Selasa, 22 Maret 2022

SEJARAH SAYA MENJADI STAF AHLI BAPAK MUHAMMAD NATSIR

 


 

DAFTAR ISI

 

  1. AWAL MULA PERJUMPAAN SAYA DENGAN (ALLAAHU YARHAM) BAPAK M. NATSIR ..................
  2. KATA SAMBUTAN Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat .................
  3. Harian Umum PELITA

Selasa, 18 Oktober 1983

Menanggapi Gagasan Prof. Dr. Harun Nasution (1)

Soal Penggalakan Kuliah Falsafah, Ilmu Kalam dan Sejarah Kebudayaan Islam ....

  1. Harian Umum PELITA

Rabu, 19 Oktober 1983

Menanggapi Gagasan Prof. Dr. Harun Nasution (2)

Pandangan Ahli Filsafat Islam terhadap Kebenaran Agamanya .....

  1. Harian Umum PELITA

Kamis, 20 Oktober 1983

Menanggapi Gagasan Prof.Dr.Harun Nasution (3)

Bagaimana Rasionalitas Itu ......................................

  1. Harian Umum PELITA

Jum’at, 21 Oktober 1983

Menanggapi Gagasan Prof.Dr.Harun Nasution (4 - selesai)

Pembaharuan Setuju, Asal Tidak Menyimpang .................................................:

  1. Catatan dan Kenang-kenangan..........................

 

 


AWAL MULA PERJUMPAAN SAYA DENGAN

(ALLAAHU YARHAM) BAPAK M. NATSIR

Oleh M. Amin Djamaluddin

 Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.

Tanggapan Bapak M. Natsir terhadap tulisan saya yang dimuat oleh Harian Umum Pelita tanggal 18, 19, 20 dan 21 Oktober 1983, yaitu tanggapan dan bantahan terhadap Pembaharuan Islam yang digalakkan di IAIN Ciputat (sekarang UIN Jakarta) oleh Rektor IAIN Ciputat Prof.Dr. Harun Nasution, pada saat itu yang dimuat oleh majalah Panjimas dan Harian Umum Pelita, Rabu 3 Agustus 1983 dengan judul, “Dr. Harus Nasution Menyongsong Dies Natalis IAIN ke-26; Ulama Kurang Kuasai Ilmu-ilmu Keduniaan, dan Harian Umum Pelita, Rabu 10 Agustus 1983 dengan judul, ”Menteri Agama pada Dies Natalis IAIN Jakarta; Umat Islam Harus Jadi Pemikir dan Berani Bertanggungjawab.”

Hari keempat (terakhir) dari tulisan saya di Harian Umum Pelita itu, kemudian Bapak M.Natsir memanggil Bapak Hardi M.Arifin yang menangani masalah pondok pesantren di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, beliau meminta, “Arifin coba Saudara teliti, siapa Amin Djamaluddin yang menulis bersambung di Harian Pelita itu, dan dari mana pendidikannya, dan organisasinya apa, dan kalau sudah beristeri, isterinya orang mana dan pendidikannya apa?”

Mendengar perintah dari Bapak M.Natsir ini, Bapak Hardi Arifin menjawab, “Amin Djamaluddin itu orang Bima, pendidikannya di PGAN 6 tahun Bima, dan organisasinya Persis (Persatuan Islam) dan isterinya orang Bogor, tamatan Pesantren Persis Bangil.” (Padahal isteri saya tamatan dari Pesantren Persis No. 1 Pajagalan Bandung, Jawa Barat).

Setelah mendengar jawaban Bapak Hardi Arifin tersebut, Bapak M.Natsir pun langsung memerintahkan kepadanya, “Tolong dicari Saudara Amin Djamaluddin itu, saya ingin sekali bertemu dengan dia!” Pada hari itu juga, pas selesai shalat Zhuhur di masjid Al-Furqan DDII Bapak Hardi Arifin berkata kepada saya, “Min dicari Bapak, ente!” Saya pun balik bertanya, “Bapak, siapa?” “Pak Natsir, ayo ikut saya!”

Saya sangat kaget, setelah tahu Bapak M.Natsir lah yang mencari saya. Padahal sebelumnya, saya belum pernah bertemu dengan Bapak M.Natsir. Saya pun ikut Bapak Hardi Arifin masuk ke ruangan kerja Bapak M. Natsir. Setelah masuk ke ruangan Bapak M.Natsir, Bapak Hardi Arifin berkata kepada Bapak M.Natsir, “Ini Amin Djamaluddin itu, Pak!” Setelah Bapak Hardi Arifin memperkenalkan saya kepada Bapak M.Natsir, Bapak Hardi Arifin langsung menuju ke ruang kerjanya, dekat dengan ruang kerja Bapak M.Natsir. Bapak M.Natsir pun langsung bangun dari kursi kerjanya, dan duduk di kursi biasa, posisinya berhadapan dengan saya, dan langsung berkata, “Saya sudah baca dan teliti tulisan Saudara yang bersambung di Harian Umum Pelita itu. Prof. DR. Harun Nasution itu dia adalah tokoh orientalis yang bertaraf internasional. Jadi pekerjaan yang Saudara lakukan ini, adalah pekerjaan yang bertaraf internasional. Jarang sekali, orang yang bisa berbuat seperti Saudara. Saya meminta Saudara untuk membantu saya. Pintu rumah saya 24 jam terbuka untuk Saudara.”

Inilah, perjumpaan pertama kalinya, antara saya dengan Bapak. M.Natsir, sehingga saya diminta menjadi staf ahli khusus Bapak M. Natsir di dalam menghadapi aliran sesat sampai beliau wafat. Kemudian, untuk mendirikan LPPI yang saya pimpin, Bapak M.Natsir telah memberikan uang kepada saya, sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) untuk membuat Akta Notaris pada tahun 1985. Alhamdulillaah, LPPI saat ini dengan modal tersebut sudah mempunyai gedung sendiri berlantai empat di jalan Tambak No. 20B Jakarta Pusat.

            Memang antara saya dengan Bapak Hardi Arifin, tokoh-tokoh GPI dan anak-anak PII, sejak awal tahun 1978, sudah sangat kenal dekat, karena sering berkumpul di Menteng Raya 58 Jakarta, markasnya GPI (Gerakan Pemuda Islam) dan PII (Pelajar Islam Indonesia). Sampai kemudian, pada tahun 1978, (tepatnya pada bulan Maret 1978), kami semua sama-sama masuk Pesantren Pak Domo (istilah kami), dan kalau orang bilang, masuk penjara. Disebut Pesantren Pak Domo, karena Jenderal Soedomo saat itu menjadi Panglima Komkamtip Pusat, yang kerjanya menangkapi orang-orang yang suka berdemontrasi. Kami pernah ramai-ramai ditahan di Rumah Tahanan Salemba Jakarta. Kami masuk penjara waktu itu, karena melakukan demontrasi menolak aliran kepercayaan yang akan disamakan atau dianggap sebagai agama oleh MPR RI saat itu dan juga menolak PMP (Pendidikan Moral Pancasila) masuk ke dalam GBHN.

            Dulu, di salah satu ruangan di Kramat Raya 45 itu, ada ruang khusus untuk GPI dan anak-anak PII. Di ruangan itulah tempat kami berkumpul bersama anak-anak PII, waktu muda dahulu. Sehingga saya sering berada di Kramat Raya 45, kantor PII tersebut.

            Itulah sejarahnya, saya bisa menjadi staf khusus (Allaahu yarham) Bapak M. Natsir. Bapak M. Natsir sangat percaya kalau suatu aliran itu sesat, setelah saya memvonisnya sesat dan menyesatkan. Maka sebagai kenang-kenangan, tulisan saya di Harian Umum Pelita selama empat hari berturut-turut tersebut saya terbitkan kembali dalam bentuk buku saku, mudah-mudahan bermanfaat bagi generasi muda Islam saat ini dan di masa yang akan datang.

            Saya sebagai penulis, hanya lah tamatan PGAN 6 tahun Bima tahun 1970. Tapi saya berani untuk mengoreksi dan menanggapi pemikiran seorang profesor doktor yang sedang menjabat rektor sebuah perguruan tinggi Islam terkenal saat itu. Hal ini dikarenakan semangat mencari ilmu dan semangat belajar juga membaca saya yang tinggi, walaupun saya tidak pernah masuk perkuliahan di sebuah perguruan tinggi.

 

Wallaahu a’lam bish showaab.

Jakarta, 14 Jumadil Akhir 1439 H

                         02 Maret 2018 M

Wassalaam,

Tertanda,

 

M. Amin Djamaluddin

 

Acc,

Tertanda,

 

Hardi M. Arifin

Puncak Bogor, 4 Januari 2019

 

KATA SAMBUTAN

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

(DDII) Pusat

 

بسم الله الرحمن الرحيم

 

Alhamdulillaah, kita panjatkan puji dan syukur kita ke hadirat Allah SWT, atas diterbitkannya oleh LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam), yaitu tulisan Sdr. M. Amin Djamaluddin di koran Harian Umum Pelita tanggal 18 Oktober s.d. 21 Oktober 1983 yang berisi tanggapannya yang hanya seorang tamatan PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) 6 tahun Bima (NTB) terhadap seorang Professor Doktor yang sedang menjadi rektor salah satu universitas yang terkenal di Indonesia, yaitu IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Ciputat yang dikenal pula dengan sebutan IAIN Jakarta pada saat itu.

Materi dari polemik tersebut yaitu menanggapi gagasan Pembaharuan Islam yang sedang diterapkan oleh Prof. DR. Harun Nasution sebagai Rektor IAIN untuk para mahasiswa beliau pada saat itu.

            Materi pokok dari tanggapan Sdr. M. Amin Djamaluddin saat itu adalah Penggalakan Kuliah Falsafah, Ilmu Kalam dan Sejarah Kebudayaan Islam, yang berisi penjelasan atas bahayanya mempelajari ilmu falsafah yang bisa merusak aqidah dan keyakinan tokoh-tokoh Islam yang mempelajarinya, apalagi generasi muda Islam.

            Sdr. M. Amin Djamaluddin mengutip pendapat tokoh-tokoh falsafah, dalam tanggapannya tersebut, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd (Averroes) dan Ar-Razi.

  1. Al-Kindi

Al-Kindi mengatakan, “Falsafah adalah ilmu tentang kebenaran dan Agama juga adalah ilmu tentang kebenaran pula. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya. Al-Kindi mengatakan bahwa kebenaran yang datangnya dari Tuhan (wahyu) sama kedudukannya dengan kebenaran falsafah-falsafah hasil pikiran manusia.”

  1. Al-Farabi

“Al-Farabi menempatkan kedudukan Nabi di bawah filosofi, karena pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran, lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh melalui imaginasi.”

  1. Ibnu Rusyd (Averroes)

“Ibnu Rusyd memandang Aristoteles sebagai manusia sempurna dan ahli fikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur dengan kesalahan.”

  1. Ar-Razi

“Filosofi yang satu ini lebih luar biasa dari yang lainnya. Ar-Razi adalah seorang rasionalis sejati yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu serta tidak perlunya utusan Allah yaitu para nabi dan rasul.”

           

Perlu diketahui bahwa, Bapak M. Natsir merupakan pelanggan Harian Umum Pelita. Beliau sangat tertarik membaca tulisan tersebut. Oleh karena itu, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat sangat mendukung tulisan Sdr. Amin Djamaluddin yang dimuat oleh Harian Umum Pelita empat hari berturut-turut dari tanggal 18 s.d. 21 Oktober 1983 tersebut untuk diterbitkan kembali dalam bentuk buku saku, agar generasi muda Islam terutamanya, bisa memahami dan mengerti tentang bahayanya mempelajari ilmu falsafah, seperti Imam Al-Ghazali yang memvonis ahli filsafat dengan kafir. Ketika orang bertanya kepada Ibnu-sh Shalah tentang mempelajari falsafah, maka dia menjawab sebagai berikut, “Falsafah adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfalsafat maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan Syariah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barang siapa yang mempelajarinya, maka ia bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terbujuk oleh syetan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari pada ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian kita”???

            Prof.DR.Ir.H.T.B. Bahtiar Rifai dalam ceramahnya pada Mimbar Televisi R.I. pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 6 Oktober 1983 mengatakan, “Spekulasi Yunani: falsafat.”

            Oleh sebab itu, sekali lagi Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat sangat mendukung untuk diterbitkannya kembali berita koran Harian Umum Pelita tersebut.

            Dari tulisan tersebut membuktikan bahwa gelar akademik tidak menjamin untuk tidak sesat. Semoga menjadi tauladan bagi pemuda-pemuda Dewan Da’wah khususnya dan generasi muda Islam pada umumnya.

 

Wallaahu waliyyut taufiiq was sadaad.

 

Jakarta, 17 Agustus 2019 M 

             16 Dzulhijjah 1440 H

 

Wassalam,

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat

Tertanda,

 

Ahmad Cholil Ridwan, Lc

(Anggota Dewan Pembina) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Umum PELITA

Selasa, 18 Oktober 1983

 

Menanggapi Gagasan Prof. Dr. Harun Nasution (1)

Soal Penggalakan Kuliah Falsafah, Ilmu Kalam dan Sejarah Kebudayaan Islam

Oleh M. Amin Djamaluddin

 

     HARIAN PELITA tanggal 3 Agustus 1983, membuat pidato rektor IAIN Jakarta Prof. Dr. Harun Nasution menyongsong Dies Natalis IAIN Jakarta yang ke-26 mencetuskan pokok-pokok pikiran yang intinya tentang Pembaharuan Islam yaitu perlunya reinterprestasi (Ijtihad) mengenal ajaran dasar yang terkandung dalam Al Quran dan Hadist.

           

     Prof. Dr. Harun Nasution mengemukakan bahwa dalam Islam ada dua kelompok ajaran, pertama yang bersifat absolut, kekal, tak berubah dan tak bisa dirubah yang terkandung dalam Al Quran dan Hadist. Sedangkan kelompok kedua bersifat relatif (nisbi) dan bisa dirubah terkandung dalam kitab-kitab agama yang dihasilkan oleh para ulama melalui pikiran dan ijtihadnya.

 

     Oleh sebab itu Prof. Dr. Harun Nasution mengharapkan pada IAIN Jakarta meninggalkan sikap taklid dengan mengambil sikap rasional, dan meninggalkan sikap statis dan mengambil sikap dinamis yang agamis, melepaskan kurikulum yang mengandung agama saja dan menyusun kurikulum yang menselaraskan antara agama dengan ilmu pengetahuan modern. Sekarang yang diperlukan dalam pembaharuan ini ialah ijtihad atau pemikiran baru.

 

“Gaung Ijtihad dari Kampus Ciputat”.

     Judul di atas dipergunakan oleh Majalah Panji Masyarakat no. 405 tanggal 21 Agustus 1983 menyongsong ide pembaharuan Prof. Dr. Harun Nasution. Cara penyajian, pengulasan serta materi pembahasannya hampir sama dengan yang dimuat oleh harian PELITA. Cuma ada sedikit tambahan ….. dengan ayat Al Quran yang memberi kedudukan tinggi pada akal ia membawa IAIN Jakarta meninggalkan sikap taklid mengambil sikap rasional dst.

 

     Harian KOMPAS 21 September 1983, membuat hasil wawancaranya dengan Prof. Dr. Harun Nasution antara lain menjelaskan gagasan pembaharuannya dengan kata-kata : Kurikulum IAIN sendiri, menurut Harun berorientasi untuk menghasilkan mujtahid itu diwujudkan dalam kurikulum yang diantaranya berupa penggalakan mata kuliah falsafah, ilmu kalam atau teologia, sejarah serta kebudayaan Islam atau tasauf.

 

Tanggapan

     Dengan slogan Pembaharuan Islam, Prof. Dr. Harun Nasution berusaha secara berselubung agar mahasiswa IAIN Jakarta meninggalkan aqiedah Islam.

 

     Dengan slogan Pembaharuan Islam di IAIN Jakarta. Al Quran dan Al Hadist tidak diperlukan lagi.

     Proses ke arah pendangkalan Aqiedah Islam di IAIN Jakarta sedang direncana penggalakan mata kuliah falsafah di IAIN Jakarta akan menimbulkan dampak yang sangat negatif, minimal mahasiswa diseret/terjerumus kepada faham Mu’tazilah dan maksimalnya akan membawa ke arah kekafiran.

 

     Sudah begitu banyak “Gema Pembaharuan Islam” dikumandangkan di dunia Islam, sejak dari Djamaluddin Al-Afgani, Syeh Muhammad Abduh dan Syeih Muhammad Rasyid Djamaluddin Al-Afgani, Syeh Muhammad Abduh dan Syeih Muhammad Rasyid Ridla dari Mesir, Muhammad bin Abdul Wahab dari Nejed (Saudi Arabia), H. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah, H. Ahmad Surakati Pendiri Al Irsyad, A. Hassan Pendiri Persatuan Islam (Persis) di Indonesia, dan lain-lainnya.

 

     Tokoh-tokoh Islam tersebut di atas sudah diakui dan dicatat oleh sejarah sebagai tokoh-tokoh Mujaddid (Pembaharuan Islam).

 

     Gema Pembaharuan dan pokok-pokok pikiran yang beliau-beliau perjuangkan temanya sama yaitu mengembalikan ummat Islam kepada ajaran Islam dari sumbernya yang asli yaitu Al Quran dan As Sunnah, yang merupakan pusaka asli yang dimiliki oleh ummat Islam.

 

     Jadi gaung Pembaharuan yang beliau-beliau kumandangkan adalah mengajak ummat Islam kembali kepada Al Quran dan Al Hadist, perlunya Ijtihad bagi ummat Islam serta memberantas taklid dan mengajak kepada I’tiba.

 

     Bagaimana gerangan Pembaharuan Islam yang dicanangkan oleh Prof. Dr. Harun Nasution yang hendak diterapkan di IAIN Jakarta? Pembaharuan Islam yang dicanangkan oleh Prof. Dr. Harun Nasution yang hendak diterapkan di IAIN Jakarta ada suatu “Penyimpangan”.

 

“Penggalakan mata kuliah falsafah”.

     Kata-kata filsafah berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” yang berarti : “Cinta” dan “shopia” yang berarti : “Pengetahuan”. Orang yang cinta pada pengetahuan disebut “Philosophis” atau : “Failusuf” dalam ucapan Arabnya.

 

     Menurut penulis Rumawi CICERO (106-43 SM) orang yang pertama memakai kata filsafah adalah PYTHAGORAS yang dilahirkan kira-kira tahun 590 sebelum Masehi, sebagai reaksi terhadap orang-orang cendikiawan pada masanya yang menamakan dirinya : “ahli pengetahuan”. Pythagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya yang lengkap tidak sesuai untuk manusia.

 

     Tiap-tiap orang mengalami kesukaran-kesukaran dalam memperolehnya, meskipun menghabiskan seluruh umurnya, namun ia tidak akan mencapai tepinya. Jadi pengetahuan adalah perkara yang kita cari dan kita dapat sebagian dari padanya tanpa mencakup seluruhnya. Oleh karena itu, maka kita ini bukan ahli pengetahuan, melainkan pencari dan pencinta pengetahuan.

     Bagaimana pandangan Islam dalam hal ini?

Menurut keterangan Al Quran, Allah berfirman sbb : “Wa maa uutiitum minal’ilmi illaa qaliilan” : tidak Kami berikan ilmu pengetahuan itu, kecuali sedikit. (Q.S. Al Isra’ ayat 85) jadi ilmu pengetahuan yang bisa didapat oleh otak manusia hanya sedikit sekali.

 

Penterjemah buku-buku filsafah oleh orang-orang Islam.

     Menurut data sejarah masa pertama penterjemahan ke dalam bahasa Arab terdapat buku-buku falsafah Yunani adalah pada masa pemerintahan khalifah Al Mansur (754-775). Motivasi penterjemahan tersebut antara lain :

1.      Banyaknya perdebatan mengenai soal-soal agama yang terjadi antara kaum muslimin dan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Untuk menghadapi perdebatan tersebut kaum Muslimin memerlukan falsafah Yunani, agar dalil-dalil dan alasan bisa disusun dengan sebaik-baiknya, sehingga bisa mengimbangi lawannya yang terkenal memakai falsafah Yunani.

2.      Banyaknya pikiran dan kepercayaan orang-orang Persi (Iran) yang masuk pada kaum Muslimin. Orang-orang Persi dalam memperkuat kepercayaan mereka dengan memakai ilmu fikir yang berdasarkan atas dasar falsafah Yunani.

 

     Ibn -ul Muqaffa adalah orang yang pertama menterjemahkan falsafah Aristoteles dalam bahasa Arab atas perintah khalifah Al Mansur.

     Sebenarnya dengan kasus ini ummat Islam sudah terjebak dengan cara berfikir orang-orang Yahudi yang selalu memperdebatkan tuhan mereka agar ummat Islam mengikuti cara berfikir mereka dan memang akal bulus orang-orang Yahudi ingin menghancurkan aqiedah dan kebenaran Islam dengan kebenaran falsafah yang mana akhirnya umat Islam menganggap kebenaran falsafah sama dengan kebenaran Islam, atau bahkan lebih tinggi kebenaran falsafah, sehingga menganggap pula para filosof-filosof adalah manusia pilihan dimana orang banyak harus mengambil pikiran-pikirannya.

 

     Fase kedua masa penterjemahan adalah pada masa pemerintahan Al Ma’mun tahun (813-833).

Sebab-sebab adanya penterjemahan :

1.      Kecenderungan Al Ma’mun kepada faham aliran Mu’tazilah yang mendorong dan memperkuat pendirian mereka dalam persoalan qadim atau jadidnya Al Quran dengan alasan aqli.

Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah tidak sanggup mengemukakan persoalan langsung kepada masyarakat karena ditantang oleh golongan ahli fiqih dan golongan ahli hadist.

2.      Karena persoalan Al Quran sebagai Kalimatullah, pasti menyangkut salah satu sifat Tuhan. Maka timbullah dugaan dan keyakinan pada Al Ma’mun bahwa dalam falsafah ketuhanan Yunani, ada masalah-masalah yang memberikan kekuatan berhujjah dalam menghadapi lawannya, karena falsafah tersebut membicarakan tentang tuhan dan sifat-sifatnya.

3.      Kecenderungan Al Ma’mun terhadap kebebasan berfikir seluas-luasnya, dan i’tikadnya yang baik terhadap filosof-filosof adalah manusia pilihan. Sikap yang demikian itu tentunya mengurangi penghargaan kepada para Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, serta kebenaran ajaran Islam yang diterimanya turun temurun sebagai satu-satunya kebenaran tunggal dan mutlak sebagai standar nilai dalam seluruh persoalan.

Kekaguman terhadap musuh-musuh Islam menyebabkan salah satu pendorong untuk berhubungan dengannya walaupun dalam bentuk pembacaan hasil karyanya sebagaimana Prof. Dr. Harun Nasution sangat ber’itikad baik pada musuh-musuh Islam orang-orang Yahudi, kemudian membaca semua buku-buku karangan sarjana Yahudi, akhirnya Prof. Dr. Harun Nasution terpengaruh dengan pikiran orang-orang Yahudi tersebut.

 

Kebenaran Islam & Kebenaran Falsafah.

     Sekarang timbul pertanyaan : Sampai di manakah nilai kebenaran falsafah itu? Apakah sama derajatnya dengan kebenaran yang dikandung oleh Al Quran dan Al Hadits? Apakah lebih tinggi atau sebaliknya? Apakah pasti atau relatif (nisbi). Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas adalah :

Kebenaran menurut Allah dalam Al Quran dengan firmanNya :

“Al haqqu mir rabbika falaa takuunanna minal mumtarien”

“Kebenaran itu yang datangnya dari Tuhan kamu. Maka janganlah kamu termasuk orang yang ragu padanya” (Q.S. Al Baqarah 147).

Jadi kebenaran yang pasti benarnya adalah kebenaran yang datangnya dari Tuhan yaitu Al Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Umum PELITA

Rabu, 19 Oktober 1983

 

Menanggapi Gagasan Prof. Dr. Harun Nasution (2)

Pandangan Ahli Filsafat Islam terhadap Kebenaran Agamanya

Oleh M. Amin Djamaluddin

 

     UNTUK mengetahui pandangan ahli-ahli filsafat Islam terhadap kebenaran Al Islam, penulis akan menjelaskan sedikit pandangan filosofi-filosofi muslim terhadap kebenaran Al Islam, mudah-mudahan dengan mengetahui pandangan dan sikap mereka terhadap Al Islam, sadarlah kita bagaimana peranan falsafah Islam untuk merusak ajaran Islam.

 

Al Kindi

     Dia mengatakan : Falsafah adalah ilmu tentang kebenaran dan Agama juga adalah ilmu tentang kebenaran pula. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya. Al Kindi mengatakan bahwa kebenaran yang datangnya dari Tuhan (wahyu) sama kedudukannya dengan kebenaran falsafah-falsafah hasil pikiran manusia. Falsafah adalah ilmu yang terbaik dan termulia yang tidak bisa ditinggalkan oleh orang yang berpikir. Orang yang mengingkari falsafah berarti mengingkari kebenaran dan oleh karenanya telah menjadi kafir.

 

Al Farabi

     Al Farabi menempatkan kedudukan Nabi di bawah filosofi, karena pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran, lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh melalui imaginasi.

           

     Dia mempertemukan antara kebenaran yang dikandung oleh agama Islam dengan kebenaran hasil falsafahnya Plato dan Aristoteles. Menurut Al Farabi agama Islam tidak bertentangan dengan falsafat Yunani. Dan kalau ada kebenaran agama Islam yang bertentangan dengan kebenaran falsafah, maka agama harus tunduk kepada kebenaran falsafah. Al Farabi : Tuhan tidak mengetahui alam dan tidak memikirkannya pula.

 

Ibnu Rusyd (Averroes)

     Dia seorang Dokter, seorang ahli falsafah dan seorang ulama. Ibnu Rusyd mamandang Aristoteles sebagai manusia sempurna dan ahli fikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur dengan kesalahan. Aristoteles telah mencapai tingkatan tertinggi sehingga tidak ada orang yang melebihinya. Luar biasa pujian dan sanjungan yang diberikan oleh Ibnu Rusyd kepada Aristoteles. Dia seorang ulama muslim tetapi menganggap lebih tinggi, lebih besar Aristoteles dari pada Nabi Muhammad SAW. Kalau dalam bukunya MICHAEL H. HART yang berjudul 100 tokoh yang berpengaruh dalam sejarah, terjemahan Mahbub Djunaidi, meletakkan NABI MUHAMMAD SAW, ranking yang teratas (nomor wahid) sedangkan Aristoteles yang paling dipuji dan disanjung oleh Ibnu Rusyd terletak pada ranking yang ke 14 (empat belas).

           

     Karena sangat mengagumi Aristoteles serta para ahli falsafat lainnya maka telah terjadi polemik yang sangat tajam antara Imam Al Gazali dengan Ibnu Rusyd dan akhirnya Imam Al Gazali memfonis Ibnu Rusyd dengan kafir karena tiga persoalan :

1.      Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam ini kekal untuk selama-lamanya.

2.      Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini.

3.      Kebangkitan jasmani di hari akhirat tidak ada.

 

     Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kalau terjadi pertentangan antara wahyu dengan akal dan falsafah, maka wahyu harus diberi interpretasi yang sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan pendapat akal dan falsafah. Ia juga memberikan fatwa sebagai seorang ulama bahwa : mempelajari buku-buku falsafah diwajibkan oleh Syara’ (Agama), karena inti dari buku-buku falsafah tersebut sama dengan yang dibawa oleh Syara’ (Agama).

 

Ar Razi

     Filosofi yang satu ini lebih luar biasa dari yang lainnya. Ar Razi adalah seorang rasionalis sejati yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu serta tidak perlunya utusan Allah yaitu para Nabi dan Rasul. Ar Razi menulis buku yang berjudul : NAQDLAL ADYAN AU FI AN NUBUWWAT : menentang agama-agama atau tentang kenabian, dan : MAKHARIQ AL ANBIYA AU HIYAL MUTANBBIN : mainan Nabi-Nabi atau tipu daya orang yang mengaku menjadi Nabi. Buku yang terakhir ini sudah tersebar di dunia barat, dan dengan buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh orang-orang rasional-rasional barat untuk menghantam Agama. Jasanya bagi orang musuh-musuh Islam terutama bagi orang-orang rasionalis cukup besar yaitu meninggalkan dua buah hasil karangannya yang merupakan senjata ampuh bagi rasionalis-rasionalis untuk menghantam Islam.

 

     Mungkin Prof. Dr. Harun Nasution mengajak mahasiswa IAIN Jakarta supaya bersikap “rasional” dan “menggalakkan mata kuliah falsafah” di IAIN Jakarta, ingin mencontoh gerak langkah dari Ar Razi yang rasionalis ini dan supaya mahasiswa IAIN Jakarta dididik dan dikader untuk melanjutkan langkah Ar Razi serta menjadi pengganti Ar Razi untuk Indonesia. Kalau benar begitu rencananya, hebat betul planning Prof. Dr. Harun Nasution ini untuk mencetak mahasiswa IAIN Jakarta untuk menjadi calon rasionalis-rasionalis Indonesia.

 

     Ahli falsafat dan rasionalis Ar Razi berkeyakinan bahwa akal manusia mampu memikirkan mana yang baik dan mana pula yang buruk seperti yang dikehendaki Tuhan. Ia juga mengemukakan pendapatnya bahwa kehancuran umat manusia di dunia karena ajaran Nabi-Nabi yang saling bertentangan. Bahkan ajaran itu menimbulkan saling benci membenci antara umat manusia yang kadang meningkat menjadi perang Agama.

 

     Ar Razi adalah filosof yang sangat berani mengeluarkan pendapat sungguhpun bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh umat Islam, yaitu :

1.      Tidak percaya pada Nabi dan Rasul-Rasul.

2.      Tidak percaya pada wahyu.

3.      Al Quran bukan Mu’jizat.

 

     Ar Razi menolak mempercayai Nabi-Nabi dan wahyu karena mengandalkan kemampuan akal, karena akal itu mampu untuk memikirkan kebenaran yang pasti serta mampu pula untuk memikirkan apa yang dilarang dan yang diperintahkan Tuhan. Dengan pokok-pokok keyakinannya di atas, bisakah Ar Razi digolongkan sebagai filosofi muslim?

     Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya : Falsafat Mistisisme dalam Islam, penerbit Bulan Bintang Jakarta, tahun 1983, hal 24, membela Ar Razi dengan argumentasi sebagai berikut :

“Ia bukan seorang ateis, malah seorang monoteis yang percaya pada adanya Tuhan sebagai penyusun dan pengatur alam ini”. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, karena Ar Razi hanya percaya pada adanya Tuhan, maka ia bukan orang ateis. Prof. Dr. Harun Nasution membela Ar Razi hanya karena sama-sama sarjana falsafat.

 

     Kalau pengertian kata “ateis” (tidak bertuhan) itu disamakan dengan kata kafir dalam Al Quran, sehingga Ar Razi yang tidak percaya pada Nabi-Nabi serta wahyu itu tidak kafir menurut Islam, baiklah kita mengambil contoh satu kasus dalam Al Quran yang peristiwanya hampir sama dengan peristiwa atau kasus Ar Razi tersebut.

     Dalam surat Al Baqarah ayat 34 dan surat Al A’raf ayat 11 s/d 14 Allah berfirman yang artinya :

“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada Malaikat : sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk orang-orang kafir. (Al Baqarah ayat 34)

“Kami katakan kepada Malaikat : Bersujudlah kamu kepada Adam, maka merekapun sujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk orang yang sujud.

“Allah berfirman : Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu? Iblis menjawab : Saya lebih baik dari padanya. Engkau jadikan saya dari api, dan Engkau jadikan dia dari tanah.

“Allah berfirman : Turunlah kamu dari surga itu, karena kamu tidak patut menyombongkan diri di dalamnya, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (Surat : Al A’raf ayat 11 s/d 14).

 

     Di dalam firman Allah di atas dijelaskan, bahwa iblis sangat percaya pada tuhan Allah, bahkan sempat berdialog langsung dengan Allah. Kesalahan iblis pada saat itu hanya satu yaitu tidak mau sujud ketika Allah memerintahan sujud kepada Adam. Iblis mempercayai Tuhan, tidak pernah mendustakan Nabi-Nabi dan tidak pernah tidak percaya pada wahyu seperti Ar Razi.

 

     Iblis yang tak mau sujud kepada Adam karena menganggap dirinya lebih mulia dan lebih baik dari Adam, karena dirinya dijadikan dari api, lalu Allah memfonis ia dengan kafir, apakah Ar Razi sarjana falsafat yang hanya percaya pada Tuhan, tidak mempercayai Nabi-Nabi serta tidak mempercayai wahyu (Al Quran) karena menganggap otaknya mampu mencapai kebenaran melebihi wahyu, tidaklah ia lebih kafir dari iblis?

 

Ibnu Rawandi

     Ibnu Rawandi seorang filosofi yang sangat rasionalis sama dengan Ar Razi. Ia mengatakan : Tuhan telah memberi akal kepada manusia untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Petunjuk akal sudah mencukupi dan tak perlu wahyu. Ia mengingkari seluruh Nabi-Nabi umumnya dan Nabi Muhammad SAW khususnya. Nabi dan Rasul tak diperlukan karena Tuhan telah memberikan akal.

 

Ibnu Sina (Avicenna)

     Jasanya pada ilmu pengetahuan sudah luar biasa. Dia dijuluki Bapak Dokter (Syaihul Athibba’).

     Namanya sudah termashur baik di dunia barat maupun di dunia timur. Salah satu karyanya yang sangat mengagumkan adalah : QANUN FITH THIBB (pokok-pokok ilmu kedokteran) dan sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Berlaku lebih kurang 6 abad di perguruan tinggi Eropa. Dia menyusun sebuah ensiklopedia “Asy Syifa” (penyembuhan). Para ahli pengetahuan salut, kagum dan hormat padanya. Setiap muslim merasa bangga dengan kebesaran dan kecerdasannya. Ibnu Sina seorang ahli filsafat besar, sangat rajin dan tak pernah bosan membaca buku-buku falsafah terutama buku-bukunya Plato dan Aristoteles.

 

Ibnu Sina tentang Falsafah Ketuhanan

     Ibnu Sina memberikan definisi Tuhan berdasarkan surat An Nur ayat 35 sebagai berikut :

“Tuhan adalah KEBAIKAN yang menjadi sebab menjadi kebaikan bagi alam”. Dia menafsirkan surat An Nur ayat 35 yang berbunyi : “Allaahu nurus samaawaati wal ardii”: Allah adalah cahaya langit dan bumi.“ “Nur” (cahaya) ialah “KEBAIKAN”.

Dia mengartikan “cahaya” ialah “kebaikan”, agar bisa dikatakan bahwa Tuhan adalah kebaikan. Ibnu SIna mengartikan Tuhan adalah kebaikan,  karena mencocokan dengan falsafahnya Plato yang menjadikan kebaikan adalah IDEA tertinggi. Dia juga berpendapat kebangkitan jasmani di akhirat nanti tidak ada, serta berpendapat pula kalau ada kebenaran Agama yang bertentangan dengan kebenaran falsafah, maka Agama harus tunduk pada kebenaran falsafah.

     Demikianlah ringkasan pandangan tokoh-tokoh falsafah Islam terhadap kebenaran Islam yaitu : “KALAU TERJADI PERTENTANGAN ANTARA KEBENARAN ISLAM DENGAN KEBENARAN FALSAFAH, MAKA KEBENARAN ISLAM HARUS MENGIKUTI KEBENARAN FALSAFAH ATAU KEBENARAN ISLAM HARUS TUNDUK PADA KEBENARAN FALSAFAH”.

 

     Bagaimana sikap serta reaksi para ulama-ulama Islam terhadap pandangan ahli-ahli falsafah di atas?

Terhadap masalah di atas ulama-ulama Islam memberikan reaksi yang cukup keras terhadap mereka pada masa itu seperti : Imam Al Gazali seorang ahli pikir besar, Syaihul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu-sh Shalah tokoh ahli Sunnah dllnya.

Imam Al Gazali memfonis ahli falsafah dengan kafir. Ketika orang bertanya kepada Ibnu-sh Shalah tentang mempelajari falsafah, maka dia menjawab sebagai berikut :

“Falsafah adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfalsafah maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan Syariah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barang siapa yang mempelajarinya, maka ia bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terbujuk oleh syetan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari pada ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian kita”???

Ibnu-sh Shalah pernah ditanya juga tentang hukum Syara’ mengenal falsafahnya Ibnu Sina, maka Ibnu-sh Shalah menjawab :    

“Ibnu Sina tidak termasuk ulama, dan barang siapa yang berbuat dan berpendapat demikian ia telah menghianati Agamanya”.

Prof. Dr. Ir. H. TB. Bahtiar Rifai dalam ceramahnya pada Mimbar Televisi RI pada hari Kamis malam Jumat tanggal 6 Oktober 1983, mengatakan : “Spekulasi Yunani : falsafat”, kalau falsafat adalah spekulasi Yunani, kemudian kebenaran Agama tunduk pada kebenaran falsafah (hasil spekulasi), nauudzubillaahi min dzaalik.   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harian Umum PELITA

Kamis, 20 Oktober 1983

 

Menanggapi Gagasan Prof.Dr.Harun Nasution (3)

Bagaimana Rasionalitas Itu

Oleh: M.Amin Djamaluddin

 

Salah satu jalan yang ditempuh untuk mengadakan pembaharuan Islam oleh Prof.Dr. Harun Nasution adalah: “Penggalakan mata kuliah tasauf di IAIN Jakarta. Betulkah bahwa dengan penggalakan mata kuliah tasauf sebagai persyaratan yang harus ditempuh untuk Pembaharuan Islam (berijtihad)”?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, marilah kita membahas apa itu tasauf, dari mana asal usulnya serta tahun berapa mulai dikenal dalam Islam?

 

Asal Usul Kata Tasauf.

Tasauf mulai dikenal kira-kira tahun 150 H. Menurut para ahli, kata sufi selalu dikemukakan sebagai berikut :

  1. Tasauf berasal dari kata suufii : suci. Seorang sufi adalah orang yang mensucikan dirinya dengan latihan-latihan berat dan lama sehingga merasa dirinya suci.
  2. Berasal dari kata suufi : kain yang diambil dari bulu domba kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan.
  3. Berasal dari kata saf : pertama (kemuliaan). Sebagaimana orang yang sembahyang di saf pertama yang lebih besar mendapat pahala atau kemuliaan. Begitu juga orang sufi diberi pahala dan kemuliaan, menurut anggapan mereka.
  4. Berasal dari kata ahlus suffah : orang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah bersama Nabi dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Sungguh pun mereka miskin tetapi berhati baik dan tidak mementingkan keduniaan.
  5. Berasal dari kata Yunani sophos: sangat hayali. Yaitu orang-orang yang suka menghayal. Jadi kelompok sufi adalah kelompok orang-orang yang suka menghayal.

 

Yang manakah di antara 5 pengertian sufi di atas menurut rencana Prof.Dr.Harun Nasution yang mau digalakkan mempelajarinya di IAIN Jakarta? Apakah pengertian seluruhnya ataukah menurut pengertian sufi yang kelima, agar mahasiswa IAIN Jakarta disuruh menghayal saja menurut kebebasan otak mereka sesuai pula dengan anjuran Prof.Dr.Harun Nasution agar mahasiswa IAIN Jakarta mengambil sikap rasional.

Dalam bukunya yang berjudul: ”Falsafat Mistisisme dalam Islam” penerbit Bulan Bintang Jakarta tahun 1983, hal. 58, Prof.Dr.Harun Nasution mengatakan, ”Asal Usul Sufisme.”

”Teori-teori mengenai asal usul timbul atau munculnya aliran ini dalam Islam berbeda-beda, antara lain :

  1. Pengaruh Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri dari padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang malam hari menjadi petunjuk bagi kafilah yang lalu, kemah-kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan. Dikatakan bahwa ZAHID dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah pengaruh rahib-rahib Kristen ini.
  2. Falsafah Mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada dalam dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya di alam samawi. Untuk memperoleh senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi, yaitu ZUHD, untuk selanjutnya berkontemplasi, inilah menurut pendapat sebahagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhd dan sofisme dalam Islam.
  3. Falsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa falsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.
  4. Ajaran Buda dengan faham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
  5. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.

 

Inilah beberapa faham dan ajaran yang menurut teorinya mempengaruhi timbul dan munculnya sufisme di kalangan umat Islam.

      Di atas telah dikemukakan oleh Prof.Dr.Harun Nasution tentang asal usulnya aliran sufisme dalam Islam, yaitu berasal dari pengaruh Kristen, pengaruh falsafah mistik Pythagoras, pengaruh falsafah emanasi Plotinus, pengaruh ajaran Buda, dan pengaruh ajaran Hindu. Pertanyaan penulis : Kenapa ajaran sufisme yang berasal dari ajaran luar Islam tersebut mau digalakkan pengajarannya di IAIN Jakarta dengan slogan pembaharuan Islam (ijtihad)?????

Yang diteriakkan pembaharuan Islam, tetapi yang digalakkan adalah pelajaran yang berasal dari luar Agama Islam. Bukankah dengan teori yang mau ditempuh oleh Prof.Dr.Harun Nasution ini adalah penetrapan berselubung dari ajaran Kristen, ajaran mistik Pythagoras, falsafah emanasi Plotinus, ajaran Buda serta ajaran Hindu?????

Dan bukankah dengan kasus ini Prof.Dr.Harun Nasution tidak terkena dengan pepatah: seperti musang berbulu ayam, atau: musuh dalam selimut?????

 

Mengambil Sikap Rasional

Prof. Dr. Harun Nasution, guna menunjang Pembaharuan Islam yang ia kumandangkan di IAIN Jakarta, ia mengajak mahasiswa IAIN Jakarta supaya meninggalkan sikap taklid dan mengambil sikap rasional.

      Untuk membahas kata ”rasional” serta hubungannya dengan Pembaharuan Islam (ijtihad) penulis mengutip beberapa pendapat :

  1. Menurut Dr. Oemar Amin Hoesin dalam bukunya : ”Kultur Islam” penerbit Bulan Bintang Jakarta tahun 1975, mengatakan: ”Perkataan rasionalisme di Eropa sebenarnya pengganti perkataan Mu’tazilah.”
  2. Prof. Usman Raliby dalam bukunya: ”Kamus Internasional”, penerbit Bulan Bintang Jakarta tahun 1982, hal. 346: ”Rasional” : Dapat dimengerti (pikiran sehat), diterima akal. ”Rasionalisme” : Penggunaan ratio atas segala-galanya; aliran falsafah yang menganggap akal manusia itu satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat memberi kebenaran lepas dari jangkauan indera. ”Rasionalis” : Pengikut rasionalisme.
  3. Seorang cendekiawan muslim yang sudah berkaliber internasional, Abul A’la Al-Maududi dalam bukunya : Hudud At-Tasyri fil Islami, Maktabah Darul Bayan, Kuwait, tanpa tahun hal. 11: Membahas kebebasan berfikir dalam melakukan ijtihad sbb:

”Wa qod yukhtiun na asi wa yufassiruuna-l ijtihada bima’na-t tamatta’u bihuuriyati-r ra’yi duuna maa quyyida au syuritha, ’alaa anna kulla man lahu adnaa ilmaamin bithobiyati-l hurri lianna –l qanuuna-l haqiiqiyyau fil islaami huwalquraanu was sunnatu, wa laa yajuuzu-t tasyri’a fiihi lilmuslimiina ilaa bisyarati an yakuuna ma’huudzan min hadzal qonuunil haqiqiyyiau fii dhimni-l huduudi-l latii yubi’u lahum yatamatta’u fiihi bihurriyati ro’yihim.”

”Dan terkadang sementara orang ada yang salah, mereka menafsirkan kata ”ijtihad” dengan arti menikmati kebebasan berfikir tanpa ikatan sesuatu syaratpun. Yaitu bahwa setiap orang asal mempunyai sedikit saja pengertian tentang hukum Islam dan maksud-maksudnya, dimana pengertian yang salah ini hampir tidak dapat dihilangkan, berpendapat bahwa dibolehkan berijtihad dengan cara bebas dalam hukum Islam. Oleh karena itu undang-undang yang haqiqi dalam Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah dan tidak diperkenankan bagi kaum muslimin membuat hukum untuk orang-orang Islam, kecuali dengan syarat bahwa hukum tersebut terambil dari Undang-undang yang haqiqi itu (Al-Qur`an dan As-Sunnah) atau sejiwa dengan hukum itu, yang membenarkan mereka itu menikmati kebebasan berfikir dalam ruang lingkupnya.”

 

Sekarang timbul pertanyaan : Apakah benar dalam Islam harus bersikap ”rasional” seperti ajakan Prof.Dr.Harun Nasution untuk mahasiswa IAIN Jakarta? Di atas telah penulis mengutip arti dari kata ”rasional” yaitu dapat dimengerti (pikiran sehat), diterima akal. Jawabannya ialah tidak semua ajaran Agama Islam harus ”rasional” atau dengan kata lain, ada yang bersifat rasional dan ada yang tidak bersifat rasional yaitu harus diterima dengan dogmatis. Contoh persoalan di atas adalah firman Allah dalam surat Al Imran ayat 112, yang artinya :

”Dikenakan kepada mereka kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali mereka yang berpegang dengan tali dari Allah (bihablim minal Lahi) dan tali dari manusia (hablim minan nas)

Hablum minal Lahi (ibadah kepada Allah) tidak boleh dengan rasional tetapi harus dengan dogmatis yang berdasarkan keimanan kepada Allah SWT.

Contoh : Allah SWT memerintahkan waktu mengerjakan shalat harus menghadap kiblat, shalat Subuh 2 rakaat, shalat Maghrib 3 rakaat, shalat Isya 4 rakaat, kenapa habis keluar mani wajib mandi sedangkan habis buang hajad (air besar) tidak wajib mandi, sedangkan lebih kotor daripada mani dan masih banyak lagi urusan-urusan ibadah yang tak masuk di akal yang kita kerjakan yang harus diterima dengan dogmatis berdasarkan keimanan kita kepada Allah.  

 

Di waktu Nabi Muhammad SAW pulang dari Isra dan Mi’raj dari langit, maka beliau menceritakan kepada rasionalis-rasionalis dan kafir-kafir Quraisy, maka semua mereka tidak ada yang mau percaya kepada peristiwa tersebut karena tidak rasional menurut pikiran mereka. Tetapi umat Islam yang dimulai oleh Abu Bakar mengatakan asal Nabi Muhammad SAW yang mengatakan, rasional atau tidak rasional saya percaya karena keimanan saya terhadap kerasulan Nabi Muhammad SAW. Jadi dalam urusan ibadat bukan urusan rasional atau tidak, melainkan urusan keimanan kita kepada Allah SWT.

Hablum minan nas (hubungan manusia dengan manusia) akal boleh masuk untuk memainkan peranan. Contoh : Allah melarang menipu orang lain, melarang ingkar janji, menyakiti hati orang, mengambil milik orang lain tanpa hak dllnya. Otak boleh memainkan peranan dalam hal ini yaitu boleh bertanya kenapa dilarang menipu, dilarang ingkar janji, dilarang mengambil milik orang lain dst.

Jadi, ajakan Prof.Dr.Harun Nasution untuk ”mengambil sikap rasional” dalam rangka pembaharuan Islam adalah ajakan yang menyimpang serta bisa menyesatkan.

 

(bersambung)

 

 

 

 

Harian Umum PELITA

Jum’at, 21 Oktober 1983

 

Menanggapi Gagasan Prof.Dr.Harun Nasution (4 - selesai)

Pembaharuan Setuju, Asal Tidak Menyimpang

Oleh: M.Amin Djamaluddin

 

            Kalau kita memperhatikan definisi ijtihad yang diberikan oleh para ulama, walaupun redaksi kalimatnya agak berbeda, tetapi materi serta pengertiannya sama.

  1. Abul A’la Al Maududi memberikan ta’rif ijtihad sbb:

“Budzlu-l juhdi wastinfaduhu fi-s tijlaa’i hukmil Islami au maqshuudihi fi-l qadyyati tahta-l bahtsi.” (Abul A’la Al Maududi; Hudud At-Tasyri fil Islam, hal. 11, Maktabah Darul Bayan, Kuwait, tanpa tahun). Artinya : Menumpahkan kesanggupan (berfikir) dan mencurahkannya untuk mencari ketegasan (kejelasan) hukum Islam atau maksudnya dalam suatu masalah dengan cara pembahasan.

            Setelah Al Maududi memberikan ta’rif ijtihad, maka beliau memberi syarat-syarat berijtihad sebagai berikut :

a)      Berkeimanan kepada Syariat Tuhan, percaya bahwa Dia adalah haq, berkemauan keras secara bersih untuk mengikuti-Nya, tidak mempunyai keinginan untuk merusak hukum-hukum dan peraturan-Nya dan tidak bertujuan dan berasaskan kepada sumber di luar sumber syariat.

b)      Mengusai bahasa Arab, tata bahasanya dan gaya bahasanya. Karena dengan bahasa Arab itulah Al Qur’an diturunkan dan juga tidak akan menguasai As-Sunnah melainkan dengan bahasa itu.

c)      Menguasai benar-benar ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Sehingga tidaklah cukup seseorang itu hanya mengetahui hukum-hukum Agama yang furu’ dan tempat-tempatnya, melainkan juga dia harus memahami qaedah-qaedah kulliah dan tujuan-tujuannya dengan sebaik-baiknya. Seorang mujtahid wajib mengetahui bagaimana garis kebijaksanaan syariat dalam memperbaiki kehidupan manusia seluruhnya, di samping itu mengetahui di manakah letak kedudukan sesuatu bidang kehidupan di dalam garis kebijaksanaan yang unifersil lagi sempurna itu, dan bagaimana garis-garis kebijaksanaan yang dikehendaki oleh Syariat untuk mengasaskan berbagai macam bidang kehidupan itu dan apa pula yang menjadi tujuan yang hendak dicapainya. Atau dengan ringkas dikatakan bahwa ijtihad  adalah kegiatan berfikir yang menuntut dari seorang itu penguasaan terhadap Al Qur’an dan As Sunnah untuk mengetahui jiwa Syariat.

d)     Mengetahui hukum-hukum Islam yang diwariskan oleh fuqaha terdahulu. Keperluan ijtihad bukan semata-mata untuk berlatih saja, tetapi yang lebih utama ialah untuk melanjutkan hukum Islam. Karena pada dasarnya, ijtihad itu bukanlah sebagai alat generasi muda untuk menghancurkan apa yang telah dibina oleh generasi sebelumnya, atau untuk mencapnya sebagai sesuatu yang tidak baik dan menggantikannya dengan yang baru.

e)      Berakhlaq terpuji sebagaimana yang dituntut oleh Islam. Karena bilamana tidak demikian, tidak bisa orang lain (masyarakat ramai) akan sedia menerima (hasil) ijtihad kaum mujtahid dan menghargai kepada hukum tersebut, tatkala hal itu dihasilkan oleh orang-orang yang tidak baik kelakuannya.

A.Hanafi M.A. dalam bukunya : “Pengantar Sejarah dan Hukum Islam”, penerbit Bulan Bintang Jakarta, tahun 1977, hal. 162 sbb: “Pengertian ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum Agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’ dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil Syara’ dan syarat-syarat tertentu tersebut maka usaha tersebut merupakan pikiran dan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad.”

      Setelah memberikan ta’rif ijtihad tersebut, maka A.Hanafi M.A. memberikan syarat-syarat melakukan ijtihad sbb:

1.      Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya, sehingga memungkinkan dia menguasai pengertian susunan kata-katanya (stil bahasa), karena obyek pertama bagi orang yang berijtihad ialah pemahaman tentang nash-nash Qur’an dan Hadits yang berbahasa Arab, sehingga ia dapat menetapkan aturan-aturan bahasa dalam pengambilan hukum daripadanya.

2.      Mengetahui Qur’an dalam hal ini ialah hukum-hukum yang dibawa oleh Qur’an beserta ayat-ayatnya sekali, dan mengetahui cara-cara pengambilan hukum dari ayat-ayat tersebut, sehingga apabila terjadi sesuatu peristiwa maka ia dapat menunjuk ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan itu. Juga sangat diperlukan untuk mengetahui sebab-sebab turunnya suatu ayat serta riwayat-riwayat yang berhubungan dengan penafsirannya.

3.      Mengetahui hadits-hadits Nabi SAW yaitu yang berhubungan dengan hukum-hukum Syara sehingga ia dapat mendatangkan hadits-hadits yang diperlukan dengan mengetahui keadaan sanadnya.

4.      Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas.

5.      Pandai menghadapi nash-nash yang berlawanan.

Berdasarkan definisi ijtihad serta persyaratan yang diperlukan untuk melakukan ijtihad yang dikemukakan di atas, maka kalau kita berbicara tentang Pembaharuan Islam (ijtihad) maka persyaratan yang pokok yang juga telah disepakati oleh ulama-ulama Islam adalah: Menguasai bahasa Al-Qur`an dan bahasa As-Sunnah yang menjadi sumber hukum Syara yaitu bahasa Arab, nahwunya, sharafnya, balaghahnya, ma’aninya, bayannya kemudian menguasai pula hukum yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah.

            Maka oleh karenanya “sungguh sangat menyimpang” pemikiran Prof.Dr.Harun Nasution rektor IAIN Jakarta yang mengumandangkan gagasan Pembaharuan Islam (ijtihad) di IAIN Jakarta, tetapi yang digalakkan adalah mata kuliah falsafah, ilmu kalam, atau teologia, sejarah serta kebudayaan Islam dan tasauf dengan mengajak pula mahasiswa IAIN Jakarta supaya bersikap rasional, sedangkan mata kuliah yang digalakkan tersebut tidak menjadi persyaratan yang telah disepakati oleh ulama-ulama untuk melakukan ijtihad.

            Kita semua telah memaklumi sejak kapan falsafah itu masuk untuk merusak aqiedah dan keimanan orang Muslim karena kelihaian serta kelicikan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mempengaruhi tokoh-tokoh Muslim supaya terlibat dalam perdebatan tentang Ketuhanan yang berdasarkan logika falsafah Yunani, akhirnya tokoh-tokoh Muslim kejelimet dengan pembahasan falsafah dan menghabiskan waktu untuk itu. Kehancuran dan kerugian yang cukup besar yang diderita oleh kaum Muslimin akibat dipengaruhi, antara lain oleh falsafah. Adalah kejatuhan kota BAGDAD yang menjadi pusat peradaban Islam serta peradaban dunia pada saat itu ke tangan musuh Islam tentara Tartar yang dipimpin oleh Panglima Holako pada bulan Januari 1258 M (bulan Muharram 656 H) dan khalifah Al-Musta’shim, beserta seluruh  keluarganya dan pembesar-pembesarnya mati terbunuh oleh laskar Holako. Sebahagian besar penduduk kota Bagdad mati disembelih seperti ummat Islam menyembelih binatang kurban di hari Raya Haji, laskar Holako melakukan kekejaman yang sekejam-kejamnya, keganasan yang seganas-ganasnya sampai empat puluh hari lamanya. Mereka membakar di sana sini, api mengamuk ke seluruh kota Bagdad, sekalian isi istana mereka rampas, mesjid-mesjid, gedung-gedung yang indah permai, madrasah-madrasah mereka hancurkan semuanya. Dan yang sangat menyedihkan sekali adalah semua Kitab ilmu pengetahuan yang tidak ternilai mutu serta harganya disamping mereka bakar dan dilemparkan ke dalam sungai sehingga hitam airnya karena tinta yang luntur. Di atas bumi kota Bagdad yang begitu indah permai, tak ada lagi yang kelihatan selain tumpukan bara hitam yang masih berasap. Tumpukan bara hitam yang meninggalkan kenangan pahit yang tiada terkira bagi seluruh Muslim yang suka membaca sejarahnya.

            Salah satu sebab kehancuran kota Bagdad tersebut adalah : Para pemimpin-pemimpin Islam pada saat itu terpengaruh oleh bid’ah-bid’ah Agama serta pembahasan-pembahasan falsafah.

 

Salah faham terhadap Islam.

“Prof.Dr.Harun Nasution mengemukakan, bahwa dalam Islam ada dua kelompok ajaran, pertama yang bersifat absolut, kekal, tak berubah dan tak bisa dirubah yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadist. Sedang kelompok kedua bersifat relatif (nisbi) dan bisa dirubah terkandung dalam kitab-kitab Agama yang dihasilkan oleh para ulama melalui pikiran dan ijtihadnya.”

Membaca pernyataan Prof.Dr.Harun Nasution yang dikutip di atas, penulis merasa heran. Rupanya Prof.Dr.Harun Nasution belum mengerti tentang Islam, atau memang hanya pura-pura tidak mengerti soal Islam.

Sebab menurut ajaran Islam, tidak ada ajaran seperti yang digambarkan oleh Prof.Dr.Harun Nasution di atas, yaitu dua kelompok ajaran yang masing-masing berdiri sendiri. Yang satu kelompok ajaran yang terkandung dalam Al  Qur’an dan Hadist, kemudian yang satu kelompok lagi yang terkandung dalam kitab-kitab yang dihasilkan oleh para ulama berdasarkan pikiran dan ijtihadnya.

Jadi pernyataan yang dikemukakan oleh Prof.Dr.Harun Nasution di atas, tidak pernah terjadi di dunia Islam yaitu dualisme dalam ajaran secara mutlak yang berlainan sumber. Tetapi yang ada di dalam Islam adalah perbedaan pendapat di kalangan ulama (mujtahid) muslim di dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dan Al-Hadist (As-Sunnah), tetapi sumbernya tetap satu yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sekali lagi penulis tegaskan, bahwa dalam Islam tidak ada dua ajaran seperti yang dijelaskan oleh Prof.Dr.Harun Nasution di atas, tetapi sumber Islam hanya satu yaitu Al Qur’an dan Al Hadist (As Sunnah).

Karena perbedaan dalam memahami atau dalam menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadist itulah maka timbul firqah-firqah, mazhab-mazhab dalam Islam dan bukan dua tetapi banyak firqah, yang mana firqah-firqah tersebut ada yang hanya mengakui sumber Islam itu hanya Al Qur’an dan Al Hadist (As Sunnah) saja. Dan ada lagi sebahagian firqah yang mengakui bersumber pada Al Qur’an dan Al Hadist kemudian ditambah embel-embel yang lainnya. Tetapi sumber pokoknya tetap Al Qur’an dan As Sunnah semuanya.

Para orientalis pun menulis tentang ajaran Islam juga berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadist, walaupun tujuannya untuk menghancurkan Islam itu sendiri.

 

KESIMPULAN

                  Berdasarkan semua yang penulis uraikan di atas, maka dalam menanggapi Pembaharuan Islam (ijtihad) yang dicanangkan oleh Prof.Dr.Harun Nasution yang hendak diterapkan di IAIN Jakarta, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan antara lain :

1.      Dengan slogan Pembaharuan Islam, Prof.Dr.Harun Nasution berusaha secara terselubung agar mahasiswa  IAIN Jakarta menanggalkan Aqiedah Islam.

2.      Dengan slogan Pembaharuan Islam oleh Prof.Dr.Harun Nasution, ini merupakan penggalakan pendangkalan Aqiedah Islamiyyah khususnya melalui mahasiswa IAIN Jakarta, sehingga nanti mahasiswa IAIN Jakarta akan menanggalkan Al Qur’an dan As Sunnah, setidak-tidaknya menganggap sepele tentang Al Qur’an dan As Sunnah.

3.      Dengan slogan Pembaharuan Islam di IAIN Jakarta, Prof.Dr.Harun Nasution mau mengadakan acara perpisahan dengan mata kuliah bahasa Arab, nahwu, sharaf, balaghah, bayan dan lain-lainnya.

4.      Penggalakan mata kuliah falsafah di IAIN Jakarta, akan menimbulkan dampak yang sangat negatif, minimal mahasiswa terjerumus kepada faham Mu’tazilah dan maksimal mahasiswa diseret kepada kekafiran.

5.      Penggalakan mata kuliah tasauf di IAIN Jakarta, akan mengakibatkan tumbuh suburnya faham kebatinan di IAIN Jakarta.

6.      Dengan slogan mengambil sikap rasional, Prof.Dr.Harun Nasution ingin menyebarkan faham nasionalisme/Mu’tazilah di IAIN Jakarta.

 

Akhirnya, dengan penulis menanggapi “Rencana Pembaharuan Islam oleh Prof.Dr.Harun Nasution” bukan berarti tidak setuju dengan Pembaharuan Islam, sekali-kali tidak. Tetapi karena memperhatikan ada keanehan-keanehan serta penyimpangan dari dasar-dasar pembaharuan yang diketengahkan oleh Prof.Dr.Harun Nasution, terpaksa penulis meluangkan waktu untuk menanggapinya, dan mudah-mudahan naskah tanggapan ini ada manfaatnya bagi mahasiswa IAIN Jakarta khususnya dan ummat Islam umumnya.

            Semoga Allah senantiasa memimpin kita kepada Aqiedah yang benar serta ditunjuki-Nya ke jalan yang lurus. Amin.

 

Jakarta, 1 Muharram 1404 H.            

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Catatan dan Kenang-kenangan :

 

            Berikut ini, saya tuliskan kenang-kenangan saya  dengan beberapa orang tokoh, di balik penulisan jawaban terhadap Prof.Dr.Harun Nasution di HU Pelita 1983, di antaranya :

  1. Pertama, kenang-kenang dengan (alloohu yarham) Bapak Abdullathif Mukhtar, M.A. Saat itu, beliau menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Islam yang berkantor pusat di Bandung. (Alloohu yarham) Pak Lathif bercerita kepada saya tentang tulisan saya yang dimuat oleh Harian Umum Pelita, yang mana saat itu, Pak Lathif sedang melanjutkan studinya, mengambil doktor (S3) di IAIN Ciputat (sekarang UIN Ciputat). Pak Lathif berkata bahwa Prof. Dr. Harun Nasution pernah bertanya kepadanya saat di IAIN. Pak Profesor berkata, “Amin Djamaluddin itu orang Persis, ya?” Pak Lathif menjawab, “Iya, Pak. Amin Djamaluddin itu orang Persis.”

 

  1. Kedua, (alloohu yarham) Bapak Husein Umar, Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat pernah bercerita kepada saya, “Banyak benar orang yang datang kepada saya dan menanyakan tentang Amin Djamaluddin, kuliahnya di mana?”Pak Husein Umar menjawab, “Amin Djamaluddin itu hanya tamatan PGAN 6 tahun di Bima, tidak pernah kuliah.” Orang-orang yang bertanya itu banyak yang kaget setelah mendengar jawaban dari Pak Husein Umar ini, yaitu setelah mereka mengetahui bahwa Amin Djamaluddin itu hanya tamatan PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) 6 tahun di Bima NTB.

 

Sekian, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar