Selasa, 03 Maret 2015

LDII Nego Label Sesat dari MUI

LDII Menego Label Sesat MUI
Kritik & Investigasi Oleh : Redaksi 03 Dec 2006 - 12:16 am



Ini cerita kelompok penyandang label sesat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghendaki rehabilitasi. Bila komunitas berstempel sesat lainnya memilih konfrontasi dengan MUI, kelompok ini menempuh negosiasi. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), namanya, dicap sesat oleh MUI tahun lalu bersama dengan Ahmadiyah. Orang kadang menyebutnya Islam Jamaah, kadang Darul Hadis.

Persuasi LDII paling mencolok terjadi ketika Aksi Sejuta Umat mendukung RUU Anti-Pornografi, Mei lalu. Lembaga itu mengibarkan spanduk besar-besar di berbagai sudut jalan Jakarta. Intinya, LDII bersama MUI mendukung RUU tersebut.

Pimpinan MUI yang paling intensif didekati adalah KH Ma'ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa. Komisi yang, kata Kiai Ma'ruf sendiri, memproduksi dua sertifikat: halal dan sesat. Dalam berbagai kesempatan, Kiai Ma'ruf bilang, label sesat LDII bisa saja dicabut bila LDII membuat klarifikasi terbuka tentang berbagai penyimpangan yang dituduhkan.

Citra LDII memang kadung melekat dengan Islam Jamaah. Kelompok ini dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Tahun yang sama, Golkar merangkulnya jadi binaan. Dengan konsesi, berafiliasi politik pada pilar Orde Baru itu. Tahun 1972, namanya berubah jadi Lemkari (Lembaga Karyawan Islam).

Tujuh tahun kemudian, 1979, Lemkari memutuskan dirinya bukan Islam Jamaah dan bukan Darul Hadis. Warganya dilarang menyebarkan paham Islam Jamaah. Sejak 1990, atas anjuran Rudini, Menteri Dalam Negeri saat itu, Lemkari berubah jadi LDII. Karena Lemkari mirip nama organisasi karate.

Darul Hadis alias Islam Jamaah didirikan tahun 1951 oleh Nurhasan Ubaidah (1908-1982) di Kediri. Awalnya adalah kelompok pengajian. Sembilan tahun kemudian, pada 1960, Nurhasan dibaiat sebagai Amirul Mu'minin, pemimpin kaum beriman. Beberapa doktrin dasarnya dikabarkan berbeda dengan arus utama kaum muslim.

Di antaranya, pengajian hanya sah secara manqul (transmisi langsung dari guru ke murid); dilarang bermakmum pada selain jamaah; tak boleh menikah dengan selain jamaah; hanya anggota jamaah yang masuk surga; di luar jamaah dianggap najis; amir boleh punya empat istri, wakil amir tiga istri, amir daerah dua istri; tapi anggota jamaah dilarang poligami.

Dengan beberapa pandangan itu, hubungan warga Islam Jamaah kurang mesra dengan masyarakat muslim lainnya. Meski dengan kerabat sendiri, mereka menolak jabatan tangan dan tak mau berkunjung saat Lebaran. Mereka mendirikan masjid sendiri untuk salat Jumat bagi jamaahnya. Pola ini, misalnya, terjadi di Desa Sumbersari, Banyuwangi, pada akhir 1970-an.

Hubungan negatif itu juga tercermin pada nasib H. Su'aib Said, tokoh perintis LDII di Kelurahan Sidosermo, Wonocolo, Surabaya. Di atas tanahnya, seribuan meter persegi, di Jalan Sidosermo IV, didirikan masjid dan pusat kegiatan anggota LDII. Su'aib amat disegani, juga ditakuti, selain kaya, juga mantan preman.

Tahun 1999, Su'aib meninggal. Jenazahnya ditolak warga dikubur di pemakaman umum. Akhirnya keluarga mengubur di tanahnya sendiri, seluas 10 x 15 meter, dekat masjid itu. Semula areal itu untuk makam keluarga. Lalu berkembang jadi makam khusus warga LDII. Jadi, bukan hanya masjid, pemakaman LDII pun eksklusif. "Ini hanya terjadi di LDII Sidosermo," ujar Erwin, warga LDII setempat.

Ketua Umum DPP LDII, Prof. Dr. Abdullah Syam, telah memberi klarifikasi pada MUI, Juni 2006. Intinya, LDII berbeda dengan Islam Jamaah. Tak ada sistem keamiran. Syariah dan akidahnya sama dengan umat Islam lain.

"Kami bukan Islam Jamaah. Anggapan ini mungkin karena dulu LDII menampung anggota Islam Jamaah," kata Abdullah. "Mereka kebanyakan sudah tua, dan banyak juga yang telah meninggal," katanya. "Kami tidak meneruskan ajaran Haji Nurhasan."

Ketua LDII Sulawesi Selatan, Hidayat Nahwi Rasul, bahkan akan memecat warganya yang masih menjalani Islam Jamaah. "Kami tegas, siapa pun warga LDII yang mengamalkan Islam Jamaah langsung dipecat," ujarnya.

Gatra mencoba menelusuri kantong-kantong LDII untuk membuktikan berbagai klaim itu. Saat azan magrib, Senin pekan lalu, reporter Gatra Rizal Harahap masuk masjid LDII di Jalan Pelajar Timur, Medan. Usai kumandang azan, ruang dalam masjid itu masih sepi. Berbeda dengan masjid lain yang langsung disesaki jamaah.

Sesaat kemudian, barulah jamaah datang satu per satu untuk menunaikan salat sunat. Setiap orang yang berpapasan dengan Gatra, laki-laki, perempuan, tua-muda, menyunggingkan senyum ganjil. Seolah tersirat makna: reporter Gatra kesasar atau dianggap agen intel. Belakangan ketahuan, kompleks itu kerap disusupi intel.

Salat berjamaah baru dimulai pukul 18.40. Hampir setengah jam dari awal waktu magrib di Medan: pukul 18.11. Jamaah tampaknya sudah biasa memperlambat awal salat. Itu pun masih banyak yang terlambat (makmum masbuk). Malah, salat berjamaah "trip kedua", masih banyak pesertanya.

Ada yang unik: anak-anak, malah balita, dibiarkan masuk di tengah saf pertama. Meski di saf kedua banyak pria dewasa. Sebagian tudingan miring pada kelompok itu tidak terbukti. Minimal selama Gatra di sana. Bekas tempat salat Rizal Harahap langsung dipakai jamaah lain. Tidak dipel lebih dulu karena non-LDII dianggap najis, seperti cerita yang berkembang selama ini.

Pengalaman serupa ditemukan Gatra di masjid Kantor Pusat LDII, Jalan Tawakal IX/18, Tomang, Jakarta Barat. Jarak azan dan awal salat magrib berjamaah juga cukup lama. "Orang asing" diterima leluasa bergabung melaksanakan salat magrib sekaligus isya. Tak ada aksi mengepel lantai. Beberapa anggota LDII juga enteng saja berjabat tangan dengan Gatra. Dulu banyak cerita, mereka enggan berjabatan tangan dengan orang lain.

Di Surabaya, reporter Gatra Ary Sulistyo, yang menunaikan salat jamaah di beberapa masjid LDII, tak diperlakukan sebagai "barang najis". Justru mendapat sambutan hangat. "Tuduhan mengepel bekas salat orang lain sama sekali tidak benar," ujar Kurniadi, Ketua Takmir Masjid LDII Sidosermo, Surabaya. "Lihat saja waktu salat Jumat, banyak warga non-LDII yang berjamaah. Cuma, kalau jadwalnya ngepel, ya, dipel."




Koresponden Gatra di Makassar, Anthony Djafar, juga tak menemukan aksi pembersihan lantai di masjid LDII. Di Sulawesi Selatan, lebih dari 100 masjid dibina LDII. Di Makassar ada 12 masjid. Satu yang terbesar adalah Masjid Nurul Hakim di Jalan Urip Sumoharjo, yang jadi kantor pengurus LDII Sulawesi Selatan. Semua perlakuan itu diperoleh awak Gatra sebelum memperkenalkan diri sebagai wartawan.

KH Ma'ruf Amin menjelaskan, klarifikasi DPP LDII telah dibahas Komisi Fatwa. "Kalau memang kondisinya seperti itu, seharusnya LDII bisa kita terima," katanya. Kini sedang dibahas oleh pengurus harian. MUI sedang menunggu klarifikasi LDII di tingkat wilayah dan cabang.

Ma'ruf telah berkeliling ke sejumlah basis LDII di Kediri, Jombang, Bandung, Lampung, dan sebagainya. Ia menjelaskan sikap MUI bahwa perbedaan bisa ditolelir, tapi penyimpangan harus diamputasi. "Selama perbedaan LDII masih dalam koridor yang ditolelir, bisa dimasukkan dalam kesatuan gerak umat Islam yang dikoordinasikan MUI," katanya.

Namun Amin Djamaluddin, Ketua LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) Jakarta, masih keberatan. Apa urusannya? Lembaga ini banyak meneliti dan menerbitkan buku-buku bertemakan kesesatan LDII. "Saya punya dokumen materi pengajian LDII sampai September 2006. Mereka tidak berubah," kata Amin, yang juga anggota Komisi Pengkajian MUI.

LDII dilaporkan masih mengultuskan Nurhasan Ubaidah dan memojokkan umat Islam lain. "Kami akan menerbitkan penelitian terbaru kami. Semua itu membongkar kebohongan mereka." Tapi Kiai Ma'ruf cenderung merangkul. "Ini ada orang menunjukkan niat baik, masa kita tolak," katanya. "Bahwa di lapangan masih ada yang menyimpang, kita benahi sambil jalan." Jadi, sertifikat mana yang bakal dikeluarkan MUI setelah pengkajian ulang? Halal atau tetap sesat.

Asrori S. Karni dan Mukhlison S. Widodo
[Agama, Gatra Nomor 1 Beredar Kamis, 16 November 2006]

3 komentar: