bagaimana Persatuan Islam (Persis) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mempengaruhi LPPI di dalam menentang kelompok nonkonformis? Mengapa mereka menyebarkan wacana anti-Ahmadiyah, memprovokasi orang-orang untuk menentang Ahmadiyah, dan melobi pemerintah untuk melarang komunitas agama ini? Apakah strategi pembubaran 'kelompok aliran sesat' berbeda antara era Suharto dan pasca-Soeharto?