Minggu, 15 Maret 2015

AWAS, BAHAI HIDUP KEMBALI DI IRAK

BAHAI HIDUP KEMBALI DI KURDISTAN IRAK
Oleh DR. Fursat Mar’ie
(diterjemahkan oleh Dudung Ramdani, Lc dari Majalah Al-Mujtama edisi nomer 2058, 22-28 Juni 2013 Tahun ke-44, hal. 34-38, semoga Alloh SWT merahmatinya dan kedua orangtuanya, alloohumma aamiin)

Bahai adalah sebuah gerakan kebatinan yang muncul di Iran, yang berasal dari Syiah sekte Dua Belas Imam, yang merupakan penerus dari gerakan kebatinan yang muncul di Iran sebelumnya: Seperti sekte Syaikhiyyah, Kasyafiyyah dan Babiyyah, dengan dukungan dari Rusia pada awal kemunculannya, kolonial Inggris, dan Yahudi di kemudian harinya dengan tujuan untuk merusak agama Islam, memecah belah persatuan umat Islam dan mengalihkan mereka dari prinsip-prinsip dasar (aqidah) Islam.

Bahai ini berhubungan erat dengan wilayah Kurdistan di Iraq, seperti yang akan kami terangkan di dalam penjelasan sejarah ini, yaitu ketika Bahai berusaha untuk kembali ke wilayah Kurdistan untuk yang kedua kalinya dengan memanfaatkan dari kondisi perpolitikan yang tidak menguntungkan (tidak kondusif/kacau balau).

Bahai didirikan oleh Mirza Husain Ali Al-Mazindrani yang bergelar Bahaullah yang lahir pada tahun 1817 M. Orangtuanya merupakan tuan tanah. Mirza Husain ini sering membaca buku-buku Tasawuf dan buku-buku sekte Syaikhiyyah dan juga ajaran Ibnu Arabi, Abdulkarim Al-Jiliy dan juga para penyair senior Persia. Mirza Husain percaya kepada ajaran kesatuan agama dan wihdatul wujud (ajaran yang menyatakan bahwasanya Allah SWT bisa bersatu dengan makhluk-Nya, penerj) yang akhirnya pencetus ajaran wihdatul wujud ini berkata bahwa semua kewajiban ibadah bisa runtuh karenanya (setelah terjadi wihdatul wujud maka tidak wajib menjalan syariat agama, penerj) dan juga bisa menghilangkan syiar-syiar agama. Kemudian Al-Baha mulai mengumumkan dakwahnya di sebuah kebun yang bernama As-Saray (Kebun Keridhaan) di Baghdad pada tahun 1863.


Adapun Mirza Yahya Ali, adik dari Al-Baha yang bergelar Subhul Azal, maka Al-Bab Ali Muhammad Ridha yang terbunuh pada tahun 1850 telah mewasiatkan kepemimpinan kepada Subhul Azal (agar menjadi penggantinya, penerj). Maka para pengikut Subhul Azal ini disebut dengan Al-Azaliyyin. Akan tetapi, saudaranya yang bernama Mirza Husain mencopotnya dari kepemimpinan. Kemudian dicopot pula dari risalah agama Bahai dan ketuhanannya, dikarenakan di antara keduanya terjadi perpecahan yang sangat parah dan juga perpecahan dengan sebagian penganut sekte Syiah Dua Belas Imam di Iran dan Iraq. Akhirnya keduanya berhasil diasingkan oleh Daulah Utsmaniyah pada 1863 M atas permintaan dari Pemerintah Qajar Iran ke kota Edirne sebelah Barat Istanbul.

Akar Sejarah Bahaiyyah
Konspirasi yang dilakukan oleh gerakan kebatinan terhadap aqidah dan pemikiran Islam tidak pernah berhenti sepanjang sejarah. Pada awal abad ke-19 M, gerakan ini diperbarui di tangan seorang yang aqidahnya rusak, tidak jelas pemikiran dan gagasannya yang mana dia di kelilingi oleh ajaran kultus palsu, dan dia itu adalah Syaikh Ahmad Al-Ihsa’i (1753 – 1826) yang telah mendirikan sebuah sekte di dalam ajaran Syiah Dua Belas Imam yang di kemudian hari dikenal dengan nama sekte Syaikhiyyah.

Sekte Syaikhiyyah mengatakan, “Sesungguhnya hakikat ajaran Muhammad telah nampak pada para nabi sebelum Muhammad SAW, tapi dalam bentuk yang lemah. Kemudian berubah dalam bentuk yang kuat pada periode Muhammad SAW dan para imam yang dua belas. Kemudian bersembunyi selama seribu tahun (260 – 1260 H) yang akan nampak kembali pada diri Syaikh Ahmad Al-Ihsai yang merupakan Tiang Keempat dan yang selanjutnya akan nampak pada diri Syaikh Kazhim Al-Risyti (wafat 1843 M), kemudian nampak pada diri Muhammad Karim Khan al-Karmani (wafat 1870 M).” Penampakan ini merupakan bentuk penampakan dari Allah yang sangat besar dan dari para Imam Dua Belas, seperti yang mereka yakini.

Adapun Tiang Keempat mulai dari Syaikh Al-Ihsai sampai orang setelahnya, mereka itu adalah sama. Hanya berbeda-beda dalam bentuk saja, tetapi hakikatnya adalah sama, yaitu Allah, yaitu yang menampakkan diri di tengah-tengah mereka atau bersatu ke dalam tubuh mereka. Mahasuci Allah SWT dari semua yang mereka katakan!

Mereka juga berkeyakinan jika Muhammad adalah utusan Allah dan bahwasanya para Imam yang Dua Belas adalah para imam yang mendapat petunjuk. Adapun makna risalah (kerasulan) dan imamah (keimamam) menurut mereka yaitu bahwasanya Allah telah menampakkan diri dalam bentuk ini; sebagian mereka adalah utusan dan sebagian mereka adalah imam. Mereka juga berkeyakinan bahwasanya generasi terakhir lebih baik dari generasi pertama. Berdasarkan atas keyakinan ini, maka Syaikh Ahmad Al-Ihsai di mata para pendukungnya, beliau adalah lebih agung dari seluruh para nabi dan para rasul. Mereka juga berkeyakinan adanya faham Raj’ah. Mereka menafsirkannya bahwasanya Allah setelah Dia menghilang dari wajah para imam, maka Dia akan kembali menampakkan diri yang sangat kuat di dalam bentuk Tiang Keempat, yaitu dalam diri Syaikh Ahmad dan orang yang akan datang setelahnya.

Syaikh Ahmad Al-Ihsai adalah dari sekte Syiah Hululiyyah (panteisme; menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta; atau penyembahan (pemujaan) kepada semua tuhan dari berbagai kepercayaan. Pantheisme berarti paham yang mengajarkan bahwa segala realitas adalah Tuhan, penerj) yang mana mereka menafsirkan perubahan wujud Imam Ali RA kepada ucapan Syiah Nushairiyyah (Alawiyyah), dan adapun dalil filsafatnya diambil dari seorang ahli filsafat kebatinan Iran yang terkenal, yaitu Mulla Shadra Al-Syairazi (wafat 1640 M).

Buku-buku mereka menerangkan bahwasanya mereka memiliki keyakinan tentang Ali bin Abu Thalib seperti keyakinan para ahli filsafat pengikut Plato yang terbaru di periode Pemikiran Pertama, bahkan lebih buruk lagi.

Dua Surga dan Dua Neraka     
Adapun mengenai keyakinan mereka tentang hari Kiamat, maka keyakinan mereka ini sangat batil, bertentangan dengan nash Al-Qur`an, Al-Sunnah dan Ijma umat Islam. Mereka berkeyakinan bahwasanya di akhirat itu ada dua surga dan dua neraka Jahannam. Salah satunya berada di dunia ini dan yang satu lagi di akhirat. Adapun yang disebut dengan surga adalah al-Wilayah dan mengakui adanya al-Qoim. Adapun yang disebut hari berkumpul (di Mahsyar), maka seluruh makhluk tidak akan kembali kepada Allah sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi, kembali kepada kehendak yang pertama. Dan sesungguhnya hari berbangkit itu tidak akan terjadi dalam bentuk tubuh yang bisa dilihat, tetapi dalam bentuk tubuh yang halus (tidak terlihat), yaitu tubuh yang berada di antara alam yang mempunyai massa (berat, volume dll) dan alam Surga yang berbentuk rohani. Dengan kata lain bahwasanya pemikiran Al-Ihsai seputar dua masalah ini yaitu kembalinya makhluk (al-ma’ad) dan naiknya tubuh (al-mi’raj al-jasmani) dianggap sebagai bid’ah di dalam aqidah Islam. Dia telah berulang kali mengatakan bahwasanya jasad manusia itu tersusun dari zat yang berbeda-beda, yang tersusun dari empat unsur (air, tanah, udara dan api) dan jasad sembilan unsur samawi. Adapun jasad yang bangkit pada hari Kiamat terdiri dari unsur samawi saja, dan unsur yang empat tadi akan kembali ke bumi pada saat (tiba) kematian. Oleh karena itu, mi’rajnya Nabi Muhammad SAW ke langit adalah hanya ruhnya saja dan bukan dengan jasadnya.

Tarekat Kasyafiyyah
Ada sesuatu yang layak ditunjukkan, yaitu ketiadaan dua orang yang bersepakat dalam pemikiran kebatinan ini, dilihat dari sesuatu yang mengelilinginya semisal kesamaran (misteri) dan keragu-raguan dan juga dalam cara pengajarannya banyak rumus-rumus dan isyarat-isyarat. Karena hal ini lah yang membuat Kazhim Risyti berbeda dengan gurunya, yaitu Al-Ihsai pada sebagian besar ajaran pokoknya. Maka dia pun membuatkan sebuah tarekat baru yang dikenal dengan nama Tarekat Kasyafiyyah. Dan ini juga yang mendorong Sayyid Ali Muhammad, selang beberapa lama untuk mendirikan agama baru (agama Al-Babiy), walaupun dia sangat dekat hubungannya dengan gurunya, yaitu Al-Risyti. Al-Ihsai telah menggunakan seluruh sarana kebatinan, semisal takwil, faham menitis, reinkarnasi, mengagungkan para nabi dan para imam, seperti imam tercipta dari cahaya Allah dan imam adalah pemilik kehendak di alam ini, karena imam adalah nafasnya Allah. Dan Al-Ihsai tidak ragu-ragu untuk menyandarkan hal ini kepada riwayat-riwayat palsu dan hadits-hadits lemah yang dikaitkan kepada para imam untuk melanggengkan karangan palsunya di hadapan para pengikutnya.

Adapun gerakan Al-Kasyafiyyah merupakan perkembangan yang alami bagi Syaikhiyyah di tangan Kazhim al-Risyti yang telah menulis satu bundel tulisan-tulisan yang dia membela aqidah Al-Ihsai di dalam tulisan-tulisannya tersebut. Dan dia juga telah berupaya untuk menjelaskan kesamarannya. Akan tetapi, para ulama Syiah Imamiyah menolaknya dan mereka menganggapnya sebagai bagian dari kalangan ekstrim.

Dan yang lebih dikenal bahwasanya Mirza Ali Muhammad Al-Syairazi, pemimpin Al-Babiyyah adalah murid Al-Risyti. Adapun sekte Al-Karmaniyyah di bawah kepemimpinan Muhammad Karim Khan Al-Karmani, sekte tersebut muncul secara langsung dari ajaran Al-Risyti dan kemudian pemikiran-pemikirannya mengalami penyimpangan dan berlebih-lebihan.

Di antara yang tidak bisa diragukan lagi bahwasanya Al-Babiyyah mengambil manfaat dari warisan kebatinan sampai harus diperhatikan yang mana warisan kebatinan ini telah diwariskan sekte-sekte lain semisal sekte sufi ekstrimis, khususnya lagi peninggalan Al-Hallaj dan Muhyiddin bin Arabiy, Ihsaiyyah dan Kasyafiyyah.

Bangsa Kurdi dan Bahaiyyah, Dampak dan Kerentanan
Setelah Al-Bab Ali Muhammad Al-Syairazi dieksekusi mati oleh Kesultanan Qajar Iran pada tahun 1850 M, maka Subhul Azal pun melarikan diri. Adapun Al-Baha Mirza Husain masuk penjara selama empat bulan. Kedubes Rusia pun ikut campur untuk kepentingan terakhirnya, sehingga dia pun dideportasi ke Baghdad. Dia mendapatkan suntikan dana dari Kedubes Rusia. Setelah Mirza Husain tiba di Baghdad yang mana saudaranya (Subhul Azal) telah tiba lebih awal. Di sana terjadi perselisihan hebat di antara keduanya yang menyebabkan Mirza Husain pergi meninggalkan Baghdad, menuju kota Sulaimaniyyah. Di sana dia tinggal di sebuh gua di lereng gunung Surdasy yang membentang di atas dua desa; Sarkalo dan Barkalo sejak tahun 1854 – 1856 M. Dia pun akhirnya pergi meninggalkan tempat pengasingannya menuju ke majlis-majlis sufi Naqsyabandiyah di Sulaimaniyyah, mengunjungi kebun buah-buahan dan ke Thawilah (desa Hawarman di perbatasan Iran) untuk berkumpul dengan para pemimpin tarekat.

Terpengaruhnya Al-Baha oleh Kitab Fashlul Khitab
Adalah seorang ulama sufi dari Utsmani bermadzhab Hanafi, yaitu Al-Hafizh bin Muhammad Khawajah Farsa (wafat tahun 1419 M) telah menulis sebuah kitab yang diberi judul, Fashlul Khitab. Dia bercerita di dalam kitab tersebut tentang akan munculnya Al-Mahdi dengan semua kebaikannya dengan ucapannya, “Semua berita telah menceritakan akan kemunculannya dan cahayanya telah terbit yang akan memperbarui syariat Muhammad. Dia akan berjihad di jalan Allah SWT dengan sebaik-baik jihad. Dia akan membersihkan semua kotoran di seluruh kota negerinya, zaman dia adalah zamannya orang-orang yang bertakwa. Para pengikutnya bersih dari keraguan dan selamat dari keghaiban. Mereka semua akan mengambil semua petunjuk dan jalannya. Mereka juga akan mendapatkan hidayah dari kebenaran sampai bisa mempraktekkannya. Dia lah penutup kekhalifahan dan keimaman. Dia adalah imam sejak ayahnya wafat sampai hari Kiamat....”

Muhammad bin Abu Jumhur Al-Ihsai (wafat tahun 1495 M) telah menjelaskan kitab Fashlul Khitab tersebut dan menambahkan beberapa catatan pada kitab tersebut. Kemudian kitab tersebut dijelaskan pula oleh seorang ahli sufi Syiah yang bernama Al-Mirdamadi (wafat tahun 1631 M). Dia diikuti oleh Mulla Shadra Al-Syairazi (wafat tahun 1640 M) di kota Isfahan.

Dia menyimpan seluruh ajarannya di dalam kitabnya Jamiul Asrar dan Manba’ul Anwar. Kitab ini menjadi salah satu kitab pegangan sekte kebatinan. Maka Syaikh Ahmad Al-Ihsai atas dasar ini dia membentuk sekte Asy-Syaikhiyyah.

Kemudian tatkala Bahaullah melakukan perjalanan ke Kurdistan Al-Utsmaniyyah di Iraq pada tahun 1856 M, dia pun menelaah kitab Fashlul Khitab ini di depan para pengikut Maulana Khalid al-Jaf Naqsyabandi (wafat tahun 1827 M) di Takyah Bayarah. Sekte Syaikhiyyah ini mempunyai ajaran yang sangat berbeda dengan cara berfikir dan dakwahnya Bahaullah.

Nampaknya, menetapnya Bahaullah di daerah tersebut menimbulkan efek yang buruk terhadap aqidah sebagian orang-orang Kurdi. Maka pada tahun 1919 – 1920 M, di sana muncullah sebuah pergerakan yang bernama Haqqah, salah satu gerakan ekstrimis dari tarekat sufi Naqsyabandi yang memiliki pemikiran yang asing dan aneh-aneh.

Secara umumnya, seharusnya Bahaullah yang terpengaruh dari penyimpangan-penyimpangan kaum sufi di daerah tersebut yang berdekatan dengan desa yang bernama Syahdahlah yang menyebabkan munculnya gerakan Haqqah. Dan bukan hal yang mustahil bagi sebagian para peneliti suku Kurdi bahwasanya hal ini telah sesuai dengan strategi yang digariskan untuk mencapai tujuannya yaitu merusak aqidah penduduk daerah tersebut. Seperti yang telah dikerjakan oleh Al-Baha untuk merusak aqidah orang-orang yang telah memeluk ajaran Bahaiyyah di Iran. Kalau bukan, tujuan apa yang mendorong orang ini menetap di daerah tersebut selama dua tahun sejak tahun 1854 sampai tahun 1856 dan berdekatan dengan markas pimpinan tarekat Naqsyabandi di desa Syahdahlah yaitu Syaikh Sardar An-Naqsyabandi, salah seorang penerus Maulana Khalid Al-Jaf? Di antara buktinya yaitu sebagian orang-orang yang bergabung di dalam kelompok ini mereka meyakini jika guru mereka itu yaitu Abdulkarim Syadlah sebagai Al-Mahdi dan sebagian yang lainnya menyebutnya sebagai Nabi Isa AS, seperti orang-orang Bahaiyyah yang menyebut pemimpin mereka dengan sebutan-sebutan seperti ini. Dan dinukil dari seseorang modern mengenai kejadian tersebut, yaitu oleh Sayyid Haji Abdu Jasim yang merupakan anggota Kepolisian Iraq pada saat dia mendatanginya secara tiba-tiba untuk mendebatnya yaitu Takyah Mamah Ridha, salah seorang pemimpin dari Tarekah Haqqah di desa Kalkah Samaq yang berdekatan dengan Dukan Resort (resort adalah tempat peristirahatan, penerj) di sebelah Barat Sulaimaniyyah dan dilakukan penelitian terhadap harta kekayaannya pada tahun 1944 M, tapi tidak ditemukan sebuah kitab pun kecuali kitab Al-Bahaiyyah.

Di sisi lain, sesungguhnya sebagian sumber menyebutkan bahwa sebab bersembunyinya Bahaullah di gunung Kurdistan dan di desa Syahdahlah di gunung Surdasy sebelah Barat Sulaimaniyyah adalah sebagai bentuk pengamalan atas nasehat dari seorang pendeta Yahudi yang bernama Yusuf Hayim untuk mendapatkan pengalaman spiritual dari mengkaji ajaran sufi Yahudi dan semua rahasianya dengan alasan bahwasanya pengalaman ini bisa membuatnya mengetahui hakikat segala sesuatu dan hukum-hukumnya yang sangat mendalam, sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Musa AS ketika beliau bersembunyi di gunung Thur di gurun Sinai.

Hubungan antara Al-Baha dengan Rusia dan Yahudi
Bahaullah sangat menampakkan hubungannya dengan Rusia. Akan tetapi, hubungannya dengan Yahudi Baghdad dan Yahudi Kurdistan tidak diketahui. Maka tatkala dia tiba di kota Baghdad pada tahun 1852 M, di sana terdapat sekitar lima puluh ribu Yahudi, dan di Kurdistan sekitar delapan belas ribu Yahudi. Maka tatkala Al-Baha berhubungan dengan rahib Yahudi bernama Syam’un Ajasi (wafat 1914 M), maka dia mengutus seorang rahib Yahudi dan juga seorang ilmuwan, yaitu Harun Al-Bazarni (wafat 1900 M). Rahib ini menganut faham sufi, dia meyakini akan munculnya Al-Masih yang Ditunggu-tunggu dan masanya yang sangat menyenangkan. Dia sangat mahir berbahasa Arab dan Persia dan sangat keranjingan dengan madzhab Al-Qabbalat (Kabbalah). Sang rahib Yahudi ini telah menerima kedatangan Al-Baha dengan sangat baik dan memberinya kehidupan yang baik di gunung Sarkalu sehingga dia (Al-Baha) bisa berjalan ke Sulaimaniyyah dan desa-desa di sekitarnya.

Al-Bahaiyyah di Mesir : Syaikh Farajullah Zaki Al-Kurdi Al-Mariwani Al-Kasyankani yang dinisbahkan kepada kota Mariwan di Kurdistan, Iran Sekarang, lahir pada tahun 1882 M setelah dia mendapatkan kesempatan belajar di negaranya, kemudian dia pergi ke Mesir pada akhir abad ke-19 M untuk kuliah di Al-Azhar. Karena dia dari suku Kurdi, maka dia dinisbahkan ke Paguyuban Suku Kurdi. Akan tetapi, pada salah satu kepergiannya ke negeri Syam, dia pernah bertemu dengan pemimpin Bahaiyyah yaitu Abdul Baha. Dia sangat kagum dengan cara dakwahnya Abdul Baha sampai akhirnya dia Zaki Al-Kurdi memeluk sekte Bahaiyyah dan dia menjadi orang yang sangat membela (fanatik) ajaran Bahaiyyah di Mesir. Tapi, tatkala masalah ini terungkap (dia memeluk Bahaiyyah), akhirnya dia dikeluarkan dari Al-Azhar dan juga dipecat dari Paguyuban Suku Kurdi, karena dicap murtad dan telah keluar dari agama Islam.

Nampaknya, Farajullah Al-Kurdi ini sangat siap menerima pemecatannya ini, sehingga akhirnya dia sibuk berdagang kitab-kitab. Maka sejak tahun 1900 M, dia menjabat jabatan Wakil di Lembaga Sosial Penyebaran Kitab-kitab Islam, sehingga dia pun mempunyai banyak uang. Akhirnya, dia membeli sebuah rumah di sekitar Al-Azhar dan dia tidak pulang ke kampungnya Kurdistan di Iran, tapi dia memilih menetap di Mesir. Dia menjadikan Mesir sebagai kampung halamannya. Di Mesir ini, dia terus mempraktekkan kemahirannya di dalam perdagangan kitab-kitab dan manuskrip-manuskrip yang sangat langka di negeri Mesir.

Pemimpin Bahaiyyah yaitu Abdul Baha, putera dari Bahaullah telah menulis sebuah kitab dengan judul Ar-Risalah Al-Madaniyyah dalam bahasa Persia yang dipasarkan di kota Bombay di India pada tahun 1882 M. Kemudian Syaikh Farajullah Zaki Al-Kurdi mencetaknya kembali untuk kedua kalinya pada tahun 1909 M. Kemudian terbitlah terjemahannya dalam bahasa Inggris di London pada tahun 1910 M. Kemudian dicetak ulang di Chicago di Amerika Serikat pada tahun 1918 M dengan judul Mysterious Forces of Civilization. Kemudian terbitlah terjemahan terakhir dalam bahasa Inggris pada tahun 1956 M oleh Mardhiyah Gill dan dicetak di Amerika Serikat. Tulisan ini telah berpindah-pindah di antara para pembaca bahasa Persia dan Inggris sejak diterbitkannya. Akhirnya Bahiyah, yaitu puteri dari Farajullah Zaki Al-Kurdi menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.

Farajullah Al-Kurdi tetap pada kondisi itu, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1940 M. Dia tidak melahirkan anak, kecuali hanya satu anak perempuan yaitu Bahiyah. Bahiyah ini menganut ajaran Bahai, keyakinan seperti dia (ayahnya). Bahiyah bekerja sebagai guru di Lembaga Keguruan bagi Wanita di Baghdad pada masa kerajaan. Dia juga saat itu mempunyai Salon Sastra, yang mana di tempatnya ini sering berkumpul para penulis dan para intelektual. Kemudian ada seorang penyair Kurdi bernama Dildar yang mencintainya (Dildar adalah penulis lagu kebangsaan suku Kurdi). Akan tetapi, dia (Bahiyah) memilih menikah dengan seorang Bahai Amerika, dan melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Hussein.

Baru-baru ini, setelah jatuhnya Baghdad, terlihat banyak di antara para pengikut agama Bahai di Kurdistan Irak, mereka melarikan diri dari milisi Syiah. Karena mereka (Syiah) menganggap Bahai sebagai ajaran menyimpang dari ajaran Syiah Dua Belas Imam. Untuk menggambarkan hal ini merujuk kepada sebuah kesimpulan dari Forum Dialog Dua Agama Kedua di provinsi Dohuk di Kurdistan Irak, pada hari Jumat 17 Mei 2013 yang mengumpulkan seluruh perwakilan dari agama Islam, Kristen dan Yazidi dan Alcakaúah dan Bahai, mereka ikut di forum tersebut untuk mempromosikan budaya pluralisme agama dan penerimaan ajaran yang lain.

Selain itu, perwakilan dari Bahai yaitu Carmel Aqil menekankan bahwa ada banyak kesamaan di antara agama-agama, terutama di hari rayanya, karena hari raya adalah hari penuh sukacita dan kebahagiaan bagi semua orang. Aqil menunjukkan bahwa salah satu kesamaan yang sangat penting di antara hari raya agama Bahai, Kristen dan Yazidi adalah sama waktu pelaksanaannya, dia menjelaskan bahwa para pengikut agama Bahai suka merayakan dua hari raya tahun Baru Bahaiyyah dan hari raya Ar-Ridhwan Al-Majid pada 21 Maret dan 21 April, di mana kita menemukan bahwa waktu ini bertepatan dengan hari raya orang-orang Kristen dan Yazidi ketika merayakan hari raya mereka.

Dia (Carmel) meneruskan, bahwasanya keamanan sangat berpengaruh terhadap semua agama di Iraq. Dia mengungkapkan harapannya bahwa keamanan tetap terjaga dan seluruh para penganut agama-agama untuk mengkonsolidasikan kesamaan di antara mereka.

Yayasan Bahai telah mencoba untuk menerjemahkan buku-buku Bahai yang berasal dari pusat penerbitan di Brazil dan yang lainnya ke dalam bahasa Kurdi, dengan harapan bisa memasukkan sebagian dari suku Kurdi ke dalam keyakinan mereka (Bahaiyyah) dan untuk memperkuat pengaruh mereka di Kurdistan dengan mengambil keuntungan dari suasana politik dan budaya yang berlaku sekarang di Iraq tak lama setelah pendudukan Amerika Serikat atas Iraq.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar