Rabu, 30 November 2022

Waketum MUI Ajak Umat Islam Rawat Bangsa dan Negara

 JAKARTA— Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud, mengajak segenap elemen masyarakat terutama umat Muslim untuk Kita harus merawat negara dan bangsa ini.


Rabu, 23 November 2022

ISLAM JAMA’AH SEBUAH P.R. TAMBAHAN

 

ISLAM JAMA’AH SEBUAH P.R. TAMBAHAN

Oleh : Dr. Ahmad Syafii Maarif

 

 Bismillaahirrahmaanirrahiim.

 Pendahuluan.

            Gerakan Islam Jama’ah atau Gerakan Darul Hadits dengan tokoh utamanya mendiang Nurhasan Ubaidah pernah menghebohkan masyarakat Indonesia beberapa tahun yang lalu, dan puncak kehebohan itu terjadi pada akhir 1979, pada saat gerakan ini mendapat serangan dan kecaman keras dari berbagai pihak. Menurut informasi yang diberikan oleh Bambang Irawan Hafiludin, bekas salah seorang tokoh puncaknya, Gerakan Islam Jama’ah (GIJ) ini bukan hanya merupakan gejala Indonesia, tetapi juga punya beberapa markas di luar negeri, antara lain di Makkah dengan peralatan fisik yang serba modern dan mewah. Gerakan ini dianalogikan orang juga sebagai Khawarij Gaya Baru (lihat Panjimas, 21 Juni 1986, hal. 19) dengan sifatnya yang ekslusif dan anti rasio. Dalam makalah ini, saya akan melakukan sorotan ulang terhadap hakekat, karakteristik gerakan ini, dan kira-kira bagaimana strategi kita menghadapinya, karena gerakan ini telah muncul ke permukaan kembali dengan berbagai nama dan bentuk. Kabarnya beberapa anggota Muhammadiyah di beberapa tempat telah berhasil disedotnya. Ini adalah sebuah Pekerjaan Rumah (PR) tambahan bagi kita di samping tugas-tugas lain yang semakin menumpuk.

 

Islam versi Islam Jama’ah

Dari literatur yang masih terbatas, kita diberi tahu tentang versi Islam gerakan ini. Doktrin mereka bertumpu pada sebuah hadits mauquf yang dipercayai berasal dari Umar bin Khatttab :

لا إسلام إلا بالجماعة و لا جماعة إلا بالإمارة و لا إمارة إلا بالبيعة و لا بيعة إلا بالطاعة.

“Tiada Islam bila tanpa jama’ah, tiada jama’ah tanpa keamiran, tiada keamiran tanpa bai’at, dan tiada bai’at tanpa kataatan.”

 

Dengan bergayut pada doktrin ini, gerakan ini secara semena-mena telah menggiring seluruh ajaran Islam kepada hadits mauquf ini tapi menurut tafsiran yang sesuai dengan selera amir tertinggi mereka. Jelas kita melihat di sini suatu kerja eksploitatif terhadap kesucian ajaran agama untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis-materialistik.

Tapi tujuan-tujuan pragmatis ini tidak cepat dapat disadari oleh para pengikutnya, karena memang sengaja disembunyikan, sekali pun hal itu tentunya banyak tergantung pada kesigapan batin seseorang dalam menangkap tujuan sebenarnya dari gerakan ini. Seorang Bambang Irawan, misalnya, memerlukan tempo sekitar 23 tahun untuk mengenal betul hakekat IJ ini. Irawan, sebagaimana kita ketahui, adalah calon pengganti Ubaidah, tapi kemudian setelah belajar agama ke Makkah, pada 1983 ia meninggalkan gerakan itu, dan telah membeberkan seluk beluk gerakan ini. Irawan pernah mengeluh, “Sayang, 23 tahun saya menjadi korban berat IJ. Sebuah pengalaman pahit,” (Ibid, hal. 23).

Dalam membuat doktrinnya lebih efektif, sang amir dengan sengaja membaca hadits mauquf di atas secara terbalik. Dengan jalan begini ia telah menentukan posisi keimanan seseorang. Jadi hadits itu dibalik begini :

“La tha’ata berarti la bai’ata, la bai’ata berarti la imarata, la imarata berarti la jama’ata, la jama’ata berarti la islama, la islama berarti kafir.” (ibid).

            Dengan cara inilah memastikan surga atau neraka bagi seseorang. Sebuah jalan pintas yang sangat sederhana di samping sangat licik. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila sebagian besar pengikut mereka adalah orang-orang yang awam dalam soal agama, sekali pun mungkin punya ketenaran pada sisi lain. Kesederhanaan dan kemudahan inilah menurut almarhum Buya Hamka “sebagai daya tarik bagi yang butuh pegangan.” Para artis misalnya, kata Hamka, kan sebenarnya punya kehausan keagamaan. Selama ini mungkin mereka merasa kotor. Tiba-tiba datang kiyai yang menurut mereka meyakinkan, dan berkata, “Kamu tidak apa-apa. Kamu masuk surga, asal begini-begini, begitu-begitu.” (Tempo, No. 32 Th. IX (6 Oktober 1979), hal. 18). Dengan doktrin ini para pengikut itu merasa mendapat tempat dan dihargai. Bukan saja sebagai siswa, tapi malah sebagai muballigh. Kemudian Tempo menuturkan, “Anak-anak muda SMP dan SMA dikirim ke Kediri. Hanya dua bulan dapat pelajaran, langsung disebut “muballigh” dalam ukuran ‘cabe-rawit’ dan “mengajar.” (ibid).