Rabu, 23 Maret 2022

Sejarah Penting

 

SIKAP PAK NATSIR TERHADAP ALIRAN SESAT

DAN SEJARAH LAHIRNYA LPPI

Oleh : M.Amin Djamaluddin.

 

Pengantar

 

Sekitar tahun 1973-1975, penulis aktif di organisasi Pemuda Persatuan Islam Daerah Jakarta Raya (sekarang wilayah DKI Jakarta) dan menjabat menjadi Sekretaris Umum. Selama menjadi pengurus Pemuda Persis, aktif juga melakukan kegiatan dakwah termasuk melibatkan diri dalam kegiatan politik (mengikuti perkembangan politik), terutama sekali politik yang berkaiatan dengan pembuatan Undang-Undang yang sangat merugikan Islam; dan selalu berinduk/berkoordinasi dengan Menteng Raya 58 sebagai markas GPI yang pada saat itu Ketua Umumnya adalah Abdul Qadir Djaelani.

Setiap ada demontrasi menentang RUU (Rancangan Undang-Undang) yang berpotensi merugikan Islam, pasti saya akan ikut terlibat, sehingga saya dan teman-teman pernah membubarkan anggota DPR RI di Senayan yang sedang membahas Rancangan Undang-Undang Perkawinan (RUUP). RUUP tersebut sangat menghebohkan umat Islam Indonesia di masa itu, karena beberapa materinya sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Di bawah koordinasi Abdul Qadir Djaelani sebagai Ketua Umum GPI pada masa itu, alhamdulillaah para pemuda Islam dari segala unsur berhasil masuk memenuhi balkon Ruang Sidang Utama DPR RI untuk mendengarkan jawaban Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama RI. Prof. Mukti Ali. Malamnya, tokoh-tokoh pemuda Islam mengadakan rapat koordinasi di suatu tempat di Jakarta yang memutuskan bahwa, “Kalau jawaban dari Menteri Agama bahwa RUUP tersebut akan dimusyawarahkan besok di DPR RI, maka kita serentak untuk menolak RUUP (Rancangan Undang-Undang Perkawinan) tersebut. Sebab keputusan/tuntutan dari umat Islam adalah untuk MENOLAK dan bukan MEMUSYAWARAHKAN. Karena jika dimusyawarahkan, maka pasti umat Islam akan kalah, mengingat anggota DPR RI saat itu dikuasai oleh Golkar yang dikendalikan oleh (almh) Ibu Tien Soeharto yang sangat memaksakan agar RUUP yang bertentangan dengan Islam tersebut disahkan oleh Pemerintah.”

Rancangan Undangan-Undang Perkawinan sekuler tersebut berubah (tidak bertentangan dengan Islam) setelah pada tanggal 30 September 1986 para Pemuda Islam menguasai dan mengusir para anggota DPR RI yang sedang mendengarkan jawaban Pemerintah. Pada saat itu Ketua DPR/MPR RI Bapak Idham Khalid yang sedang memimpin sidang dan Menteri Agama RI yang sedang berkata atas nama Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang Perkawinan tersebut. Karena aksi Pemuda Islam inilah, kursi anggota DPR menjadi kosong, karena mereka ketakutan dan lari terbirit-birit. Ketua DPR/MPR Bapak Idham Khalid juga lari menyelamatkan diri dan Menteri Agama RI pun meninggalkan podiumnya. Akhirnya, semua kursi anggota DPR, kursi ketua DPR, dan podium tempat pidato dikuasai seluruhnya oleh para pemuda Islam. Lalu saya pada waktu itu naik ke atas podium, tempat pidato Menteri Agama, dengan mengangkat SPANDUK bertuliskan, “ALLAHU AKBAR” yang memang sudah disiapkan sebelumnya. (Lihat buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965-1973, hal. 263-264, cet. Ketujuh, Tahun 1986).

Kembali kepada judul tulisan di atas, SIKAP M. NATSIR TERHADAP ALIRAN SESAT; dalam berdakwah beliau (Allaahu yarham) selalu menyampaikan istilah yang sangat terkenal di kalangan Dewan Dakwah yaitu kata BINAAN WADIFA’AN, artinya membina dan mempertahankan. Dua pekerjaan ini harus sekaligus dilakukan oleh para da’i, muballigh dan umat.

“Membina” maksudnya melakukan dakwah dalam rangka pembinaan kepada umat agar tetap berada di jalan Islam yang sebenarnya yang berlandaskan kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits. “Mempertahankan” yaitu mempertahankan Islam dari rongrongan aliran sesat dalam berbagai bentuk dan manifestasinya. Mempertahankan Islam, baik dari musuh yang datang dari dalam, maupun musuh yang datang dari luar. Musuh dari dalam ini yang sangat sulit untuk diprediksi, bak “musang berbulu ayam, harimau bermantel bulu domba”, mereka sangat berbahaya sekali. Adapun musuh dari luar mudah untuk diketahui.

Ada cerita terbatas dari tema-teman lama di Dewan Dakwah bahwa saya (M. Amin Djamaluddin) adalah anak “pungut” Pak. Natsir. Mengapa disebut anak pungut? Saya disebut anak pungut karena saya tidak pernah dikirim oleh M. Natsir untuk belajar di Timur Tengah, seperti kebanyakan kader-kader beliau yang lainnya. Lalu, bagaimana ceritanya bisa “dipungut” ketemu gede? Singkat ceritanya sebagai berikut,

Pada awal tahun 80-an, di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Jakarta (sekarang UIN), Rektornya dengan didukung oleh Menteri Agama RI, K.H. Munawwir Sadzali, MA mulai menggalakkan pembaharuan Islam di Kampus. Menjelang Dies Natalis IAIN Ciputat yang ke-26, Prof. DR. Harun Nasution berpidato dengan judul, “ULAMA KURANG KUASAI ILMU-ILMU DUNIA, PEMBAHARUAN ISLAM PERLU INTERPRETASI MENDASAR” (lihat Harian Umum Pelita, Rabu, 3 Agustus 1983).

Menteri Agama K.H. Munawwir Sadzali, MA dalam DIES NATALIS IAIN Jakarta tersebut memberikan sambutan dengan judul “UMMAT ISLAM HARUS JADI PEMIKIR DAN BERANI BERTANGGUNG JAWAB.” (lihat Harian Umum Pelita, Rabu, 10 Agustus 1983). Pembaruan Islam yang digalakkan di IAIN Ciputat saat itu adalah antara lain penggalakan mempelajari mata kuliah falsafah (filsafat) dan tasawuf.

Begitu mengetahui bahwa pembaharuan Islam di IAIN Ciputat tersebut adalah penggalakan mata kuliah falsafah, seakan-akan pikiran saya berontak karena teringat betul peringatan dari Ibnu Shalah (teman dekat Ibnu Taimiyyah) yang mengingatkan umat Islam akan bahaya mempelajari filsafat dengan sebuah peringatan sebagai berikut, “Falsafah adalah pokok kebodohan dan penyelewengan bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfalsafah maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan syari’ah yang suci yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang jelas. Barang siapa yang mempelajarinya, maka bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh setan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari pada ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian kita?”

 

Bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar