|
|
KEGIATAN 1 :
1. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Silaturahmi
Intelijen Kodim 0908 Bontang ke Rumah Misi Jemaat Ahmadiyah Bontang[1]
- Tanggal Kegiatan: Selasa, 16
September 2025
- Tempat: Rumah Misi Jemaat Muslim
Ahmadiyah Bontang
- Pihak yang Hadir:
- Dari Ahmadiyah:
- Mln. Andhika Ibrar Ahmad (Mubaligh Daerah Kaltim 2 Utara)
- Puji Darminto (Amir Daerah Kaltim 2 & Utara)
- Warsono (Nazim Ansharullah)
- Pengurus Jemaat lokal dan regional lainnya
- Dari Intelijen Kodim 0908: Lima
anggota rombongan
2. Materi Kegiatan
- Sejarah Ahmadiyah: Disampaikan
bahwa Ahmadiyah masuk Indonesia sejak 1925, dan Jemaat Ahmadiyah Bontang
berdiri tahun 1992.
- Tokoh-tokoh Nasional yang Dikaitkan:
WR. Soepratman (pencipta lagu Indonesia Raya) dan Arif Rahman Hakim (tokoh
mahasiswa) disebut sebagai sosok yang “bersinggungan” dengan Ahmadiyah.
- Kontribusi Sosial Ahmadiyah:
- Pengajian internal jemaat
- Donor darah
- Gotong royong
- Santunan fakir miskin
- Program Clean The City
- Simbolisasi Persahabatan: Rombongan
Kodim menerima buku “Sumbangsih Ahmadiyah untuk Negeri” sebagai
cinderamata.
- Dokumentasi: Foto bersama, jamuan
minum, dan interaksi cair penuh keakraban.
3. Analisa Kritis (Pandangan
Ahlussunnah)
a. Aspek Aqidah dan Penyimpangan
- Ahmadiyah bukan bagian dari Islam menurut kesepakatan ulama Ahlussunnah.
Mereka mengangkat Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ,
padahal Allah menegaskan:
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (QS.
Al-Ahzab: 40).
- Menggunakan nama Jemaat Muslim
Ahmadiyah adalah upaya sistematis untuk mengaburkan identitas dan
menyusup ke dalam masyarakat Muslim, sehingga menimbulkan fitnah aqidah.
b. Pola Penyusupan Sosial
- Penyampaian sejarah, klaim
kontribusi nasional, serta program sosial adalah strategi soft approach
untuk membangun citra positif Ahmadiyah di mata aparat negara.
- Pemberian buku “Sumbangsih
Ahmadiyah untuk Negeri” merupakan bentuk propaganda terselubung untuk
melegitimasi eksistensi mereka.
c. Potensi Dampak Politik & Sosial
- Dampak Politik: Hubungan hangat dengan institusi militer berpotensi membuka
jalan legalisasi Ahmadiyah di daerah, sekaligus melemahkan posisi umat
Islam yang menolak keberadaan mereka.
- Dampak Sosial: Keharmonisan semu melalui kegiatan sosial bisa menimbulkan
simpati publik. Jika masyarakat awam tidak memahami penyimpangan aqidah
mereka, maka akan mudah terkecoh.
- Dampak Agama: Silaturahmi seperti ini rawan dimanfaatkan untuk memperluas
pengaruh dakwah Ahmadiyah, padahal aliran ini telah difatwakan sesat oleh
MUI (1980 & 2005).
d. Analogi Strategi
- Pertemuan dengan aparat negara
dipoles dengan jamuan hangat, canda tawa, dan dokumentasi. Ini adalah
strategi “normalisasi” – sama halnya dengan upaya kelompok sesat lain yang
mengedepankan wajah sosial untuk menutupi penyimpangan akidah.
4. Kesimpulan Investigasi
- Kegiatan silaturahmi antara
Intelijen Kodim 0908 Bontang dan Jemaat Ahmadiyah bukan sekadar temu
ramah, melainkan agenda strategis Ahmadiyah untuk membangun
jejaring dengan aparat negara.
- Dengan mengemas diri sebagai
komunitas sosial yang peduli pada masyarakat, Ahmadiyah berusaha mengikis
stigma sesat dan perlahan menanamkan pengaruhnya.
- Dari perspektif Ahlussunnah, pertemuan ini berbahaya karena bisa menimbulkan legitimasi
simbolik bagi Ahmadiyah di mata publik, sementara dari sisi aqidah mereka
jelas menyimpang.
- Masyarakat Muslim harus waspada
agar tidak terkecoh oleh propaganda kemanusiaan yang disusupi misi aqidah
menyimpang. Aparat negara seharusnya mengedepankan sikap netral, kritis,
dan memahami fatwa ulama agar tidak terjebak dalam strategi infiltrasi.
1. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Silaturahmi Jemaat
Ahmadiyah Kaltimtara ke kediaman Anggota DPRD Kota Bontang, H. Muhammad
Irfan[2]
- Tanggal Kegiatan: Tidak disebutkan secara
spesifik, namun berlangsung pada tahun 2025
- Tempat: Kediaman H. Muhammad Irfan,
Anggota DPRD Kota Bontang
- Peserta:
- Dari Jemaat Ahmadiyah:
- Andhika Ibrar Ahmad, SHD (Mubaligh Daerah Kaltimtara)
- Puji Darminto (Amir Daerah Kaltimtara)
- Warsono (Nazim Anshar)
- Cecep Ahmad Nurjaman (Ketua JAI Cabang Bontang)
- Emi Hamidah (Ketua Lajnah Imaillah Kaltimtara) beserta
anggota
- Dari Tokoh Politik:
- H. Muhammad Irfan (Anggota DPRD Kota Bontang)
2. Materi Kegiatan
- Perkenalan pengurus Jemaat Ahmadiyah Kaltimtara dan Bontang.
- Syukuran 100 tahun keberadaan Ahmadiyah di Indonesia, sekaligus penegasan status badan hukum Jemaat Ahmadiyah
Indonesia.
- Klaim peran sosial Ahmadiyah,
antara lain mendukung program pemerintah serta menyediakan fasilitas
masjid untuk pernikahan, olahraga, dan pengajian.
- Aktivitas Lajnah Imaillah (ibu-ibu Al-Ma’attussolihah) yang disebut melibatkan masyarakat sekitar.
- Ucapan terima kasih kepada H.
Muhammad Irfan atas dukungan sebagai sponsor kegiatan 17 Agustus.
- Penutup: doa dipimpin Mubda
Kaltimtara, pemberian cendera mata berupa buku terbitan Ahmadiyah, serta
sesi foto bersama.
3. Analisa Kritis (Pandangan
Ahlussunnah)
a. Aspek Aqidah
- Ahmadiyah secara tegas menyimpang
dari Islam karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, padahal Allah
telah menutup kenabian dengan Nabi Muhammad ﷺ (QS. Al-Ahzab: 40).
- Perayaan “100 tahun Ahmadiyah di
Indonesia” bukan sekadar syukuran, tetapi propaganda untuk menormalisasi
aliran sesat ini di tengah umat Islam dan negara.
b. Aspek Politik
- Silaturahmi ke anggota DPRD adalah
strategi politik Ahmadiyah untuk mencari legitimasi dari pejabat
publik. Dukungan terbuka dari tokoh politik dapat dimaknai sebagai
“penerimaan negara” terhadap eksistensi Ahmadiyah.
- Sponsorship kegiatan 17 Agustus
oleh H. Muhammad Irfan menjadi pintu masuk bagi Ahmadiyah untuk mengikat
hubungan lebih dalam dengan kalangan elit politik lokal.
c. Aspek Sosial
- Penyebutan peran masjid Ahmadiyah
sebagai pusat kegiatan masyarakat (pernikahan, olahraga, pengajian) adalah
upaya meleburkan identitas Ahmadiyah dengan umat Islam, sehingga
masyarakat awam sulit membedakan antara masjid Ahlussunnah dengan masjid
Ahmadiyah.
- Kegiatan perempuan (Lajnah
Imaillah) yang melibatkan warga sekitar juga berfungsi sebagai strategi
dakwah terselubung, yang perlahan bisa menanamkan simpati dan membuka
peluang perekrutan anggota.
d. Aspek Agama
- Pemberian buku terbitan Ahmadiyah
kepada tokoh politik merupakan bentuk penyebaran ideologi secara
halus. Buku tersebut bisa dijadikan legitimasi pemikiran, bahkan alat
propaganda untuk membenarkan eksistensi Ahmadiyah.
- Doa penutup oleh mubaligh
Ahmadiyah berpotensi menimbulkan persepsi keliru di masyarakat,
seolah-olah doa mereka setara dengan doa seorang alim dari kalangan Islam
Ahlussunnah.
4. Dampak Sosial – Politik – Agama
- Sosial: Masyarakat awam bisa terkecoh dengan kegiatan Ahmadiyah yang
berlabel sosial dan kebersamaan. Hal ini melemahkan kewaspadaan umat
terhadap penyimpangan akidah.
- Politik: Silaturahmi dengan pejabat negara berpotensi dimanfaatkan
Ahmadiyah untuk memperkuat posisi politik mereka, sehingga mempersulit
upaya penegakan fatwa MUI yang telah menyatakan Ahmadiyah sesat.
- Agama: Penggunaan masjid, doa, serta simbol-simbol keislaman oleh
Ahmadiyah adalah bentuk penyesatan publik. Hal ini sangat berbahaya karena
dapat mengaburkan pemahaman umat tentang Islam yang murni.
5. Kesimpulan Investigasi
- Pertemuan Jemaat Ahmadiyah dengan
H. Muhammad Irfan bukan sekadar silaturahmi biasa, melainkan langkah
strategis untuk mendapat legitimasi sosial dan politik.
- Ahmadiyah menggunakan strategi
“soft power” berupa kegiatan sosial, dukungan pemerintah, dan kedekatan
dengan pejabat untuk menutupi penyimpangan akidah mereka.
- Dari perspektif Ahlussunnah,
kegiatan ini jelas berbahaya karena dapat menimbulkan simpati publik dan
menormalisasi aliran sesat di tengah masyarakat.
- Aparat negara dan umat Islam harus
lebih waspada, agar tidak terkecoh oleh citra sosial yang ditampilkan,
tetapi tetap berpegang teguh pada fatwa ulama bahwa Ahmadiyah bukan bagian
dari Islam.
KEGIATAN 3 :
1. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan : Forum “Cegah Dini
Konflik Paham Keagamaan Islam”[3]
- Tanggal Kegiatan : Kamis, 18
September 2025
- Tempat : Fave Hotel Langko, Mataram
– NTB
- Penyelenggara : Bidang Bimas Islam,
Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTB
- Peserta :
- Kanwil Kemenag NTB
- Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi dan Kota Mataram
- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi dan Kota Mataram
- Pengurus majelis taklim se-Kota Mataram
- Ormas Islam : Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Ulama, Ahmadiyah,
dan organisasi lainnya
- Perwakilan Ahmadiyah:
- Mln. Pasadino Rahmatan, SHD (Mubaligh Daerah NTB 1)
2. Materi Kegiatan
- Materi Utama:
- Prof. Dr. Suprapto, M.Ag menyampaikan paparan tentang Deteksi
Dini Konflik Paham Keagamaan Islam.
- Diskusi Panel:
- Peserta forum memberikan presentasi dan perspektif tentang
kerukunan serta semangat toleransi.
- Pernyataan Ahmadiyah:
- Mln. Pasadino menyatakan kegiatan ini membuat eksistensi
Ahmadiyah semakin dipahami publik.
- Ia menegaskan Ahmadiyah siap berkontribusi dalam ruang dialog
keagamaan dan berharap forum toleransi semacam ini terus berlanjut.
3. Analisa Kritis (Pandangan
Ahlussunnah)
a. Aspek Aqidah
- Ahmadiyah bukan bagian dari Islam.
Mereka tetap membawa doktrin menyimpang, yaitu pengakuan terhadap Mirza
Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Rasulullah ﷺ.
- Kehadiran Ahmadiyah dalam forum
resmi Kementerian Agama memberi kesan legitimasi terhadap eksistensi
mereka di tengah umat Islam. Ini berbahaya, karena umat awam bisa
menganggap Ahmadiyah sejajar dengan ormas Islam yang sah.
b. Strategi Infiltrasi
- Forum “Cegah Dini Konflik”
dijadikan panggung politik identitas oleh Ahmadiyah untuk menampilkan diri
sebagai kelompok moderat, toleran, dan cinta kerukunan.
- Pernyataan “Alhamdulillah,
eksistensi Jemaat Ahmadiyah semakin dipahami di ruang publik” menunjukkan
bahwa mereka menggunakan forum negara untuk memperkuat citra.
c. Dampak Sosial
- Masyarakat awam yang hadir
berpotensi menganggap Ahmadiyah bagian dari Islam karena duduk sejajar
dengan NU, NW, MUI, dan ormas Islam lainnya.
- Hal ini membuka ruang simpati
sosial dan melemahkan sikap kritis terhadap penyimpangan aqidah mereka.
d. Dampak Politik
- Kehadiran Ahmadiyah di forum resmi
pemerintah bisa digunakan untuk menekan kebijakan daerah agar lebih
inklusif kepada aliran sesat.
- Legitimasi dari Kemenag dan FKUB
berpotensi menjadi tameng politik jika suatu saat ada penolakan dari umat
Islam terhadap kegiatan mereka.
e. Dampak Agama
- Forum ini justru membuka peluang
penyebaran ideologi Ahmadiyah secara terselubung. Dengan mengusung jargon
toleransi, mereka bisa menyusupkan gagasan “Islam versi Ahmadiyah” yang
jelas bertentangan dengan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah.
- Padahal Rasulullah ﷺ sudah
memperingatkan agar umat Islam menjauhi jalan-jalan bid’ah dan perpecahan
(QS. An-Nisa: 115, QS. Al-An’am: 153).
4. Kesimpulan Investigasi
- Kegiatan “Cegah Dini Konflik” di
Mataram pada 18 September 2025, yang dihadiri Mubaligh Ahmadiyah, bukan
sekadar forum kerukunan. Kegiatan ini menjadi panggung legitimasi
Ahmadiyah di ruang publik dengan restu lembaga negara.
- Dari perspektif Ahlussunnah, forum
ini berpotensi menimbulkan fitnah besar: umat bisa terkecoh bahwa
Ahmadiyah adalah bagian dari Islam, padahal jelas-jelas menyimpang.
- Negara seharusnya tegas: mencegah
konflik bukan dengan menyamakan yang haq dan batil, melainkan dengan
menegakkan kebenaran aqidah Islam dan melindungi umat dari aliran sesat.
- Aparat, ormas Islam, dan
masyarakat harus waspada terhadap strategi Ahmadiyah yang menyusup melalui
jargon toleransi, karena itu hanyalah kedok untuk melanggengkan eksistensi
aliran mereka.
KEGIATAN 4 :
1. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Silaturahmi Jemaat
Ahmadiyah Sintang dengan Ketua Umum Organisasi Masyarakat Dayak Sabang
Merah Borneo (SMB)[4]
- Tanggal Kegiatan: Kamis, 18
September 2025
- Lokasi: Kediaman Petrus Natalis
(Petrus Sabang Merah), Sintang, Kalimantan Barat
- Peserta:
- Jemaat Ahmadiyah Sintang (diwakili Zulheri, Mln. Sajid Ahmad
Sutikno – Mubda Kalbar 2, dan Safrizal Caniago – Nazim Anshar)
- Ketua Umum SMB, Petrus Natalis
- Lingkungan masyarakat setempat
2. Materi Kegiatan
- Diskusi mengenai toleransi, kedamaian, kasih sayang, dan
kebebasan beragama.
- Perwakilan Ahmadiyah menekankan slogan “Love for All, Hatred
for None”.
- Penegasan kesetiaan pada pemerintah dan penghormatan terhadap kearifan
lokal.
- Penyerahan literatur Ahmadiyah sebagai bagian dari silaturahmi.
- Ucapan apresiasi Petrus Sabang Merah terkait pentingnya kerukunan
lintas agama, ras, suku, dan budaya di Sintang.
3. Analisa Kritis (Perspektif
Ahlussunnah)
- Normalisasi Paham Sesat
- Pertemuan ini berpotensi menjadi ajang
normalisasi keberadaan Ahmadiyah dalam ruang sosial Sintang.
- Dengan menggandeng tokoh adat
Dayak, Ahmadiyah berusaha membangun citra positif sebagai kelompok cinta
damai, padahal secara akidah mereka menyimpang dari Islam dengan mengakui
nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ.
- Strategi Penetrasi Kultural
- Ahmadiyah cerdik menggunakan
pendekatan budaya lokal (kopi, kearifan Dayak, semboyan kebersamaan)
untuk meleburkan diri ke masyarakat.
- Hal ini dapat membangun simpati
publik dan melemahkan kewaspadaan umat Islam terhadap bahaya penyebaran
pemahaman menyimpang.
- Bahaya Literatur Ahmadiyah
- Penyerahan buku atau literatur
merupakan langkah sistematis dalam penyebaran ideologi Ahmadiyah.
- Literatur tersebut berpotensi
memengaruhi masyarakat awam yang belum memahami perbedaan mendasar antara
Islam Ahlussunnah dengan Ahmadiyah.
- Dampak Politis dan Sosial
- Kehadiran Ahmadiyah dalam
lingkaran tokoh adat bisa menciptakan konflik horizontal dengan ormas
Islam yang menolak ajaran Ahmadiyah.
- Ada indikasi politik identitas dengan memanfaatkan dukungan
kelompok non-Muslim agar Ahmadiyah lebih kuat dalam menuntut pengakuan di
ranah hukum dan sosial.
4. Dampak Sosial-Politik-Agama
- Sosial: Masyarakat awam berpotensi
terpengaruh dengan narasi damai Ahmadiyah tanpa menyadari penyimpangan
akidah mereka.
- Politik: Dukungan tokoh adat
seperti SMB dapat menjadi tameng politis bagi Ahmadiyah untuk menolak
pembatasan aktivitas mereka.
- Agama: Penyebaran literatur
Ahmadiyah adalah ancaman nyata bagi kemurnian akidah Islam, sebab doktrin
mereka secara tegas bertentangan dengan firman Allah:
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (QS.
Al-Ahzab: 40)
5. Kesimpulan Investigasi
Pertemuan
Ahmadiyah Sintang dengan SMB bukan sekadar silaturahmi biasa, melainkan
strategi pencitraan dan ekspansi ideologi. Dengan pendekatan budaya, Ahmadiyah
berupaya menancapkan pengaruhnya di masyarakat adat sebagai jalan pintas meraih
legitimasi sosial. Dari perspektif Ahlussunnah, kegiatan ini berbahaya karena
menormalisasi penyimpangan akidah, melemahkan kewaspadaan umat, serta
berpotensi menimbulkan konflik sosial-politik di Sintang.
KEGIATAN 5 :
1. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Silaturahmi Jemaat
Muslim Ahmadiyah Bontang ke Kantor Redaksi Bontang Post[5]
- Tanggal Kegiatan: Rabu, 17
September 2025
- Lokasi: Kantor Redaksi Bontang
Post, Kota Bontang, Kalimantan Timur
- Peserta:
- Jemaat Ahmadiyah Bontang: Mln. Andhika Ibrar Ahmad Shahid
(ketua rombongan), Puji Darminto, Warsono, Maula Kaifia
- Pihak Bontang Post: Edwin Agustyan (Pemred), Wawan
Lastiawan, Yulianti Basri, Nasrullah (videografer-desain grafis)
2. Materi Kegiatan
- Menjalin silaturahmi dengan media lokal dalam rangka mempererat
hubungan dan mendukung persiapan tasyakur 100 tahun Ahmadiyah di
Indonesia.
- Menyampaikan kiprah sosial Jemaat Ahmadiyah: donor darah, Clean
The City, pameran buku, pengobatan gratis, penyediaan sarana olahraga,
dan kegiatan sosial di masjid maupun lingkungan masyarakat Bontang.
- Mendapatkan tips dari pihak media mengenai teknik reportase dan
pemberitaan.
- Penyerahan empat buku berjudul Sumbangsih Jemaat Ahmadiyah
bagi Bangsa Indonesia sebagai bentuk kontribusi literasi.
3. Analisa Kritis
- Manipulasi Citra Lewat Media
- Kunjungan ke Bontang Post
bukan sekadar silaturahmi, melainkan strategi membangun relasi dengan
media untuk memastikan pemberitaan yang simpatik terhadap Ahmadiyah.
- Dengan dukungan media, Ahmadiyah
dapat mengontrol narasi publik sehingga penyimpangan akidah mereka
tertutupi oleh aktivitas sosial yang ditonjolkan.
- Agenda 100 Tahun Ahmadiyah
- Persiapan tasyakur 100 tahun
Ahmadiyah di Indonesia menunjukkan ambisi perayaan eksistensi kelompok
yang jelas-jelas menyimpang dari Islam.
- Acara ini dikhawatirkan menjadi
sarana legitimasi sosial dan politik, bahkan kampanye terselubung untuk
menuntut pengakuan resmi dari negara.
- Pengaburan Identitas Agama
- Penyebutan diri sebagai Jemaat
Muslim Ahmadiyah berpotensi menyesatkan masyarakat awam yang tidak
memahami bahwa Ahmadiyah keluar dari Islam karena keyakinan mereka akan
nabi setelah Rasulullah ﷺ.
- Ini adalah bentuk tahrif
identitas untuk mencuri simpati publik.
- Bahaya Literatur Ahmadiyah
- Buku Sumbangsih Jemaat
Ahmadiyah bagi Bangsa Indonesia berfungsi sebagai instrumen
propaganda untuk menggiring opini bahwa Ahmadiyah berjasa besar dan layak
diterima sebagai bagian dari umat Islam.
- Strategi literasi ini
membahayakan, sebab awam bisa terkecoh dan akhirnya memandang Ahmadiyah
sebagai kelompok Islam yang sah.
4. Dampak Sosial-Politik-Agama
- Sosial: Aktivitas sosial Ahmadiyah
yang ditampilkan seolah-olah menutupi fakta bahwa mereka menyebarkan paham
sesat. Hal ini dapat membingungkan masyarakat awam dan melemahkan sikap
kritis terhadap akidah yang menyimpang.
- Politik: Relasi erat dengan media
dapat digunakan sebagai alat lobi politik dan pencitraan agar mereka
mendapat ruang lebih luas di mata pemerintah daerah dan publik nasional.
- Agama: Perayaan 100 tahun
Ahmadiyah di Indonesia jelas mengancam kemurnian Islam, karena
menormalisasi keberadaan kelompok yang meyakini adanya nabi setelah
Muhammad ﷺ, padahal Allah telah menegaskan:
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (QS.
Al-Ahzab: 40)
5. Kesimpulan Investigasi
Kunjungan Jemaat
Ahmadiyah Bontang ke Bontang Post bukanlah sekadar silaturahmi biasa,
melainkan langkah strategis untuk menguasai ruang media dan opini publik.
Dengan menonjolkan aktivitas sosial dan menyerahkan buku propaganda, Ahmadiyah
berupaya memoles citra mereka agar diterima sebagai bagian dari Islam. Dari
sudut pandang Ahlussunnah, kegiatan ini adalah bentuk kamuflase misi
penyimpangan akidah, berbahaya bagi umat, dan berpotensi menimbulkan dampak
sosial-politik yang serius jika tidak diantisipasi.
KEGIATAN 6 :
1. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Silaturahmi
Kesbangpol Kota Bontang ke Jemaat Ahmadiyah Bontang[6]
- Tanggal Kegiatan: Jumat, 19
September 2025
- Lokasi: Rumah Mubaligh Ahmadiyah
Bontang
- Peserta:
- Dari Jemaat Ahmadiyah Bontang: Cecep Ahmad Nurjaman (Ketua
Jemaat), Mubalig Ahmadiyah Bontang
- Dari Pemerintah Kota Bontang: Dua perwakilan Kesbangpol
2. Materi Kegiatan
- Agenda silaturahmi rutin Kesbangpol untuk bertemu dengan
pengurus baru Jemaat Ahmadiyah Bontang.
- Dialog santai dan akrab antara pengurus Jemaat dengan aparat
pemerintah.
- Penyampaian kontribusi Jemaat Ahmadiyah dalam kegiatan sosial:
donor darah, kerja bakti, bakti sosial, olahraga bersama warga, dan
pengajian rutin di masjid Ahmadiyah.
- Penegasan pentingnya kerja sama dan komunikasi baik antara
pemerintah kota dengan komunitas keagamaan, termasuk Ahmadiyah.
3. Analisa Kritis
- Normalisasi Eksistensi
Ahmadiyah melalui Jalur Pemerintahan
- Kehadiran resmi Kesbangpol ke
kediaman Mubaligh Ahmadiyah memberi pesan simbolik: Ahmadiyah diperlakukan
sama dengan ormas Islam lain, seolah tidak ada masalah akidah yang
mendasar.
- Ini berbahaya karena dapat
dipahami masyarakat awam bahwa pemerintah mengesahkan Ahmadiyah sebagai
bagian dari Islam.
- Strategi Pencitraan dengan
Kegiatan Sosial
- Penyebutan aktivitas sosial
seperti donor darah, kerja bakti, dan olahraga bersama hanyalah
kamuflase.
- Aktivitas tersebut dipakai untuk
mengaburkan penyimpangan pokok mereka, yaitu keyakinan akan adanya nabi
setelah Nabi Muhammad ﷺ, yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah
Islam.
- Bahaya Simbolis terhadap Akidah
Umat
- Pertemuan hangat dengan aparat
negara memberi legitimasi terselubung.
- Hal ini berpotensi melemahkan
sikap kritis masyarakat Muslim di Bontang, sehingga menganggap Ahmadiyah
sah sebagai bagian dari Islam.
- Keterlibatan Negara sebagai
Celah Politik
- Dengan menjalin relasi erat
bersama Kesbangpol, Ahmadiyah dapat memanfaatkan jaringan pemerintah
untuk melindungi aktivitas mereka dan memperluas ruang gerak politik, sosial,
dan legalitas organisasi.
- Ini selaras dengan pola mereka
sebelumnya: menonjolkan slogan “Love for All, Hatred for None”
namun menyembunyikan perbedaan akidah mendasar.
4. Dampak Sosial-Politik-Agama
- Sosial: Membuat masyarakat awam
menganggap Ahmadiyah sama dengan Muslim Ahlussunnah karena aktivitas
sosialnya yang mirip dengan ormas Islam.
- Politik: Relasi dengan Kesbangpol
membuka ruang bagi Ahmadiyah untuk menekan pemerintah agar memberikan
perlindungan lebih luas, bahkan menuntut pengakuan formal.
- Agama: Normalisasi keberadaan
Ahmadiyah merusak fondasi akidah umat. Allah Ta’ala telah menegaskan:
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (QS.
Al-Ahzab: 40)
Mengakui nabi
baru setelah Rasulullah ﷺ berarti keluar dari Islam.
5. Kesimpulan Investigasi
Pertemuan antara
Jemaat Ahmadiyah Bontang dan Kesbangpol Kota Bontang adalah manuver strategis
untuk normalisasi Ahmadiyah di mata pemerintah dan masyarakat. Dengan
menonjolkan aktivitas sosial, Ahmadiyah berusaha membangun citra positif dan
menutupi penyimpangan akidah mereka. Dari sudut pandang Ahlussunnah, kegiatan
ini berbahaya karena memberi kesan legalitas terhadap aliran sesat, sekaligus
melemahkan benteng akidah umat Islam di Bontang khususnya, dan Indonesia pada
umumnya.
KEGIATAN 7 :
1. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Program Rabtah
(Silaturahmi) Jemaat Ahmadiyah Neglasari[7]
- Tanggal Kegiatan: Minggu, 21
September 2025
- Lokasi: Kecamatan Neglasari,
Kabupaten Cianjur
- Peserta:
- Ketua Cabang Jemaat Ahmadiyah Neglasari
- Mubaligh Jemaat Ahmadiyah setempat
- Ketua Lajnah Imaillah (organisasi ibu-ibu Ahmadiyah)
- Aparatur pemerintahan lokal
- Warga sekitar termasuk seorang pegawai Dishub yang sedang
sakit
2. Materi Kegiatan
- Silaturahmi ke sejumlah pejabat pemerintahan setempat.
- Menjenguk seorang pekerja Dinas Perhubungan yang sakit, sebagai
bentuk kepedulian sosial.
- Dialog santai dan penuh keakraban dengan pejabat lokal,
diiringi ucapan terima kasih dan doa untuk keberhasilan acara tasyakur 100
tahun Ahmadiyah Indonesia.
- Penyampaian rencana perayaan besar pada 25 Desember 2025,
dengan dekorasi masjid Ahmadiyah di Desa Sukadana yang dihiasi lampu
warna-warni sesuai instruksi Amir Nasional.
3. Analisa Kritis
- Normalisasi Penyimpangan
Melalui Rabtah
- Rabtah dijadikan strategi
mendekati pejabat lokal, agar mereka ikut memberikan restu moral dan
politik bagi perayaan 100 tahun Ahmadiyah.
- Silaturahmi ke aparatur negara
memberi citra seakan-akan Ahmadiyah adalah bagian dari umat Islam yang
sah, padahal secara akidah mereka telah menyimpang karena meyakini adanya
nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ.
- Kamuflase Sosial dengan
Kepedulian Kemanusiaan
- Menjenguk pekerja Dishub yang
sakit adalah bagian dari strategi “humanisasi” Ahmadiyah: menarik simpati
publik lewat empati sosial.
- Padahal, inti masalah bukan pada
sisi sosial mereka, melainkan pada penyimpangan aqidah yang sangat
mendasar.
- Politik Simbolik Perayaan 100
Tahun Ahmadiyah
- Rencana menghias masjid dengan
lampu warna-warni adalah bentuk propaganda untuk memperlihatkan
eksistensi mereka di ruang publik.
- Jika tidak ada sikap tegas dari
umat Islam dan pemerintah, perayaan ini akan menjadi momentum legitimasi
Ahmadiyah di Indonesia.
- Bahaya terhadap Aqidah Umat
- Ucapan pejabat yang mendoakan
agar perayaan Ahmadiyah berjalan sukses menunjukkan adanya kelengahan.
- Jika masyarakat menerima begitu
saja, ini akan mengikis pemahaman aqidah umat, terutama generasi muda,
yang bisa menganggap Ahmadiyah sama dengan Ahlussunnah wal Jamaah.
4. Dampak Sosial – Politik – Agama
- Sosial: Masyarakat awam dapat
terkecoh oleh program sosial Ahmadiyah, sehingga menganggap mereka bagian
dari umat Islam biasa.
- Politik: Dukungan simbolik pejabat
pemerintah lokal membuka peluang Ahmadiyah memperkuat posisi politik mereka
dalam bingkai toleransi semu.
- Agama: Ini merupakan ancaman
serius terhadap akidah Islam. Allah telah menegaskan:
"Muhammad
itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup para nabi." (QS.
Al-Ahzab: 40)
Keyakinan adanya
nabi baru setelah Rasulullah ﷺ adalah bentuk kekufuran dan keluar dari Islam.
5. Kesimpulan Investigasi
Program Rabtah
Jemaat Ahmadiyah Neglasari di Cianjur pada 21 September 2025 bukanlah sekadar
silaturahmi, tetapi manuver politik dan sosial untuk memperluas penerimaan
masyarakat dan pejabat terhadap Ahmadiyah. Dengan memanfaatkan kegiatan sosial
dan kedekatan personal, mereka berusaha menormalisasi eksistensi aliran sesat
ini di ruang publik. Dari perspektif Ahlussunnah, kegiatan ini sangat berbahaya
karena berpotensi mengikis keimanan umat, melemahkan kewaspadaan masyarakat,
serta membuka ruang legalitas bagi ajaran yang menyimpang dari Islam yang
hakiki.
KEGIATAN 8 :
1. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Simposium Nasional
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif[8]
- Tanggal Kegiatan: 16–17 September
2025
- Tempat Kegiatan: Auditorium Juwono
Sudarsono, FISIP Universitas Indonesia, Depok
- Penyelenggara: Departemen
Kriminologi FISIP UI bekerja sama dengan Koalisi Kelompok Rentan Anti
Diskriminasi (KAIN)
- Peserta Utama: Akademisi, lembaga
negara, organisasi masyarakat sipil, komunitas rentan, media, serta
perwakilan kelompok Ahmadiyah melalui AMLA (Himpunan Mahasiswa Ahmadiyah)
2. Materi dan Isi Kegiatan
Kegiatan ini membahas dan mengusulkan
regulasi hukum baru tentang penghapusan diskriminasi komprehensif. Pokok
materi:
- Definisi diskriminasi inklusif –
perluasan makna diskriminasi hingga menyentuh ranah agama, keyakinan,
gender, orientasi, dan minoritas keagamaan.
- Mekanisme pemulihan korban diskriminasi – pemberian akses hukum dan dukungan terhadap pihak yang
mengaku “dirugikan”.
- Strategi pencegahan diskriminasi –
penyusunan pola advokasi sosial, politik, dan akademik.
- Implementasi legislasi – desakan
agar RUU ini menjadi undang-undang nasional untuk memenuhi kewajiban HAM
internasional.
Fitria Sumarni (Ketua AMLA Indonesia &
perwakilan KAIN) menekankan bahwa regulasi yang ada masih parsial dan tidak
memberi ruang keadilan bagi kelompok rentan. Dukungan datang dari akademisi UI,
lembaga HAM, serta perwakilan OHCHR (PBB).
3. Analisa Kritis (Perspektif
Ahlussunnah)
Dari sudut
pandang Ahlussunnah wal Jamaah, kegiatan ini memiliki sejumlah catatan
kritis:
- Pengusungan narasi diskriminasi sebagai tameng penyimpangan
akidah.
Kehadiran Ahmadiyah melalui AMLA adalah bentuk upaya politisasi HAM untuk melegitimasi kelompok yang jelas telah menyimpang dari Islam, sebagaimana sudah difatwakan sesat oleh MUI (1980 & 2005). Membungkusnya dengan isu “diskriminasi” justru memutarbalikkan fakta agama menjadi sekadar persoalan sosial. - Bahaya RUU Anti Diskriminasi sebagai payung legalisasi
kesesatan.
Jika disahkan, RUU ini bisa dijadikan dasar hukum untuk melindungi aliran menyimpang (Ahmadiyah, Syiah, liberalisme agama, bahkan kelompok LGBT) dengan alasan “kelompok rentan”. Hal ini akan mengkriminalisasi umat Islam yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar karena dianggap sebagai diskriminasi. - Intervensi asing dalam urusan agama.
Keterlibatan perwakilan OHCHR PBB (Claude Cahn) menunjukkan adanya dorongan internasional agar Indonesia tunduk pada standar HAM global, yang sering bertentangan dengan prinsip syariat Islam. Ini mengindikasikan agenda globalisasi nilai-nilai liberal-sekuler melalui instrumen hukum nasional. - Universitas negeri dijadikan panggung normalisasi.
UI sebagai institusi pendidikan negeri digunakan untuk mengarus utamakan narasi HAM universal yang pro-sekte sesat. Hal ini berpotensi menyesatkan generasi muda dan mengikis otoritas ulama Ahlussunnah dalam menjaga kemurnian akidah.
4. Dampak
Sosial, Politik, dan Agama
- Sosial: Mengaburkan batas
benar-salah dalam beragama. Sekte sesat akan semakin diterima masyarakat
dengan alasan toleransi dan anti diskriminasi.
- Politik: Menjadi pintu masuk
kelompok Ahmadiyah untuk mendapatkan legitimasi hukum dan perlindungan
negara, sehingga sulit dibubarkan meski sudah difatwakan sesat.
- Agama: Meruntuhkan kewajiban ghirah
dalam menjaga kemurnian tauhid, dan melemahkan otoritas ulama Ahlussunnah.
Akidah umat bisa tergadai demi kepentingan politik HAM liberal.
Kesimpulan
Kegiatan
“Simposium Nasional RUU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif” pada 16–17
September 2025 bukan sekadar forum akademik, tetapi agenda politik terselubung
untuk memperluas ruang gerak kelompok sesat Ahmadiyah dan sekutunya. Atas nama “keadilan”
dan “anti diskriminasi”, mereka berusaha membalik fakta bahwa pelarangan dan
penolakan terhadap Ahmadiyah bukan diskriminasi, tetapi tindakan syar’i dalam
menjaga kemurnian Islam.
KEGIATAN 9 :
Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan : Kunjungan Kementerian
Agama DIY ke Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta[9]
- Tanggal Kegiatan : Jumat, 26
September 2025
- Tempat : Kompleks Masjid Fadhli
Umar, Yogyakarta
- Pihak yang Terlibat :
- Kemenag DIY: Drs. H. Sa’ban Nuroni
(Kabid Urais), H. Ahmad Fauzi (Ketua Tim Kerja Bina Faham Keagamaan),
serta staf.
- JAI Yogyakarta: Sugiyarno (Ketua),
Didit (Amir Daerah), Purnomo (Sekretaris Umum), Mln. Dildar (Mubaligh
Piyungan), Ahmad Saifudin (Sekretaris Jaidad).
Materi Kegiatan
- Tema utama: Sinkronisasi Data Keagamaan 2025 untuk
melengkapi informasi terkait aliran keagamaan di DIY.
- Diskusi terbuka mengenai ajaran Jemaat Ahmadiyah, mencakup:
- Kenabian setelah Rasulullah SAW →
klaim Ahmadiyah bahwa masih ada nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ.
- Pandangan tentang Nabi Isa →
Ahmadiyah berkeyakinan Nabi Isa tidak diangkat ke langit, melainkan wafat
secara normal.
- Konsep Nabi Adam → Adam dianggap
hanya manusia pertama dari suatu kaum, bukan bapak seluruh umat manusia.
- Pihak Kemenag mengapresiasi keterbukaan Jemaat Ahmadiyah dan
menilai dialog ini memperluas wawasan serta mengurangi kesalahpahaman
publik.
Analisa Kritis (Perspektif Ahlussunnah
wal Jama’ah)
- Normalisasi Paham Sesat
- Dialog terbuka yang menampilkan
perbedaan ajaran Ahmadiyah justru berpotensi memberi ruang legitimasi
terhadap paham yang menyimpang dari Islam.
- Ahlussunnah menegaskan bahwa
kenabian telah tertutup dengan keras, sesuai firman Allah dalam QS.
Al-Ahzab: 40. Klaim kenabian setelah Nabi Muhammad ﷺ adalah bentuk
inhiraf (penyimpangan akidah).
- Bahaya Framing Intelektual
- Penyajian Ahmadiyah sebagai
“objek kajian” dalam forum resmi negara berbahaya karena dapat
mengaburkan fakta bahwa mereka adalah kelompok menyimpang yang difatwakan
sesat oleh MUI (1980, 2005, 2007).
- Apresiasi pejabat Kemenag
terhadap Ahmadiyah berpotensi ditafsirkan publik sebagai pembenaran
implisit terhadap eksistensi mereka.
- Politisasi Kerukunan
- Dengan membungkus kegiatan ini
sebagai upaya “sinkronisasi data dan pencegahan konflik”, Ahmadiyah
justru berhasil mendekatkan diri dengan otoritas negara.
- Hal ini sejalan dengan strategi
mereka dalam berbagai perayaan menuju 100 tahun Ahmadiyah Indonesia,
yaitu meraih simpati sosial-politik melalui jalur dialog dan kerja sama
dengan pemerintah.
Dampak Sosial, Politik, dan Agama
- Sosial: Masyarakat awam berpotensi
semakin rancu dalam membedakan antara Islam yang lurus (Ahlussunnah) dan
paham menyimpang. Dialog ini menciptakan narasi bahwa semua perbedaan
hanyalah “variasi internal” Islam, padahal akidah Ahmadiyah bertolak
belakang dengan Islam.
- Politik: Ahmadiyah memperkuat
citra sebagai komunitas “damai” yang mendapat pengakuan negara. Ini bisa
menjadi modal politik untuk menekan pemerintah pusat agar melonggarkan
aturan pembatasan aktivitas mereka.
- Agama: Legitimasi negara atas
keberadaan Ahmadiyah dapat memicu fitnah akidah. Jika masyarakat tidak
diberi pemahaman tegas, akan ada generasi muda yang tertipu dengan narasi
“Islam alternatif” yang ditawarkan Ahmadiyah.
Kesimpulan Investigatif
Kegiatan
Kunjungan Kemenag DIY ke Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta (26 September 2025) bukan
sekadar silaturahmi biasa. Dari perspektif Ahlussunnah, pertemuan ini merupakan
bagian dari strategi normalisasi aliran sesat dengan memanfaatkan instrumen
negara.
Dialog terbuka semacam ini, bila tidak disertai sikap tegas dari pemerintah
terhadap penyimpangan akidah, justru memperlebar ruang gerak Ahmadiyah untuk
mengukuhkan posisinya di masyarakat.
Rekomendasi
Ahlussunnah: Negara harus membedakan antara menjaga kerukunan sosial dan
mengakui paham yang jelas-jelas menyimpang dari Islam. Jika tidak, kerukunan
hanya akan menjadi alat legitimasi sesat, bukan solusi keagamaan.
KEGIATAN 10 :
IDENTITAS KEGIATAN
- Nama Kegiatan : Silaturahmi Amir
Nasional Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia ke Kantor Aliansi Jurnalis
Independen (AJI)[10]
- Tanggal Kegiatan : Kamis, 18
September 2025
- Tempat : Kantor AJI Indonesia,
Jakarta
- Penyelenggara / Pihak Terlibat :
- Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia (JAI) – dipimpin oleh Amir Nasional 2025–2028, Zaki Firdaus
Syahid, ST, MT.
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia – diwakili oleh Sekjen AJI Bayu Wardana dan tim
redaksi.
MATERI KEGIATAN
- Pengenalan kepengurusan baru Jemaat Ahmadiyah Indonesia periode 2025–2028.
- Dialog tentang peran media sebagai
mitra strategis dalam membangun toleransi dan menciptakan ruang publik
yang damai.
- Penegasan sinergi antara JAI dan AJI dalam pemberitaan dan edukasi publik menjelang perayaan 100
tahun Ahmadiyah di Indonesia.
- Pernyataan Amir Nasional Ahmadiyah,
bahwa media tidak hanya menyampaikan berita, tetapi berperan dalam
menciptakan persepsi publik yang “positif” terhadap Ahmadiyah.
- Pandangan AJI Indonesia, yang
menekankan pentingnya liputan media berdasarkan perspektif Hak Asasi Manusia
(HAM), terutama dalam hal kebebasan beribadah dan berkeyakinan.
ANALISA KRITIS
1. Upaya
Sistematis Membangun Citra Positif Ahmadiyah Melalui Media
Dari sisi
Ahlussunnah, kegiatan ini bukan sekadar silaturahmi, tetapi bagian dari
strategi komunikasi publik Ahmadiyah untuk memperluas pengaruh sosial dan
menghapus stigma kesesatan yang telah lama melekat.
Melalui kerja sama dengan AJI—organisasi jurnalis nasional—Ahmadiyah berusaha
mengontrol narasi media agar publik melihat mereka sebagai “korban intoleransi”
bukan sebagai penyimpang akidah.
2. Pergeseran
Makna Toleransi ke Ranah Relativisme Aqidah
Pernyataan Amir
Nasional bahwa media harus menciptakan ruang publik yang damai terdengar
positif, tetapi secara substansial mendorong relativisme beragama, yakni
menganggap semua keyakinan dalam Islam sah sejajar.
Ahlussunnah menegaskan, toleransi tidak berarti mengakui kesesatan sebagai
bagian dari Islam. Menganggap Ahmadiyah hanya berbeda “pendapat” adalah
penyimpangan, karena mereka menolak finalitas kenabian Muhammad ﷺ yang
merupakan pokok aqidah Islam (QS. Al-Ahzab: 40).
3. Bahaya
Aliansi dengan Lembaga Media Progresif
Kerja sama JAI
dengan AJI membuka ruang propaganda ideologis yang lebih luas. AJI, dengan
orientasi HAM dan kebebasan berekspresi, kerap menjadi saluran bagi narasi
liberalisme agama, yang berpotensi:
- Menghapus batas antara Islam murni
dan aliran menyimpang,
- Menggeser perdebatan aqidah ke isu
“hak berkeyakinan”,
- Membentuk opini publik bahwa
penolakan terhadap Ahmadiyah = intoleransi.
4. Manipulasi
Bahasa HAM dalam Isu Aqidah
Pendekatan HAM
yang digunakan AJI dan Ahmadiyah dalam pertemuan ini berpotensi memanipulasi
persepsi publik, seolah perbedaan akidah adalah persoalan hak individu, bukan
pelanggaran syariat.
Padahal, dalam
pandangan Ahlussunnah, menjaga kemurnian aqidah lebih utama daripada
mempertahankan popularitas sosial, karena penyimpangan akidah lebih berbahaya
bagi umat daripada konflik sosial yang bersifat lahiriah.
DAMPAK SOSIAL, POLITIK, DAN AGAMA
1. Dampak
Sosial
- Kegiatan ini menguatkan persepsi
masyarakat awam bahwa Ahmadiyah adalah “korban diskriminasi”, bukan
penyebar ideologi sesat.
- Media yang pro-HAM berpotensi
menyebarkan narasi tunggal yang mengaburkan batas antara Islam sahih dan
pseudo-Islam (Ahmadiyah).
2. Dampak Politik
- Strategi komunikasi JAI melalui
media memperkuat posisi politik mereka di hadapan negara dan lembaga
internasional.
- Dengan menggandeng AJI, Ahmadiyah
berpotensi membangun jejaring dengan organisasi jurnalis global dan
lembaga HAM internasional, sehingga menekan pemerintah Indonesia agar
melonggarkan pembatasan aktivitas mereka.
3. Dampak
Agama
- Upaya pencitraan ini melemahkan
ketegasan aqidah umat Islam terhadap ajaran yang menyimpang.
- Bila tidak disertai edukasi dari
ulama dan lembaga Islam, generasi muda akan terpengaruh oleh narasi “Islam
damai versi Ahmadiyah” yang sejatinya bertentangan dengan ajaran
Rasulullah ﷺ dan para sahabat.
KESIMPULAN INVESTIGATIF
Pertemuan antara
Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah dan AJI Indonesia (18 September 2025) merupakan
langkah strategis Ahmadiyah untuk mengonsolidasikan dukungan media nasional
menjelang perayaan satu abad keberadaannya.
Dengan mengusung tema “toleransi dan HAM”, mereka berusaha mengaburkan garis
batas antara Islam hakiki dan keyakinan yang batil.
Dari perspektif
Ahlussunnah wal Jama’ah, kegiatan ini bukanlah bentuk dakwah, melainkan
kampanye legitimasi paham sesat melalui saluran media.
Umat Islam perlu waspada terhadap strategi halus seperti ini yang membungkus
penyimpangan aqidah dalam narasi perdamaian, pluralisme, dan hak asasi manusia.
REKOMENDASI
- Pemerintah dan lembaga media harus tegas membedakan antara isu sosial dan persoalan aqidah.
- Lembaga Islam perlu memperkuat literasi aqidah di ruang publik agar umat tidak tertipu oleh propaganda “Islam
inklusif” versi Ahmadiyah.
- Majelis Ulama dan ormas Ahlussunnah
harus lebih aktif mengawal pemberitaan media agar tidak menjadi alat
normalisasi penyimpangan agama.
KEGIATAN 11 :
I. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Media Visit Jemaat
Muslim Ahmadiyah Indonesia ke Kantor Redaksi Tirto.id[11]
- Tanggal Kegiatan: Senin, 22
September 2025
- Tempat Kegiatan: Kantor Redaksi Tirto.id,
Jakarta
- Penyelenggara: Jemaat Muslim
Ahmadiyah Indonesia (JAI)
- Tokoh Terlibat:
- Zaki Firdaus Syahid, ST, MT – Amir
Nasional JAI periode 2025–2028
- Yendra Budiana – Sekretaris Pers
JAI
- Evi – Juru Bicara Lajnah Imaillah
Indonesia
- Rachmadin Ismail – Pemimpin
Redaksi Tirto.id
II. Ringkasan Isi Kegiatan
Pertemuan ini merupakan kunjungan resmi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ke media Tirto.id sebagai bagian
dari rangkaian “media visit” yang dilakukan oleh kepengurusan baru JAI periode
2025–2028.
Dalam kunjungan tersebut:
- Amir Nasional JAI memperkenalkan kepemimpinan barunya kepada
redaksi Tirto.id dan menjelaskan pentingnya kerja sama dengan media
dalam membangun persepsi positif tentang Ahmadiyah di masyarakat.
- Pemimpin Redaksi Tirto.id, Rachmadin Ismail,
menegaskan komitmen media untuk menyajikan berita yang “jernih, aktual,
dan faktual”, serta berperan dalam mencegah disinformasi dan miskonsepsi.
- Dari pihak JAI, Evi (Lajnah Imaillah Indonesia)
menekankan pentingnya “narasi keberagaman” dan peran perempuan Ahmadiyah
dalam elaborasi di tingkat akar rumput.
- Kedua pihak menyepakati pentingnya sinergi antara media dan
kelompok keagamaan dalam “menjaga keberagaman dan membangun narasi
positif”.
III. Analisis Kritis
1. Pola
Dakwah Terselubung melalui Jalur Media
Kegiatan ini
bukan sekadar “silaturahmi”, melainkan strategi komunikasi politik Ahmadiyah
untuk membangun legitimasi publik melalui media arus utama. Dengan menggandeng Tirto.id—media
yang dikenal memiliki segmentasi pembaca akademis dan progresif—Ahmadiyah
berupaya menanamkan citra bahwa mereka adalah bagian dari Islam yang sah,
padahal keyakinan pokok mereka menyimpang dari aqidah Islam yang murni.
Pandangan
Ahlussunnah:
Dalam Islam,
kerasulan Muhammad ﷺ adalah penutup segala nabi (QS. Al-Ahzab: 40). Ajaran
Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Rasulullah ﷺ
adalah bentuk kekufuran yang menyalahi ijma’ ulama. Maka upaya mereka membangun
“narasi Islam toleran dan inklusif” melalui media merupakan bentuk tahfif
(pengaburan makna Islam) agar masyarakat tidak lagi membedakan antara yang haq
dan yang batil.
2. Framing
Isu Disinformasi dan “Keberagaman”
Isu “melawan
disinformasi” dan “menjaga keberagaman” yang diangkat dalam pertemuan ini
mengandung agenda ideologis. Narasi tersebut secara terselubung diarahkan
untuk:
- Menolak fatwa MUI dan ormas Islam
yang menganggap Ahmadiyah menyimpang;
- Menggiring opini publik agar
menganggap perbedaan akidah sebagai bagian dari keberagaman beragama yang
harus dilindungi;
- Mengemas ajaran sesat dalam
kemasan HAM, moderasi, dan kebebasan berkeyakinan.
Pandangan
Ahlussunnah:
Dalam Islam,
kebebasan beragama tidak berarti kebebasan mengaku Islam tetapi mengingkari
rukun iman. Upaya memutarbalikkan konsep “toleransi” menjadi “penerimaan
terhadap ajaran sesat” adalah bentuk penyimpangan dari makna haqiqi kebebasan
dalam syariat.
3. Infiltrasi
Ke Dunia Jurnalistik
Pertemuan dengan
Tirto.id melanjutkan pola sebelumnya (kunjungan ke AJI pada 18 September
2025). Ini menunjukkan strategi sistematis Ahmadiyah membangun jaringan
pengaruh di ruang media dan akademik, agar dapat mempengaruhi framing
pemberitaan. Dengan cara ini, JAI mencoba mengendalikan opini publik melalui
narasi “Ahmadiyah korban disinformasi”.
Analisis:
Upaya ini menunjukkan transformasi strategi dari dakwah teologis menuju politik
citra dan penguasaan narasi publik, yang berpotensi menekan kebebasan umat
Islam dalam mengkritik kesesatan mereka tanpa dituduh intoleran.
IV. Dampak Sosial, Politik, dan Agama
A. Dampak Sosial
- Terjadi pengaburan identitas Islam
di masyarakat karena Ahmadiyah dikemas seolah bagian dari umat Islam yang
sah.
- Muncul potensi konflik sosial di
tingkat lokal ketika umat Islam menolak aktivitas Ahmadiyah yang
dipersepsikan “resmi” karena dukungan media.
- Terjadi polarisasi masyarakat
antara kelompok pro-pluralisme dan kelompok pembela aqidah.
B. Dampak Politik
- Gerakan ini berpotensi
mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam isu “moderasi beragama” dengan
memasukkan Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam moderat.
- Media dapat digunakan sebagai alat
lobi politik untuk mendapatkan legitimasi hukum atau penghapusan
pembatasan aktivitas Ahmadiyah.
C. Dampak Keagamaan
- Mengancam kemurnian aqidah umat
Islam, karena masyarakat awam disuguhi narasi bahwa perbedaan kenabian
bukan hal penting.
- Menimbulkan kerancuan teologis,
terutama di kalangan muda dan akademisi yang terpapar informasi dari media
mainstream.
- Menjadi batu loncatan bagi
sekularisasi pemahaman Islam, di mana kebenaran agama ditentukan oleh
opini publik, bukan wahyu.
V. Kesimpulan
Pertemuan antara
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan redaksi Tirto.id pada 22 September 2025
merupakan bagian dari strategi ideologis dan politik Ahmadiyah untuk memperluas
pengaruh dan memperhalus citra melalui media nasional.
Dari perspektif
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, kegiatan ini perlu diwaspadai karena:
- Mengandung misi normalisasi ajaran
sesat dengan kedok toleransi dan kebebasan berkeyakinan;
- Mengancam keutuhan aqidah dan persatuan
umat Islam;
- Menjadi bagian dari perang narasi
untuk mengubah persepsi masyarakat tentang batas kebenaran dalam Islam.
KEGIATAN 12 :
I. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Kunjungan
Silaturahmi Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia ke Kantor CNN Indonesia[12]
- Tanggal Kegiatan: (tidak disebutkan
secara eksplisit, namun berlangsung pada akhir September 2025, pasca media
visit ke AJI dan Tirto.id)
- Tempat Kegiatan: Kantor Redaksi CNN
Indonesia, Jakarta
- Penyelenggara: Jemaat Muslim
Ahmadiyah Indonesia (JAI)
- Tokoh Terlibat:
- Zaki Firdaus Syahid, ST, MT – Amir
Nasional JAI periode 2025–2028
- Yendra Budiana – Sekretaris Pers
JAI
- Revolusi Reza Zulverdi – Wakil
Pemimpin Redaksi CNN TV
- Tim Redaksi Pelaksana CNN Indonesia
II. Ringkasan Isi Kegiatan
Kunjungan ini merupakan lanjutan dari rangkaian
media visit Jemaat Ahmadiyah Indonesia ke berbagai kantor media nasional
(setelah AJI dan Tirto.id), dengan tujuan utama memperkenalkan kepengurusan
baru Amir Nasional JAI periode 2025–2028 sekaligus menjalin sinergi
strategis dengan media massa.
Dalam pertemuan tersebut:
- Yendra Budiana memperkenalkan Amir
Nasional baru, Zaki Firdaus Syahid, kepada pimpinan redaksi CNN.
- JAI memaparkan program “Tasyakur 100 Tahun Muslim Ahmadiyah
di Indonesia”, yang di antaranya mencakup kegiatan penanaman
100.000 pohon di 100 titik di seluruh Indonesia, dengan klaim sebagai
simbol “perdamaian dan kepedulian lingkungan”.
- Revolusi Reza Zulverdi, dari CNN
Indonesia, menyatakan apresiasi positif terhadap kegiatan
Ahmadiyah, mengaitkannya dengan semangat kemanusiaan dan perdamaian
global.
- CNN juga menyampaikan ketertarikan terhadap peran Ahmadiyah
dalam perkembangan Islam di Eropa, sebagai cermin “Islam yang damai
dan modern”.
- Pertemuan ini ditutup dengan komitmen kerja sama dan
kemitraan strategis antara JAI dan CNN dalam pemberitaan dan kegiatan
sosial.
III. Analisis Kritis Berdasarkan
Pandangan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
1. Strategi “Soft Diplomacy” Ahmadiyah
melalui Media Global
Pertemuan ini
bukan sekadar silaturahmi, tetapi merupakan bagian dari strategi “soft
diplomacy” Ahmadiyah untuk membangun legitimasi teologis dan sosial melalui
lembaga media nasional dan internasional. CNN Indonesia, sebagai bagian dari
jaringan media global, menjadi pintu masuk penting untuk menormalisasi citra
Ahmadiyah di tingkat nasional dan bahkan internasional.
Pandangan
Ahlussunnah:
Strategi seperti
ini sejatinya merupakan bentuk tazyeen al-bathil (menghias kebatilan
dengan kemasan kebaikan). Ajaran Ahmadiyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi setelah Rasulullah ﷺ adalah bentuk penodaan terhadap aqidah Islam,
sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Ahzab: 40, “Muhammad itu bukanlah bapak
dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
para nabi.”
Maka, segala upaya memperkenalkan Ahmadiyah sebagai “Islam yang damai”
sejatinya adalah upaya penyamaran penyimpangan akidah dalam bahasa kemanusiaan.
2. Simbol Lingkungan sebagai Alat
Propaganda Citra
Program
“penanaman 100 ribu pohon” digunakan sebagai simbol kedamaian dan kontribusi
sosial, namun memiliki fungsi ideologis:
- Mencitrakan Ahmadiyah sebagai
komunitas yang aktif, peduli lingkungan, dan cinta damai;
- Mengalihkan isu pokok tentang
penyimpangan akidah menuju narasi ekologi dan sosial;
- Membangun branding moral
agar masyarakat melihat Ahmadiyah secara positif dan menolak stigma sesat.
Analisis
Ahlussunnah:
Ini adalah
bentuk politik pencitraan religius (religious image politics) yang
berbahaya. Di satu sisi, kegiatan sosial tampak baik, namun di sisi lain
menjadi alat soft-propaganda untuk menanamkan penerimaan sosial terhadap ajaran
yang menyalahi Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang bukan darinya,
maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari & Muslim)
3. Upaya Membentuk Kemitraan Ideologis
dengan Media
CNN, melalui
pernyataan Revolusi Reza Zulverdi, menyatakan minat untuk “melihat perkembangan
Islam di Eropa melalui lensa Ahmadiyah.” Ini menunjukkan arah kolaborasi
ideologis, di mana media akan dijadikan corong untuk menampilkan Ahmadiyah
sebagai wajah Islam modern dan pluralis.
Langkah ini
berpotensi:
- Menggeser wacana publik tentang
Islam dari konsep tauhid dan risalah menjadi humanisme dan pluralisme;
- Menjadikan media sebagai instrumen
legitimasi terhadap ajaran yang menyalahi nash Al-Qur’an dan ijma’ ulama.
Pandangan
Ahlussunnah:
Islam tidak
diukur dari persepsi media atau Barat, tetapi dari wahyu Allah dan sunnah
Rasulullah ﷺ. Ketika kebenaran agama ditentukan oleh opini publik atau liputan
media, maka itu adalah bentuk sekularisasi pemahaman Islam yang menyesatkan
umat.
IV. Dampak Sosial, Politik, dan Agama
A. Dampak Sosial
- Meningkatnya penerimaan publik
terhadap Ahmadiyah, terutama di kalangan muda perkotaan yang terpapar
narasi media mainstream.
- Terjadi depolarisasi nilai:
masyarakat diajak menilai agama dari aspek sosial, bukan dari kemurnian
akidah.
- Umat Islam yang mengkritik
Ahmadiyah berpotensi dicap sebagai “intoleran” atau “anti-perdamaian”.
B. Dampak
Politik
- Kegiatan ini dapat menjadi pintu
masuk politik rekognisi, di mana pemerintah dan lembaga publik mulai
mengakui Ahmadiyah sebagai kelompok keagamaan sah.
- Media besar seperti CNN dapat
menjadi alat tekanan opini terhadap kebijakan negara terkait pembatasan
aktivitas Ahmadiyah.
- Potensi munculnya dukungan
internasional terhadap JAI melalui framing media global, dengan dalih
pelanggaran HAM dan intoleransi.
C. Dampak
Keagamaan
- Mengaburkan batas antara Islam haq
dan Islam palsu, karena media akan menyajikan Ahmadiyah sebagai bagian
dari “Islam moderat”.
- Menurunnya sensitivitas akidah
umat, karena ajaran sesat dibungkus dengan simbol kemanusiaan.
- Potensi fitnah terhadap Islam
Ahlussunnah, seolah-olah menolak perdamaian dan keberagaman padahal
menegakkan kemurnian tauhid.
V. Kesimpulan
Kunjungan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia ke CNN Indonesia merupakan tahapan lanjutan dari gerakan
sistematis Ahmadiyah di sektor media nasional. Setelah menjalin hubungan dengan
AJI dan Tirto.id, langkah ini memperkuat jejaring propaganda mereka untuk
menanamkan citra positif sekaligus memperlemah resistensi umat Islam terhadap
ajaran mereka.
Dari perspektif
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, kegiatan ini mengandung:
- Tujuan ideologis terselubung,
yaitu normalisasi ajaran Ahmadiyah di ruang publik;
- Agenda politik dan citra sosial,
untuk mendapatkan simpati publik dan legitimasi hukum;
- Ancaman terhadap kemurnian aqidah
umat Islam, karena pembingkaian media dapat menghapus garis pembeda antara
Islam haq dan Islam sesat.
Maka, umat Islam
perlu meningkatkan literasi aqidah dan kesadaran media, agar tidak terkecoh
oleh kampanye “toleransi” yang sejatinya menyamarkan penyelewengan terhadap
risalah kenabian Muhammad ﷺ.
KEGIATAN 13 :
I. Identitas Kegiatan
- Nama Kegiatan: Silaturahmi Jemaat
Ahmadiyah Indonesia ke Kantor Redaksi Tempo[13]
- Tanggal Kegiatan: Rabu, 24
September 2025
- Tempat Kegiatan: Kantor Redaksi
Tempo, Jakarta
- Penyelenggara: Jemaat Muslim
Ahmadiyah Indonesia (JAI)
- Tokoh yang Terlibat:
- Zaki Firdaus Syahid, ST, MT – Amir
Nasional JAI periode 2025–2028
- Yendra Budiana – Sekretaris Pers
JAI
- Evi Affiati – Juru Bicara Lajnah
Imaillah Indonesia
- Redaksi Tempo – Media nasional
II. Ringkasan Isi Kegiatan
Kunjungan Jemaat Ahmadiyah Indonesia ke
redaksi Tempo merupakan bagian dari rangkaian “media visit” nasional
yang dilakukan pasca terpilihnya Amir Nasional baru, Zaki Firdaus Syahid.
Tujuan utama kunjungan ini adalah:
- Perkenalan resmi kepemimpinan baru JAI periode 2025–2028;
- Penguatan hubungan strategis dengan media;
- Sosialisasi program sosial, pendidikan, dan lingkungan menjelang perayaan 100 tahun Ahmadiyah Indonesia.
Isi kegiatan meliputi:
- Pemaparan komitmen sosial dan pendidikan oleh Yendra Budiana, serta harapan agar pemerintahan Presiden
Prabowo menjamin kebebasan beribadah.
- Program penanaman 100 ribu pohon di 100 titik bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan, Yayasan Alas, dan
ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).
- Rencana penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dalam rangka tasyakur 100 tahun Ahmadiyah.
- Presentasi program “Rumah Belajar”
oleh Lajnah Imaillah yang diklaim inklusif karena menerima peserta non-Muslim.
Tempo merespons positif kegiatan ini,
menyoroti aspek sosial dan kontribusi Ahmadiyah terhadap bangsa.
III. Analisis Kritis Berdasarkan
Pandangan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
1. Pola Propaganda Ideologis melalui
Media Besar
Kunjungan ke
redaksi Tempo melengkapi strategi “penetrasi media nasional” yang telah
dilakukan Jemaat Ahmadiyah ke AJI, Tirto.id, dan CNN Indonesia.
Tempo, yang dikenal sebagai media berpengaruh di kalangan intelektual dan
aktivis, dipilih untuk membangun persepsi publik bahwa Ahmadiyah adalah bagian
sah dari komunitas Islam Indonesia yang moderat, terbuka, dan berkontribusi
positif.
Pandangan
Ahlussunnah:
Upaya ini adalah
bentuk tasywih al-haqq bil bathil — mencampuradukkan antara kebenaran dan
kebatilan. Mereka mengemas penyimpangan akidah dengan narasi sosial dan
kemanusiaan agar diterima masyarakat.
Padahal, inti ajaran Ahmadiyah yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
setelah Rasulullah ﷺ adalah bentuk kufur terhadap penutupan kenabian (khatm
an-nubuwwah) yang sudah jelas difirmankan Allah:
“Muhammad itu bukan bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasul Allah dan penutup para nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)
Dengan membawa
wacana kemanusiaan dan pendidikan, Ahmadiyah berusaha menutupi penyimpangan teologisnya
agar tampil “bersahabat” di hadapan media dan masyarakat.
2. Politisasi Isu “Kebebasan Beribadah”
dan “Nasionalisme”
Yendra Budiana
menyinggung agar pemerintahan Presiden Prabowo menjamin “pemenuhan hak
beribadah sesuai konstitusi”.
Pernyataan ini sarat pesan politis, sebab Ahmadiyah ingin mengubah persepsi
publik dari “aliran sesat” menjadi “minoritas tertindas” yang butuh
perlindungan negara.
Analisis
Ahlussunnah:
Konsep “hak
beribadah” tidak bisa diterapkan pada kelompok yang mengaku Islam namun menodai
inti ajaran Islam. Islam memberikan kebebasan beragama, namun tidak membenarkan
pemalsuan akidah di bawah nama Islam.
Maka, seruan Ahmadiyah untuk diakui atas dasar HAM merupakan penyimpangan
konsep kebebasan beragama dalam Islam, yang justru menimbulkan fitnah dan
kerusakan akidah umat.
3. Musabaqah Tilawah Al-Qur’an:
Manipulasi Simbol Agama
Ahmadiyah
merencanakan Musabaqah Tilawah Al-Qur’an (MTQ) untuk memperingati 100 tahun
berdirinya mereka di Indonesia.
Kegiatan ini
jelas dimaksudkan untuk menampilkan diri sebagai “komunitas Islam sejati” yang
menjunjung tinggi Al-Qur’an. Namun di sisi lain, mereka justru menafsirkan
Al-Qur’an dengan keyakinan batil, termasuk meyakini adanya nabi setelah
Muhammad ﷺ.
Pandangan
Ahlussunnah:
Menggunakan
Al-Qur’an untuk menguatkan ajaran sesat adalah bentuk tahrif maknawi
(penyelewengan makna). Rasulullah ﷺ telah memperingatkan:
“Akan datang suatu masa, orang membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati
tenggorokannya.” (HR. Bukhari).
Artinya, mereka
membacanya tanpa iman yang benar, hanya untuk kepentingan duniawi atau citra
kelompok.
4. Program “Rumah Belajar” dan Misi
Pendidikan Inklusif
Program Lajnah
Imaillah ini dijelaskan menerima peserta non-Muslim dan mendapat dukungan
simbolik dari Mendikdasmen Abdul Mu’ti.
Secara permukaan
tampak positif, namun dalam konteks dakwah Ahmadiyah, ini adalah strategi
penyebaran ideologi melalui jalur pendidikan non-formal. Dengan balutan nilai
sosial, mereka dapat memengaruhi anak-anak dan masyarakat awam tanpa label
dakwah eksplisit.
Analisis
Ahlussunnah:
Pendidikan dalam
Islam bertujuan menanamkan tauhid dan ittiba’ (ketaatan kepada Rasulullah ﷺ),
bukan sekadar aktivitas sosial.
Ketika lembaga
pendidikan dijadikan sarana untuk mengajarkan akidah menyimpang, maka itu
adalah tasywih dakwah — menyesatkan atas nama kebaikan.
IV. Dampak Sosial, Politik, dan Agama
A. Dampak Sosial
- Meningkatnya penerimaan publik
terhadap Ahmadiyah sebagai “organisasi sosial dan pendidikan”, bukan sekte
menyimpang.
- Terjadi pergeseran nilai:
masyarakat menilai kebenaran agama dari aspek sosial dan nasionalisme,
bukan dari kemurnian akidah.
- Generasi muda, khususnya akademisi
dan aktivis media, akan cenderung menganggap perbedaan akidah sebagai hal
sekunder.
B. Dampak Politik
- Kunjungan ke Tempo memperluas
jaringan komunikasi Ahmadiyah dengan media arus utama dan pemerintah.
- Isu “hak beribadah” bisa
dimanfaatkan untuk menekan kebijakan negara agar mencabut pembatasan
terhadap aktivitas mereka.
- Potensi dukungan dari organisasi
pluralis seperti ICRP menguatkan koalisi lintas lembaga yang dapat
mempengaruhi opini publik dan kebijakan HAM internasional.
C. Dampak Agama
- Terjadi pembauran identitas Islam
di ruang publik: antara Islam yang haq (Ahlussunnah) dengan Islam palsu
(Ahmadiyah).
- Mengaburkan batas tegas antara
iman dan kufur, dengan alasan toleransi dan sosial kemanusiaan.
- Meningkatnya ancaman akidah umat,
karena masyarakat awam tidak lagi bisa membedakan antara dakwah haq dan
propaganda sesat.
V. Kesimpulan
Kegiatan
kunjungan Jemaat Ahmadiyah Indonesia ke redaksi Tempo merupakan bagian dari
rangkaian gerakan sistematis Ahmadiyah untuk membangun legitimasi sosial dan
media.
Melalui narasi nasionalisme, HAM, pendidikan, dan lingkungan, mereka berupaya
mengaburkan penyimpangan akidah dengan kemasan sosial dan kemanusiaan.
Dari perspektif
Ahlussunnah wal Jama’ah, kegiatan ini adalah:
- Bentuk infiltrasi ideologis ke
ruang publik dan media nasional;
- Upaya normalisasi kelompok sesat
dalam bingkai “Islam damai”;
- Ancaman serius terhadap kemurnian
aqidah umat Islam, karena disebarkan dengan metode kultural, bukan
konfrontatif.
Maka, umat Islam
wajib waspada terhadap strategi halus ini.
Islam menolak
segala bentuk kebohongan akidah, meskipun dikemas dengan nilai kemanusiaan.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Akan datang
kepada kalian kaum yang membaca Al-Qur’an namun mereka keluar dari Islam
sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.” (HR.
Muslim).
KEGIATAN 14 :
1. Identitas dan Rincian Kegiatan
- Nama Kegiatan: Implementasi
Berbasis Lokasi Kampung Moderasi Beragama[14]
- Penyelenggara: Kementerian Agama
Kota Manado, Sulawesi Utara
- Tanggal: Selasa, 23 September 2025
- Tempat: Aula Masjid Al Mawaddah Taas,
Kecamatan Tikala, Manado
- Waktu: 09.00 – 14.00 WITA
- Peserta: Perwakilan lintas agama
(FKUB, BKSAUA, tokoh agama, MUI, ASN Kemenag Sulut, Camat Tikala),
termasuk perwakilan Jemaat Ahmadiyah Manado
- Peran Ahmadiyah: Menghadiri acara,
melakukan silaturahmi dan rabtah (dialog), serta mengundang Kakanwil
Kemenag Sulut untuk berkunjung ke masjid Ahmadiyah Manado.
2. Materi dan Agenda Kegiatan
Acara bertajuk “Implementasi Kampung
Moderasi Beragama” ini difokuskan pada:
- Penguatan toleransi lintas iman.
- Dialog kebersamaan antarumat beragama.
- Pembentukan jejaring kerja sama lintas lembaga keagamaan.
- Penyampaian undangan oleh pihak Ahmadiyah untuk menjalin tabligh
dan rabtah dengan pejabat Kemenag serta tokoh agama di Sulawesi
Utara.
- Ajakan kolaboratif Ahmadiyah dalam kegiatan sosial dan dakwah
lintas iman.
3. Analisa Kritis – Perspektif
Ahlussunnah wal Jama’ah
a. Analisa Teologis
Dari kacamata
Ahlussunnah wal Jama’ah, keterlibatan Ahmadiyah dalam kegiatan resmi
Kementerian Agama seperti ini berpotensi menimbulkan kekeliruan mendasar dalam
konsep tauhid dan kenabian.
Ahmadiyah
dikenal menyimpang karena meyakini adanya nabi setelah Rasulullah SAW, yaitu
Mirza Ghulam Ahmad — keyakinan ini secara ijma’ (konsensus ulama) telah keluar
dari Islam.
Mengikutsertakan
Ahmadiyah dalam forum “moderasi beragama” seolah menormalkan aliran sesat dan
menyamakannya dengan umat Islam yang lurus. Hal ini bertentangan dengan firman
Allah dalam QS. Al-Ahzab [33]: 40:
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para nabi (khataman nabiyyin).”
Kegiatan yang
memberi ruang kepada Ahmadiyah di bawah naungan lembaga negara dapat
membingungkan umat awam — seakan-akan Ahmadiyah hanyalah “varian Islam” yang
sah, padahal secara akidah, ajarannya bertentangan dengan pokok iman.
b. Analisa Sosial dan Politik
Dari sisi
sosial-politik, kegiatan ini memperlihatkan pola infiltrasi strategis Ahmadiyah
di tingkat pemerintah daerah.
- Dengan cara menghadiri forum resmi
Kemenag, mereka membangun citra positif, bersahabat, dan moderat.
- Ahmadiyah memanfaatkan narasi
“moderasi beragama” untuk memperoleh legitimasi sosial dan perlindungan
hukum.
- Hubungan langsung dengan pejabat
publik (FKUB, Kemenag, Camat) adalah langkah politik lunak (soft
diplomacy) untuk mengikis stigma sesat dan menggantinya dengan label
“korban intoleransi.”
Keterlibatan
mediator alumni dan lembaga lintas iman juga menjadi bagian dari upaya
normalisasi eksistensi Ahmadiyah di ruang publik.
Dalam jangka panjang, pola ini bisa menyusupkan agenda pluralisme teologis,
yang meniadakan batas antara agama haq dan batil.
c. Analisa Dampak Agama dan Akidah
Dari perspektif
Ahlussunnah, kegiatan seperti ini membawa dampak:
- Distorsi Aqidah Umat: Umat Islam
awam bisa mengira Ahmadiyah bagian dari Islam yang sah, karena hadir
bersama ulama dan pejabat Kemenag.
- Perlemahan Otoritas Ulama: Suara
ulama yang selama ini memperingatkan kesesatan Ahmadiyah bisa dianggap
ekstrem atau tidak toleran.
- Pengaburan Batas Akidah: Konsep ukhuwah
wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan) diubah menjadi ukhuwah aqidah
semu, yang menyamakan keyakinan sesat dengan Islam.
4. Dampak Sosial – Politik – Agama
|
Aspek |
Dampak |
Penjelasan |
|
Sosial |
Normalisasi Ahmadiyah di masyarakat |
Kehadiran mereka di forum lintas agama resmi menimbulkan
kesan “diakui negara.” |
|
Politik |
Legitimasi melalui Kemenag dan FKUB |
Langkah strategis agar Ahmadiyah diterima dalam kebijakan moderasi
dan kebebasan beragama. |
|
Agama |
Pengaburan konsep penutup kenabian |
Membahayakan pemahaman dasar umat tentang finalitas
kerasulan Nabi Muhammad SAW. |
5. Kesimpulan Investigatif
Kegiatan Kampung
Moderasi Beragama di Manado pada 23 September 2025 merupakan bagian dari
strategi Ahmadiyah untuk meneguhkan eksistensi dan legitimasi melalui jalur
kelembagaan negara.
Mereka memanfaatkan agenda moderasi yang diinisiasi pemerintah untuk:
- Mencairkan resistensi publik
terhadap ajaran mereka,
- Menyusup dalam jejaring lintas
agama dan birokrasi,
- Meneguhkan posisi sebagai
“komunitas Islam moderat,” padahal secara teologis telah menyimpang dari
aqidah Islam yang murni.
6. Rekomendasi Ahlussunnah
- Kemenag perlu memperjelas batas
antara moderasi sosial dan penyimpangan aqidah. Tidak semua aliran yang
mengatasnamakan Islam dapat diakomodasi.
- Ulama dan ormas Islam perlu aktif
memberikan edukasi akidah, agar masyarakat tidak terkecoh oleh kampanye
moderasi yang menyesatkan.
- Perlu pemetaan ideologis kegiatan
lintas agama agar tidak menjadi saluran infiltrasi kelompok sesat yang
berkedok toleransi.
KEGIATAN 15 :
1. Identitas dan Rincian Kegiatan
- Nama Kegiatan: Silaturahmi dan
Komunikasi Sosial Danramil 0601/Bogor Tengah ke Jemaat Ahmadiyah Bogor[15]
- Tanggal: Tidak disebutkan secara
spesifik, namun masih dalam rangkaian menjelang 100 Tahun Muslim
Ahmadiyah Indonesia (2025)
- Tempat: Masjid Al-Fadhl, Jalan
Perintis Kemerdekaan, Kota Bogor
- Penyelenggara: Jemaat Ahmadiyah
Bogor
- Pihak Terlibat:
- Danramil 0601/Bogor Tengah: Kapten
Inf. Sunari
- Babinsa Kebon Kalapa: Serda
Kunandi
- Ketua DPD Ahmadiyah Kota Bogor:
Rikrik Mubarik Ahmad
- Agenda: Silaturahmi, komunikasi
sosial, dan pembahasan kegiatan Ahmadiyah dalam menyambut 100 tahun
pergerakan mereka di Indonesia.
2. Materi dan Isi Kegiatan
- Silaturahmi dan dialog antara aparat TNI dengan pengurus
Ahmadiyah.
- Pemaparan kegiatan menjelang tasyakur 100 tahun Ahmadiyah, termasuk:
- Rutin melaksanakan shalat lima waktu dan membaca Al-Qur’an
(sebagai upaya menunjukkan “keislaman”).
- Pelaksanaan berbagai program sosial di tengah
masyarakat.
- Upaya memperkuat hubungan dengan pemerintah, TNI, Polri,
dan masyarakat umum.
- Pihak Ahmadiyah menyampaikan ucapan selamat HUT ke-80 TNI kepada Danramil sebagai bentuk pendekatan simbolik dan
penghormatan.
3. Analisa Kritis dari Perspektif
Ahlussunnah wal Jama’ah
a. Analisa Teologis
Secara akidah,
Ahmadiyah bukan bagian dari Islam, karena mereka memiliki keyakinan menyimpang
terhadap konsep kenabian.
Ajaran mereka menolak finalitas kerasulan Nabi Muhammad SAW dengan mengakui
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah beliau.
Oleh karena itu,
upaya menampilkan diri sebagai umat Islam taat (melalui shalat, khataman
Qur’an, dan kegiatan sosial) hanyalah strategi simbolik untuk menyamarkan
penyimpangan ideologis di balik gerakan mereka.
Dalam pandangan
Ahlussunnah wal Jama’ah, tindakan Ahmadiyah yang mengaku berpegang pada
Al-Qur’an namun menyimpang dari makna dan tafsirnya yang sahih adalah bentuk
tadlis (penyamaran kesesatan).
Rasulullah SAW
bersabda:
“Akan muncul di
akhir zaman kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak melewati tenggorokan
mereka.”
(HR. Bukhari dan
Muslim)
Artinya, ibadah
formal tanpa akidah yang lurus tidak diterima di sisi Allah.
b. Analisa Sosial – Politik
Kunjungan TNI ke
lingkungan Ahmadiyah memiliki nilai strategis politis yang tinggi bagi kelompok
ini.
Dari sisi Ahmadiyah, kunjungan Danramil adalah momentum untuk:
- Membangun legitimasi sosial dan
politik, menampilkan diri sebagai komunitas damai dan diterima negara.
- Menarik simpati aparat keamanan,
sehingga mereka tidak lagi dianggap kelompok menyimpang, tetapi sebagai
mitra sosial.
- Mengaburkan posisi mereka sebagai
aliran sesat di mata publik dengan narasi “silaturahmi kebangsaan.”
Dari perspektif
aparat, kegiatan ini mungkin dilihat sebagai upaya menjaga kondusifitas
wilayah, namun tanpa disadari, langkah tersebut memberi ruang pengakuan publik
terhadap eksistensi Ahmadiyah.
Inilah yang disebut “infiltrasi sosial lunak” (soft infiltration), di mana
Ahmadiyah memanfaatkan momentum silaturahmi untuk memperluas pengaruh dan
penerimaan.
c. Analisa Strategi Komunikasi Ahmadiyah
- Pendekatan emosional kepada aparat
TNI dan pemerintah daerah, dengan menonjolkan nilai nasionalisme (ucapan
HUT TNI).
- Mengemas dakwah dan tasyakur dalam
bentuk kegiatan sosial dan lingkungan agar terkesan netral, padahal
mengandung nilai simbolik peneguhan eksistensi sekte.
- Menampilkan wajah moderat dan
damai, untuk mengaburkan akar teologis penyimpangan mereka.
Strategi seperti
ini sering dipakai oleh gerakan Ahmadiyah di berbagai daerah untuk membangun branding
“Islam damai” dan “anti-konflik,” padahal substansinya bertentangan dengan
aqidah Islam yang benar.
4. Dampak Sosial – Politik – Agama
|
Aspek |
Dampak |
Penjelasan |
|
Sosial |
Normalisasi Ahmadiyah dalam ruang sosial dan
pemerintahan |
Kunjungan aparat membuat masyarakat menganggap Ahmadiyah
sebagai bagian sah dari Islam. |
|
Politik |
Legitimasi struktural |
Dengan kedatangan pejabat TNI, Ahmadiyah mendapatkan pengakuan
simbolik dari institusi negara. |
|
Agama |
Pengaburan batas aqidah Islam |
Aktivitas Ahmadiyah dikemas dengan ritual Islam, tetapi
akidah mereka tetap menyimpang. Ini membingungkan umat awam. |
5. Kesimpulan Investigatif
Kunjungan
Danramil 0601/Bogor Tengah ke Masjid Al-Fadhl milik Jemaat Ahmadiyah Bogor
merupakan bagian dari pola relasi sosial-politik Ahmadiyah tahun 2025.
Mereka menggunakan momen nasionalisme (HUT TNI) dan program sosial keagamaan
untuk membangun kesan positif di hadapan aparat negara dan masyarakat.
Namun dari
perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah, langkah ini berbahaya karena:
- Mengaburkan batas aqidah antara
Islam dan Ahmadiyah,
- Melemahkan kewaspadaan masyarakat
terhadap penyimpangan teologis,
- Mendorong opini publik bahwa
Ahmadiyah hanyalah “mazhab Islam minoritas,” bukan sekte yang keluar dari
Islam.
6. Rekomendasi
- Perlu arahan tegas dari ulama dan
MUI agar aparat dan pejabat memahami status Ahmadiyah sebagai kelompok
menyimpang, bukan bagian dari umat Islam.
- Lembaga negara, terutama TNI dan
Kemenag, harus diberi pemahaman keagamaan agar tidak menjadi saluran
normalisasi bagi aliran sesat.
- Perlu pemantauan ideologis
terhadap kegiatan Ahmadiyah, terutama di momen peringatan 100 tahun,
karena mereka sedang melakukan soft campaign legitimasi publik
melalui silaturahmi strategis.
KEGIATAN 16 :
1. Identitas dan Rincian Kegiatan
- Nama Kegiatan: Seminar “Jabar
Istimewa, Indonesia Berdaya: Kolaborasi Lokal untuk Ketahanan Nasional”[16]
- Tanggal: Minggu, 28 September 2025
- Tempat: Hotel Taman Sari, Kota
Sukabumi, Jawa Barat
- Penyelenggara: Yayasan Teduh Insan
Kreatif Sukabumi
- Tema Umum: Ketahanan nasional
melalui kolaborasi masyarakat dan penguatan peran pemuda
- Peserta:
- Perwakilan Jemaat Ahmadiyah Sukabumi (4 orang):
- Mln. Habib Ahmad Berlin – Mubda
Jemaat Ahmadiyah Jawa Barat Sukabumi Raya
- Ahmad Sobari – Ketua Jemaat
Ahmadiyah Sukabumi
- Dua anggota Lajnah Imaillah Sukabumi (sayap perempuan
Ahmadiyah)
- Mahasiswa, aktivis pemuda, dan unsur masyarakat
- Narasumber:
1.
Dani
Hadianto – Kesbangpol Jawa Barat
2.
Daden
Sukendar – Komnas Perempuan
3.
Rizki
Hegia Sampurna – Aktivis kepemudaan
2. Materi dan Isi Kegiatan
Kegiatan ini dikemas sebagai seminar
kebangsaan dan sosial dengan tiga fokus utama:
- Ketahanan nasional dan sinergi masyarakat (Kesbangpol Jabar)
→ Menekankan bahaya radikalisme, pentingnya bela negara, dan kerja sama lintas kelompok. - Pencegahan kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan)
→ Mengangkat tema inklusivitas dan perlindungan hak perempuan. - Pemberdayaan pemuda dan transformasi sosial ekonomi (Aktivis pemuda)
→ Mengarahkan agar pemuda menjadi agen perubahan melalui ekonomi kreatif.
Jemaat Ahmadiyah hadir sebagai peserta
aktif dan menyatakan apresiasi terhadap semangat kolaborasi dan toleransi yang
diusung acara tersebut.
3. Analisa Kritis dari Perspektif
Ahlussunnah wal Jama’ah
a. Analisa Teologis dan Ideologis
Kehadiran
Ahmadiyah dalam forum kebangsaan dan sosial seperti ini bukan hal baru. Mereka
sering memanfaatkan momentum nasionalisme, toleransi, dan pluralisme sebagai
sarana menormalisasi keberadaannya di tengah masyarakat.
Mereka tidak
membicarakan akidah secara terbuka, melainkan masuk melalui pintu-pintu sosial
– budaya – dan kebangsaan.
Dari perspektif
Ahlussunnah wal Jama’ah, ini termasuk strategi infiltrasi ideologis
non-religius, yakni menggunakan narasi sosial untuk mendapatkan penerimaan
publik, agar publik lupa bahwa inti ajaran mereka menyalahi prinsip tauhid dan
finalitas kenabian Muhammad ﷺ.
Dengan
menonjolkan wajah sosial dan nasionalis, Ahmadiyah menciptakan ilusi bahwa
mereka adalah bagian dari Islam moderat, padahal akidah mereka secara tegas
telah keluar dari Islam.
Hal ini termasuk
dalam firman Allah:
“Dan janganlah
kamu duduk bersama mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain.
Sesungguhnya (kalau kamu tetap duduk bersama mereka), kamu serupa dengan
mereka.” (QS. An-Nisa: 140)
Ayat ini
mengingatkan agar umat Islam tidak ikut duduk atau berpartisipasi dalam
kegiatan yang secara tidak langsung melegitimasi penyimpangan.
b. Analisa Sosial – Politik
Dari sisi
sosial-politik, seminar ini berfungsi sebagai sarana Ahmadiyah memperluas
jaringan pengaruh di ruang sipil.
Mereka hadir
dalam acara resmi yang dihadiri Kesbangpol dan Komnas Perempuan — dua lembaga
yang memiliki pengaruh langsung terhadap kebijakan negara dan opini publik.
Tujuan
terselubung yang dapat ditarik:
- Memperkuat posisi Ahmadiyah dalam
wacana moderasi dan pluralisme, agar seolah-olah mereka bagian dari “Islam
cinta damai.”
- Mendapatkan akses politik dan
kelembagaan, terutama dari Kesbangpol yang berwenang dalam pengawasan
ormas.
- Mendekati kelompok pemuda dan
perempuan (melalui Lajnah Imaillah dan diskusi aktivis) sebagai sasaran
rekrutmen jangka panjang.
Dengan demikian,
forum semacam ini bukan sekadar seminar, tetapi bagian dari strategi komunikasi
politik Ahmadiyah di level daerah.
c. Analisa terhadap Narasi Toleransi dan
Pancasila
Narasi
“Pancasila, toleransi, gotong royong” menjadi pintu legitimasi bagi kelompok
menyimpang untuk menyamakan kedudukan mereka dengan umat Islam yang lurus
akidahnya.
Konsep toleransi yang digunakan di sini bersifat relativistik — semua agama dan
aliran dianggap setara dan sah.
Padahal dalam
Islam, toleransi tidak berarti mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
“Barang siapa
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.”
(HR. Abu Dawud)
Keterlibatan
Ahmadiyah dalam acara yang menonjolkan nilai-nilai pluralisme tanpa penegasan
batas akidah justru berpotensi menyesatkan umat awam, karena menampilkan wajah
“Islam” yang sudah menyimpang dari fondasi risalah Nabi SAW.
4. Dampak Sosial – Politik – Agama
|
Aspek |
Dampak |
Penjelasan |
|
Sosial |
Normalisasi eksistensi Ahmadiyah dalam komunitas
akademik dan aktivis muda |
Publik semakin menganggap Ahmadiyah sebagai bagian dari
ormas Islam sah yang “toleran dan damai.” |
|
Politik |
Perluasan jaringan dengan lembaga negara (Kesbangpol, Komnas
Perempuan) |
Membuka jalan lobi kelembagaan untuk melindungi Ahmadiyah dari
tekanan hukum dan sosial. |
|
Agama |
Penyimpangan akidah tersamarkan |
Wajah sosial Ahmadiyah menutupi penyimpangan aqidah
mereka di balik simbol nasionalisme dan kemanusiaan. |
|
Pemuda &
Perempuan |
Target infiltrasi ideologis |
Melalui kegiatan sosial dan pelatihan, Ahmadiyah menanamkan konsep
inklusif yang menggiring generasi muda menjauhi prinsip tauhid. |
5. Kesimpulan Investigatif
Keterlibatan
Jemaat Ahmadiyah Sukabumi dalam seminar “Jabar Istimewa, Indonesia Berdaya”
merupakan bagian dari pola infiltrasi lunak Ahmadiyah di ruang sosial,
pendidikan, dan kebangsaan tahun 2025.
Mereka
menempatkan diri sebagai peserta aktif untuk mendapatkan penerimaan sosial,
dukungan lembaga negara, dan legitimasi moral di mata masyarakat.
Dari perspektif
Ahlussunnah wal Jama’ah, kegiatan ini mengandung bahaya akidah dan sosial,
karena:
- Menormalisasi kelompok sesat dalam
forum resmi,
- Mengaburkan batas iman dan kufur
atas nama toleransi,
- Membuka peluang bagi Ahmadiyah
untuk memperluas pengaruh pada kalangan muda dan aktivis.
6. Rekomendasi
- Lembaga Islam (MUI, pesantren, dan
ormas Ahlussunnah) perlu aktif mengedukasi masyarakat tentang bahaya
penyimpangan akidah Ahmadiyah di balik narasi toleransi.
- Kesbangpol dan lembaga negara
lainnya harus diberi pemahaman bahwa keterlibatan Ahmadiyah dalam kegiatan
kebangsaan bukan berarti penerimaan ideologinya.
- Perlu pengawasan konten dan tema
forum-forum publik, agar tidak dijadikan sarana propaganda terselubung
bagi aliran yang menyimpang.
- Pemuda dan aktivis Islam perlu
dibina agar paham batas antara kolaborasi sosial dan kompromi aqidah.
KEGIATAN 17 :
Kegiatan: Ijtima Nasional MKAI-MAAI 2025[17]
Tanggal:
Jumat–Minggu, 26–28 September 2025
Lokasi: Subang, Jawa Barat
Penyelenggara: Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia (MKAI) dan Majelis
Athfalul Ahmadiyah Indonesia (MAAI)
Jumlah Peserta: ± 2.200 orang dari berbagai daerah di Indonesia
I. Deskripsi Kegiatan
Kegiatan ini
merupakan pertemuan tahunan (ijtima) bagi pemuda dan remaja Ahmadiyah
Indonesia. Selama tiga hari, para peserta mengikuti berbagai sesi pembinaan
internal, kegiatan ibadah versi Ahmadiyah, serta diskusi motivasional.
Sadr MKAI, Muhammad Anahdi, menyampaikan agar para pemuda Ahmadiyah
memancarkan “nilai-nilai Islam sejati” versi komunitas mereka dan menjadikan
ijtima sebagai sarana introspeksi diri serta penguatan semangat pengabdian
terhadap organisasi.
Acara diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin langsung oleh Amir Nasional
Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia, Zaki Firdaus Syahid, ST., MT., disertai
pemberian penghargaan kepada majelis-majelis aktif.
II. Materi dan Tujuan Kegiatan
- Pembinaan kader muda Ahmadiyah
(Khuddam & Athfal): Penguatan ideologi
Ahmadiyah kepada generasi muda untuk melanjutkan misi dakwah dan struktur
organisasi mereka.
- Peneguhan loyalitas kepada
khalifah Ahmadiyah internasional (Mirza Masroor Ahmad): Seluruh rangkaian kegiatan diarahkan untuk menumbuhkan
kepatuhan spiritual dan organisatoris kepada pimpinan pusat di London.
- Kampanye “nilai Islam sejati”: Istilah ini digunakan Ahmadiyah untuk membangun citra bahwa
ajaran mereka merupakan representasi Islam yang damai dan murni, walaupun
memiliki penyimpangan mendasar dalam hal kenabian.
III. Analisa Kritis dari Sudut Pandang
Ahlussunnah wal Jama’ah
- Penyimpangan Aqidah:
Ajaran Ahmadiyah yang mempercayai adanya nabi setelah Rasulullah SAW
(yakni Mirza Ghulam Ahmad) bertentangan dengan akidah Islam yang final dalam
QS. Al-Ahzab: 40 ("Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi").
Karena itu, kegiatan ini bukan sekadar pembinaan pemuda, tetapi merupakan pembentukan
kader ideologis dari ajaran yang menyimpang dari Islam.
- Bahaya Doktrinasi Terstruktur:
Melalui organisasi Khuddamul Ahmadiyah (untuk pemuda) dan Athfalul
Ahmadiyah (untuk anak-anak), Ahmadiyah melakukan pembinaan sistematis sejak
usia dini. Ini merupakan strategi rekrutmen jangka panjang agar keyakinan
menyimpang mereka diwariskan lintas generasi.
- Klaim “Islam Sejati” yang
Menyesatkan:
Narasi “nilai-nilai Islam sejati” yang diulang-ulang oleh pimpinan
MKAI berpotensi menyesatkan masyarakat awam yang tidak mengetahui perbedaan
mendasar antara ajaran Ahmadiyah dan Islam Ahlussunnah.
- Pengaruh Sosial-Politik:
- Kegiatan besar semacam ini
berpotensi menciptakan soliditas internal Ahmadiyah dan memperkuat
posisi mereka di ruang publik, terutama dalam wacana “moderasi beragama”.
- Dengan jumlah peserta yang besar
dan dukungan organisasi kuat, Ahmadiyah sedang berusaha menunjukkan
eksistensi sosial-politik di tengah upaya pemerintah mendorong
toleransi berlebihan tanpa batas.
IV. Dampak Sosial – Politik – Agama
|
Aspek |
Dampak |
|
Sosial |
Membentuk komunitas eksklusif dengan solidaritas tinggi,
namun berpotensi menimbulkan segregasi sosial karena perbedaan akidah yang
tajam dengan umat Islam lainnya. |
|
Politik |
Upaya menunjukkan kekuatan massa dan kesiapan berpartisipasi dalam
wacana publik agar diakui secara legal dan politik sebagai bagian dari Islam
Indonesia. |
|
Agama |
Meningkatkan potensi kebingungan akidah di kalangan
awam. Kegiatan seperti ini memperluas penyebaran ide “kenabian baru” yang
bertentangan dengan prinsip finalitas risalah Muhammad SAW. |
V. Kesimpulan Investigatif
Ijtima MKAI-MAAI
2025 di Subang bukan sekadar acara pemuda, melainkan agenda strategis
kaderisasi dan konsolidasi ideologi Ahmadiyah. Dari kacamata Ahlussunnah wal
Jama’ah, kegiatan ini menegaskan pola infiltrasi spiritual dan sosial Ahmadiyah
melalui jalur pendidikan, pembinaan anak muda, dan kegiatan keagamaan yang
dikemas moderat.
Kegiatan semacam
ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan ormas Islam, agar tidak
terjebak dalam narasi toleransi semu yang dapat merusak kemurnian aqidah Islam
dan menyesatkan umat dari jalan Rasulullah SAW.
[2] Sumber : Mubaligh
dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Kaltimtara Jalin Silaturahmi dengan Anggota DPRD
Bontang
[8] Sumber : Ketua
AMLA Indonesia Tekankan Urgensi RUU Anti Diskriminasi di Simposium Nasional
FISIP UI
[9] Sumber : Kemenag
Kunjungi Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta, Silaturahmi dan Giat Sinkronisasi Data
Keagamaan
[11] Sumber : Amir
Nasional Kunjungi Redaksi Tirto.id, Dukung Hadirnya Pemberitaan Berimbang di
Masyarakat
[12] Sumber : Amir
Nasional Silaturahmi ke Redaksi CNN Indonesia, Sinergi untuk Perdamaian | Warta
Ahmadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar