Kamis, 31 Maret 2022

Pesantren Al Qalam Jakarta Pusat






Jakarta Pusat, VIRALREPORTER5.COM –
 Danramil 01/Menteng Mayor Inf Endra Krismanto S.Pd melaksanakan Sosialisasi Rekrutmen Calon Prajurit TNI AD TA. 2022 di Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pesantren Al Qalam Jl.Menteng Tenggulun No.17, RT.9/RW.10, Menteng, Kec. Menteng.(24/1/22)

Danramil 01/Menteng Mengatakan,bahwa Sosialisasi Rekrutmen Calon TNI AD ini untuk memberikan gambaran juga wawasan tentang peran TNI AD dalam menjaga NKRI, selain itu untuk menarik minat warga masyarakat terutama generasi muda untuk menjadi bagian dalam menjaga nasionalisme melalui profesi sebagai anggota TNI AD.

“Kehadiran kami adalah untuk memberikan wawasan dalam rangka mempersiapkan generasi muda sebagai calon anggota TNI AD yang berkualitas dan berahlak serta memiliki nilai karakter kejuangan yang luhur”, jelas Danramil.

“Sehingga para siswa/santri akan lebih paha tentang persiapan yang harus disiapkan secara dini sebagai kesiapan pribadi sebelum mendaftar menjadi calon anggota TNI”, lanjut Danramil.

Persiapan itu antara lain membina fisik, menjaga kesehatan, mempelajari pengetahuan akademik dan sebagainya. Pendaftaran dilakukan secara on line dan penerimaan sebagai calon anggota TNI baik Akmil, Pa PK, Pa PSDP, Pa Bea Siswa, Bintara dan Tamtama, tidak dipungut biaya apapun. (@2022)

Rabu, 30 Maret 2022

Kisah Perdebatan A Hassan

 

Kisah Perdebatan 

A. Hassan dengan Tokoh Atheis

 


Oleh: Artawijaya

GEDUNG milik organisasi Al-Irsyad, Surabaya, hari itu penuh sesat dipadati massa. Almanak menunjukkan tahun 1955. Kota Surabaya yang panas, serasa makin panas dengan dilangsungkannya debat terbuka antara Muhammad Ahsan, seorang atheis yang berasal dari Malang, dengan Tuan A. Hassan, guru Pesantren Persatuan Islam, Bangil. Meski namanya berbau Islam, Muhammad Ahsan adalah orang atheis yang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, dan tidak pula meyakini bahwa alam semesta ini ada Yang Maha Mengaturnya. Ia juga menyatakan manusia berasal dari kera, bukan dari tanah sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an.

Menurut keterangan Ustadz Abdul Jabbar, guru Pesantren Persis, yang menyaksikan perdebatan itu, hadirin yang datang cukup membludak. Lebih dari ratusan massa datang berkumpul, mengular sampai ke luar gedung. Mereka mengganggap perdebatan ini penting, karena Muhammad Ahsan, telah secara terbuka di Surat Kabar Harian Rakyat, 9 Agustus 1955, meragukan keberadaan Tuhan. Ia juga menolak keyakinan Islam bahwa orang yang berbuat kebaikan di dunia, akan dibalas di akhirat kelak. Ahsan berkeyakinan, segala sesuatu tercipta melalui evolusi alam, dan akan musnah dengan hukum alam juga. Dalam surat kabar itu, ia menyatakan lugas, “Pencipta itu mestinya berbentuk. Tidak mungkin suatu pencipta tidak berbentuk, “tulisnya.

Atas pernyataan itu, Hasan Aidit, Ketua Front Anti Komunis, menghubungi A. Hassan agar bersedia bertukar pikiran dengan tokoh atheis itu. Sebelumnya, Hasan Aidit dan Bey Arifin sudah melayangkan tantangan debat di forum Study Club Surabaya pada 12 Agustus 1955, namun rencana itu gagal. Ia kemudian menyusun rencana agar Ahsan yang atheis itu dipertemukan dengan A. Hassan, sosok yang dikenal ahli dalam berdebat soal-soal keislaman. A. Hassan dan Muhammad Ahsan bersedia bertemu di forum terbuka.

Singkat kata, perdebatan terbuka benar-benar terjadi. Karena dikhawatirkan akan berlangsung panas, maka panitia memberikan beberapa peraturan kepada hadirin yang datang menyaksikan. Hadirin tak boleh bertepuk tangan, tidak boleh bersorak sorai, tidak boleh saling berbicara, tidak menampakkan gerak-gerik yang merendahkan salah seorang pembicara, dan tidak boleh mengganggu ketentraman selama berlangsungnya perdebatan.

Sementara untuk orang yang berdebat dibuat aturan pula. Masing-masing berdiri di satu podium dan diberi mikrophone, kemudian saling bertukar pertanyaan dan jawaban. Sementara pimpinan acara, yaitu Hasan Aidit, duduk di sebuah meja didampingi seorang sekretaris untuk mencatat jalannya perdebatan. Tugas pimpinan acara adalah mengatur jalannya perdebatan, dan menegur siapa saja yang melanggar aturan.

Setelah dibuka dengan ceramah dari KH. Muhammad Isa Anshary, tokoh Persatuan Islam yang juga petinggi Partai Masyumi, acara pun di mulai. Perdebatan berlangsung dalam format tanya jawab dan saling menyanggah pendapat yang diajukan.

Berikut point-point penting dari ringkasan perdebatan itu. Tokoh atheis Muhammad Ahsan akan disingkat menjadi (MA), sedangkan A. Hassan disingkat menjadi (AH):

A.H: Saya berpendirian ada Tuhan. Buat membuktikan keadaan sesuatu, ada beberapa macam cara; dengan panca indera, dengan perhitungan, dengan kepercayaan yang berdasar perhitungan, dengan penetapan akal. Makatentang membuktikan adanya Tuhan, tuan mau cara yang mana?

Kamis, 24 Maret 2022

Awas Gafatar

 

MATERI DI DALAM BUKU: TEOLOGI ABRAHAM;

MEMBANGUN KESATUAN IMAN YAHUDI, KRISTEN DAN ISLAM

TULISAN MAHFUL M. HAWARY YANG BERISI PENODAAN

Oleh : H. M. Amin Djamaluddin

Nama buku   

:

Teologi Abraham; Membangun Kesatuan Iman, Yahudi, Kristen dan Islam

Penulis

:

Mahful M Hawary

Penyunting

:

MY Daruwijaya, SH

Penerbit

:

Fajar Madani

Dwima Plaza I, 4th Floor suite 417 Jl. A. Yani Kav. 67 – Jakarta 10510

http://fajarmadani.co.cc

fajar.madani@yahoo.com  

Distributor

:

Didistribusikan oleh  Setjen KOMAR Tlp. (021) 2362 6164

Cetakan         

:

Cetakan I, Mei 2009

ISBN

:

 -                











Berikut ini, kami kutipkan beberapa tulisan Mahful M. Hawary di dalam bukunya Teologi Abraham yang kami anggap sebagai bentuk penodaan, yaitu :

 

  1. “Dari sinilah, banyak kelompok (minoritas) yang memahami bahwa masih terbukanya pintu seorang Nabi dan Rasul setelah Muhammad yang akan mengantarkan ummat dunia menuju kebangkitan Madinah al-Munawwarah jilid dua; Khilafah Islam.” (Teologi Abraham, hal. 133)

 

  1. ”Karenanya, Teologi Abraham adalah satu-satunya ilmu yang dapat digunakan di dalam menjembatani unifikasi iman anak-anak spiritual Abraham, baik dari kaum Yahudi, Nasrani, maupun Islam. Dari kerangka pikir tersebut, dapatlah dipahami mengapa Allah menyindir dengan pedas sikap mereka yang tak menerima Teologi Abraham (Millah Ibrahim). Dia menegaskan, hanya orang bodoh saja yang menolak Teologi Abraham sebagai pintu pemersatu anak-anak spiritual Abraham, yang pada saatnya nanti akan membangun perdamaian dunia.”  (Teologi Abraham, hal. 137)

 

  1. ”Saatnya hari ini, kaum Yahudi, Nasrani, dan Islam untuk duduk bersama mendialogkan hal-hal prinsipil yang memiliki akar teologi yang sama dengan cara mengembalikan akar sengketa teologisnya kepada sumber utamanya, yakni Teologi Abraham sebagai Pokok Anggur Allah. Membangun kesatuan teologi bagi para generasi iman Abraham (anak-anak spiritual Abraham), baik dari kaum Yahudi, Nasrani dan Islam, akan menjadi sumber utama bagi terciptanya perdamaian ummat beragama dari kedamaian insan dunia, yang turut memberi berkat dan kedamaian bagi keharmonisan seluruh mahluk di alam semesta.” (Teologi Abraham, hal. 138)

 

Rabu, 23 Maret 2022

Sejarah Penting

 

SIKAP PAK NATSIR TERHADAP ALIRAN SESAT

DAN SEJARAH LAHIRNYA LPPI

Oleh : M.Amin Djamaluddin.

 

Pengantar

 

Sekitar tahun 1973-1975, penulis aktif di organisasi Pemuda Persatuan Islam Daerah Jakarta Raya (sekarang wilayah DKI Jakarta) dan menjabat menjadi Sekretaris Umum. Selama menjadi pengurus Pemuda Persis, aktif juga melakukan kegiatan dakwah termasuk melibatkan diri dalam kegiatan politik (mengikuti perkembangan politik), terutama sekali politik yang berkaiatan dengan pembuatan Undang-Undang yang sangat merugikan Islam; dan selalu berinduk/berkoordinasi dengan Menteng Raya 58 sebagai markas GPI yang pada saat itu Ketua Umumnya adalah Abdul Qadir Djaelani.

Setiap ada demontrasi menentang RUU (Rancangan Undang-Undang) yang berpotensi merugikan Islam, pasti saya akan ikut terlibat, sehingga saya dan teman-teman pernah membubarkan anggota DPR RI di Senayan yang sedang membahas Rancangan Undang-Undang Perkawinan (RUUP). RUUP tersebut sangat menghebohkan umat Islam Indonesia di masa itu, karena beberapa materinya sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Di bawah koordinasi Abdul Qadir Djaelani sebagai Ketua Umum GPI pada masa itu, alhamdulillaah para pemuda Islam dari segala unsur berhasil masuk memenuhi balkon Ruang Sidang Utama DPR RI untuk mendengarkan jawaban Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama RI. Prof. Mukti Ali. Malamnya, tokoh-tokoh pemuda Islam mengadakan rapat koordinasi di suatu tempat di Jakarta yang memutuskan bahwa, “Kalau jawaban dari Menteri Agama bahwa RUUP tersebut akan dimusyawarahkan besok di DPR RI, maka kita serentak untuk menolak RUUP (Rancangan Undang-Undang Perkawinan) tersebut. Sebab keputusan/tuntutan dari umat Islam adalah untuk MENOLAK dan bukan MEMUSYAWARAHKAN. Karena jika dimusyawarahkan, maka pasti umat Islam akan kalah, mengingat anggota DPR RI saat itu dikuasai oleh Golkar yang dikendalikan oleh (almh) Ibu Tien Soeharto yang sangat memaksakan agar RUUP yang bertentangan dengan Islam tersebut disahkan oleh Pemerintah.”

Rancangan Undangan-Undang Perkawinan sekuler tersebut berubah (tidak bertentangan dengan Islam) setelah pada tanggal 30 September 1986 para Pemuda Islam menguasai dan mengusir para anggota DPR RI yang sedang mendengarkan jawaban Pemerintah. Pada saat itu Ketua DPR/MPR RI Bapak Idham Khalid yang sedang memimpin sidang dan Menteri Agama RI yang sedang berkata atas nama Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang Perkawinan tersebut. Karena aksi Pemuda Islam inilah, kursi anggota DPR menjadi kosong, karena mereka ketakutan dan lari terbirit-birit. Ketua DPR/MPR Bapak Idham Khalid juga lari menyelamatkan diri dan Menteri Agama RI pun meninggalkan podiumnya. Akhirnya, semua kursi anggota DPR, kursi ketua DPR, dan podium tempat pidato dikuasai seluruhnya oleh para pemuda Islam. Lalu saya pada waktu itu naik ke atas podium, tempat pidato Menteri Agama, dengan mengangkat SPANDUK bertuliskan, “ALLAHU AKBAR” yang memang sudah disiapkan sebelumnya. (Lihat buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965-1973, hal. 263-264, cet. Ketujuh, Tahun 1986).

Kembali kepada judul tulisan di atas, SIKAP M. NATSIR TERHADAP ALIRAN SESAT; dalam berdakwah beliau (Allaahu yarham) selalu menyampaikan istilah yang sangat terkenal di kalangan Dewan Dakwah yaitu kata BINAAN WADIFA’AN, artinya membina dan mempertahankan. Dua pekerjaan ini harus sekaligus dilakukan oleh para da’i, muballigh dan umat.

“Membina” maksudnya melakukan dakwah dalam rangka pembinaan kepada umat agar tetap berada di jalan Islam yang sebenarnya yang berlandaskan kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits. “Mempertahankan” yaitu mempertahankan Islam dari rongrongan aliran sesat dalam berbagai bentuk dan manifestasinya. Mempertahankan Islam, baik dari musuh yang datang dari dalam, maupun musuh yang datang dari luar. Musuh dari dalam ini yang sangat sulit untuk diprediksi, bak “musang berbulu ayam, harimau bermantel bulu domba”, mereka sangat berbahaya sekali. Adapun musuh dari luar mudah untuk diketahui.

Ada cerita terbatas dari tema-teman lama di Dewan Dakwah bahwa saya (M. Amin Djamaluddin) adalah anak “pungut” Pak. Natsir. Mengapa disebut anak pungut? Saya disebut anak pungut karena saya tidak pernah dikirim oleh M. Natsir untuk belajar di Timur Tengah, seperti kebanyakan kader-kader beliau yang lainnya. Lalu, bagaimana ceritanya bisa “dipungut” ketemu gede? Singkat ceritanya sebagai berikut,

Pada awal tahun 80-an, di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Jakarta (sekarang UIN), Rektornya dengan didukung oleh Menteri Agama RI, K.H. Munawwir Sadzali, MA mulai menggalakkan pembaharuan Islam di Kampus. Menjelang Dies Natalis IAIN Ciputat yang ke-26, Prof. DR. Harun Nasution berpidato dengan judul, “ULAMA KURANG KUASAI ILMU-ILMU DUNIA, PEMBAHARUAN ISLAM PERLU INTERPRETASI MENDASAR” (lihat Harian Umum Pelita, Rabu, 3 Agustus 1983).

Menteri Agama K.H. Munawwir Sadzali, MA dalam DIES NATALIS IAIN Jakarta tersebut memberikan sambutan dengan judul “UMMAT ISLAM HARUS JADI PEMIKIR DAN BERANI BERTANGGUNG JAWAB.” (lihat Harian Umum Pelita, Rabu, 10 Agustus 1983). Pembaruan Islam yang digalakkan di IAIN Ciputat saat itu adalah antara lain penggalakan mempelajari mata kuliah falsafah (filsafat) dan tasawuf.

Begitu mengetahui bahwa pembaharuan Islam di IAIN Ciputat tersebut adalah penggalakan mata kuliah falsafah, seakan-akan pikiran saya berontak karena teringat betul peringatan dari Ibnu Shalah (teman dekat Ibnu Taimiyyah) yang mengingatkan umat Islam akan bahaya mempelajari filsafat dengan sebuah peringatan sebagai berikut, “Falsafah adalah pokok kebodohan dan penyelewengan bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfalsafah maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan syari’ah yang suci yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang jelas. Barang siapa yang mempelajarinya, maka bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh setan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari pada ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian kita?”

 

Bersambung….

Selasa, 22 Maret 2022

SEJARAH SAYA MENJADI STAF AHLI BAPAK MUHAMMAD NATSIR

 


 

DAFTAR ISI

 

  1. AWAL MULA PERJUMPAAN SAYA DENGAN (ALLAAHU YARHAM) BAPAK M. NATSIR ..................
  2. KATA SAMBUTAN Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat .................
  3. Harian Umum PELITA

Selasa, 18 Oktober 1983

Menanggapi Gagasan Prof. Dr. Harun Nasution (1)

Soal Penggalakan Kuliah Falsafah, Ilmu Kalam dan Sejarah Kebudayaan Islam ....

  1. Harian Umum PELITA

Rabu, 19 Oktober 1983

Menanggapi Gagasan Prof. Dr. Harun Nasution (2)

Pandangan Ahli Filsafat Islam terhadap Kebenaran Agamanya .....

  1. Harian Umum PELITA

Kamis, 20 Oktober 1983

Menanggapi Gagasan Prof.Dr.Harun Nasution (3)

Bagaimana Rasionalitas Itu ......................................

  1. Harian Umum PELITA

Jum’at, 21 Oktober 1983

Menanggapi Gagasan Prof.Dr.Harun Nasution (4 - selesai)

Pembaharuan Setuju, Asal Tidak Menyimpang .................................................:

  1. Catatan dan Kenang-kenangan..........................

 

 


AWAL MULA PERJUMPAAN SAYA DENGAN

(ALLAAHU YARHAM) BAPAK M. NATSIR

Oleh M. Amin Djamaluddin

 Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.

Tanggapan Bapak M. Natsir terhadap tulisan saya yang dimuat oleh Harian Umum Pelita tanggal 18, 19, 20 dan 21 Oktober 1983, yaitu tanggapan dan bantahan terhadap Pembaharuan Islam yang digalakkan di IAIN Ciputat (sekarang UIN Jakarta) oleh Rektor IAIN Ciputat Prof.Dr. Harun Nasution, pada saat itu yang dimuat oleh majalah Panjimas dan Harian Umum Pelita, Rabu 3 Agustus 1983 dengan judul, “Dr. Harus Nasution Menyongsong Dies Natalis IAIN ke-26; Ulama Kurang Kuasai Ilmu-ilmu Keduniaan, dan Harian Umum Pelita, Rabu 10 Agustus 1983 dengan judul, ”Menteri Agama pada Dies Natalis IAIN Jakarta; Umat Islam Harus Jadi Pemikir dan Berani Bertanggungjawab.”

Hari keempat (terakhir) dari tulisan saya di Harian Umum Pelita itu, kemudian Bapak M.Natsir memanggil Bapak Hardi M.Arifin yang menangani masalah pondok pesantren di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, beliau meminta, “Arifin coba Saudara teliti, siapa Amin Djamaluddin yang menulis bersambung di Harian Pelita itu, dan dari mana pendidikannya, dan organisasinya apa, dan kalau sudah beristeri, isterinya orang mana dan pendidikannya apa?”

Mendengar perintah dari Bapak M.Natsir ini, Bapak Hardi Arifin menjawab, “Amin Djamaluddin itu orang Bima, pendidikannya di PGAN 6 tahun Bima, dan organisasinya Persis (Persatuan Islam) dan isterinya orang Bogor, tamatan Pesantren Persis Bangil.” (Padahal isteri saya tamatan dari Pesantren Persis No. 1 Pajagalan Bandung, Jawa Barat).

Setelah mendengar jawaban Bapak Hardi Arifin tersebut, Bapak M.Natsir pun langsung memerintahkan kepadanya, “Tolong dicari Saudara Amin Djamaluddin itu, saya ingin sekali bertemu dengan dia!” Pada hari itu juga, pas selesai shalat Zhuhur di masjid Al-Furqan DDII Bapak Hardi Arifin berkata kepada saya, “Min dicari Bapak, ente!” Saya pun balik bertanya, “Bapak, siapa?” “Pak Natsir, ayo ikut saya!”

Saya sangat kaget, setelah tahu Bapak M.Natsir lah yang mencari saya. Padahal sebelumnya, saya belum pernah bertemu dengan Bapak M.Natsir. Saya pun ikut Bapak Hardi Arifin masuk ke ruangan kerja Bapak M. Natsir. Setelah masuk ke ruangan Bapak M.Natsir, Bapak Hardi Arifin berkata kepada Bapak M.Natsir, “Ini Amin Djamaluddin itu, Pak!” Setelah Bapak Hardi Arifin memperkenalkan saya kepada Bapak M.Natsir, Bapak Hardi Arifin langsung menuju ke ruang kerjanya, dekat dengan ruang kerja Bapak M.Natsir. Bapak M.Natsir pun langsung bangun dari kursi kerjanya, dan duduk di kursi biasa, posisinya berhadapan dengan saya, dan langsung berkata, “Saya sudah baca dan teliti tulisan Saudara yang bersambung di Harian Umum Pelita itu. Prof. DR. Harun Nasution itu dia adalah tokoh orientalis yang bertaraf internasional. Jadi pekerjaan yang Saudara lakukan ini, adalah pekerjaan yang bertaraf internasional. Jarang sekali, orang yang bisa berbuat seperti Saudara. Saya meminta Saudara untuk membantu saya. Pintu rumah saya 24 jam terbuka untuk Saudara.”

Inilah, perjumpaan pertama kalinya, antara saya dengan Bapak. M.Natsir, sehingga saya diminta menjadi staf ahli khusus Bapak M. Natsir di dalam menghadapi aliran sesat sampai beliau wafat. Kemudian, untuk mendirikan LPPI yang saya pimpin, Bapak M.Natsir telah memberikan uang kepada saya, sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk membuat Akta Notaris pada tahun 1985. Alhamdulillaah, LPPI saat ini dengan modal tersebut sudah mempunyai gedung sendiri berlantai empat di jalan Tambak No. 20B Jakarta Pusat.

            Memang antara saya dengan Bapak Hardi Arifin, tokoh-tokoh GPI dan anak-anak PII, sejak awal tahun 1978, sudah sangat kenal dekat, karena sering berkumpul di Menteng Raya 58 Jakarta, markasnya GPI (Gerakan Pemuda Islam) dan PII (Pelajar Islam Indonesia). Sampai kemudian, pada tahun 1978, (tepatnya pada bulan Maret 1978), kami semua sama-sama masuk Pesantren Pak Domo (istilah kami), dan kalau orang bilang, masuk penjara. Disebut Pesantren Pak Domo, karena Jenderal Soedomo saat itu menjadi Panglima Komkamtip Pusat, yang kerjanya menangkapi orang-orang yang suka berdemontrasi. Kami pernah ramai-ramai ditahan di Rumah Tahanan Salemba Jakarta. Kami masuk penjara waktu itu, karena melakukan demontrasi menolak aliran kepercayaan yang akan disamakan atau dianggap sebagai agama oleh MPR RI saat itu dan juga menolak PMP (Pendidikan Moral Pancasila) masuk ke dalam GBHN.

            Dulu, di salah satu ruangan di Kramat Raya 45 itu, ada ruang khusus untuk GPI dan anak-anak PII. Di ruangan itulah tempat kami berkumpul bersama anak-anak PII, waktu muda dahulu. Sehingga saya sering berada di Kramat Raya 45, kantor PII tersebut.

            Itulah sejarahnya, saya bisa menjadi staf khusus (Allaahu yarham) Bapak M. Natsir. Bapak M. Natsir sangat percaya kalau suatu aliran itu sesat, setelah saya memvonisnya sesat dan menyesatkan. Maka sebagai kenang-kenangan, tulisan saya di Harian Umum Pelita selama empat hari berturut-turut tersebut saya terbitkan kembali dalam bentuk buku saku, mudah-mudahan bermanfaat bagi generasi muda Islam saat ini dan di masa yang akan datang.

            Saya sebagai penulis, hanya lah tamatan PGAN 6 tahun Bima tahun 1970. Tapi saya berani untuk mengoreksi dan menanggapi pemikiran seorang profesor doktor yang sedang menjabat rektor sebuah perguruan tinggi Islam terkenal saat itu. Hal ini dikarenakan semangat mencari ilmu dan semangat belajar juga membaca saya yang tinggi, walaupun saya tidak pernah masuk perkuliahan di sebuah perguruan tinggi.

 

Wallaahu a’lam bish showaab.

Jakarta, 14 Jumadil Akhir 1439 H

                         02 Maret 2018 M

Wassalaam,

Tertanda,

 

M. Amin Djamaluddin

 

Acc,

Tertanda,

 

Hardi M. Arifin

Puncak Bogor, 4 Januari 2019

Undangan Pembukaan dan Penutupan Musabaqah Hafalan Al-Qur`an

 






Kamis, 17 Maret 2022

DOSA MEMBUNUH SEORANG MUSLIM SANGAT BESAR

 

DIBUNUH HANYA KARENA SEORANG MUSLIM



 

Bagaimana perbuatan buruk yang membunuh warga sipil secara brutal untuk mewujudkan tujuan-tujuan keji mereka dianggap sebagai cara untuk menciptakan perdamaian dan keselamatan? Mereka terlibat dalam pembunuhan licik ribuan muslim tak bersenjata melalui aktivitas terorisme; tapi walau bagaimana pun, Rasûlullâh r telah menyatakan bahwa membunuh muslim dosanya lebih besar dari menghancurkan dunia ini.

‘Abdu Allâh bin ‘Amr RA berkata bahwa Rasûlullâh SAW bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.

“Hancurnya dunia ini lebih ringan menurut Allâh daripada membunuh seorang muslim.”[1]

‘Abdu Allâh bin Buraidah RA berkata bahwsanya Rasûlullâh SAW bersabda,

قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا.

“Membunuh seorang mu`min itu lebih besar (dosanya) di sisi Allâh SWT daripada hancurnya dunia ini.”[2]

Riwayat lain menegaskan bahwa membunuh muslim tanpa landasan hukum apapun (bighair al-haq), merupakan tragedi yang lebih serius daripada robohnya alam semesta. Al-Barrâ bin Al-‘Âzib RA berkata bahwasanya Rasûlullâh SAW bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا جَمِيْعًا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ سَفْكِ دَمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ.

“Hancurnya seluruh dunia ini lebih ringan menurut pandangan Allâh SWT daripada mengucurkan darah dengan tidak benar (tanpa haq).”[3]

Hukuman yang hina bagi para pembunuh yang dengan sengaja membunuh seorang mu`min dapat difahami dari ayat ketika Allâh SWT menyebutkan rantaian hukuman bagi pendosa dengan redaksi seperti, kekal di neraka Jahannam, mendapat murka Allâh SWT, mendapat laknat Allâh SWT, berikut yang lainnya yaitu siksaan yang pedih. Allâh SWT berfirman,

ﮓﮔﮕﮖﮗﮘﮙﮚﮛﮜﮝﮞ ﮠﮡﮢﮣ

“Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allâh SWT murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan adzab  yang besar baginya.”[4]

Sejarah A. Hassan Mempunyai Buku-buku Ahmadiyah

 

SEJARAH A. HASSAN

MEMPUNYAI KITAB-KITAB AHMADIYAH

Oleh : M. Amin Djamaluddin

 

            Bapak M. Natsir (alloohu yarham) pernah bercerita kepada saya, bagaimana A. Hassan (alloohu yarham) mendapatkan buku-buku Ahmadiyah.

            Pada suatu hari, Presiden Indonesia, Ir. Soekarno melakukan kunjungan kerja ke Jawa Timur bersama beberapa Duta Besar negara sahabat. Begitu Presiden Soekarno dan rombongan tiba di Jawa Timur, Presiden Soekarno dan rombongan tidak langsung menuju ke hotel tempat beliau dan rombongan akan menginap. Akan tetapi, Presiden Soekarno dan rombongan justru menuju ke rumah A. Hassan terlebih dahulu.

Setelah Presiden Soekarno dan rombongan selesai bersilaturahim dengan A. Hassan di rumahnya, sebelum Presiden Soekarno dan rombongan pergi menuju hotel, pada saat itu Presiden Soekarno bertanya kepada A. Hassan. “Tuan Hassan, perlu bantuan apa dari saya?” mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Presiden Soekarno, maka A. Hassan pun menjawab, “Saya minta Duta Besar India bermalam di rumah saya malam ini.” Permintaan A. Hassan ini segera dikabulkan oleh Presiden Soekarno, dan langsung menyuruh Duta Besar India untuk bermalam di rumah A. Hassan. Alhamdulillaah, Duta Besar India mau bermalam di rumah A. Hassan.

Pada saat itu, A. Hassan membahas masalah Ahmadiyah termasuk buku-buku Ahmadiyah dengan Duta Besar India. Pada saat itu, A. Hassan mencatat semua nama buku-buku Ahmadiyah yang disebutkan oleh Duta Besar India tersebut.

            Setelah bermalam di rumah A. Hassan, Duta Besar India dan A. Hassan pagi-pagi sekali langsung pergi ke hotel tempat Presiden Soekarno dan rombongan menginap. Sesampainya di hotel dan bertemu dengan Presiden Soekarno, A. Hassan mengatakan kepada Presiden Soekarno, “Ini yang saya minta bantuannya dari Bapak Presiden” sambil A. Hassan menyerahkan sehelai kertas kepada Presiden Soekarno.

            Setelah Presiden Soekarno membaca tulisan A. Hassan tersebut yang isinya permintaan untuk dicarikan buku-buku Ahmadiyah di India, maka Presiden Soekarno langsung meminta Duta Besar India untuk segera pulang ke negaranya dan membelikan semua buku-buku Ahmadiyah yang diperlukan oleh A. Hassan tersebut.

            Tidak berapa lama, Duta Besar India pun segera pulang ke negaranya untuk membelikan buku-buku Ahmadiyah yang diperlukan oleh A. Hassan.

Setelah Duta Besar India mendapatkan buku-buku Ahmadiyah yang diperlukan oleh A. Hassan, maka dia melaporkannya kepada Presiden Soekarno dan langsung diserahkannya buku-buku Ahmadiyah tersebut kepada A. Hassan. Inilah, sejarah singkat A. Hassan bisa mempunyai koleksi buku-buku Ahmadiyah yang di kemudian hari diwariskan kepada Pak Natsir dan dari Pak Natsir lah saya memperoleh buku-buku Ahmadiyah tersebut.

Memang, jika ada waktu senggang, Pak Natsir (alloohu yarham) suka bercerita banyak hal kepada saya. Termasuk sejarah ini.

 

 

Wassalam,

 

 

M. Amin Djamaluddin

Rabu, 16 Maret 2022

Ketika Ahmadiyah Keluar dari Pakistan

 AHMADIYAH TERUSIR KE LUAR PAKISTAN

Setelah dikeluarkannya UU yang melarang Ahmadiyah menggunakan simbol-simbol Islam, akhirnya Big Boss mereka, Mirza Thahir pun hengkang ke London. Di sana dia membangun markas besar baru bagi Ahmadiyah. Akan tetapi, para siswa Darul Ulum Deoband tidak membiarkan Mirza Thahir kembali menistakan agama Islam di sana. 

Bahkan mereka segera menyelesaikan masa istirahatnya dengan mengadakan Muktamar Tahaffuzh Khatmun Nubuwwah setiap tahunnya sejak tahun 1985 tanpa pernah berhenti dan selalu dihadiri oleh para ulama lulusan Darul Ulum Deoband dari Pakistan, India, Jazirah Arab, Afrika dan mereka menyampaikan pidatonya masing-masing. 

Demikian pula Majlis Tahaffuzh Khatmun Nubuwwah telah membangun kantor cabangnya di Inggris untuk memantau pergerakan Ahmadiyah secara kontinyu di sana. Demikian pula telah dibuka kantor cabang di Amerika, Afrika dan Eropa untuk menghadapi Ahmadiyah. 

Para ulama lulusan Darul Ulum Deoband lah yang berada di front terdepan. Demi melawan Ahmadiyah ini, di sana telah beberapa kali diadakan konferensi dan seminar ilmiyah dan pembagian kitab-kitab beserta buku-buku saku dakwah di India. Sekali lagi, semua geliat dakwah ini terlaksana di bawah bimbingan para ulama dan siswa Darul Ulum Deoband. Juga di Darul Ulum Deoband sendiri telah didirikan Majlis Tahaffuzh Khatmun Nubuwwah di India, segala puji bagi Allah SWT atas semua karunia ini.

Antara Pakistan dan Ahmadiyah

 

NEGARA PAKISTAN DAN AHMADIYAH



            Ketika negara Pakistan merdeka pada tahun 1947 M, Mirza Mahmud selaku pemimpin tertinggi di dalam aliran Ahmadiyah ini pergi dari Qadiyan (India) ke Pakistan. Sedangkan al-Moodi, penguasa pertama Inggris telah menjanjikan tanah di Punjab kepadanya seluas 34.000 ha berada di pinggir sungai Gangga. Pada saat itu, Pemerintah Inggris hanya memungut biaya 100.341 rupee saja untuk registrasi tanah. Di atas tanah inilah, orang-orang Ahmadiyah membangun markas mereka yang diberi nama Mirzail seperti Israel tanpa ada seorang pun yang bisa ikut campur sampai akhirnya Zhafarullah Khan al-Qadiyani menjadi Menteri Luar Negeri Pakistan yang pertama. Pak Menlu pun mulai mendakwahkan ajaran Ahmadiyah ke seluruh dunia dengan menggunakan uang negara Pakistan. Memang benar, Inggris telah meninggalkan India. Akan tetapi, Inggris telah membangun sebuah markas besar bagi anak angkatnya (Mirza Ghulam Ahmad) yang didanai dari uang kaum muslimin India (termasuk Pakistan di dalamnya). Sejak saat itu, orang-orang Ahmadiyah mulai merancang UU, karena mereka melihat kesempatan emas di hadapan mereka. Hal ini lah yang membuat sedih kaum muslimin Pakistan, karena di dalam hati mereka masih ada keimanan. Pada saat itu, orang-orang Ahmadiyah sedang berada di puncak kekuasaan (sedang jaya), mereka seperti seekor kuda liar tak terkendali. Pemerintah Pakistan pun segera mengambil keputusan untuk mempercepat Pemilu, supaya kaum muslimin dan non muslim bisa memilih calon-calon mereka. Pada saat itu, Pemerintah Pakistan memasukkan Ahmadiyah ke dalam kelompok kaum muslimin.

            Menghadapi masalah ini, Amir Syariah yaitu Sayyid Athaullah Syah al-Bukhari segera mengutus singa Islam, yaitu Syaikh Ghulam Ghauts al-Hazarwi dan pejuang Islam Syaikh Muhammad Ali al-Jalandahri untuk menemui Syaikh Abul Hasanat al-Qadiri, pimpinan sekolah al-Barilawiyyah. Maka terjadilah kesepakatan antara al-Barilawiyyah, Deobandiyah, Ahlul Hadits dan Syiah untuk menggerakkan rakyat melawan Ahmadiyah. Di kemudian hari, pada tahun 1953, pergerakan ini dikenal dengan nama Khatmun Nubuwwah. Seluruh alumni Darul Ulum Deoband telah berperan sebagai para pejuang di dalam pergerakan ini. Pergerakan ini telah mampu menahan laju pergerakan kuda liar Ahmadiyah. Akhirnya Zhafrullah (yang terlaknat) tidak bisa menjadi menteri kembali. Sehingga kekuatan Ahmadiyah porak poranda dan Ahmadiyah berjalan di muka bumi Pakistan sambil merangkak (terseok-seok).

Awal Mula Fatwa Sesat terhadap Ahmadiyah

 

 FATWA PERTAMA TERHADAP AHMADIYAH

(Sumber : Kitab Miratul Qadiyaniyyah)


 

            Disebutkan ketika perjuangan Mirza Ghulam Ahmad mulai berkembang sedikit demi sedikit. Akhirnya dia pun merantau ke sebuah kota yang bernama Ludhiana pada tahun 1301 H./1884 M. Di Ludhiana, Syaikh Muhammad al-Ladhyani dan Syaikh Abdullah al-Ladhyanawi dan Syaikh Muhammad Ismail al-Ladhyanawi rahimahumullah mengeluarkan sebuah fatwa bahwasanya Mirza Ghulam Ahmad itu bukan seorang mujaddid (pembaharu), tapi justru dia adalah seorang zindiq (ateis) dan orang sesat. (Fatawa Qadiriyah hal. 3).

            Merupakan karunia dari Allah SWT bahwasanya Allah SWT telah memberikan taufiq kepada para ulama Deobandi untuk mengafirkan Mirza Ghulam Ahmad. Orang yang pertama kali mengeluarkan fatwa kafir tersebut adalah Syaikh Muhammad al-Ladhyanawi yaitu kakek dari Syaikh Habiburrahman al-Ladhyanawi yang dikenal dengan pimpinan Gerakan Pembebasan. Fatwa dari para ulama ini seperti melempar sebuah batu ke dalam air yang tergenang (air yang tidak mengalir), maka percikannya menciprat dan keadaan pun menjadi berubah. Maka mulailah orang-orang ikut serta ke dalam perjuangan ini pada zaman Syaikh Muhammad Husain al-Batalawi yang setuju terhadap pemikiran-pemikiran Mirza Ghulam Ahmad. Tapi kemudian, Syaikh Muhammad Husain al-Batalawi mengeluarkan fatwa kufur terhadap Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1890 M. Maka Mirza Ghulam Ahmad membalasnya dengan menyebar luaskan majalah-majalah dan buku-bukunya dengan bantuan Inggris. Para ulama telah berusaha menyampaikan bantahan terhadap majalah dan buku-buku tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini lah yang membuat gembira para pembaca, bahwasanya Allah SWT telah menolong para ulama Deobandi untuk merumuskan fatwa kufur terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Fatwa kufur ini dirumuskan oleh Syaikh Muhammad Suhul, dosen di Darul Ulum Deobandi. Inilah terjemahannya :

(1)   Mirza Ghulam Ahmad (dicap) telah murtad, zindiq (atheis), sesat dan kafir.

(2)   Islam melarang umatnya bermuamalah dengan para pengikut Mirza Ghulam Ahmad. Kaum muslimin pun dilarang mengucapkan salam kepada mereka. Tidak boleh berbesanan dengan mereka; tidak boleh memakan sembelihan mereka dan harus menjauhi mereka sebagaimana harus menjauhi Yahudi, orang-orang Hindu dan orang-orang Nashrani.

(3)   Shalat di belakang orang-orang Ahmadiyah adalah seperti shalat di belakang orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang Hindu.

(4)   Orang-orang Ahmadiyah tidak diperbolehkan masuk ke dalam masjid kaum muslimin. Mereka tidak boleh melaksanakan (ritual) ibadah mereka di dalam masjid kaum muslimin sebagaimana terlarang bagi orang-orang Hindu.

(5)   Mirza Ghulam Ahmad adalah penduduk Qadiyan (sebelah utara India). Oleh karena itu, para pengikutnya disebut Qadiyaniyyah, sekte Ghulamiyyah atau jemaat setan iblis.    

                  

Fatwa ini ditandatangani oleh beberapa orang para ulama dari India seperti Syaikh Mahmud al-Hasan al-Deobandi, Syaikh Mufti Muhammad Hasan, Syaikh Sayyid Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri, Syaikh Sayyid Murtadha Hasan al-Sanidfuri, Syaikh Abdussami, Syaikh Mufti Azizurrahman al-Deobandi, Syaikh Muhammad Ibrahim al-Balyawi, Syaikh al-Adab I’zaz Ali al-Deobandi, Syaikh Habiburrahman dan para ulama lainnya yang mempunyai hubungan dengan Deobandi, Saharnafur, Dahla, Calcuta, Dakka, Pesyawar, Rampur, Rawalbandi, Huzarah, Murad Abad, Wazir Abad, Multan, Mayan Wali dan lain-lainnya. Dengan ini semua, Anda bisa mengukur seberapa ketelitian dan kekuatan fatwa ini. Tidak ada jalan lagi bagi orang-orang yang ingin menambah-nambah fatwa ini setelah tabir kekufuran Ahmadiyah terkuak dalam rentang waktu seratus tahun. Para ulama senior telah menyusun fatwa yang sangat teliti ini setelah memikirkan dan memahaminya matang-matang. Fatwa ini mencakup semua bagian dan tidak ada yang kurang sedikit pun, walaupun sudah berjalan seratus tahun lebih. Kemudian keluarlah sebuah fatwa dari Dar Ulum Deobandi tahun 1332 Hijriyah di bawah bimbingan Syaikh Mufti Azizurrahman mengenai haramnya berbesanan dengan orang-orang Ahmadiyah. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Sayyid Ashgar Husain dan Syaikh Rasul Khan, Syaikh Muhammad Idris al-Kandahlawi, Syaikh Jul Muhammad Khan dari Deobandi, Syaikh Inayat Ali al-Saharnafuri rektor Universitas Mazhahirul Ulum, Syaikh Khalil Ahmad al-Saharnafuri, Syaikh Abdurrahman al-Kamalfuri, Syaikh Abdullathif, Syaikh Badar Alim al-Mirati, Syaikh Syah Abdurrahim, Syaikh Hakimul Ummah Muhammad Asyraf Ali al-Tanawi, Syaikh Syah Abdurrahim, Syaikh Syah Abdulqadir dari Rayifur, Syaikh al-Mufti Kifayatullah al-Dihlawi dan para ulama lain dari Kalkuta, Binaris, Walkanu, Agharuh, Muard Abad, Lahore, Amratsari, Ludhiana, Pesyawar, Rowalbandi, Multan, Husyayarfuri, Ghurdasafur, Jahlum, Siyalkut, Ghujranawala, Haidar Abad, Dakan, Bufala, dan Rampur. Demikian pula fatwa ini ditandatangani oleh sejumlah para ulama yang mulia dan fatwa ini disebut Fatwa Pengkafiran Ahmadiyah dan dicetak oleh Percetakan al-I’zaziyyah di Deoband.

 

Kamis, 10 Maret 2022

HITAM DI BALIK PUTIH; BUKU BANTAHAN ATAS BUKU PUTIH MAZHAB SYIAH

 

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh umat manusia. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabatnya serta semua pengikutnya sampai akhir zaman, amma ba’du :

Layaknya seorang pedagang, para pengusung ajaran Syiah juga melakukan trik-trik dagang yang jitu agar dagangannya laris di pasaran. Di antara trik tersebut adalah dengan mengemas ajaran mereka seolah-olah bersumber dari ajaran Rasulullah SAW dan tidak ada penyimpangan sedikit pun. Di antara konsep yang berhasil dibangun oleh Syiah yaitu Syiah berhasil membuat konsep “mengentengkan” ajaran agama Islam. Yaitu Syiah meyakini bahwa prinsip beragama yang paling utama hanya cukup dengan berwilayah kepada Ali (meyakini bahwa Ali adalah wali/penguasa mereka). Siapa yang menerimanya, maka dia akan beruntung dan selamat di akhirat. Karena pada hari Kiamat, Ali akan memberikan penyelamatan terhadap seluruh umat manusia yang mencintainya. Bahkan menurut Syiah, Ali lah yang telah mengajari malaikat Jibril. “Ketika Jibril menghampiri Nabi saw, tiba-tiba Ali juga menemui beliau saw. Jibril berdiri untuk memuliakan dan menghormati Ali as. Rasulullah saw bersabda kepada Jibril, “Apakah engkau berdiri untuk menghormati pemuda ini? Jibril memaparkan, ‘Ya, dikarenakan dia memiliki hak pengajaran kepadaku.’” Rasul saw berkata, “Apakah hak itu? Jibril menjelaskan, ‘Ketika Allah menciptakanku, lalu Dia menanyaiku, ‘Siapakah engkau, siapa namamu, siapa Aku dan siapa nama Aku?’ Saya merasa kikuk, apa yang harus aku jawab, secara tiba-tiba seorang pemuda (Ali as), manifestasi dari Alam Nuraniyah berkata, ‘Katakanlah! Engkau adalah Tuhan Yang Mahaagung, nama-Mu Indah, dan aku adalah hamba-Mu yang hina-dina, namaku Jibril.” (Kecuali Ali, Abbas Rais Kermani, Penerbit Al-Huda, hal. 35).

Selain itu, Syiah juga berani membuat konsep ibadah yang selalu bersebrangan dengan Ahlu Sunnah wal Jama'ah, karena mereka berkeyakinan bahwa Ahlu Sunnah wal Jama'ah lah yang telah membunuh Imam Husein yang Syiah agungkan. Misalnya Syiah mengatakan bahwa tatacara shalat Rasulullah saw adalah sebagai berikut, “Sayid Ibnu Thawus meriwayatkan bahwa Imam Ali Ridha as pernah ditanya tentang shalat Ja’far at-Thayyar. Beliau menjawab, “Mengapa kalian lupa dengan shalat Rasulullah saw? Mungkin Rasulullah saw belum pernah melakukan shalat Ja’far tersebut, dan Ja’far juga belum pernah melaksanakan shalat beliau itu!” Perawi berkata, “Jika begitu, ajarkanlah shalat (Rasulullah saw) tersebut kepadaku!” Beliau berkata, “Kerjakanlah shalat 2 rakaat, dan di setiap rakaat bacalah surah al-Fatihah 1 kali dan inna anzalnahu (surah al-Qadr) 15 kali. Bacalah juga surah al-Qadr tersebut ketika ruku, bangun dari ruku, sujud pertama, bangun dari sujud pertama, sujud kedua, dan bangun dari sujud kedua masing-masing 15 kali. Setelah itu bacalah tasyahud dan salam…” (Kunci-kunci Surga jilid 1, Syekh Abbas Al-Qummi, hal. 150).

Selain membuat tatacara shalat Rasulullah SAW versi Syiah, Syiah juga membuat tatacara shalat yang dilakukan oleh para imam mereka, mulai dari tatacara shalat Ali bin Abi Thalib as, shalat Imam Hasan dan Husain as dan imam-imam yang lainnya yang sangat berbeda dengan tatacara shalat kaum muslimin di dunia yang bermazhab Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Misalnya tatacara shalat Ali as adalah sebagai berikut, “Syekh Thusi dan Sayid Ibnu Thawus ra meriwayatkan bahwa Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Sesiapa di antara kalian melaksanakan shalat Amirul Mukminin as yang berjumlah 4 rakaat, niscaya ia akan terbersihkan dari dosa seperti ia baru lahir dari perut ibunya dan segala keperluannya akan dipenuhi. Pada setiap rakaat, bacalah surah al-Fatihah 1 kali dan surah al-Ikhlash 50 kali.” (Kunci-kunci Surga jilid 1, Syekh Abbas Al-Qummi, hal. 152).

   Selain perbedaan dalam masalah ibadah, juga Syiah berani berbeda dalam masalah aqidah. Misalnya Syiah berkata, “Imam Shadiq as dalam menafsirkan ayat, “Segala sesuatu akan musnah, kecuali wajah Allah….”berkata, “Yang dimaksud dengan Wajah Allah dalam ayat ini adalah Ali as.” (Kecuali Ali, Abbas Rais Kermani, Penerbit Al-Huda, hal. 22).

Di antara yang menjadi penyebab lakunya paham Syiah, yaitu beragama di dalam Syiah sangat mudah, hanya cukup cinta dan setia kepada Ali as akan mendapatkan jaminan keselamatan di akhirat. Mereka telah berhasil menyesatkan banyak orang. Aqidah batil tersebut telah merusak keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, dan seluruh ajaran Islam. Ahlu Sunnah wal Jama'ah meyakini jika rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya belum tentu akan menyelamatkan seseorang dari adzab-Nya jika tidak dibarengi dengan iman dan amal shalih, lalu bagaimana mungkin rasa cinta kepada Ali dianggap cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab-Nya?  

Kecintaan kepada Ali as yang diusung oleh Syiah adalah dikarenakan Rasulullah SAW telah mengangkat Ali as di Ghadir Khum sebagai pemimpin setelah beliau saw. Untuk masalah ini, ada baiknya Syiah merenungkan beberapa hal di bawah ini :

  1. Jika masalah kepemimpinan adalah sangat penting adanya, seharusnya Nabi r menyampaikannya kepada seluruh kaum muslimin di Arafah, sebelum beliau meninggal dunia, tepatnya pada saat haji Wada. Karena ketika di Arafah, semua jamaah haji dari berbagai negeri berkumpul. Tidak hanya penduduk Madinah, tapi dari seluruh penjuru Jazirah Arab. Sehingga apabila penduduk Madinah berkhianat, dan mereka lebih memilih Abu Bakar t sebagai khalifah, maka kaum muslimin yang lainnya yang datang dari luar Madinah bisa menjadi saksi akan hal itu.
  2. Apabila benar bahwa Rasulullah SAW  telah berwasiat kepada Ali RA untuk menjadi khalifah, mengapa Ali tidak menyampaikan hal tersebut di hadapan para sahabat? Apakah Ali takut untuk menjadi syahid membela wasiat Rasulullah SAW? Bukankah ini bertentangan dengan sejarah hidup Ali RA yang terkenal dengan keberanian dan kejujurannya?
  3. Hadits Ghadir Khum sebenarnya adalah hadits yang berisi pemulihan nama baik Ali RA oleh Rasulullah SAW. Hal ini dikarenakan ada beberapa orang para shahabat yang tidak berkenan oleh sikap Ali RA dalam masalah ghanimah/rampasan perang dari Yaman dan bukan sebagai pengangkatan Ali sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW.