Selasa, 03 November 2015

NIKAH MUT’AH (Dalam buku: Titik Temu Fiqih & Theologi Syiah-Sunni; karya: Prof.Dr. Athif Salam; cetakan 1, 2013, penerbit: Sakkhausukma Bantul Yogyakarta)



Kutipan,

“Ketiga, mempermudah pernikahan bilamana berkaitan dengan kebutuhan biologis. Jangan sampai dipersulit persyaratannya sebagaimana yang diterapkan untuk pemenuhan kebutuhan berketurunan dan membangun keluarga. Sehingga orang yang memiliki hasrat seksual yang tinggi namun belum begitu genap bisa memenuhi tujuan pernikahan yang kedua, dia bisa menyalurkan kebutuhan biologisnya secara wajar dan sesuai tuntunan syari’at. Oleh karenanya Allah SWT mensyari’atkan sebuah ”jalan pemecahan” karena kasih-sayangnya pada hambanya dan menuruti naluri kebutuhan biologis yang telah Allah ciptakan untuk hambanya. Hal itu juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan jiwa dan menjaga mereka dari kehinaan. Jalan pemecahan tersebut adalah nikah mut’ah atau dalam kata lain ”pernikahan temporer.” Nikah mut’ah ini seperti nikah biasa, hanya saja dengan menyertakan ketentuan waktu, sekiranya nikah mut’ah ini bisa menutupi kebutuhan biologis seksual sebagaimana yang terpenuhi oleh pernikahan normal yang langgeng. Nikah temporer ini juga bisa menyelesaikan problem-problem karena mandul, menjanda/duda, membujang, kesepian, hidup dalam perjalanan, dan berbagai kondisi lain di mana pernikahan normal tidak bisa menyelesaikannya.” (hal. 121)

Nikah Mut’ah dalam Al-Qur`an
Dalil atau hujjah pemberlakuan nikah mut’ah, cukup bagi kami, firman Allah SWT dalam surat Al-Nisaaa.

”Maka isteri-isteri yang telah kamu n’mati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.”


Para imam ahli bait telah sepakat bahwa ayat tersebut berkaitan dengan nikah mut’ah. Bahkan Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, dan Al-Suda membaca ayat tersebut menjadi sebagai berikut,

“Maka isteri-isteri yang telah kamu ni’mati di antara mereka dalam masa tertentu, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban.” (hal. 125)

Jawaban LPPI :

Dalam sebuah CD berjudul Al’Imamah (www.kasralsanam.com & www.karbala-tv.com) yang berisi ceramah seorang tokoh Syiah, sang tokoh Syiah menjelaskan bahwasanya seluruh umat Syiah sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah mut’ah walaupun hanya sekali seumur hidup. Karena nikah mut’ah ini adalah sunnah Rasulullah Saw. Dia juga mengutip sebuah hadits dari Imam Al-Baqir bahwasanya ketika Rasulullah Saw isra mi’raj, beliau Saw bertemu dengan malaikat Jibrail dan Jibrail berkata,
يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى يَقُوْلُ : إِنِّيْ قَدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِيْنَ مِنْ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ.
“Hai Muhammad, sesungguhnya Allah Tabara wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa umatmu yang melakukan nikah mut’ah dengan para wanita.”
Selain itu, sang tokoh juga menjelaskan bahwasanya Imam Shadiq berkata, “Tidak ada seorang laki-laki yang melakukan nikah mut’ah, kemudian dia mandi, maka Allah SWT akan menjadikan tujuh puluh malaikat dari setiap tetesan air mandinya yang akan meminta ampunan untuknya sampai hari Kiamat dan para malaikat tersebut akan melaknat yang menjauhi sunah nikah mut’ah ini.”
Oleh karena itu, di dalam buku Titik Temu Fiqih & Theologi Syiah-Sunni; karya: Prof.Dr. Athif Salam hal. 118-161 Syiah mendakwahkan nikah mut’ah melalui dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk menjerat para pemuda Ahlussunnah agar mereka mau masuk ke dalam agama Syiah. Di dalam buku tersebut, Syiah memutar balikkan fakta dengan mengutip sebuah ayat dari Al-Qur`an dengan mengutip kata “ujuurahunna”.
Sesungguhnya maksud dari kata ujuurohunna  adalah mahar yang diberikan seorang lelaki ketika dia menikahi seorang perempuan. Karena mahar ini menjadi benar-benar menjadi milik mutlak seorang perempuan adalah setelah dia digauli oleh suaminya.
Para ulama di dalam menafsirkan kalimat “berikanlah kepada mereka maharnya,” yaitu berikanlah mas kawin kepada para isteri yang kalian nikahi. Jumhur para ulama berkata bahwasanya yang dimaksud dengan ayat ini adalah tentang nikah mut’ah yang pernah dibolehkan di permulaan Islam. Hal ini dikuatkan dengan cara membaca Al-Qur`an dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said bin Jubair,

“Maka isteri-isteri yang telah kamu ni’mati di antara mereka dalam masa tertentu, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban.”
Tapi kemudian praktek nikah mut’ah ini dilarang oleh Rasulullah Saw dan melarang memakan daging keledai kampung pada saat perang Khaibar. Keterangan ini tercantum di dalam Shahih Bukhari dan Muslim dan para ahli hadits lainnya. Adapun di dalam Shahih Muslim dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani dari Nabi Saw bahwasanya beliau Saw telah bersabda pada saat Futuh Mekah, ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku dulu pernah memperbolehkan kalian nikah mut’ah dengan para wanita, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan nikah mut’ah ini sampai hari Kiamat. Barangsiapa di antara kalian yang mempunyai akad mut’ah ini dengan para wanita, maka biarkanlah mereka pergi (batalkanlah) dan janganlah kalian mengambil kembali harta yang telah kalian berikan kepada mereka.” (Tafsir Fathul Qadir jilid ke-1 karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Maktabah Al-Rusyd, hal. 404).
Adapun hadits yang berisi larangan mut’ah adalah sebagai berikut :

عن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ، وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئًا.

Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku dulu pernah memperbolehkan kalian nikah mut’ah dengan para wanita, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan nikah mut’ah ini sampai hari Kiamat. Barangsiapa di antara kalian yang mempunyai akad mut’ah ini dengan para wanita, maka biarkanlah mereka pergi (batalkanlah) dan janganlah kalian mengambil kembali harta yang telah kalian berikan kepada mereka.” (HR Muslim, 9/159, (1406))
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar