Minggu, 22 Februari 2015

Apakah Umar Meragukan Kenabian Rasulullah SAW?


Serial ulasan ke-15 terhadap buku "Akhirnya Kutemukan Kebenaran" dan penulisnya, Dr. Muhammad At-Tijani. Silakan baca serial ulasannya secara lengkap di sini: Akhirnya Kutemukan Kebenaran

 
(Judul di atas kami ambil dari judul sub-bab pada makalah Jalaluddin Rakhmat "Sahabat dalam Timbangan Al-Qur'an, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan" yang mengetengahkan Syubhat seperti yang ditulis oleh At-Tijani tentang 'pembangkangan' para sahabat kepada Nabi Muhammad pada peristiwa perjanjian Hudaibiyah, berikut ini bantahan untuk mereka berdua)
Penulis (at-Tijani) berkata pada halaman 93: pada judul (Para sahabat pada Peristiwa Hudaibiyah), setelah menyebutkan secara menyeluruh berita perjanjian Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- bersama orang-orang Quraisy dengan syarat-syarat yang telah diketahui: “Akan tetapi beberapa sahabat tidak menyetujui tindakan dari Nabi dan mereka menolak pendapat beliau dengan penolakan yang keras, Umar bin Khattab mendatanginya kemudian berkata: “Bukankah engkau benar Nabi Allah?” Nabi berkata, “Benar” Umar berkata, “Bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan?” Nabi berkata, “Benar” Umar berkata, “Jika demikian mengapa kita menghinakan agama kita” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah dan aku tidaklah melanggar perintah-Nya dan Dia adalah penolongku.” Umar berkata, “Bukankah engkau mengatakan kepada kami bahwa kami akan mendatangi Baitullah dan berthawaf di sana?” Nabi berkata, “Benar, tapi apakah aku mengabarkan bahwa kita akan mendatanginya tahun ini?” Umar berkata, “tidak”, Nabi berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan bertawaf di sekililingnya.”

Hingga dia (at-Tijani) berkata: “Ketika Rasulullah telah selesai dengan perjanjian tersebut, beliau berkata kepada sahabatnya: “bangkitlah dan bersembelihlah lalu bercukurlah (tahallul),” demi Allah tidak seorangpun diantara mereka yang berdiri sampai Nabi mengulangi perintahnya hingga tiga kali mereka tetap tidak menaati perintah Nabi. Nabi masuk ke dalam tenda kemudian keluar lagi dan tidak berbicara dengan seorangpun diantara mereka dan beliau menyembelih qurban dengan tangannya, dan memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut beliau. Ketika para sahabat melihat hal tersebut, mereka kemudian bangkit dan menyembelih, dan saling mencukur rambut satu sama lain sehingga nampak seakan-akan mereka saling berbunuh-bunuhan.”
Kemudian penulis berkata: “Apakah seorang yang berpikir waras dapat menerima perkataan yang mengatakan bahwa para sahabat mengikuti perintah Rasulullah? Kisah ini membantah perkataan mereka tersebut. Apakah Umar selamat dan tidak terdapat ganjalan dalam hatinya terhadap apa yang diputuskan oleh Rasulullah? Ataukah ada keraguan padanya terhadap apa yang diperintahkan oleh Nabi, terkhusus pada perkataannya: “Bukankah engkau benar Nabi Allah?, dan seterusnya” Apakah dia menerima setelah Rasulullah menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang memuaskan? Tidak, dia tidak puas dengan jawaban Nabi dan pergi kepada Abu Bakar dan bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama.”
Jawaban:
Semua yang disebutkan penulis tentang pertanyaan Umar kepada nabi pada peristiwa Hudaibiyah, begitu pula terlambatnya para sahabat mengikuti perintah Nabi untuk menyembelih dan bertahallul hingga Rasulullah yang menyembelih dan bercukur terlebih dahulu, semua ini adalah shahih tsabit pada shahihain dan selainnya dari kitab-kitab hadis yang menceritakan tentang Perjanjian Hudaibiyah.[1]
Dan karena dua peristiwa ini muncul kecaman dari Rafidhah terhadap para sahabat Nabi, sementara mereka (para sahabat) baik itu Umar ataupun selainnya dari kalangan sahabat Nabi yang menyaksikan perjanjian Hudaibiyah tidaklah tercela karena peristiwa tersebut.
Penjelasan
Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- telah melihat dalam mimpinya bahwa beliau akan memasuki Mekah dan berthawaf di Baitullah. Kemudian beliau mengabarkan kepada para sahabat beliau tentang hal tersebut, ketika itu mereka di Madinah. Ketika tahun terjadinya Perjanjian Hudaibiyah, tidak ada yang ragu di kalangan para sahabat bahwa mimpi tersebut akan terjadi tahun ini (tahun hudaibiyah). Dan ketika terjadi kesepakatan Perjanjian Hudaibiyah yang di dalamnya tertulis bahwa mereka harus kembali ke Madinah pada tahun itu kemudian kembali ke Makkah tahun depannya, para sahabat merasa berat dengan keputusan perjanjian itu.[2] Kemudian Umar dengan semangatnya mempertanyakan perkara perjanjian tersebut kepada Rasulullah. Dan pertanyaan-pertanyaan Umar tersebut bukanlah suatu bentuk keraguannya kepada Rasulullah atau penolakan terhadapnya, akan tetapi sebagai bentuk klarifikasi tentang apa yang telah berulang kali diketahuinya, yaitu mereka akan memasuki mekah dan bertawaf di Baitullah. Dan dia menginginkan agar  Rasulullah segera memasuki Mekah, dan tidak kembali ke Madinah. Umar melihat hal yang demikian (memasuki Mekah) adalah bentuk kemuliaan bagi agama Allah dan kehinaan bagi orang-orang Musyrik.
Berkata an-Nawawi: “Berkata para ulama bahwa pertanyaan dari Umar bukanlah bentuk keraguannya kepada Nabi, bahkan itu adalah klarifikasi terhadap suatu persoalan yang masih belum jelas baginya, juga keinginannya untuk menghinakan kaum kuffar dan agar memberikan kejayaan bagi Islam, sebagaimana yang telah diketahui dari sifat beliau radhiyallahu anhu, dan semangatnya yang kuat dalam menolong agama Islam dan menghinakan orang-orang bathil.”[3]
Hal ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar –rahimahullahu- dari beberapa penjelasan hadits.[4]
Umar dalam hal ini adalah seorang mujtahid,  yang membuatnya bertanya seperti itu adalah semangatnya yang sangat kuat dalam membela kebenaran, menolong agama Allah, dan ghirah (rasa cemburu jika agamanya dihinakan). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Rasulullah memanggilnya pada musyawarah, mengemukakan pendapat, permisalan dari perintah Allah Ta’ala: (Maafkanlah mereka, dan minta ampunkanlah bagi mereka dan bermusyawarahlah dalam urusan).[5] Nabi telah banyak bermusyawarah dengan para sahabat dan mengambil pendapat mereka, seperti pada musyawarah perang Badar pada saat kepergian ke al-‘iir, Nabi bermusyawarah dengan mereka. Demikian pula pada hari Uhud apakah Nabi cukup tinggal di Madinah ataukah keluar berperang melawan musuh. Kemudian mayoritas sahabat menginginkan agar beliau keluar berperang, maka Nabi pun keluar bersama mereka. Beliau juga bermusyawarah dengan sahabat pada perang Khandaq untuk berdamai dengan Al-Ahzab (golongan kuffar musyrikin quraisy, yahudi, dan kabilah-kabilah arab) dengan memberikan mereka sepertiga  hasil panen buah-buahan madinah pada tahun tersebut, lalu dua Sa’ad (Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah) tidak setuju dan Nabi pun meninggalkan pendapat pribadinya. Nabi juga bermusyarah dengan mereka pada peristiwa Hudaibiyah untuk memancing kemarahan orang-orang Musyrik, Berkata Abu Bakar: “Sesungguhnya kami tidak datang untuk berperang, Kami datang untuk umrah,[6] kemudian Nabi menyetujui pendapat tersebut. Masih banyak peristiwa lainnya, terlalu panjang jika kita sebut semua.
Umar sangat ingin agar Rasulullah menyetujui pendapatnya, yaitu berperang melawan orang-orang Quraisy. Karena itu, Umar menanyakan kembali ketika keputusan perjanjian mengecewakan kaum Muslimin, beliau juga bertanya kembali kepada Abu Bakar. Namun ketika beliau melihat mereka berdua (Rasulullah dan Abu Bakar) berpandangan yang sama akhirnya beliau meninggalkan pendapatnya. Olehnya, Rasulullah menerima alasan kemarahan Umar karena melihat niatnya yang baik dan benar.
Adapun sikap para sahabat tentang penyembelihan dan bercukur hingga Nabi yang lebih dulu menyembelih dan bercukur, bukanlah merupakan kemaksiatan terhadap perintah Rasulullah, para Ulama telah menyebutkan beberapa pandangan.
Ibnu Hajar berkata: bentuk diamnya para sahabat kemungkinan adalah mereka beranggapan bahwa perintah tersebut adalah sunnah (tidak wajib), atau mereka mengharapkan turunnya wahyu untuk membatalkan perjanjian Hudaibiyah (karena para sahabat menganggap umat islam dirugikan dalam perjanjian tersebut), atau kekhususan bagi mereka untuk memasuki Mekah pada tahun tersebut untuk menyempurnakan manasik mereka karena pada masa itu masih berlaku naskh (nasikh-mansukh/pembatalan hukum dalam periode pensyari’atan). Kemungkinan juga mereka telah terbawa kondisi pada saat itu, kemudian mereka terpengaruh dengannya dan merasa bahwa apa yang terjadi dari perjanjian itu merupakan bentuk penghinaan terhadap diri mereka, dimana kekuatan dan kemampuan memungkinkan untuk mencapai keinginan mereka, melaksanakan manasik dengan cara memasuki Makkah dengan berperang, atau mereka mengakhirkan untuk menaati mengikuti perintah Nabi karena mereka beranggapan bahwa perintah tersebut tidaklah bermakna segera untuk dilaksanakan (boleh ditunda pelaksanaannya). Hal ini terjadi terhadap mereka semua.[7]
Pada beberapa riwayat, bahwa ketika Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- melihat para sahabat tidak ada yang mengikuti perintahnya, beliau menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang terjadi. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau berbicara dengan mereka, sesungguhnya mereka merasa berat menerima isi Perjanjian Hudaibiyah dan kembali tanpa pembebasan (kota Mekah).”[8]
Kemudian Ummu Salamah mengisyaratkan kepada beliau seperti disebutkan dalam riwayat Bukhari: “Keluarlah, janganlah engkau berbicara dengan seorang pun diantara mereka hingga engkau menyembelih qurban, lalu memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut engkau.” Nabi lalu keluar dan tidak berbicara dengan seorang pun hingga Nabi melakukan seperti yang disarankan oleh Ummu Salamah. Ketika para sahabat melihat Nabi melakukan hal tersebut, mereka pun bangkit dan menyembelih.[9]
Ibnu Hajar berkata: “ini menunjukkan bahwa Ummu Salamah memahami keadaan para sahabat bahwasanya Nabi memerintahkan mereka untuk bercukur sebagai keringanan bagi mereka, dan Nabi melanjutkan untuk berihram sebagai bentuk kemauan yang kuat pada diri beliau sendiri, Kemudian Ummu Salamah mengisyaratkan kepada Nabi agar bertahallul untuk mencairkan suasana tersebut. Nabi mengetahui kebenaran akan apa yang disampaikan ummu salamah kepadanya, ia pun melakukannya. Sebagaimana yang terjadi pada para sahabat pada Fathu Mekkah ketika Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka puasa (di siang hari) pada bulan Ramadhan, mereka tidak melakukannya karena menyangka hal itu dilarang. Akan tetapi ketika para sahabat melihat beliau minum, mereka pun ikut minum.[10]
Ini adalah suatu kebaikan yang layak disandarkan pada para sahabat Nabi. Mereka memiliki keinginan yang besar untuk melakukan ihram dan semangat untuk menyempurnakan haji. Ketika Nabi menyuruh mereka untuk bertahallul dan mereka tidak mengerjakannya, mereka mengira bahwa Nabi merasa kasihan kepada mereka. Kemudian ketika para sahabat melihat Nabi telah bercukur (tahallul) yakinlah mereka bahwa hal itu adalah lebih afdhal bagi mereka. mereka pun bersegera melakukannya. Ini seperti yang terjadi kepada mereka pada peristiwa haji pada fath makkah  beserta Nabi ketika menuju Mekah bertawaf dan bersa’i Nabi menyuruh mereka untuk bercukur. Dan memerintahkan istri-istri mereka untuk berumrah. Lalu mereka merasa berat dengan itu karena besarnya pengagungan mereka terhadap manasik haji. Mereka berkata: “Kami pergi ke arafah  namun ingatan kami berada di Mina. Ketika Nabi mengetahuinya, dan Ia belum bertahallul, Nabi bersabda kepada mereka: “Wahai manusia, bercukurlah, kalau bukan karena hadya (binatang sembelihan) yang aku bawa, niscaya aku akan melakukan seperti yang kalian kerjakan” Jabir –Perawi hadits ini- berkata: “Kami pun bercukur, kami dengar dan kami taat”[11]
Ini semua adalah bentuk semangat para sahabat Rasulullah dalam kebaikan dan kecintaan dalam mencontoh Nabi dengan sempurna. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.
Dengan ini nampaklah pandangan yang benar sikap para sahabat yang mulia pada peperangan berberkah tersebut, yang menambah kedudukan mereka di sisi Allah, dan kecintaan di hati orang-orang beriman.
Jika si Rafidhi (penulis) tidak menerima penjelasan di atas dengan kesombongan, kezholiman, dan tetap berjalan di atas kedustaan dan tadlis (penipuan), saya akan memberikan di sini beberapa poin untuk membantah syubhatnya dengan mengharap daya dan kekuatan dari Allah.
Pertama
Apa yang terjadi pada para sahabat –radhiyallahu anhum- di hari Hudaibiyah terjadi di hadapan Rasulullah, dan wahyu turun kepada beliau, maka apakah Allah mengecam mereka karena hal tersebut? Karena sesungguhnya Allah tidaklah mendiamkan kebatilan. Atau apakah Rasulullah mengingkari para sahabat? Dimana Rasulullah tidak takut dari celaan sang pencela. Jika beberapa hal ini tidak terjadi kepada para sahabat (yaitu kecaman Allah atau kecaman Rasulullah kepada mereka), tidak juga didapatkan riwayat dari seorang sahabat yang terlibat dalam peristiwa Hudaibiyah bahwa para sahabat berusaha mengingkari perintah Rasulullah seperti apa yang dituduhkan oleh si Rafidhi (penulis) ini bahwasanya mereka enggan dan menolak. Kemudian umat, dari generasi ke generasi tidak mengingkari perbuatan mereka bahkan meridhai mereka semua; para manusia terpilih itu. Semua ini menunjukkan satu hakikat yang pasti dan pokok penting dalam syariat  setiap orang yang beragama dengan agama ini, yaitu kesucian dan berlepas dirinya para sahabat dari semua yang dituduhkan oleh Rafidhah dan orang-orang Zindiq (munafik) dari segala bentuk tuduhan dan cela terhadap mereka.
Mencela sahabat setelah ini merupakan penentangan terhadap Tuhan semesta alam, inkar terhadap Rasul yang mulia dan mengikuti jalan selain jalannya kaum Mu’minin.
Kedua
Bahwasanya Allah berfirman di dalam surah al-Fath ayat 18-19 yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah setelah kepulangan beliau dari Hudaibiyah di jalan menuju Madinah: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Jumlah ahlul Hudaibiyah (para sahabat) yang membaiat Nabi di bawah pohon adalah 1.400 orang, sebagaimana disebutkan oleh Jabir –radhiyallahu anhu- ia berkata: “Kami dahulu pada peristiwa Hudaibiyah  berjumlah 1.400 orang, kami membaiat Nabi. Umar memegang tangan beliau (berbai’at) di bawah pohon Samurah”[12]
Di dalam shahih muslim bahwasanya Ummu Bisyr mendengar Nabi bersabda: “Tidak akan masuk neraka –insyaallah- seorangpun dari orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.”[13]
Dan telah jelas di dalam Kitab dan as-Sunnah bahwa Allah telah meridhai para sahabat dan menurunkan ketenangan di dalam hati mereka, dan rasulullah bersaksi bahwa surga bagi mereka, dan keselamatan dari api neraka. Jadi, adapun celaan kepada mereka setelah datangnya dalil-dalil dan nash yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu para ulama memvonis kafir orang yang mengkafirkan para sahabat, atau menganggap fasik para sahabat secara umum karena bertentangan dengan kejelasan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata dalam merinci hukum mencela para sahabat: “….adapun barangsiapa yang mengatakan dan menyangka bahwa mereka (para sahabat) murtad setelah kematian Rasulullah kecuali sebagian kecil dari mereka, tidak lebih dari sepuluh orang, atau bahwasanya mereka fasik secara keseluruhan, hal ini tidak tidak perlu diragukan lagi akan kekafirannya (orang yang mengatakan demikian), karena dia mendustakan nash Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Allah ridha pada mereka dan pujian terhadap mereka. bahkan barang siapa yang ragu akan kekufuran mereka (yang mengatakan para sahabat kafir) maka ia jelas kafir.”[14]
Ketiga
Berkaitan dengan beberapa riwayat yang shahih, Rasulullah bersabda kepada sahabatnya: “Bangkitlah, bersembelih kemudian bercukurlah” dia (penulis) berkata:”Demi Allah tidak seorangpun di antara mereka bangkit meskipun Nabi telah mengulanginya hingga tiga kali.”[15]
Penulis , kemudian berkata: “Apakah diterima perkataan yang mengatakan bahwa para sahabat mengikuti perintah rasulullah……?”[16]
Aku katakan: “Aku sudah meberikan jawaban atasnya, sesungguhnya itu bukanlah celaan kepada para sahabat.”[17]
Aku katakan kepada penulis (at-Tijani) di sini: “Bukankah Ali-radhiyallahu anhu- bagian dari sahabat di antara mereka (yang tidak mau bersembelih dan bercukur)? ini sekaligus membantah apa yang kalian katakan, maka apakah jawaban kalian?”
Keempat
Telah jelas di dalam shahihain dari hadits al-Barra’ bin Azib –radhiyallahu anhu- berkata: “Ali bin Abi Thalib menulis perjanjian antara Nabi dan kaum musyrikin pada hari Hudaibiyah. Lalu Ali menulis di atasnya ‘Muhammad Rasulullah’, berkata orang-orang Musyrik: janganlah engkau menulis ‘Rasulullah’, karena jikalau kami mengetahui bahwa engkau adalah Rasul Allah kami tidak akan memerangimu. Maka Nabi bersabda, “hapuslah (wahai Ali). Ali berkata, “Aku tidak akan menghapusnya.” Maka Nabi pun yang menghapusnya dengan tangan beliau sendiri.[18] Dan di sebagian riwayat bahwasnya Ali –radhiyallahu anhu- berkata “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya selamanya.”[19]
Apa yang terjadi pada Ali di sini sama halnya dengan yang terjadi pada Umar –radhiyallahu anhu- dalam kasus kembalinya beliau mempertanyakan kepada Rasulullah isi Perjanjian tersebut. Jika dalam hal ini Ali tidaklah tercela dan dia berada dalam kebenaran (al-haq), demikian pula dengan Umar. Jika si Rafidhiy berkata sesungguhnya Ali tidak mau menghapus kata ‘Rasulullah’ sebagai bentuk kecintaannya dan pemuliaan kepada Rasulullah, kami katakan: “sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Umar adalah bentuk pertolongannya kepada Rasulullah dan untuk memuliakan agamanya.”
Kelima
Bahwasanya alasan atau motif yang mendorong para sahabat –ridhwanullahi alaihim- pada hari Hudaibiyah adalah kuatnya semangat mereka kepada kebaikan dan kecintaan mereka terhadap pahala. Dan Umar dalam hal ini menginginkan peperangan melawan orang-orang Kuffar. Akan tetapi apa yang diinginkan oleh Rasulullah dari perjanjian tersebut adalah lebih baik dan lebih selamat. Demikian pula ketika para sahabat terlambat pada permulaan perintah bersembelih dan bercukur, sesungguhnya mereka ingin menyempurnakan manasik. Akan tetapi apa yang diperintahkan Rasul kepada mereka untuk bertahallul di tempat mereka adalah lebih ringan dan lebih mudah bagi mereka. Meskipun kita tidaklah ragu bahwa apa yang diinginkan oleh Rasulullah dan apa yang beliau perintahkan kepada mereka adalah lebih sempurna dan lebih afdhal di dunia dan akhirat. Akan tetapi yang perlu kita perhatikan adalah kebaikan niat mereka, dan keyakinan cinta mereka terhadap apa yang ada di sisi Allah dan hari akhir. Ini berbeda dengan orang-orang yang menginginkan dunia seperti orang-orang munafik yang merasa berat pergi berjihad dan mengerjakan kebaikan, mencari-cari alasan untuk mengakhirkannya seperti yang telah kita ketahui tentang kisah mereka dalam al-Qur’an. Karena itu, Allah memuji para ahlu Hudaibiyah dan membalas mereka dengan kebaikan dan keutamaan yang telah Dia ketahui tentang mereka berupa kejujuran cinta mereka dan meminta ridha-Nya. Allah berfirman: “Allah telah meridhai orang-orang beriman ketika mereka membai’atmu di bawah pohon, dan Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.” (QS. Al-Fath: 18)
Ibnu Katsir berkata: “Yaitu berupa kejujuran, menepati janji, ketundukan, dan ketaatan mereka”[20]
Oleh: Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Al-Intishar Li Ash-Shahbi Wa Al-Aal Min Iftira'ati As- Samawi Adh-Dhaal. Hal 262-274
(Mahardy/lppimakassar.com)


[1] Lihat Shahih Bukhari  dan Fathul Bari, Kitab asy-Syurut, Bab asy-Syurut fi al-Jihad, 5/329, 2731-2732, dan Kitab al-Jizyah 6/281, 3182. Dan shahih Muslim, Kitab al-Jihad wa as-Siir, Bab Sulhi al-Hudaibiyah 3/1411, 1785, dan Musnad Ahmad 486/3.
[2] Lihat Tarikh at-Thabari 2/635, dan al-Bidayah wa an-Nihayah Ibnu Katsir 4/170.
[3] Syarh Shahih Muslim 12/141.
[4] Lihat: Fath al-Bari 5/346.
[5] Surah Ali Imran: 159.
[6] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/420 pada tafsir firman Allah: “bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”
[7] Fath al-Bari 5/347.
[8] Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fath al-Bari 5/347
[9] Shahih Bukhari dan Fath al-Bari, Kitab as-Syurut, Bab as-Syurut fi al-Jihad, 332/5.
[10] Fath al-Bari 5/347.
[11] Ringkasan dari hadits Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-i’tisham, bab Nahyi an-Nabiy shallallahu alaihi wa sallam alaa at-Tahrim illaa maa tu’rafu ibahatuhu. Fath al-Bari 13/337, 7367. Dan Muslim, Kitab al-Haj, bab bayan wujuuhi al-ihram, 2/883-884, 1216.
[12] Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, bab Istihbab mubaya’ah al-imam al-jaisy, 3/1483, 1856.
[13] Diriwayatkan Muslim, Kitab Fadhail ash-Shahabah, Bab min fadhail ashabi asy-Syajarah, 4/1942, 2496.
[14] Ash-Sharim al-Masluk alaa syaaim ar-Rasul shallallahu alaihi wa sallam, h. 586
[15] Dari hadits panjang yang diriwayatkan al-Bukhari dari hadis miswar bin makhramah dan marwan bin al-Hakam dalam Kitab asy-Syurut, Bab asy-Syurut fi al-Jihad, Fath al-Bari 5/329, 2731,2732.
[16] Lihat hal 263 pada buku al-Intishar, yaitu perkataan Tijani, [“Apakah seorang yang berpikir waras dapat menerima perkataan yang mengatakan bahwa para sahabat mengikuti perintah Rasulullah? Kisah ini membantah perkataan mereka tersebut. Apakah Umar selamat dan tidak terdapat ganjalan dalam hatinya terhadap apa yang diputuskan oleh Rasulullah? Ataukah ada keraguan padanya terhadap apa yang diperintahkan oleh Nabi, terkhusus pada perkataannya: “Bukankah engkau benar Nabi Allah?, dan seterusnya” Apakah dia menerima setelah Rasulullah menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang memuaskan? Tidak, dia tidak puas dengan jawaban Nabi dan pergi kepada Abu Bakar dan bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama.”]
[17] Lihat halaman 266 dalam buku ini, yaitu perkataan Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili, [Adapun sikap para sahabat tentang penyembelihan dan bercukur hingga Nabi yang lebih dulu menyembelih dan bercukur, bukanlah merupakan kemaksiatan terhadap perintah Rasulullah, para Ulama telah menyebutkan beberapa pandangan.
Ibnu Hajar berkata: bentuk diamnya para sahabat kemungkinan adalah mereka beranggapan bahwa perintah tersebut adalah sunnah (tidak wajib), atau mereka mengharapkan turunnya wahyu untuk membatalkan perjanjian Hudaibiyah (karena para sahabat menganggap umat islam dirugikan dalam perjanjian tersebut), atau kekhususan bagi mereka untuk memasuki Mekah pada tahun tersebut untuk menyempurnakan manasik mereka karena pada masa itu masih berlaku naskh (nasikh-mansukh/pembatalan hukum dalam periode pensyari’atan). Kemungkinan juga mereka telah terbawa kondisi pada saat itu, kemudian mereka terpengaruh dengannya dan merasa bahwa apa yang terjadi dari perjanjian itu merupakan bentuk penghinaan terhadap diri mereka, dimana kekuatan dan kemampuan memungkinkan untuk mencapai keinginan mereka, melaksanakan manasik dengan cara memasuki Makkah dengan berperang, atau mereka mengakhirkan untuk menaati mengikuti perintah Nabi karena mereka beranggapan bahwa perintah tersebut tidaklah bermakna segera untuk dilaksanakan (boleh ditunda pelaksanaannya). Hal ini terjadi terhadap mereka semua.]
[18] Riwayat Bukhari dalam Kitab ash-Shulh, Bab kaifa yaktubu hadza maa Shalihu Fulaan ibn Fulan, Fath al-Bari 5/303, dan Muslim Kitab al-Jihad, Bab Sulh al-Hudaibiyah, 1409/3, 1783.
[19] Dicantumkan al-Bukhari dalam Kitab al-Jizyah, Bab al-Mashalihah alaa tsalatsati ayyam, fath al-Bari 6/282, 3184, dan Muslim dalam Kitab dan Bab as-Sabiqiin 3/1410.
[20] Tafsir Ibn Katsir 4/191.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar