Selasa, 03 Maret 2015

Massa LDII Mengamuk dalam Bedah Buku Aliran Sesat di Ciracas Jakarta


LDII Mengamuk...

            Ratusan massa yang diakui sebagai massa LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang diketuai Nur Salim di Ciracas Jakarta Timur mengamuk dalam acara bedah buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia karya saya (Hartono Ahmad Jaiz) di Masjid Nurul Ikhlas, Jl Tanah Merdeka, Kampung Rambutan, Ciracas Jakarta Timur, Ahad 18 Desember 2005M/ 16 Dzulqo’dah 1426H.
 Mereka melempari saya dengan gelas hingga pecah berantakan, alhamdulillah meleset lalu membentur pintu kaca dan mengenai kaki panitia, Ust Syarif Lubis, hingga berdarah. Massa di luar telah mengepalkan tangan mau menghantam saya ketika saya mau keluar dari pintu mihrab sebelah mimbar, maka saya urung keluar, dan pintu segera dikunci. Mereka berteriak-teriak dan menggedor-gedor pintu. Penjaga pintu, Rizki, mengaku dipiting (disikep) lehernya oleh perusuh lalu dipukuli kepalanya, dibanting kemudian diinjak-injak. Panitia yang berbadan kecil kurus ini, kepalanya benjol-benjol dan badannya sakit.
Perusuh yang di dalam masjid pun berteriak-teriak, maju ke depan mimbar lalu memukuli panitia, di antaranya Irfan, Riki, dan Didi sampai pecah hidungnya. Tas beserta buku-buku, makalah dan berkas-berkas di meja tempat saya berbicara dicuri perusuh, dan dibawa lari. Terdengar teriakan-teriakan, “tas…tas… tas…”. Mereka pun mencuri bahan-bahan milik panitia, di antaranya dua rekaman.
 Rupanya sudah ada pembagian masing-masing untuk membuat kerusuhan dalam masjid ini.. Hingga ada yang bertindak sebagai orang yang mengajukan pertanyaan, yaitu Sulardi yang duduk di bagian depan, samping utara. Dia sengaja ngeyel-ngeyel terus (membantah-bantah dengan ngotot terus) sambil berdiri ketika pertanyaannya saya jawab, diatur moderator tetap saja ngeyel. Saya tahu, sebagaiamana kebiasaan kasus ngamuknya LDII di beberapa tempat ketika saya membedah buku, ada yang sengaja berbicara sambil berdiri dan ngeyel-ngeyel (membantah-bantah) itu hanya trik untuk mengomando teman-temannya untuk segera berdiri dan membuat kerusuhan. Itu seperti yang terjadi di Masjid Al-Hurriyyah Kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) Dermaga Bogor, Ahad 29/ 9 2002M/ 22 Rajab 1423H.  Juga seperti yang terjadi di Masjid Darussalam Kompleks Pertamina Prabumulih Sumatera Selatan, Ahad 08 Juni 2003, walau penyelenggaranya Walikota Prabumulih dan  Dewan Dakwah Islam (DDI) Prabumulih.


LDII sangat gencar untuk menghalangi acara bedah buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, sampai-sampai mereka berupaya keras untuk menggagalkan ketika akan diadakan di Purwakarta Jawa Barat waktu Megawati masih jadi presiden, kata panitia setempat waktu itu. Pertama diundur, setelah diundur lalu digagalkan pula tengah malam sebelum acara besuknya. Maka panitia tidak sempat mengumumkan di tengah malam itu, akibatnya jama’ah berdatangan siang harinya, lalu dibubarkan.
Itu peristiwa di Purwakarta beberapa waktu lalu. LDII tampak masih menghadang saya, karena buku itu kini di tambah lagi dengan adanya VCD berjudul Meluruskan Penyimpangan Islam Jama’ah (LDII).
            Kembali kasus di Ciracas, dengan adanya “aba-aba” dengan cara ngeyel-ngeyel sambil berdiri lalu diikuti ratusan orang yang berdiri dan berteriak tak keruan seperti itu maka saya langsung meninggalkan tempat bicara dan menuju keluar lewat pintu mihrab. Namun di luar pintu sudah ada ratusan orang yang bermuka sangar dan tampak mengepalkan tangan dan mau menghantam saya. Maka saya mundur lagi dan pintu mihrab dikunci. Mereka memukul-mukul pintu kaca sambil berteriak-teriak tak keruan. Penjaga pintu, Rizki, dipukuli. Kaum ibu yang semuanya berada di lantai dua (atas) kedengaran menangis. Ustadz Syarif tampak meringis-ringis karena kakinya terkena pecahan gelas yang dilemprakan ke arah saya namun membentur pintu kaca itu. Suara teriakan tak reda-reda. Alhamdulillah, Alloh menyelamatkan saya dari segala amukan mereka.
            Konsentrasi mereka tampaknya pada tugas masing-masing untuk kekacauan itu. Hingga yang “bertugas” memukuli panitia pun mengakibatkan beberapa orang panitia luka, yaitu Irfan, Riki, Rizki, dan Didi. Didi ini menurut panitia, cukup parah, karena yang dipukul hidungnya.
            Kronologi kejadian
            Pukul 09.25 saya datang di Masjid Nurul Ikhlas, jama’ah sudah penuh sampai membludak di halaman. Saya sholat tahiyyatal masjid dua roka’at di imaman. Lalu dipersilakan membedah buku yang saya tulis, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia terbitan Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2002. Saya lihat jama’ah tenang. Wajah-wajah sangar tidak terlihat di depan saya. Sound system cukup bagus. Di samping saya seorang moderator, dan sekitar saya ada panitia. Ustadz Syarif Lubis selaku panitia telah berbicara sejak sebelum saya datang.
            Uraian saya mulai dengan menyoroti cara pemahaman model liberal yang mengikuti Barat, dalam memahami Islam tidak merujuk kepada dalil tetapi kepada fenomena sosial atau gejala masyarakat atau pemikiran-pemikiran yang ada. Karena model barat itu memandang bahwa agama itu hanyalah fenomena social. Hingga modelnya hanya mengklasifikasikan atau memilah-milah apa yang terjadi di masyarakat, misalnya penelitian Clifford Geertz orang Belanda terhadap masyarakat di Mojokuto Jawa Timur, hanya memilah-milah: Orang Islam Abangan partainya PKI (Partai Komunis Indonesia), Orang Islam Priyayi partainya PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Orang Islam santri partainya Masyumi atau NU. Hanya sampai di situ. Tidak ada urusan dengan mendekatkan kepada dalil di Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Hadits Nabi saw. Dari ketiga kelompok itu mana yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak dibicarakan. Karena menurut sosiologi agama model Barat, bahwa agama itu hanya gejala social.
            Metode itu kini dipakai dalam pengajaran di perguruan tinggi Islam di Indonesia, yaitu IAIN, UIN, STAIN, STAIS, bahkan Fakultas Agama Islam di perguruan tinggi umum se-Indonesia. Dalam mata kuliah MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) berupa SPI (Sejarah Pemikiran Islam) dan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam). Ketika membahas sekte-sekte atau aliran-aliran dalam mata kuliah SPI, maka hanya disebut ini aliran Ahlus Sunnah cirinya begini, Mu’tazilah, Syi’ah, sampai Ahmadiyah yang mengangkat nabi baru, Mirza Ghulam Ahmad, sesudah Nabi Muhammad saw pun dianggap sah-sah saja, boleh-boleh saja. Semuanya dianggap sama saja, hanya dipilah-pilah, dan tidak dirujukkan kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akibatnya, semuanya dianggap sah-saha saja, sampai yang jelas-jelas mengangkat nabi palsu pun dianggap tidak sesat. Maka tidak mengherankan, Azzumardi Azra rector UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta dalam kasus fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) 1980 dan 2005 bahwa Ahmadiyah itu di luar Islam, sesat menyesatkan, dan pengikutnya murtad alias keluar dari Islam; ternyata Azra menghadapi fatwa MUI dan bahkan membela Ahmadiyah. Itulah bukti pendidikan dan pemahaman Islam yang salah. Mestinya makin terdidik makin tahu mana yang benar dan mana yang salah serta perbedaan-perbedaannya, namun pendidikan Islam di Indonesia justru sebaliknya, makin tidak tahu mana yang benar.
            Orang-orang LDII tampak tidak ada yang tegang, lebih-lebih ketika saya kemukakan ungkapan Abdullah bin Mubarak, Al-isnadu minad dien, laulal isnaad laqoola man syaa-a ma syaa-a. Pertalian riwayat itu termasuk bagian dari agama, seandainya tidak ada pertalian riwayat maka pasti orang akan berkata semaunya. (dalil ini sering dijadikan hujjah dalam ajaran Nurhasan Ubaidah, hingga dia anggap Islam yang sah hanya yang mengikuti dia, karena dia anggap hanya dia lah yang punya sanad, pertalian riwayat. Padahal, secara ilmu, kalau hadits sudah ditulis perowi, maka tidak perlu sanad lagi untuk generasi setelah perowi. Karena sanad itu hanya dari Nabi saw sampai kepada perowi itu ). Ungkapan saya tentang sanad itu untuk menyoroti pengajaran SKI di IAIN, STAIN, ATAIS dll yang tanpa sanad, hingga yang terjadi, mereka biasa mengecam para sahabat Nabi saw, misalnya Abu Bakar ra dikatakan tidak demokratis, Utsman ra itu nepotisme dan sebagainya. Ini bukannya pengajaran Islam yang Islami. Dan lewat MKDU itulah pembentukan pemikiran yang mengarah kepada pluralisme agama (menyamakan semua agama), maka saya tulis buku Ada Pemurtadan di IAIN yaitu dari aqidah Tauhid dialihkan kepada keyakinan pluralisme agama, menyamakan semua agama. Hingga Pak Dr Roem Rawi dosen tafsir Pasca Sarjana IAIN Surabaya mengeluh ketika membedah buku saya, Ada Pemurtadan di IAIN, bahwa dia memang mengajar tafsir di IAIN, tapi pemikiran mahasiswa itu sudah dirusak oleh pikiran-pikiran model Barat  yang dimasukkan ke kurikulum IAIN oleh Dr Harun Nasiution.

            Perbandingan kesesatan Ahmadiyah dan LDII

            Jama’ah tampak tenang mendengarkan. Lalu saya uraikan tentang kesesatan Ahmadiyah dan faham yang dibawa Nur Hasan Ubaidah. Saya tidak menyebut-nyebut LDII, hanya menunjukkan buku terbitan LPPI berjudul Akar Kesesatan LDII dan Tipuannya Triliunan Rupiah. Saya kemukakan, duit 11 triliun itu kalau ratusan ribu yang merah itu ditumpuk, kata Pak Amin Djamaluddin ketua LPPI, maka tingginya setinggi Tugu Monas di Jakarta.
            Sebelum membandingkan Ahmadiyah dengan ajaran Nur Hasan Ubaidah, saya kemukakan, kesesatan itu sudah diperingatkan oleh Nabi saw dengan hadistnya:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ. (أخرجه أحمد والنسائي وابن ماجه وغيرهم إسناده صحيح ورجاله ثقات)


“ Jauhilah olehmu sekalian sikap melampaui batas  (di dalam agama).  Karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kamu sekalian hanyalah karena ghuluw/ melampaui batas dalam agama. (HR Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah dan lainnya, sanadnya shahih, dan rijalnya kuat).
Contoh melampaui batas, dalam Islam ini kalau seseorang sudah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka Islamnya sah. Tetapi ada golongan-golongan tertentu yang melampaui batas, mereka mensyaratkan; Islamnya baru sah kalau mengangkat nabi baru lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Yaitu Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908M) di India. Itulah faham Ahmadiyah. Padahal Islam tidak mensyaratkan itu. Bahkan dalam Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw itu nabi terakhir, khataman nabiyyin.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا(40)
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Ahzaab: 40).
Dalam Hadits ditegaskan, tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الرسالة والنبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي ولا نبي.(رواه أحمد)

           Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada rasul sesudahku, dan tidak ada nabi. (HR Ahmad).
     Dengan mengangkat nabi baru lagi dan mensyaratkan Islamnya baru sah kalau ikut nabi baru sesudah nabi Muhammad saw itu maka berarti melampaui batas, sesat, dan rusak agamanya. Sampai-sampai mereka tidak mau makmum kepada selain golongannya dan tidak boleh nikah dengan selain golongannya.
            Begitu juga ajaran Nur hasan Ubaidah (kini namanya LDII) mereka mensyaratkan, Islamnya baru sah kalau ikut golongan mereka, beramir kepada amir mereka, manqul kepada amir mereka (Al-Qur’an dan Hadits yang sah diamalkan hanya yang keluar dari mulut amir mereka dan guru-guru yang ditugaskannya, akibatnya, selain golongan mereka tidak sah keislamannya), taat kepada amir mereka, dan berbai’at kepada amir mereka. Maka orang selain golongan mereka dianggap Islamnya tidak sah, calon-calon ahli neraka selama-lamanya, dan seburuk-buruk manusia. Ini namanya melampaui batas, ghuluw, mengadakan syarat baru yang tidak disyaratkan dalam Islam. Hingga akibatnya, mereka tidak boleh shalat makmum kepada selain golongan mereka, dan juga dalam hal nikah.
            Itulah contoh-contoh aliran sesat yang ghuluw, melampaui batas, ekstrim sangat ketat, menganggap yang Islamnya sah hanya golongan mereka. Sebaliknya, ada ekstrim jenis lain, yaitu kebalikan dari ekstrim sangat ketat yaitu ekstrim sangat longgar. Fahamnya berupa, mau beragama Islam ataupun Kristen, Hindu, Budha, Sinto dan lainnya; maka sama saja, masuk surga semua, menuju keselamatan semua, dan hanya beda teknis. Itulah faham pluralisme Agama yang disandang oleh JIL (Jaringan Islam Liberal), Paramadina, sebagian orang IAIN dan sebagainya.
            Secara faham, yang ekstrim sangat ketat itu bertentangan secara diameteral  dengan eksrim yang sangat longgar. Ahmadiyah bertentangan dengan liberal pluralis. Juga LDII ajaran Nurhasan Ubaidah sengat bertentangan dengan liberal plurails. Tetapi ketika mereka berhadapan dengan Islam, maka Ahmadiyah dibela oleh orang-orang liberal pluralis. Contohnya dalam kasus fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah, maka orang-orang liberal pluralis seperti Azzumardi Azra rector UIN Jakarta, Gus Dur tokoh NU, Masdar F Mas’udi dari NU, Ulil Abshar Abdalla dari JIL, mereka membela Ahmadiyah dan menghadapi fatwa MUI. Bahkan mereka berkonferensi pers bersama orang-orang kafir untuk membela Ahmadiyah dan menentang fatwa MUI.
            Demikian pula LDII yang bertentangan dengan liberal plurasil sebenarnya sangat bertentangan. Tetapi justru kerjasama, contohnya LDII kerjasama dengan fakultas di IAIN Jakarta yang dekannya orang pluralis, Dr Yunan Yusuf, dalam bidang apa yang mereka sebut dakwah beberapa waktu lalu. Memang sesama yang sesat, walau hakekatnya bertentangan, namun justru kerjasama.
            Dalam kenyataan lain, dapat digambarkan segitiga: Islam berada di atas, liberal pluralis ada di segi bawah kiri, agama-agama ada di segi bawah kanan, misalnya. Liberal pluralis adalah bertentangan dengan Islam, dan juga bertentangan dengan agama-agama (selain Islam). Tetapi ketika menghadapi atau bahkan melawan Islam, maka orang liberal pluralis ini bekerjasama dengan agama-agama selain Islam, bahkan didanai orang kafir. Itulah.

            Mencoba interupsi
            Ketika saya kembali mau membandingkan antara kesesatan Ahmadiyah dengan kesesatan ajaran Nur Hasan Ubaidah, Sulardi yang kemudian diketahui sebagai orang dari LDII dan ngeyel-ngeyel yang diikuti massanya dengan berdiri dan berteriak-teriak lalu ribut dan mengamuk itu pada tahap awal baru mencoba menginterupsi. Dia di barisan depan, menyelak uraian saya, agar tidak diulangi lagi (ke pembicaraan kesesatan Ahmadiyah dan kesesatan ajaran Nur Hasan Ubaidah). Saya katakan, ada rangkaian lanjutan yang perlu dikemukakan. Suasana masih tenang.
            Saya kemukakan bukti dengan mengangkat kitab suci Ahmadiyah Tadzkirah setebal 840 halaman lebih (kitab ini kemudian dicuri pula bersama buku-buku dan bahan-bahan lain oleh perusuh ketika saya menyelamatkan diri dari amukan mereka), Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan wahyu untuk menikahi wanita. Wahyu itu untuk mengancam orang tua wanita, namun tetap tidak mempan.
            Berbeda dengan Nur hasan Ubaidah, walau sama-sama untuk mendapatkan wanita—Nurhasan tidak usah mengaku mendapatkan wahyu, tetapi cukup bermodal menekankan taat amir. Dalam teks CAI  (Cinta Alam Indonesia, untuk muda-mudi LDII) semacam jamboree nasional pramuka, teksnya LPPI punya juga, dikemukakan, ada 3 pemuda membawa satu wanita cantik kepada Amir. Lalu Amir bertanya:
Ini jama’ah semua kan?
Nggih (Ya).
Tunduk?
Nggih.
Taat?
Nggih?
Ridho?
Nggih.
Nah, perempuan cantik ini kalau saya kasihkan A, maka B dan C tentu marah. Kalau saya kasihkah B, maka A dan C marah. Dan kalau saya kasihkan C maka A dan B marah. Maka perempuan cantik ini untuk saya (Amir) saja.
Kemudian saya kemukakan bahwa Nur Hasan Ubaidah itu. kata Pak Hasyim Rifa’I, seorang yang telah mengikuti pengajian Nur Hasan selama 17 tahun, telah menceraikan perempuan yang jumlahnya tidak dapat dihitung lagi. Ini di dalam hadits termasuk dzawwaqiin (tukang cicip-cicip) yang dilaknat oleh Allah. Yaitu menikahi kemudian dicerai, ganti nikahi yang lain lagi, dicerai lagi dan seterusnya. Lha Amir kok yang lakonnya dilaknat Allah seperti itu. Bahkan mengaku bahwa yang Islamnya sah itu hanya yang ikut dia. Coba dipikir!
Di samping itu, saya berwawancara dengan orang-orang yang dulu ikut Nur Hasan Ubaidah. Mereka ditarik saham, katanya untuk buat pabrik tenun- tahun 1960-an, sebesar masing-masing orang Rp10.000 seharga satu sapi atau kerbau. Ternyata ditunggu-tunggu pabrik tenunnya tak ada, sedang duit saham pun tak boleh ditanyakan. Kalau ditanyakan berarti tidak taat Amir, maka akan masuk neraka selama-lamanya. Agar tidak masuk neraka selama-lamanya maka harus membuat pernyataan taubat dan membayar lagi. Ini bagaimana, menanyakan duitnya sendiri malah akan masuk neraka dan harus menebus dengan duit lagi. Ya memang di antara tujuannya, aliran-aliran sesat itu adalah duit dan seks, sampai ada yang mengaku mendapatkan wahyu, dan ada yang dengan menekankan taat Amir. Padahal di akherat, kalau seseorang menipu berupa unta maka unta itu akan dikalungkan padanya, juga sapi, dan kalau tanah… betapa beratnya ketika dikalungkan.
Bedah buku ini berlangsung tenang dan khidmat. Dari jam 9.30 sampai jam 11.05. lalu dibuka sesi Tanya jawab. Tiga orang mengajukan pertanyaan, dua lelaki dan satu perempuan. Pertama, Pak Zainuddin: menanyakan, bagaimana cara menghdapi aliran sesat. Dan apakah benar Jama’ah Tabligh itu sempalan dari Ahmadiyah. Penanya kedua, Sulardi mengatakan, ini semua hanya pendapat, jadi boleh diiukuti boleh tidak. Dan apakah boleh menjelekkan orang. Pertanyaan ketiga dari ibu-ibu di lanbtai atas, IAIN kenapa sudah kemasukan liberal, dan kenapa Ulil Abshar Abdalla jadi liberal padahal dari kalangan organisasi ulama.
Pertanyaan pertama, saya jawab, untuk menghadapi aliran sesat maka sesuai dengan hadits shohih, siapa di antara kalian melihat kemunkaran/ keburukan maka hendaknya diubah dengan tangannya, kalau tak dapat maka dengan lisannya, dan kalau tak dapat maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah lemah iman. Adapun Jama’ah Tabligh maka bukan sempalan Ahmadiyah, tetapi kelompok tasawuf yang biasanya mengedepankan fadhoilul ‘amal, yang dakwahnya sering pakai tamsil-tamsil, ibarat-ibarat, yang hal itu tidak jadi landasan agama.
Lalu saya jawab perkataan Sulardi penanya kedua, bahwa memang yang saya kemukakan itu pendapat, tetapi berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau divonis bahwa ini hanya pendapat, boleh diikuti boleh tidak, ini … (langsung Sulardi bersuara menolak-nolak jawaban saya, dengan suara keras. Saya jawab, saya sudah tahu apa yang Anda tanyakan, jadi akan saya jawab. –Saya tahu, ungkapan dia “ini hanya pendapat, jadi boleh diikuti boleh tidak”, itu maksudnya adalah mementahkan semua yang telah saya kemukakan. Jadi harus saya jelaskan. tetapi Sulardi tetap ngotot membantah-bantah dengan ngeyel sambil berdiri. Saya tahu dia sebenarnya mengerti bahwa jawaban saya belum tuntas dan mestinya biar saja saya melanjutkan, tetapi dia sebagaimana di mana-mana ulah LDII membuat kerusuhan kalau ada bedah buku saya memang caranya seperti itu. Ada yang bersuara keras-keras sambil berdiri seperti itu lalu diikuti rombongannya yang berada di dalam masjid dan di luar). Mereka mulai berdiri berteriak-teriak dan merangsek ke depan. Saya langsung mundur, menuju ke luar lewat mihrab, namun di luar tampak ratusan orang bermuka sangar, dan di depan pintu mereka sudah menghadang dengan tangan mengepal siap menghantam saya. Maka saya mundur dan berada di mihrab, lantas pintu dikunci. Pyar… gelas dilemparkan ke saya, alhamdulillah tidak kena, membentur pintu kaca, pecah dan mengenai kaki Ustadz Syarif Lubis hingga berdarah.
Suara riuh rendah amat gaduh di dalam dan luar masjid. Ibu-ibu di lantai atas kedengaran menangis. Suara-suara teriakan di sana-sini tak keruan. Ketegangan dari jam 11.25 sampai waktu dzuhur, adzan dan sholat berjama’ah. Para perusuh yang memang tidak doyan sholat berjama’ah bersama Muslimin Ahlus Sunnah, masih berada di luar.  Jumlahnya sekitar 200 orang lebih, menurut adik saya yang kirim sms dari luar masjid.
Ketegangan masih berlangsung setengah jam lagi setelah shalat dzuhur. Baru kemudian datang satuan polisi dengan dua mobil sedan, menjemput saya dan dua panitia, serta dua penjual buku beserta dagangannya. Kami diselamatkan dari amukan massa itu, dibawa ke Polsek Pasar rebo/ Ciracas Jakarta Timur, berjarak sekitar dua kilometer.
Sampai di Polsek, kami menunggu giliran untuk dimintai keterangan. Ada telefon dari Radio Elshinta di Jakarta ke saya, menanyakan kronologis kejadian. Saya jelaskan, dan disiarkan langsung mulai pukul 13.05, radio berita yang punya cabang di berbagai kota. Jarak beberapa menit, teman dari Majalah Gatra menelepon pula, mendengarkan radio itu, katanya. Juga Ustadz dari Bekasi. Bahkan tahu-tahu ada sms dari Jeddah menanyakan kejadian itu. Sebentar lagi ada sms dari teman bahwa dia ditanya saudaranya di Riyadh tentang kasus ini.
Saya dan panitia serta beberapa polisi sholat di masjid sebelah kantor Polsi. Orang-orang LDII sedang bergerombol di depan kami berada tadi. Kami melewati depan mereka. Sehabis sholat, kami dipersilahkan naik ke lantai dua, untuk dimintai keterangan kronologis peristiwa. Saya, Ustadz Syarif, dan Pak Slamet selaku panitia dimintai keterangan. Kami jawab satu persatu. Lalu diminta ke bawah, ke Kapolsek AKP Iskandar. Masuklah seorang tua berkulit hitam bermata agak sipit, berperawakan kecil tidak tinggi. Dia mengaku bernama Nur Salim, ketua LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), didampingi seorang berbadan tinggi besar, ke mana-mana pakai HT, mengaku Setkom, saya tak tahu apa itu arti Setkom. Nur salim yang mengaku ketua LDII tanpa menjelaskan ketua dari mana ini meminta saya agar minta maaf dari menyatakan kesesatan-kesesatan seperti tadi. “Masa Kalau LDII itu sesat kok saya masuki,” katanya. Kalau saya meminta maaf di depan jama’ahnya yang berada di halaman Polsek ini, maka dia berjanji akan bubar dari kerumunan itu. Lalu Pak Kapolsek meminta agar Nur Salim memanggil kelompoknya yang bergerombol di depan untuk masuk ke ruang Kapolsek. Sekitar 20 orang di bawah pimpinan ketua LDII Nur Salim ini masuk ruangan, pas waktu mau adzan maghrib. Lalu Pak Slamet, panitia yang di samping saya, berdiri dan berkata: Kami selaku panitia telah berusaha mengamankan jalannya acara bedah buku tadi, namun ternyata terjadi kerusuhan dan tidak dapat kami tanggulangi, maka kami minta maaf…
Mendengar ungkapan Pak Slamet itu lantas mereka menyalami Pak Slamet dan saya, lalu mereka keluar dari ruangan satu-persatu. Kemudian wartawan berdatangan mengerubuti saya dalam ruangan kapolsek itu, mereka menanyakan kronologis kejadian.
Demikianlah, pertolongan Allah swt. Kehadiran mereka di Polsek itu justru menunjukkan jati diri mereka bahwa mereka adalah orang-orang LDII. Tanpa pengakuan Nur Salim, bahwa dia ketua LDII, maka sulit dikatakan bahwa perusuh itu dari LDII. Di samping itu, justru menjadi bukti bahwa LDII itu benar-benar aliran sesat kelanjutan atau ganti nama dari Islam Jama’ah yang didirikan oleh Nur Hasan Ubaidah. Mereka kadang mengelak, tetapi dengan bukti-bukti ini malah justru jelas LDII adalah nama lain dari Islam Jama’ah yang telah dilarang Kejaksaan Agung tahun 1971.  Mereka dapat dibaca, bahwa hanya mengikuti perintah atasannya. Sehingga siapa yang meminta maaf  tadi, dan isinya apa, tidak diperhatikan.
Atas peristiwa itu, Ridwan Saidi seorang terkemuka di Betawi Jakarta berkomentar, kalau LDII mau menuntut ke pangadilan, maka cukup kita pegangi, bahwa buku yang dibedah bukan buku terlarang, dan pegangi saja buku LPPI yang menjelaskan sesatnya LDII. Malahan umat akan terbuka jelas apabila pengadilan digelar.
Lain lagi komentar KH Syukur Ya’qub ketika berada di Bimantara Kebon Sirih. Dia bilang ke saya, kalau mereka macam-macam lagi, kami punya organisasi Betawi yang mampu menghadapinya, insya Allah.
Adapun barang-barang saya yang mereka curi, berupa tas besar warna coklat,  KTP, flash disk, buku-buku dan lainnya, kalau justru mereka maksudkan untuk mencelakakan saya, maka saya sebagai orang yang didholimi, berdo’a kepada Allah swt, semoga kecelakaan tidak menimpa saya, keluarga saya, panitia, dan umat Islam pada umumnya. Tetapi kalau kecelakaan akan Allah timpakan semoga kepada mereka sesuai dengan kadar perbuatan mereka masing-masing. Allah lah Maha Adil dalam segala urusan.
Sehari sebelumnya, 17/ 12 2005, saya diminta bicara pula tentang aliran sesat dan LDII di Masjid Perumahan Kunciran Emas di Tangerang Banten pimpinan Pak Daud Afifi. Di sana dekat dengan lokasi LDII, namun dalam acara ini disiapkan 100 tenaga laskar Banten berseragam hitam. Maka pembahasan berlangsung aman. Bahkan ada jama’ah yang terus terang dalam dialog interaktif, bahwa apa yang Pak Hartono Ahmad Jaiz sampaikan itu benar. “Karena saya mengalami langsung,” kata seorang jama’ah ini. Dia mengaku, dulu sekolah di lingkungan Pesantren Burengan Kediri pusat LDII. Dia hafal betul bahwa santri-santri LDII di sana biasa jajan di warung seberang pesantren milik orang bukan LDII. Santri-santri itu biasa makan tempe 10 biji tapi hanya ngaku tujuh. “Makan tempe sepuluh ngaku tujuh itu sudah biasa, dan mereka anggap halal saja, karena pemiliknya bukan orang LDII,” ujarnya.
Jakarta, Rabu 21 Desember 2005M/ 19 Dzulqo’dah 1426H

(Hartono Ahmad Jaiz).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar