Senin, 25 Mei 2015

Kutipan dari Buku Lubang Hitam Agama



KUTIPAN BUKU
LUBANG HITAM AGAMA
Mengkritik Fundamentalisme Agama, Menggugat Islam Tunggal
Karangan : SUMANTO AL-QURTUBI.
Penerbit: Rumah Kata dengan Ilham Institute - Tahun 2005
(Menghina Islam serta Kitab Suci Al Qur’an)
 Oleh: M. Amin Djamluddin

1.    Muktamar NU ke-13 menolak keras gagasan Islam Liberal
Asrama Haji Donohudan Boyolali, tempat berlangsungnya muktamar NU ke-31 menjadi saksi bisu atas bangkitnya arus konservatisme ormas islam yang berbasis masa tradisional ini. Di setiap sudut di arena muktamar terpampang poster, spanduk, brosur dan selebaran-selebaran yang isinya mengecam gagasan islam liberal yang dianggap membahayakan otoritas dan otentisitas islam sebagai “agama langit”. Selama berlangsungnya muktamar, terutama di forum masa’il diniyah (persoalan keagamaan) telah terjadi pengadilan pemikiran terhadap islam liberal yang mereka anggap sebagai ide sesat dan menyesatkan.
Akhirnya para kiyai NU menolak keras gagasan islam liberal yang kebanyakan diusung kaum muda NU cultural serta menyerukan agar struktur NU bersih dari “orang-orang NU liberal” (Sumanto al-Qurtubi, Lubang Hitam Agama, hal. 29).

2.    Kebebasan adalah Kebenaran itu Sendiri
                 Mereka yang menghindari kebebasan (berpikir) karena kebebasan dianggap sebagai musuh kebenaran dan tempat persemaian yang cocok untuk ide-ide salah dan sesat tidak menyadari bahwa kebebasan adalah kebenaran itu sendiri. (Idem hal. 29 ).


3.    Agama terseok-seok tidak bisa dijadikan pedoman hidup Manusia Modern
Apakah doktrin-doktrin agama  yang hadir ratusan Tahun silam masih up to date dengan semangat perkembangan zaman dan kemajuan manusia modern? Atau justru sebaliknya, terseok-seok dan tidak layak lagi dijadikan sebagai “pedoman Hidup” manusia modern ? bagi kalangan fanatikus agama yang mempercayai 100 % agamanya sebagai “produk Tuhan” tentu akan membela mati-matian doktrin keagamaanya dari segala macam serbuan diluar agama. (idem hal. 31).

4.  Kaum liberal Agama bukan Produk Tuhan 100 %
Sementara itu bagi kalangan liberal, praktik agama tidak harus melalui huruf per huruf dari sebuah “Firman Tuhan” kaum liberal berpendapat agama bukanlah produk tuhan 100 % tetapi ada intervensi sejarah. (idem hal. 31).

5.    Keadilan Sosial Mengalahkan Hukum Tuhan.
Bahkan, jika ada “ayat-ayat Tuhan” yang bertabrakan dengan kemaslahatan masyarakat, harus diunggulkan kemaslahatan dan keadilan social. (idem Hal. 31)

6.    Kebebasan Harga Mati.
Oleh karena itu dalam Islam, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kebebasan adalah “harga mati”. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak pada agama dan wahyu. Ada juga yang mengira dengan membatasi kebebasan pemikiran dan kemerdekaan akal, mereka telah “melindungi” wahyu, menjaga firman tuhan dari corporeal duniawi yang menyesatkan. Pandangan demikian jelas keliru dan mengada-ngada. Sebab, begitu kebebasan manusia di batasi, dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. (idem hal. 33).

7.    Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai
Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan berarti menjerumuskan manusia kejurang kesesatan, dari detik pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, karena itu, “kuda cebol” ini selalu mencari majikan yang dapat menuntunya. Sesungguhnya islam tidak membutuhkan orang-orang bebal semacam keledai. Oleh karena itu al-Qur’an berkali-kali menyentil orang yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab“ (matsalulladziina hummilat tauraata kamatsalil himaari yahmilul asfaara). Keledai takkan pernah mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai, dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu pada keledai. Ingat dan yakinlah bahwa kecemerlangan islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan otonom sehingga mampu menyingkap (disclosing) rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. ( idem hal : 34 ).

8.    Membanggakan al-Qur’an sebagai wahyu otentik hanya meremehkan manusia ciptaan Tuhan dan merendahklan martabat Tuhan.
Uniknya (tepatnya, lucunya) meskipun menyadari “keudikan” dan kemerosotan dunia islam, kalangan fanatikus agama justru membangga-banggakan al-Qur’an sebagai “wahyu otentik” yang masih steril dari intervensi manusia. Mereka berusaha sekuat tenaga membentengi huruf per huruf dari al-Qur’an dari upaya penafsiran non-literal karena dianggap bisa mengurangi derajat ‘keotentikan” al-Qur’an sebagai “kabar Tuhan dari langit”. Subhanallah! pandangan ini jelas tidak hanya meremehkan manusia yang diciptakan Tuhan  sebagai mahluk berakal tetapi juga merendahkan martabat Tuhan! sebab bagaimanapun Tuhan lebih agung ketimbang sebuah teks mati : “ Allahu akbaru minal teks”. Dan ‘keinginan’  tuhan tidak bisa ditangkap secara utuh melalui sebuah untaian kata-kata “firman tuhan“ (kalam Allah) sekalipun. “kalimat Tuhan” ibarat lautan luas yang tak berujung, bukan 6666 ayat dari al-Qur’an itupun kalau jumlahnya memang sekian. Kalaupun ayat-ayat al-Qur’an dianggap sebagai “kalam Allah’ maka itu hanya nol koma sekian persen dari “kalimat tuhan” bukan “kalam tuhan” itu sendiri. (idem hal. 34-35)

9.    Seperempat Saja Wahyu Al Qur’an yang Sesungguhnya
                 Situasi yang terjadi sekarang ini justru sebaliknya : umat islam kembali pada teks, scripture, bukan pada visi etis yang melandasi teks-teks itu karena teks menjadi sandaran utama dalam visi keagamaan yang dominan, maka pembaruan-pembaruan pemikiran dalam islam selalu berhadapan dengan pertanyaan wajib yang selalu berulang-ulang dari waktu-kewaktu : pandangan anda sesuai tidak dengan al-Qur’an dan sunnah ? mana dalilnya ? wahyu tekstual mungkin hanya ‘seperempat’ saja dari wahyu al-Qur’an yang sesungguhnya ( yang lain adalah “wahyu implicit“ – ini setelah Ulil Abshar-Abdalla-dalam bentuk konteks social)…
                 …“al-Qur’an sebagai teks “ (al-Qur’an kan nash ) dan “ al-Qur’an sebagai wacana “ (al-Qur’an kal khithab ). Al-Qur’an adalah fenomena yang dinamis sementara Mushaf adalah fenomena teks. (idem hal. 35-36).

10. Realitas Al Qur’an yang begitu Dinamis dan Demokratis di Bonsai dalam Bentuk Mushaf Al Imam
                 Al-Qur’an merupakan fenomena yang dinamis,dialogis,debat-sanggah dan mengikuti mekanisme take and give, receive and reject. Posisi itulah yang tidak mampu di jangkau oleh mushaf sebagai sekumpulan teks yang mati. Kita tahu sepanjang proses pewahyuan, orang-orang islam pertama zaman itu mengajukan berbagai macam pertanyaan kritis dan menuntut jawaban al-Qur’an. Manusia jaman itu berinteraksi dengan sesuatu yang sacral dengan cara yang hidup dan sehat. Artinya mereka bertanya al-Qur’an menjawab, mereka membantah al-Qur’an menyanggah begitu seterusnya. Itu artinya al-Qur’an sangat demokratis. Maka, ketika realitas al-Qur’an yang begitu dinamis dan demokratis itu kemudian di “bonsai” dalam bentuk ”mushaf al-Imam”-yang banyak menimbulkan kontroversi itu-yang terjadi adalah reduksi besar-besaran atas nilai, makna dan wawasan al-Qur’an. (idem hal. 36).

11. Menggembor-gemborkan al-Qur’an sebagai teks yang otentik adalah lelucon yang tidak lucu dari ummat islam yang katanya ummat Terbaik.
Teks tidak mampu menampung konteks. Konteks selalu hidup dan dinamis sementara teks selalu mati dan statis. Menyadari realitas sejarah yang demikian, umat islam bukan melakukan kritik diri bahkan sebaliknya membela mati-matian otoritas dan supremasi teks al-qur’an sera menggembar gemborkan  sebagai teks yang otentik, asli,original one, made in tuhan, bukan teks palsu, imitasi seperti, bible, injil dan lainya. Ini adalah bagian lelucon yang tidak lucu dari ummat islam yang katanya”umat terbaik itu”. Kenapa teks menempati supremasi yang begitu tinggi dalam islam ? ini sangat terkait dengan “wawasan teologis” umat islam yang mengangap Tuhan berbicara langsung kepada manusia via nabi – yang kemudian jadi al-Qur’an ( baca mushaf al-qur’an ) bahwa firman Tuhan adalah superior tehadap kata-kata manusia; (idem hal. 37).

12. Penyembahan pada Teks
                 Wawasan teologis yang bersifat ultra-teosentris semacam inilah yang menerangkan kenapa teks ditempatkan dalam kedudukan yang sentral sementara pengalaman manusia yang riil dan kontekstual diletakkan dalam kedudukan yang inferior, rendah, sekunder atau bahkan tidak berarti sama sekali.
                 Saya berpendapat, wawasan teologis yang demikian sanngat berbahaya karena bisa mengarah pada “kemusyrikan intelektual “ ya’ni “penyembahan pada teks” yang oleh T.H. Huxley dalam science and Hebrew tradition disebut “bibliolatry”-pemberhalaan atas teks scriptural. Selain itu, ketundukan pada sebuah teks scriptural akan merosotkan nilai islam sebagai agama yang, memegang prinsip “takrim” (pemuliaan manusia karena anugerah akal) dan merendahkan derajat al-Qur’an sebagai sebuah “khitab”. (idem hal. 37).

13.Islam Konservatif
                 Apa yang dilakukan kalangan fanatikus islam (fundamentalis, konservatis, teroris,) dewasa ini sebetulnya hanyalah sekadar “melanjutkan tradisi” islam konservatif masa lalu. Dan lagi lagi wacana otentisitas “discourse of authenticity“ (idem hal. 39).

14. Wawasan Islam bukan bunyi dari Sebuah Teks
                 Mereka melihat wawasan islam bukann dari bunyi literal sebuah teks melainkan dari visi etis teks itu. Bukan dari yang tersurat tapi yang tersirat dala sebuah teks. (idem hal. 41)

15.Penafsiran Mengikuti Teks Al Qur’an Apa Asana, Jelas Ngawur.
                 Benarkah penafsiran yang berupaya menyingkap makna dibalik teks (the meaning behind the teks), penafsiran non-literal atas al-Qur’an dan kontekstualistik, semakin jauh dari “kehendak Tuhan”?. Dan sebaliknya: penafsiran yang mengikuti teks al-Qur’an “apa adanya“ (baca, literal), tekstualistik, berarti dengan sendirinya semakin dekat dengan “kehendak tuhan”?  saya rasa tesis demikian jelas ngawur ! (idem hal. 42)

16. Tidak Punya Urusan Dengan Tuhan
Saya tidak bermaksud untuk melakukan kontestasi atau perebutan teks kepada tuhan. Saya bahkan tidak punya urusan dengan tuhan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pandangan “ semakin literal memahami teks al-Qur’an, maka “semakin dekat dengan kehendak tuhan “ sebagai pandangan yang ngawur karena ini jelas mengingkari fakta historisitas al-Qur’an seperti saya singgung diatas pada mulanya adalah sebuah “Khitab” atau ajaran dinamis yang sangat demokratis dan terbuka dengan konteks osial dan aneka ragam pendapat. Bahkan sesungguhnya hakikat al-Qur’an bukanlah “teks Verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan utsman itu melainka gumpalan-gumpalan gagasan. Imam Zarkasyi menegaskan bahwa al-Qur’an turun kepada nabi hanyalah berupa gumpalan gagasan sementara ide pengkalimatan gagasan dilakukan oleh nabi sendiri ( sebagian pendapat lain jibril yang memberi baju atas ide-ide kewahyuan). Meskipun lebih dominan yang mengatakan bahwa semua teks al-Qur’an made in Tuhan (dalam hati saya emang Tuhan bisa berbahasa arab ?). (idem hal. 42 )


17. Redaksi Al Qur’an Dirumuskan Oleh Nabi
        Al-Qur’an bagi saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh nabi. (idem hal. 42)

18. Nabi, Shahabat, Komunitas Makkah dan Madinah ikut Menciptakan Al Qur’an
Oleh karena itu nabi, sahabat dan pengalaman komunitas makkah dan madinah (tajribatul madinah wa makkah) pada hakikatnya adalah” co-author”  karena ikut menciptakan al-Qur’an.
Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal “ (“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan wahyu non verbal” (“whyu implicit” berupa konteks social waktu itu). Proses penulisan al-Qur’an dengan sendirinya telah “mereduksi” al-Qur’an hanya sebagai teks mati belaka. (idem hal. 43)

19. Betulkah Pemikiran Liberal yang menafsirkan Teks Secara Non Literal berarti Jauh dari Tuhan
Kemudian betulkah pemikiran lliberal yang menafsirkan teks secara non literal berarti jauh dari Tuhan ? sebaliknya, bertulkah mereka, kaum fanatikus al-Qur’an yang menafsirkan teks suci secara literal itu justru paling dekat dengan Tuhan?
Jika kelak di akhirat pertanyaan diatas diajukan kepadaTuhan, mungkin hanya tersenyum tersimpul. Sambil menunjukan surganya yang maha luas, disana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharuddin Lopa, dan Munir !. (idem hal. 45)

20. Al Qur’an, sehingga menjadi Kitab Suci Tidak Lepas dari Peran Serta Tangan-Tangan Ghoib
Al-Qur’an sehingga menjadi “kitab suci” (sengaja saya pakai tanda kutip) juga tidak lepas dari peran serta “tangan-tangan ghoib” yang bekerja diatas layar maupun panggung politik kekuasaan untuk memapankan status al-Qur’an. (idem hal. 64)

21.Al Qur’an yang Dibaca oleh Jutaan Umat Islam adalah Teks Asli Hasil Kodifikasi – tidak menyebut “Kesepakatan Terselubung – anatar Khalifah Utsman dan Panitia Pengumpul yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabbit. Karena itu, tidak pada tempat disebut Sebago Kitab Suci yang Disakralkan.
                 Kita tahu al-Qur’an yang dibaca oleh jutaan ummat islam saat ini adalah teks hasil kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara khalifah utsman (644-656 M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, sehingga teks ini disebut mushaf utsmani. (idem hal. 65).

22. Suatu Teks Hanya akan Berfungsi sebagai Kitab Suci selama ada Sekelompok Orang menganggapnya Sakral dan Suci.
Karena itu tidak pada tempatnya jika ia disebut sebagai “kitab suci” yang disakralkan, dimitoskan.  apakah yang menjadikan suatu teks agama seperti al-Kitab dan al-Qur’an itu suci dan sakral? bagi siapakah teks itu suci dan kapankah ia dianggap suci dan kesakralannya ? (idem hal. 66)
Suatu teks hanya akan berfungsi sebagai kitab suci selama ada sekelompok orang menganggapnnya sakral dan suci, berpengaruh dan memiliki nilai-nilai transenden yang yang membedakanya dari teks teks lain jika tidak ada sekelompok orang yang menganggapnya suci dan sacral, sesungguhnya tidak ada yang namanya teks yang suci. Jika tidak ada yang namanya teks yang suci, tidak akan ada kemarahan meskipun teks itu di injak-injak’. Kemarahan akan terjadi karena ada anggapan kesucian atas sebuah obyek itu bagi sementara orang yang menyucikannya. (idem hal. 23)

23. Kesucian dan Kebenaran Hanyalah Hadiah dari Kelompok Orang tertentu.
Disinilah saya ingin bertanya sederhana saja, adakah sebuah obyek kesucian dan kebenaran yang berlaku universal ? tidak ada ! sekali lagi tidak ada! Tuhan sekalipun! sebab ada sekelompok manusia yang tidak mempercayai adanya kebenaran Tuhan. Maka, jika Tuhan saja “dipersoalkan” eksistensi kebenaranya, apalagi obyek lain? kata “suci“ dan “tidak Suci“ seperti kata “benar” dan “tidak benar”.
Keduanya (kesucian dan kebenaran) hanyalah hasil konstruksi pemikiran atau persepsi manusia belaka atas sebuah obyek tertentu. Karena hasil konstruksi sebuah pemikiran, maka kita tidak akan menemukan sebuah konsep “ kesucian “ dan “kebenaran” yang bersifat obyektif dan berlaku universal dan permanen. Singkatnya, kesucian dan kebenaran hanyalah “hadiah” dari sekelompok orang tertentu karena dipandang memiliki “nilai lebih“ ketimbang yang lain. (idem hal. 68)    

24. Syariat Islam Bukannya Manusia-Manusia Suci, Saleh, dan Agung, tapi justru Menciptakan Gerombolan Mafia dan Anjing-Anjing Penjilat.
Faktanya :”classless society” tidak pernah ada, ratu adil tidak kunjung nongol, dan pemberlakuan syariat islam yang secara kaaffah itu diberbagai belahan dunia islam justru lebih bannyak menimbulkan distorsi dan kejahatan kemanusiaan ketimbang memunculkan peradaban manusia yang egaliter , demokratis, berkeadilan, dan manusiawi. Pembantaian terjadi dimana-mana, teror terjadi dimana-mana, Buah syariat islam bukanya manusia-manusia suci, saleh dan agung tapi justru menciptakan gerombolan mafia dan “anjing-anjing” penjilat kekuasaan! (idem hal. 70).

25.Berpegang Teguh Terhadap Sebuah Teks Sama Saja Berpegang pada barang Rongsokan yang Sudah Usang.
                 Agama, atau tepatnya aturan-aturan keagamaan memang bukanya kapsul yang siap ditelan. Dan teks-teks keagamaan yang (“suci “ atau profan) bukan “juklak atau “juknis” kehidupan manusia yang sudah “selesai” dan final serta mampu mengatasi setiap zaman, setiap generasi. Setiap teks memiliki keterbatasan sejarah. Karena  itu setiap generasi selalu muncul “agen-agen sejarah” yang merestorasi sebuah teks Musa , Jesus, Muhammad, Sidharta, Lao Tze, konfusius, zarasthutra, Marthin Luther, dan lainya adalah bagian kecil dari contoh agen agen sejarah yang melakukan restorasi teks. Berpegang teguh terhadap sebuah teks sama saja berpegangan barang rongsokan yang sudah usang. (idem hal. 70-71).

26. Orang yang Berpegang pada Sebuah Teks seoerti Bayi yang selalu Netek pada Ibunya.
“Hanya buah mentah yang melekat di dahan ; karena buah belum matang tidak siap disajikan di istana; pada saat matang, buah menjadi manis, dan dapat melepaskan diri….; bersikukuhlah dan fanatic (ta’asub) adalah ( symbol ) ketidak matangan ; selama kalian masih embrio, kesibukanmu hanyalah menghisap darah”. Penyair Rumi menamsilkan orang yang berpegang teguh pada sebuah teks (katakanlah kalangan konservatif), ibarat buah mentah yang selalu melekat didahan . jika boleh saya tambah, orang yang model begini ini seperti bayi yang selalu netek pada ibunya. (idem hal. 71)

27.“Pemberontakan” terhadap Teks-Teks Keagamaan yang Membelenggu Kebebasan dan Akal Sehat
Dengan kata lain, kita harus melampui teks: beyond the teks . Muhammad dan juga Musa, Jesus dan Shidarta dan juga lainya, hanyalah membuat “dinding dan pagar pembatas” , katakanlah, sebuah exercise intellectual . tugas kita untuk melampui dinding dan pagar itu. Jika kita mampu melaksanakan tugas itu. Mereka tentu akan tersenyum bangga diakhirat sana . sebaliknya bila tidak ada kemajuan, membeo, membebek tentu mereka akan tersenyum kecut, atau mungkin megumpat : “ dasar anak pandir !“ Dalam konteks inilah, saya sangat apresiatif dengan gagasan para sarjana yang berani melakukan “pemberontakan” terhadap teks-teks keagamaan yang membelenggu kebebasan dan akal sehat. (idem hal. 71)

28. Pentingnya Melampaui Teks dari Sarjana Liberal
Melihat adanya sejumlah teks keagamaan yang mengandung semangat diskriminasi, permusuhan terhadap “ The others”  terutama yang berbeda pemahaman teologi dan jauh dari rasa kemanusiaan dan keadilan. Di sinilah pentingnya pemikiran yang ;melampui” teks seperti yang diserukan beberapa sarjana liberal. Gagasan-gagasan keagamaan yang “melampui” teks (beyond the teks) dari para sarjana liberal agama ini tidak sekedar tampil beda atau hanya mencari popularitas dari kepengapan hidup, tetapi lebih didasarkan pada kegetiran dan kegelisahan intelektual atas realitas keagamaan yang tidak bisa bunyi menghadapi persoalan getir kehudupan. (idem hal. 72)

29. Rukun Islam.
Juga, tidak lupa untuk disebut di sini adalah Muhammad Syahrur, sayap liberall islam kelahiran damaskus. al-Islam wa al-Iman : manzumah al-qiyam telah merontokkan konsep islam dan iman yang dirumuskan para ulama klasik. Setelah melakukan riset ayat-ayat al-Qur’an selama 23 tahun) di makkah dan madinah. Syahrur mengabaikan manusia , syahrur sampai pada kesimpulan, rukun islam itu bukan syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji tapi kesaksian pada Allah (tanpa Muhammad), harim kemudian dan amal shaleh . ia menuding Imam Syafi’I sebagai “biang kerok” kemandulan intelektual umat ruang untuk mengapresiasi teks teks keislaman mula-mula) semua tafsir sudah dimonopoli oleh sang imam. (idem hal : 73)

30. “Rukun Iman”
Rukun Iman dalam Islam yang  dirumuskan secara “sembrono” oleh para ulama klasik-skolastik). (idem hal. 74)

31. Apalah Artinya Status Bagi Orang yang Sudah Mampu Meraih Cinta Kasih Tuhan Sebagai Sumber Mata air Kehidupan.
Saya bertanya dalam hati, apakah kita masih butuh identitas dan status keagamaan (islam atau Kristen misalnya). Apalah artinya status itu bagi orang yang sudah mampu “meraih” cinta kasih tuhan sebagai sumber mata air kehidupan.

32. Hanya Tukang Sensus yang Memperdulikan Status Keagamaan
Saya rasa hanya tukang sensus yang masih mempedulikan status keagamaan : Muslim, Kristen, dan lainya. Dan saya rasa Jesus atau Muhammad atau siapa saja manusia-manusia agung di jagat raya ini tidak merasa bangga dengan membeludaknya pengikut tetapi amat sedikit yang memahami “ kekristenan” atau “keislaman”.

33.Bila Agama Mengklaim Kebenaran Ajarannya, Teks Sucinya, Doktrinnya Sebago Kebenaran Mutlak Satu-satunya Jalan Keselamatan, PAndangan yang Demikian itu Sangat Picik dan Menyesatkan
                 Charles Kimball dalam When religion Becomes evil? mengingatkan, agama bila ditempatkan secara keliru bisa berubah menjadi kekuatan pembunuh yang mengerikan, korup dan jahat. Menurutnya ada lima hal/tanda yang bisa membuat agama menjadi busuk dan menimbulkan bencana. Pertama, bila agama mengklaim kebenaran ajaranya, teks sucinya, doktrinya sebagai kebenaran mutlak satu-satunya. (idem hal. 86)

34. Umat Islam Harus Mampu Memilah-milah Teks Al Qur’an
Karena itulah umat islam harus mampu memilah-milah teks al-Qur’an : mana yang merupakan nilai universal islam dan mana yang hanya “pesan sponsor” orang arab atau bahkan orang quraisy. (idem hal. 117)

35. Umat Islam Harus Mampu Memiliah-milah Al Qur’an
Selama ini mempengaruhi kognisi public umat beragama. “ Premis dasar” yang dimaksud adalah keyakinan bahwa “kitab suci”-nya (al-kitab atau al-Qur’an) sebagai “firman Tuhan” yang otentik. Jika keyakinan ini belum bisa ditinggalkan, maka upaya membongkar dimensi historitas al-kitab maupun al-Qur’an menjadi sia-sia (mission imposible) dengan pendekatan kesejahteraan ini pula, kita akan tahu bahwa teks yang kini di sucikan oleh umat beragma itu sebetulnya bersifat profane tidak sacral, temporal bukan permanen/abadi. (idem hal. 117).

36. Hidup Kita seperti Robot yang Dikendalikan oleh Remote Kontrol bernama Teks
Tanpa disadari hidup kita selama ini seperti robot yang gerak-geriknya dikendalikan oleh remote control yang bernama teks yang menjadi dasar/ruh sebuah agama. (idem hal. 117)


37. Meyakini Agama Tertentu dan Teks Tertentu lebih unggul ketimbang yang lainnya, bisa Menyesatkan.
Teks, yakni teks tertentu lebih unggul ketimbang teks lain yang kemudian melahirkan pandangan bahwa agama tertentu lebih unggul ketimbang lainya-sebuah kategori yang bisa menyesatkan. Tidak ada satupun umat beragama yang bisa mengklaim bahwa halaman “kitab suci”-nya telah mampu menangkap pesan-pesan Tuhan. Tuhan jelas lebih agung ketimbang sebuah teks. Dia melampui teks apapun. Klaim atas keotentikkan firman Tuhan justru akan mereduksi kebesaran  Tuhan itu sendiri. (idem hal. 118)

38. Meyakini Kebenaran Agamanya Sendiri sebagai Satu-satunya Jalan Keselamatan, pandangan yang Demikian itu sangat picik dan menyesatkan.
Kitab sucinya yang merupakan sumber kebenaran yang diyakini sebagai’ (1) bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran yang tanpa kesalahan sama sekali; (2) bersifat lengkap dan final-dan karena itu tidak diperlukan kebenaran agama lain; (3) kebenaran agamanya sendiri dianggap merupakan satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan maupun pembebasan; (4) seluruh kebenaran itu orisinil dari Tuhan, tidak ada insruksi manusia . pandangan demikian jelas sangat picik, menyesatkan. (idem hal. 118-119)

39. “Menelanjangi Fundamentalisme Islam”
Sengaja saya pilih judul itu karena berasumsi bahwa dengan melakukan dekonstruksi atau tafkik dalam istilah arab, terhadap (teks-teks) keagamaan akan membuka jalan bagi terciptanya suatu masyarakat yang demokratis. Dengan kata lain, tanpa melakukan pembongkaran terhadap sejumlah teks keagmaan (keislaman), akan sulit menciptkan suatu tatanan demokratis dimasyarakat. Hal ini disebabkan agama dalam batas tertentu berisi sejumlah teks yang bisa menghambat laju demokratis. (idem hal. 121-122)

40. Islam Merupakan Produk Sejarah
Sementara baik kalangan “liberal-progresif” berpandangan bahwa islam merupakan “produk sejarah” yang tentunya sangat terbatas dengan ruang dan waktu, dan karena  itu tidak memadai untuk menjawab persoalan kekinian dan kedisinian yang begitu kompleks. (idem hal. 122)

41. Apa yang Dilakukan Muhammad dengan Islam dan Al Qur’an menagndung Keterbatasan Sejarah yang tak lepas dari Distorsi-distorsi.
                 Tanpa bermaksud meremehkan ajaran islam dan al-Qur’an serta praktek kenabian, apa yang dilakukan Muhammad dengan islam dan al-Qur’an juga mengandung keterbatasan sejarah yang tidak lepas  dari-distorsi-distorsi. Keislaman yang dia praktekkan hanyalah salah satu contoh dari keislaman lain. Karena itu kritik perlu juga dialamatkan pada nabi dan teks-teks dasar scriptural islam. (idem hal. 127).

42.Dalil Syariat Seringkali Hanyalah Dalil untuk Melakukan Penindasan atas Nama Islam
                 Aplikasi syari’at islam dikatakan tirani karena dalil syari’at seringkali hanyalah dalil untuk melakukan penindasan atas nama islam yang sering kali bertabrakan dengan hak hak dasar manusia yang paling fundamental. (idem hal. 134)

43. Harus Diakui secara Jujur bahwa Sejumlah Teks-teks Skriptual (termasuk Al Qur’an) tidak hanya “Bermasalah” dari Sudut Material saja, juga Menyimpan Problem Historis yang Penuh dengan Kontroversi.
Dasar teologis pembersihan “agama suku” ini adalah ayat : Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahlul kitab dan kaum musyrik akan kekal dalam neraka. Mereka adalah seburuk-buruk mahluk”. (Q.S 98:7). Terma musyrik ini mengacu pada system kepercayaan local di luar Islam dan ahlul kitab (Yahudi/Kristen). Konteksnya saat itu agama-agama dan system kepercayaan masyarakat suku di makkah dan sekitarnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika ayat yang mengandung kutukan ini diterapkan di Indonesia yang penuhi sesak agama suku. Sebagai catatan di Papua/Irian Jaya saja menurut informasi F. Ukur & Cooley dan F.C Kamma ada sekitar 250-an system kepercayaan lokal (agama suku).
Harus diakui secara jujur bahwa sejumlah teks-teks skriptual (termasuk al-Qur’an) tidak hanya “bermasalah” dari sudut material tetapi juga menyimpan problem histories yang penuh dengan kontroversi. (idem hal. 143).



44. Politik Bahasa yang Dimainkan Imam Syafi’i lambat laun telah Menyebabkan Teks-teks Skriptual Islam seperti “Berhala” yang Dimitoskan.
Abu Zayd menganggap pengagungan terhadap bahasa al-Qur’an yang berlebihan merupakan dampak dari politik bahasa yang dilakukan oleh beberapa ulama islam. Abu Zayd, juga Arkoun menuding imam Syafi’i sebagai salah satu arsitek dan pionir dalam sakralisasi bahasa al-Qur’an (Arab). Politik bahasa yang dimainkan Imam Syafi’i ini lambat laun telah menyebabkan teks-teks skriptural islam seperti “berhala” yang dimitoskan. Saya harus katakan bahwa fenomena “pemberhalaan teks” ini tidak hanya terjadi dalam lingkup islam saja tetapi juga agama lain Kristen atau yahudi misalnya. (idem hal. 145)

45. Menempatkan Teks-Teks Keagamaan secara Proporsional dan Kritis Sebago bagian dari Produk Kebudayaan Manusia.
Sebagai muslim saya menginginkan agama Islam ini tampil sebagai pembebas manusia dari-istilah al-Qur’an, “kegelapan ke cahaya” (min dzulumat ila nur)-, dari belenggu ke pembebasan, dari hegemoni ke liberasi, dari otoriterisme ke demokrasi dan seterusnya. Dan itu baru bisa terlaksana jika kita menempatkan teks-teks keagamaan secara proporsional dan kritis sebagai bagian dari produk kebudayaan manusia. (idem hal. 147).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar