Rabu, 17 Agustus 2022

MENYOAL PASAL PENODAAN AGAMA DALAM DRAFT RKUHP

 MENYOAL PASAL PENODAAN AGAMA DALAM DRAFT RKUHP

Oleh : Ustadz Rahmat Ramadhan, Lc., M.H.


Belum lama kita melihat debat hebat antara dua Ahli Hukum UGM membahas RKUHP di acara Mata Najwa. Yang pertama mewakili pemerintah Prof Edward Omar Sharif Hiariej yang biasa disapa prof Eddy, dan yang kedua mengatasnamakan rakyat yaitu Dr. Zainal Arifin Mochtar. Salah satu yang dikritisi Zaenal adalah proses meaningful participation atau partisipasi publik yg bermakna dalam proses pembuatan draft RKUHP. Menurut Zaenal KUHP adalah sesuatu yang sakral dan sebuah hadiah besar yang mana kehadirannya harus menggembirakan semua elemen masyarakat, tidak hanya untuk elemen kekuasaan. 

Menjawab krititk ini Eddy membantah dengan mengemukakan fakta lapangan bahwa pemerintah sangat memperhatikan partisipasi publik yang bermakna. Dan salah satu fakta yang disampaikan Eddy adalah reformulasi pasal penodaan agama yang ketika itu melibatkan tim khusus yang fokus pada penodaan agama. Namun disayangkan pada forum ini saya tidak mendengar Edie menyebutkan keikutsertaan salah satu ormas Islam seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, DDII dll. 

Saya pun mencoba untuk melihat kembali draft RKUHP terbaru, karena yang terakhir saya lihat adalah draft RKUHP pada tahun 2021 yang mana pada draft itu masih ada klausa yang menggunakan kalimat ‘Penodaan terhadap Agama’ pada pasal penodaan Agama. 

Berikut bunyi pasal 304 yang terdapat pada draft RKUHP yang masih pada tahun 2021:

“Setiap Orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun……..”. 

Saya melihat tidak ada masalah. Pasal ini tidak merubah kata-kata yang berpotensi menghilangkan substansi dari pasal penodaan Agama yaitu ‘menodai agama’ baik dengan unsur permusuhan ataupun tidak. Akan tetapi ketika saya buka draft RKUHP hari ini, saya melihat ada pelemahan subtansi yang ada pada draft ini, yaitu tidak ditemukannya kata ‘penodaan agama’, draft hanya menekankan permusuhan terhadap agama. 

Berikut pasal penodaan Agama pada Draft terbaru:

“Setiap orang di muka umum yang; melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia ……….”  

Pada pasal diatas tidak ada satupun kalimat yang mengatakan ‘penodaan atau menodai agama’ dan lebih menekankan hanya kepada penodaan yang memiliki unsur permusuhan atau penghasutan untuk melakukan permusuhan. 

Pertanyaannya adalah bagaimana jika ada ajaran yang menodai agama akan tetapi dibungkus dengan kebaikan dan tidak memiliki unsur permusuhan?

History Representasy.

History Representasy atau sejarah representasi adalah argumen Eddy untuk membantah Zainal, ketika Zainal mengatakan bahwa untuk menafsirkan suatu undang-undang dibutuhkan penafsiran hermeneutik yang unsurnya adalah, pertama teks, kedua konteks, dan yang ketiga adalah penafsir. Ketika teks sudah dibuat dan konteks sudah terlihat maka yang menjadi masalah adalah penafsir. Penafsiran undang-undang bukan tidak mungkin diselewengkan dengan sengaja ataupun tidak. Independensi penafsir yang ada pada aparatur negara inilah yang patut dipikirkan lebih matang. Menurut Zaenal saat ini justru sulit menemukan independensi aparatur negara terlebih jika yang dihadapi adalah lingkar kekuasaan. 

Menjawab argumen ini, Eddy mengatakan oleh karena itu pemerintah memiliki perhatian untuk terus membina para aparatur negara dan juga selalu menimbang sejarah representasi dari setiap undang-undang yang digunakan. 

Akan tetapi Eddy justru lupa draft RKUHP mengabaikan sejarah representasi ketika mereformulasi pasal penodaan agama, pada draft RKUHP undang-undang a quo draft RKUHP menghilangkan salah satu substansi yang mana akan terlihat jika kita merujuk pada alasan dimasukkannya undang-undang penodaan agama dalam KUHP. yaitu:

1. Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi.

2. Timbulnya berbagai aliran atau organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini. 

3. Karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mecegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajara-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan, dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

4. Seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, kristen, Katholik, Hindu, Bhudda dan Khong hu cu, undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan diluar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.

Dari alasan ini Kita akan dapati bahwa negara  mengakomodir dua perlindungan, pertama perlindungan terhadap negara dari ancaman perpecahan yang terdapat pada poin 1 & 2, dan yang kedua  perlindungan terhadap agama dari penodaan yang terdapat pada poin 2 & 3. Akan tetapi pada draft terbaru saya hanya melihat negara hanya mengokomodir perlindungan terhadap agama dari permusuhan dan bukan penodaan. 

Pada draft ini seolah negara menilai yang dapat mengancam negara hanyalah tindakan yang memusuhi agama bukan menodai agama. 

Beda antara Memusuhi Agama dan Menodai Agama

Permusuhan diambil dari kata musuh yang didalam KBBI diartikan dengan seteru, adapun penodaan diambil dari kata noda yang dalam KBBI berarti noktah hitam (yang menyabkan kotor), jika dilihat dari sisi ini tidak semua penodaan berpotensi kepada permusuhan, titik hitam dapat menodai air yg dimasukinya meskipun tanpa ada perseteruan. sebagai contoh, bisa saja seseorang mengotori pikiran anak-anak dengan melukis ditembok-tembok (mural) dengan lukisan yang tidak senonoh di suatu wilayah, akan tetapi mayoritas warga di wilayah tertentu tidak marah dan tersinggung karena keramahan dan kebaikan orang yang melakukan mural ini. Berbeda dengan perbuatan permusuhan, tidak ada celah bagi yang melakukan permusuhan di suatu wilayah seperti melakukan mural dengan lukisan yang menghina wilayah tersebut namun mayoritas warga tersebut tidak marah dan tersinggung. 

Dari sini bisa disimpulkan bahwa tidak semua penodaan berpotensi kepada permusuhan, akan tetapi setiap permusuhan pasti disertai dengan penodaan. Oleh karena itu penodaan terbagi menjadi dua jenis, penodaan yang disertai permusuhan dan penodaan yang dibungkus dengan kebaikan dan tidak disertai dengan permusuhan. 

Jika logika ini kita gunakan pada kasus undang-undang penodaan agama pada draft KUHP terbaru, maka agama hanya dilindungi dari unsur dimusuhi, akan tetapi tidak dilindungi dari unsur dinodai, yang sesungguhnya juga memiliki efek terhadap ancaman negara.  

Dan konsekwensi konkretnya adalah  yang bisa dipidana hanyalah kasus seperti Kece yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Iblis karena seorang pembunuh. Pada peristiwa hukum ini penodaan dilakukan disertai unsur permusuhan, akan tetapi aliran yang meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW tanpa menghina atau menghasut untuk memusuhi Nabi Muhammad SAW bahkan mengajarkan kebaikan, perdamaian dan kesatuan, tentu akan sulit dipidana dengan pasal ini. Karena ajaran ini tidak menyertai unsur permusuhan.    

Maka, tidak mustahil kedepan aparatur negara yang tidak memiliki ilmu agama yang memadai akan keukueh membedakan antara menodai agama tanpa unsur permusuhan & menodai agama dengan adanya unsur permusuhan. Dan potensi  narasi ‘tidak semua penodaan berbentuk permusuhan, karena kemungkinan penodaan tersebut hanyalah perbedaan penafsiran’ akan selalu digunakan oleh para kaum liberal dan para aparatur negara jika RKUHP ini disahkan. Dan tidak mustahil juga orang-orang yang menindak orang yang melakukan mural dengan lukisan yang tidak senonoh di suatu wilayah tadi dilindungi dengan pasal permusuhan karena penindakan terhadap pelaku mural tadi terdapat unsur permusuhan dan penghasutan untuk melakukan permusuhan, karena melakukan mural bisa ditafsirkan sebagai bentuk kreasi manusia yang dilindungi oleh HAM. Begitu juga bagi setiap ormas Islam yg ingin menjelaskan kesesatan suatu kelompok yang dianggap baik oleh kekuasaan, ormas Islam ini  akan terjerat pasal permusuhan, karena kesesatan kelompok yang dianggap sesat oleh ormas Islam tersebut bisa ditafsirkan sebagai perbedaan penafsiran oleh kekuasaan dan aparatur negara. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar