Rabu, 01 Juli 2015

Lebih Jahat dari Pajak!

Arim Nasim, Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI

Hizbut Tahrir Indonesia merupakan salah satu elemen bangsa ini yang secara konsisten menolak Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dan Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) sejak masih dalam bentuk rancangan undang-undang (RUU). 

Timbul pertanyaan dari sebagian publik, mengapa regulasi yang menjamin kesejahteraan nasional kok ditolak? Lantas konsep apa yang ditawarkan HTI untuk menyejahterakan seluruh komponen bangsa? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI Arim Nasim. Berikut petikannya.

UU yang dibuat untuk terwujudnya sistem jaminan sosial nasional kok ditolak?

Karena hanya namanya saja yang bagus tapi ternyata isinya asuransi nasional, yaitu  mewajibkan setiap rakyat  membayar premi untuk mendapatkan fasilitas jaminan sosial. Jadi ini adalah pemalakan kepada semua rakyat dengan dalih jaminan sosial.

Penipuan dong?

Betul, ini adalah penipuan kesekian kalinya yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR terhadap rakyat.

Pasal mana saja yang mengindikasikan pemalakan itu?

Pasal 1 ayat  3, UU SJSN disebutkan yang dimaksud dengan jaminan sosial adalah asuransi sosial yaitu: suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.

Pasal 4 Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip (a.) kegotong - royongan…. Pasal 17 ayat 1: Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. 

Pasal 47 ayat 1: Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.

Implikasinya?

Dari pasal-pasal tersebut sangat jelas implikasinya. Pertama, rakyat dipalak oleh suatu lembaga yang disebut BPJS yang disetujui oleh negara. Rakyat akan mendapat pelayan sosial kalau dia membayar premi asuransi.

Ini jelas akan memberatkan rakyat bahkan lebih jahat dari pungutan pajak yang selama ini dilakukan pemerintah karena setiap jiwa akan diwajibkan membayar antara Rp 20.500-50.000 per orang per bulan.

Kedua, Pasal 4 walaupun istilahnya “gotong royong” tapi esensinya adalah semakin mengokohkan prinsip neoliberalisme yaitu menyerahkan layanan publik kepada swasta atau dengan kata lain negara lepas tangan dari mengurus rakyat.  Jadi mereka yang akan mendapat pelayanan sosial adalah yang membayar premi asuransi kepada BPJS yang dibentuk oleh pemerintah dan dikelola oleh swasta.

Ketiga, dana yang terkumpul akan dikelola dan dikembangkan oleh BPJS  atau di investasikan, ini memungkinkan terjadinya kerugian, kalau rugi siapa yang akan mengganti dana sosial ketika rakyat membutuhkan?

Siapa?

Ada dua kemungkinan. Pertama, rumah sakit bisa menolak layanan kesehatan dengan alasan dana dari BPJS tidak turun atau macet, maka bagi yang tidak memiliki uang dia tidak akan mendapat layanan kesehatan.Sedangkan bagi yang punya uang, akan merogoh dari kantongnya sendiri walaupun sudah membayar premi asuransi.

Kedua, negara harus atau dipaksa mengganti kerugian tersebut yang diambil dari dana APBN seperti kasus bailout untuk lembaga perbankan. Jadi memunculkan bailout gaya baru. Jelas semuanya yang dirugikan adalah rakyat.

Pantas, Anda katakan lebih jahat dari pajak...

Ya,  saya katakan lebih jahat dari pajak, karena kalau pajak masih ada obyek pajaknya sehingga tidak semua kena. Tapi premi asuransi ini semua wajib bayar dan kalau tidak membayar  akan mendapat hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 17 ayat 2  bagi mereka yang tidak membayar akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

Dalam penjelasan UU BPJS dijelaskan  yang dimaksud dengan “pelayanan publik tertentu” antara lain pemprosesan izin usaha, izin mendirikan bangunan, bukti kepemilikan hak tanah dan bangunan. Ini adalah bentuk pemaksaan yang luar biasa terhadap rakyat.

Lantas siapa yang menikmati implementasi dari UU yang menipu ini?

Tentu saja pengelola BPJS yang di dalamnya ada asing yang membiayai proses penyusunan UU dari mulai draft sampai pengesahan.  Dalam  dokumen Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR) disebutkan: “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain).

Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 trilyun (kurs 9.000/US$). Bahkan World Bank juga terlibat, sebagaimana terungkap dari pertemuan ILO (organisasi buruh internasional) di Jakarta pada 2011 lalu, menyebutkan  bahwa World Bank Jakarta tengah mempersiapkan skenario implementasi program jaminan pensiun SJSN.  Mitchell Winner, pakar jaminan pensiun World Bank Jakarta, menyampaikan desain reformasi program jaminan pensiun dan perluasan kepesertaan jaminan pensiun.

Bantuan Rp 2,25 trilyun, besar sekali?

Proyeksi keuntungan yang akan didapat mereka jauh lebih besar lagi. Bayangkan, kalau seluruh rakyat Indonesia diwajibkan membayar premi asuransi dengan jumlah yang minimal. Misalnya Rp 20.000 per orang. Setiap bulannya akan terkumpul dana kurang lebih sebesar Rp 5 trilyun.

Wajar kalau mereka berani membiayai UU SJSN dan BPJS ini karena dana yang akan mereka terima sangat besar. Itu belum termasuk aset BUMN, seperti Jamsostek dan Askes yang selama ini mengelola dana jaminan sosial yang harus diserahkan kepada BPJS yang jumlahnya ratusan trilyun itu.

Berarti pemerintah dan DPR itu menipu rakyat untuk kepentingan asing?

Iya, mereka memang pengkhianat. Siapa saja akan menjadi pengkhianat selama sistem yang diterapkannya demokrasi mahal yang kapitalistik ini.

Menurut Anda, sebenarnya bisa tidak negara menjamin kesejahteraan publik tanpa harus memungut biaya atau premi dari publik? 

Bisa! Kalau sistem yang digunakannya adalah sistem yang benar yaitu sistem ekonomi Islam dalam bingkai khilafah Islam. Karena dalam sistem ekonomi Islam yang dijalankan oleh khilafah (negara Islam global, red) jaminan kesejahteraan khususnya pendidikan, kesehatan dan keamanan  rakyat baik buruh maupun bukan, Muslim ataupun non Muslim, berada di tangan pemerintah secara langsung.

Sumber pembiayaannya?

Salah satunya berasal dari  harta milik umum  (milkiyah ammah) yang wajib dikelola oleh khilafah seperti tambang minyak dan gas, tambang mineral dan batu bara (minerba), tambang emas dan perak.

Sebagai contoh untuk kasus tambang gas Blok Mahakam saja, potensi pendapatan  yang masih tersisa setelah dirampok asing dan para pengkhianat itu adalah sekitar  Rp 1.700 trilyun.   Bayangkan ada ratusan blok yang sekarang ini  dikelola oleh swasta, belum potensi lainnya dari tambang emas dan perak atau tambang batu bara maupun  tambang mineral lainnya.

Jadi dari satu sumber saja yaitu harta milik umum yang dikelola negara lebih dari cukup untuk menjamin kesehatan,  pendidikan dan keamanan. Sementara ada banyak sumber pemasukan APBN Khilafah dalam sistem ekonomi Islam. Itulah salah satu relevansinya mengapa Hizbut Tahrir selalu konsisten mengajak semua pihak untuk menegakkan kembali syariah dalam bingkai khilafah. Di samping karena tuntutan keimanan, memang hanya itulah sistem dan negara yang memberikan kesejahteraan hakiki.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar