Rabu, 23 November 2022

ISLAM JAMA’AH SEBUAH P.R. TAMBAHAN

 

ISLAM JAMA’AH SEBUAH P.R. TAMBAHAN

Oleh : Dr. Ahmad Syafii Maarif

 

 Bismillaahirrahmaanirrahiim.

 Pendahuluan.

            Gerakan Islam Jama’ah atau Gerakan Darul Hadits dengan tokoh utamanya mendiang Nurhasan Ubaidah pernah menghebohkan masyarakat Indonesia beberapa tahun yang lalu, dan puncak kehebohan itu terjadi pada akhir 1979, pada saat gerakan ini mendapat serangan dan kecaman keras dari berbagai pihak. Menurut informasi yang diberikan oleh Bambang Irawan Hafiludin, bekas salah seorang tokoh puncaknya, Gerakan Islam Jama’ah (GIJ) ini bukan hanya merupakan gejala Indonesia, tetapi juga punya beberapa markas di luar negeri, antara lain di Makkah dengan peralatan fisik yang serba modern dan mewah. Gerakan ini dianalogikan orang juga sebagai Khawarij Gaya Baru (lihat Panjimas, 21 Juni 1986, hal. 19) dengan sifatnya yang ekslusif dan anti rasio. Dalam makalah ini, saya akan melakukan sorotan ulang terhadap hakekat, karakteristik gerakan ini, dan kira-kira bagaimana strategi kita menghadapinya, karena gerakan ini telah muncul ke permukaan kembali dengan berbagai nama dan bentuk. Kabarnya beberapa anggota Muhammadiyah di beberapa tempat telah berhasil disedotnya. Ini adalah sebuah Pekerjaan Rumah (PR) tambahan bagi kita di samping tugas-tugas lain yang semakin menumpuk.

 

Islam versi Islam Jama’ah

Dari literatur yang masih terbatas, kita diberi tahu tentang versi Islam gerakan ini. Doktrin mereka bertumpu pada sebuah hadits mauquf yang dipercayai berasal dari Umar bin Khatttab :

لا إسلام إلا بالجماعة و لا جماعة إلا بالإمارة و لا إمارة إلا بالبيعة و لا بيعة إلا بالطاعة.

“Tiada Islam bila tanpa jama’ah, tiada jama’ah tanpa keamiran, tiada keamiran tanpa bai’at, dan tiada bai’at tanpa kataatan.”

 

Dengan bergayut pada doktrin ini, gerakan ini secara semena-mena telah menggiring seluruh ajaran Islam kepada hadits mauquf ini tapi menurut tafsiran yang sesuai dengan selera amir tertinggi mereka. Jelas kita melihat di sini suatu kerja eksploitatif terhadap kesucian ajaran agama untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis-materialistik.

Tapi tujuan-tujuan pragmatis ini tidak cepat dapat disadari oleh para pengikutnya, karena memang sengaja disembunyikan, sekali pun hal itu tentunya banyak tergantung pada kesigapan batin seseorang dalam menangkap tujuan sebenarnya dari gerakan ini. Seorang Bambang Irawan, misalnya, memerlukan tempo sekitar 23 tahun untuk mengenal betul hakekat IJ ini. Irawan, sebagaimana kita ketahui, adalah calon pengganti Ubaidah, tapi kemudian setelah belajar agama ke Makkah, pada 1983 ia meninggalkan gerakan itu, dan telah membeberkan seluk beluk gerakan ini. Irawan pernah mengeluh, “Sayang, 23 tahun saya menjadi korban berat IJ. Sebuah pengalaman pahit,” (Ibid, hal. 23).

Dalam membuat doktrinnya lebih efektif, sang amir dengan sengaja membaca hadits mauquf di atas secara terbalik. Dengan jalan begini ia telah menentukan posisi keimanan seseorang. Jadi hadits itu dibalik begini :

“La tha’ata berarti la bai’ata, la bai’ata berarti la imarata, la imarata berarti la jama’ata, la jama’ata berarti la islama, la islama berarti kafir.” (ibid).

            Dengan cara inilah memastikan surga atau neraka bagi seseorang. Sebuah jalan pintas yang sangat sederhana di samping sangat licik. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila sebagian besar pengikut mereka adalah orang-orang yang awam dalam soal agama, sekali pun mungkin punya ketenaran pada sisi lain. Kesederhanaan dan kemudahan inilah menurut almarhum Buya Hamka “sebagai daya tarik bagi yang butuh pegangan.” Para artis misalnya, kata Hamka, kan sebenarnya punya kehausan keagamaan. Selama ini mungkin mereka merasa kotor. Tiba-tiba datang kiyai yang menurut mereka meyakinkan, dan berkata, “Kamu tidak apa-apa. Kamu masuk surga, asal begini-begini, begitu-begitu.” (Tempo, No. 32 Th. IX (6 Oktober 1979), hal. 18). Dengan doktrin ini para pengikut itu merasa mendapat tempat dan dihargai. Bukan saja sebagai siswa, tapi malah sebagai muballigh. Kemudian Tempo menuturkan, “Anak-anak muda SMP dan SMA dikirim ke Kediri. Hanya dua bulan dapat pelajaran, langsung disebut “muballigh” dalam ukuran ‘cabe-rawit’ dan “mengajar.” (ibid).

            Kepada para pengikut ini memang diajarkan Al-Qur`an dan Hadits, tapi harus manqul (dinukilkan dari Nabi lewat mulut demi mulut sampai ke mulut Nurhasan). Nurhasan lah yang memberi kata putus bagi sah tidaknya suatu ajaran. Para pengikut tidak boleh bertanya, apa lagi mendebat sang amir. Di samping Nurhasan, ada lagi tokoh lain Drs. Nurhasyim, alumnus dan pernah jadi dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Kalijaga Yogyakarta. Nurhasyim inilah yang mula-mula membina Bambang Irawan. Sekarang baik Ubaidah maupun Nurhasan telah meninggal, masing-masing tahun 1982 dan tahun 1974.

            Pada awal 1970 Drs. Nurhasyim menulis sebuah risalah dengan judul “Al-Qur`an Hadits Jama’ah Adalah Agama Islam itu Sendiri.” Risalah ini bertujuan untuk memberikan justifikasi agama bagi eksistensi Islam Jama’ah. Ada 49 butir doktrin yang ditampilkan dalam risalah itu yang umumnya dikembangkan dari hadits mauquf tersebut di atas. Butir doktrin no. 38 berbunyi, “Mati sebelum bai’at adalah mati jahiliyah.” Doktrin no. 39 berbunyi, “Kewajiban orang yang telah bai’at ialah taat bil ma’ruf dan syukur karena Allah.” No. 40 berbunyi, “Tidak taat setelah bai’at adalah neraka.” (lihat hal. 58).

            Dengan cara inilah Ubaidah menegakkan karisma diri dan karisma dinastinya untuk mereka yang sangat awam dalam pemahaman agama atau mereka yang oportunis untuk meraih tujuan-tujuan yang sepenuhnya bersifat materialistik, seperti kekayaan, seks dan pengaruh. Ada dua buku yang ditulis secara populer oleh empat penulis pada 1979 untuk melawan gerakan dan ajaran Islam Jama’ah ini. Buku itu adalah adalah Drs. Imron A.M. dan Achmad Taufiq, “Islam Jama’ah yang Meresahkan,” Bangil, Al-Muslimun, 1979, dan yang lain adalah Anshari Thayib dan Anas Sadaruwan, “Korban Islam Jama’ah,” Surabaya, Bina Ilmu, 1979. Buku pertama mengupas Islam Jama’ah dari sudut ajaran Islam (yang benar). Buku kedua melihatnya sebagai gejala sosio-religius yang menyimpang, dan dibandingkan dengan praktek Jim Jones dari Guyana di mana gerejanya pernah menghebohkan dunia dengan pembunuhan massalnya. Buku pertama terutama dapat jadi bacaan awal bagi kita untuk meneliti lebih jauh tentang gerakan ini, di samping sumber-sumber yang telah saya sebut di atas.

 

Karakteristik dan Eksistensi Islam Jama’ah Sekarang

            Islam Jama’ah adalah gerakan yang ekslusif dengan doktrin yang sama sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan secara agama sebagaimana yang kita fahami. Mereka memang menutup diri untuk berdialog, karena dengan cara inilah gerakan ini mempertahankan eksistensinya. Sekali dialog dibuka, maka seluruh agenda tersembunyi gerakan ini akan terbongkar. Dengan sifat ekslusif ini, pusat-pusat gerakan ini di Burengan, Kediri, Pondok Darul Hadits di Kertosono dan kini entah di mana lagi, dapat melestarikan mengalirnya infaq 10% dari para pengikutnya. Jumlah infaq ini konon kabarnya sampai mencapai 1 milyar saban bulan. Bagaimana mengatur penggunaan infaq ini seluruhnya diatur oleh amir. Para pengikut tidak punya hak menanyakan masalah keuangan itu, sebab kewajiban mereka adalah taat. Bertanya tentang soal keuangan ini berarti melanggar doktrin tentang taat itu. Fenomena macam ini di dunia modern memang sesuatu yang hebat. Hebat dalam arti bagaimana manusia modern, dan sebagian kabarnya adalah kaum intelektual, terjerat oleh gerakan yang sama sekali, tidak dapat diukur dengan standar akal sehat. Tapi inilah yang terjadi.

            Menurut Bambang Irawan, pengikut IJ sekarang mencapai jutaan di Indonesia. (lihat Panjimas, op.cit., hal. 19). Lewat pengajian yang mereka selenggarakan di berbagai tempat, doktrin-doktrin gerakan ini semakin merayap dalam meracuni keimanan ummat kita yang awam. Sikap mengkafirkan terhadap non anggota IJ memang tidak lagi mereka tonjolkan. Mungkin karena dipandang dapat jadi bumerang bagi eksistensi gerakan mereka. Tapi bahwa doktrin takfir itu tidak dicabut dari ajaran pokok mereka, saya rasa adalah pendirian mereka, berdasarkan hadits mauquf yang sengaja dibaca terbalik di atas.

 

Siasat Penanggulangan

            Sebenarnya secara hukum IJ telah dilarang oleh Kejaksaan Agung dengan SK-nya NO.089/DA/10/1971. Tapi larangan semacam ini ternyata tidak efektif. Apalagi ada phak-pihak tertentu untuk tujuan-tujuan politik yang melindunginya, hingga larangan pihak Kejaksaan menjadi tidak berdaya. Dan memang untuk menanggulangi gerakan seperti IJ ini, larangan hukum atau fatwa agama sering tidak mencapai tujuannya. Apalagi fatwa agama yang diberikan oleh lembaga-lembaga Islam di luar IJ tidak akan mereka dengar, sebab orang-orang yang tidak mengakui keamiran mereka sudah tidak sah lagi Islamnya. Dengan demikian pendapat atau keputusan hukum agama yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang “tidak sah” Islamnya, sudah tentu dengan sendirinya tidak dapat mengikat pengikut IJ, kecuali tentunya mereka yang punya hati dan pikiran terbuka.

            Tapi dari diskusi nanti siapa tahu di antara kita yang hadir ini ada yang sudah berkenalan langsung dengan GIJ, hingga kita dapat merumuskan suatu kebijaksanaan untuk menghadapinya, betapa pun masih bersifat  tentatif.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar