Senin, 02 Maret 2015

Renungan bagi Syiah; Pengantar KH Sykuron Makmun

بسم الله الرحمن الرحيم


Segala puji bagi Allah I yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh umat manusia. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi akhir zaman, Rasulullah r, kepada keluarga dan para sahabatnya serta semua pengikutnya sampai akhir zaman.
Mayoritas umat Islam Indonesia, bahkan di dunia adalah pengikut aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Ajaran-ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah sangat mengakar dan membumi di dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Memang ajaran-ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah terwujud dalam manifestasi yang beragam di berbagai belahan dunia Islam.
Dalam bidang aqidah misalnya, ada sebagian pengikut Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang mengikuti pemahaman Ahlu Atsar yang identik dengan Imam Ahmad bin Hanbal, sementara yang lainnya mengikuti pemahaman Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Demikian pula dalam bidang fiqih, ada yang bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Namun dalam perbedaan manifestasi ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah ada beberapa benang merah yang menyatukan semua perbedaan tersebut, yaitu kepercayaan mutlak kepada kesucian al-Qur`an.
Para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah dengan tegas menyatakan bahwa al-Qur`an yang ada sekarang ini adalah asli, tidak ada pengurangan maupun penambahan serta terjaga keaslian dan keterpeliharaannya dari tahrif (distorsi dan interpolasi). Keyakinan tersebut ditandai dengan menjadikan kesesuaian bacaan dengan Mushaf Utsmani sebagai salah satu persyaratan suatu bacaan dianggap sebagai bacaan yang mutawatir.


Benang merah selanjutnya adalah penghormatan kepada para sahabat nabi sebagai mata rantai utama ajaran Islam. Keutamaan para sahabat diimplementasikan dalam ijma ulama tentang adalatus shahabat yang dimaknai dengan diterimanya periwayatan para sahabat tanpa perlu menyelidiki jati diri mereka. Dalam hal ini, saya yang dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU), selalu meresapi apa yang diajarkan oleh Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah :
وَ مِنْهُمْ رَافِضِيُّوْنَ يَسُبُّوْنَ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَ يَكْرَهُوْنَ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ يُبَالِغُوْنَ هَوَى سَيِّدِنَا عَلِيٍّ وَ أَهْلِ بَيْتِهِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. قَالَ السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ فِيْ شَرْحِ الْقَامُوْسِ : وَ بَعْضُهُمْ يَرْتَقِيْ إِلَى الْكُفْرِ وَ الزَّنْدَقَةِ أَعَاذَنَا اللهُ وَ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْهَا. قَالَ الْقَاضِيْ عِيَاضٌ فِيْ الشِّفَاءِ : عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ : قَالَ : رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اَللهُ اَللهُ فِيْ أَصْحَابِيْ لَا تَتَّخِذُوْهُمْ غَرَضًا بَعْدِيْ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّيْ أَحَبَّهُمْ وَ مَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِيْ أَبْغَضَهُمْ وَ مَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِيْ وَ مَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهَ وَ مَنْ آذَى اللهَ يُوْشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ.
“Di antara mereka ada golongan Rafidhah yang suka mencaci Sayyidina Abu Bakar t dan Umar t, membenci para sahabat Nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayyidina Ali t dan anggota keluarganya, semoga Allah meridhai mereka bahkan sampai pada tingkatan kafir dan zindiq, semoga Allah melindungi kita dan kaum muslimin dari aliran ini. Berkata al-Qadhi Iyadh dalam asy-Syifa dari Abdullah bin Mughaffal bahwa Rasulullah r bersabda, “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kalian menjadikan mereka sebagai sasaran caci maki sesudah aku tiada. Barangsiapa mencintai mereka, berarti telah mencintai aku, dan barangsiapa membenci mereka, berarti telah membenciku. Barangsiapa menyakiti mereka, berarti telah menyakiti aku dan barangsiapa menyakiti aku, berarti telah menyakiti Allah, dan barangsiapa menyakiti Allah, dikhawatirkan Allah akan menghukumnya.”
Kedua hal tersebut begitu lekat dan menjiwai faham keagamaan umat Islam yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Bahkan tidak berlebihan bila keduanya menjadi parameter di mana seseorang dianggap benar keislamannya atau salah.
Oleh karena itu, mereka memandang bahwa setiap aliran, faham atau amaliyah yang bertentangan dengan kedua keyakinan tersebut di atas, adalah bentuk penyimpangan keislaman yang terkait dengan aqidah islamiyah, dan bukan sebagai masalah khilafiyah fiqhiyyah.
Di antara aliran tersebut adalah aliran Syi’ah yang cukup gencar melakukan gerakan dakwah dalam beberapa tahun terakhir ini. Ada beberapa ajaran Syi’ah yang bertentangan dengan faham keagamaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang sangat fundamental, antara lain :
Pertama : Tidak mengakui keaslian al-Qur`an yang ada. Mereka menganggap bahwa al-Qur`an yang ada sekarang ini sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan. Dalam keyakinan mereka, al-Qur`an yang asli adalah Mushaf Ali t dan Mushaf Fatimah dengan jumlah ayat yang mencapai tiga kali lipat al-Qur`an yang ada saat ini.

Kedua : Tidak mengakui kekhalifahan sahabat Abu Bakar t, Umar t dan Utsman t, serta mencaci maki dan mengafirkan para sahabat Nabi Muhammad r.

Bagi para ulama dan kalangan terpelajar, tentu akan mudah untuk meragukan kebenaran dari kedua hal tersebut di atas. Terkait dengan keaslian al-Qur`an, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan sederhana saja, antara lain :
  1. Di manakah al-Qur`an yang asli berada? Mengapa tidak diperlihatkan? Adakah dalil aqli dan naqli yang mendukung ketersembunyian al-Qur`an dalam kurun waktu yang lama?
  2. Mengapa sahabat Ali t -saat menjadi khalifah- tidak menetapkan mushaf yang beliau miliki atau Mushaf Fatimah menjadi Mushaf Imam (mushaf induk) menggantikan Mushaf Utsmani?
  3. Bukankah beberapa qiraat sab’ah (tujuh bacaan al-Qur`an) bersumber dari Ahlul Bait dan sahabat Ali t? Sebagai contoh qiraat Hamzah az-Zayyat diriwayatkan dari Ja’far ash-Shadiq dari Muhammad al-Baqir dari Ali Zainal Abidin t dari al-Husain t dari Ali bin Abi Thalib t. Dengan jalur sanad ini, tidakkah kita dapat memastikan bahwa Ahlul Bait telah keluar dari ijma kaum muslimin yang menyepakati otoritas Mushaf Utsmani?
  4. Apabila al-Qur`an yang asli dibawa oleh Imam al-Mahdi al-Muntazhar dalam persembunyiannya sesuai dengan keyakinan Syi’ah, itu berarti Imam Mahdi telah membiarkan umat Islam memegang al-Qur`an yang tidak asl.? Bukanlkah ini merupakan suatu kezaliman?
  5. Mengapa kaum Syi’ah tidak mencari persembunyian Imam al-Mahdi untuk mengambil al-Qur`an yang asli tersebut? Sudah lebih dari seribu tahun beliau bersembunyi. Sampai kapan beliau akan terus bersembunyi dengan al-Qur`an yang asli tersebut dan membiarkan umat islam -dalam pandangan Syi’ah- berada dalam kesesatan?

Adapun pandangan kaum Syi’ah terkait dengan kekhalifahan sahabat Abu Bakar t, Umar t dan Utsman t yang kemudian menyebabkan kebencian yang luar biasa kepada para sahabat, saya ingin mengajak kaum Syi’ah untuk merenungi beberapa hal di bawah ini :
  1. Apabila kaum Syi’ah meyakini bahwa sahabat Ali t telah dilantik oleh Rasulullah r di Ghadir Khum -daerah dekat Juhfah berjarak 170 km dari Madinah-. Mengapa beliau dan para sahabat yang menyaksikan peristiwa Ghadir Khum tidak menolak atau memprotes pengangkatan sahabat Abu Bakar t sebagai khalifah?
  2. Apabila benar bahwa Rasulullah r telah berwasiat kepada sahabat Ali t untuk menjadi khalifah, mengapa beliau tidak menyampaikan hal tersebut di hadapan para sahabat? Apakah beliau takut untuk menjadi syahid membela wasiat Nabi Muhammad r? Bukankah ini bertentangan dengan sejarah hidup sahabat Ali t yang terkenal dengan ketulusan, keberanian dan kejujurannya?
  3. Keikut sertaan sahabat Ali t membaiat sahabat Abu Bakar t hanya dapat diartikan dengan dua hal. Pertama, beliau melakukan baiat dalam ketakutan dan itu tidak selaras dengan kepribadian beliau seperti pada point nomor 2. Kedua, apakah keikutsertaan beliau berbaiat kepada sahabat Abu Bakar t dapat diartikan sebagai pengkhianatan terhadap wasiat Nabi Muhammad r?
  4. Apa manfaat yang bisa dipetik oleh umat Islam dari kebencian yang ditanamkan kepada para sahabat? Kalau benar seperti keyakinan kaum Syi’ah terhadap Abu Bakar t, Umar t, Utsman t bahkan Aisyah yang merupakan isteri Rasulullah r, apakah beliau salah dalam mencari sahabat dan menentukan pendamping hidup?
  5. Seandainya sahabat Umar t itu murtad atau tidak pernah tulus dalam beriman, mengapa sahabat Ali t rela mengawinkan putrinya Ummi Kaltsum kepada sahabat Umar t? Lalu mengapa beliau berkenan menjadi penasihat khalifah Umar t selama bertahun-tahun?
  6. Mengapa ketika proses pemilihan khalifah pasca wafatnya sahabat Umar t -di mana sahabat Ali t sebagai salah satu calon dari enam orang kandidat khalifah- kemudian justru beliau mengundurkan diri? Bukankah ini adalah kesempatan untuk melaksanakan wasiat Nabi Muhammad r? Pengunduran diri beliau tidakkah merupakan pelanggaran terhadap wasiat tersebut?
  7. Apabila para sahabat dianggap telah kafir kecuali Ali t, Miqdad t, Abu Dzar t dan Salman t, lalu bagaimana umat Islam bersandar dalam menjalankan agamanya? Bukankah mereka akan menyandarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat? Bila demikian, ada banyak ibadah dan amaliyah yang tidak memiliki landasan hadits, karena hadits-hadits tersebut tudak diriwayatkan oleh Ahlul Bait atau empat sahabat tersebut.
  8. Membatasi riwayat hadits sebatas Ahlul Bait dan sahabat Ali t, Miqdad t, Abu Dzar t dan Salman t tidak sesuai dengan logika dan fakta ilmiyah. Karena bila itu yang terjadi, apakah Rasulullah r hanya akan menyampaikan ajaran Islam jika di samping beliau ada Ahlul Bait dan empat orang sahabat tersebut? Bukankah Rasulullah r pernah berbicara dengan Abu Bakar t, Umar t, Utsman t, Aisyah, Abu Hurairah t dan lainnya tanpa kehadiran Ahlul Bait?

Kedua hal tersebut di atas adalah bagian dari perbedaan prinsip keagamaan antara Ahlu Sunnah wal Jama’ah dan Syi’ah. Tentu masih terdapat beberapa hal lain yang cukup fundamental dalam perbedaan faham keagamaan di antara keduanya.
            Gerakan Syi’ah yang sering dikemas dalam bentuk propaganda akan kecintaan kepada keluarga Rasulullah r di Indonesia belakangan ini sudah cukup meresahkan umat Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Lembaga dan organisasi Syi’ah melakukan gerakan masif melalui lembaga pendidikan, penerbitan buku serta media cetak dan elektronik. Akibatnya di tengah masyarakat sudah mulai berkembang gambaran negatif tentang sahabat-sahabat Nabi yang haus akan hal-hal yang bersifat keduniawian sekalipun untuk mencapainya para sahabat tersebut melakukan kezaliman kepada Ahlul Bait, utamanya sahabat Ali t dan anak keturunannya. Inilah anak tangga utama mereka untuk menanamkan keraguan akan keaslian al-Qur`an dan kebenaran al-Hadits.
            Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka perlahan namun pasti akan merongrong kelestarian ajaran Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Perbedaan kita dengan Syi’ah, bukan sekedar perbedaan Madzhab Ahlu Atsar dan Madzhab Asy’ari, Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i, Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Persatuan Islam (PERSIS). Akan tetapi, perbedaan tersebut langsung menyentuh prinsip-prinsip aqidah dan maqasid syariah yang dianut oleh umat Islam yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
            Oleh karena itu, sebagai bentuk pelaksanaan amanah dan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban kaum terpelajar, para guru, ustadz, kyai dan para akademisi, saya menyambut baik terbitnya buku, “Agar Kita Tidak Menuduh Syi’ah”. Sikap diam dan berhusnudzan kepada fanatisme umat kepada ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak lagi bisa menahan arus propaganda aliran-aliran tersebut. Era keterbukaan seperti sekarang ini mengharuskan kita untuk berani menyampaikan fakta kebenaran secara lugas, meyakinkan dan tanpa basa basi serta didukung dengan referensi primer dan data yang valid.
            Semoga buku ini bisa bermanfaat untuk umat Islam dan menjadi bahan rujukan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam menjaga kelestarian ajaran Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah, khususnya di Indonesia.


Jakarta, 07 November 2013




Syukron Ma’mun  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar